“Thanks!”
Seorang gadis mengangkat tangannya kepada pemuda yang baru saja mengantarnya pulang. Ia berjalan masuk ke rumahnya sembari berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang mabuk. Kepalanya pusing dan tatapan matanya juga tidak begitu jelas.
“Kaila.”
Gadis itu berhenti dan melihat Mamanya berjalan mendekati dirinya. Raut wajah Mamanya terlihat sangat marah karena mendapati anaknya pulang jam satu malam dalam keadaan mabuk.
Kaila Renasya atau yang akrab dipanggil dengan Kai hanya berdiam di sana. Kepalanya yang pusing mendadak tidak sepusing sebelumnya. Ia tahu kalau ini akan menjadi perdebatan yang alot.
“Oh, Mama di rumah,” ujar Kaila acuh tak acuh.
“Kamu minum lagi?” tanya Mamanya dengan nada yang sudah meninggi. Raut wajahnya menunjukkan rasa marah yang luar biasa.
Kaila mengangguk. Dia mengangkat tangannya. “Dikit,” jawabnya sembari jadi telunjuk dan jempolnya bergerak seirama menunjukkan kode dikit.
“Kamu ini apa-apaan sih? Mama sudah bilang berapa kali jangan minum-minum atau ke bar itu lagi!” Suara Mamanya makin meninggi.
“Aku capek, Ma. Mau tidur dulu,” balas Kaila dan hendak pergi dari sana tapi tangannya ditarik kasar oleh Mamanya.
“Mama belum selesai bicara.
Kaila bersandar di tembok dengan kedua tangannya yang dilipat di dada. Dia siap mendengarkan keluhan Mamanya lagi malam ini.
“Kamu itu tau gak kalau bar itu bukan tempat untuk main-main?” tanya Mamanya dengan nada tinggi. “Banyak cowok nakal di sana dan kamu itu masih kecil, gak bisa jaga diri. Kalau ada apa-apa gimana?”
Mamanya tidak berhenti sampai situ. Ia menarik lengan baju Kaila yang hanya setipis satu jari. Gadis itu menggunakan dress yang terbuka, memamerkan bahu dan lehernya.
“Ini juga kenapa kamu pake baju kayak gini?” Mamanya menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan anaknya.
Kaila berdecih. Ia memalingkan wajahnya dan tersenyum meremehkan. Mamanya menatap Kaila dengan tajam.
“Menurut Mama aku kayak gini nurut siapa?” tanya Kaila dan menatap mata Mamanya dengan lekat. “Aku nurut Mama.”
“Jaga mulut kamu. Mama tidak pernah ke bar ketika umur sembilan belas tahun.”
Lagi-lagi Kaila terkekeh. “Mama mungkin emang gak pernah ke bar di umur segitu, tapi sejak aku kelas empat SD, Mama hampir setiap hari pergi ke bar.”
Mamanya tidak menjawab apa-apa. Kali ini giliran Kaila yang ingin mengutarakan semua apa yang ada di pikirannya selama ini.
“Sedari kecil aku selalu ngeliat Mama pulang malem dalam keadaan mabuk. Aku bahkan ngeliat Mama keluar dari tempat itu bersama seorang pria yang aku bahkan gak tau itu siapa. Saat itu aku bahkan masih kelas enam SD, Ma.”
Kaila menatap wajah Mamanya dengan marah. Emosinya memuncak. Dia sudah lelah dengan semua ini. Dia menyaksikan Mamanya pulang malam dalam keadaan mabuk, dan terkadang membawa laki-laki yang berbeda setiap minggunya.
Terkadang Kaila akan menginap di tempat Nenek dan Kakeknya, tapi ia tidak bisa terus-terusan menginap di sana karena meskipun secuil, ia masih merasa khawatir pada Mamanya.
Bagaimana dengan Papanya? Haha. Kaila selalu ingin tertawa ketika membahas Papanya. Laki-laki itu selingkuh dan meninggalkan Mama dan dirinya, namun yang paling membuatnya kesal adalah ia membawa Kakaknya. Ya, Kaila dua bersaudara dan Kakaknya tinggal bersama keluarga Papanya yang baru selama ini.
“Baru dua tahun belakangan ini Mama gak pernah lagi ke bar, kenapa? Karena Mama udah jadi selingkuhan om-om tajir!”
Tangan Mamanya mendarat di pipi mulus Kaila. Suara tamparan itu terdengar sangat nyaring dan kuat. Kaila memegang pipinya dan merasakan nyeri di sekujur wajahnya. Matanya bahkan memerah karena tamparan Mamanya begitu kuat.
“Aku malu, Ma. Aku selalu malu punya Ibu kayak Mama.”
“Kalau malu seharusnya kamu pergi dari rumah ini!” Suara Mamanya menggelegar di jam satu malam.
“Iya aku bakalan pergi dari sini, aku sudah lama pengen pergi dari sini. Mama gak usah khawatir, besok aku akan angkat kaki dari rumah ini.” Suara Kaila juga tidak kalah kuat dari Mamanya.
Ibu dan anak ini saling menatap satu sama lain dengan wajah yang marah. Keduanya punya sesuatu yang mereka tidak pernah bisa ceritakan satu sama lain.
“Sekarang.”
“Hah?” ulang Kaila.
“Mama bilang sekarang,” titahnya. “Kamu angkat kaki dari rumah ini sekarang!” Emosi Mamanya sudah memuncak, wajahnya memerah dan tidak menunjukkan keraguan sama sekali.
Kaila tersenyum miring menatap Mamanya. “Mama selama ini udah nunggu-nunggu aku buat pergi dari sini ya?” tanyanya pelan seraya terkekeh. “Baik, aku bakalan pergi dari sini sekarang. Di jam satu malam.”
Kaila menekankan kalimatnya di akhir, dan beberapa detik kemudian Mamanya kembali teringat kalau ini sudah malam dan berbahaya untuk pergi keluar, tapi Kaila tidak peduli. Dia sudah memutuskan untuk keluar dari rumah ini saat ini juga.
Gadis itu pergi ke kamarnya dan mengambil kopernya. Ia menyusun bajunya di sana, membawa beberapa baju, laptop, serta buku-buku kuliahnya. Dua puluh menit kemudian dia keluar dari kamar dengan menyeret satu buah koper besar berwarna hitam. Bajunya juga sudah ia ganti dengan hoodie berwarna abu-abu dan celana jin hitam panjang.
“Aku pergi,” ujar Kaila hendak keluar dari rumah.
“Balikin kartu Mama.”
Kaila mengeluarkan dompetnya dan mengambil satu buah kartu kredit di sana lalu melemparkannya di atas meja tamu. Setelah itu, ia pergi. Benar-benar pergi dari rumah itu.
---
Kaila tidak tahu harus pergi ke mana di tengah malam begini.
Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 01:45 menit. Ia juga sudah duduk di halte selama hampir sepuluh menit. Mobil-mobil masih banyak berlalu-lalang, tapi bus jelas tidak ada lagi.
Pandangannya fokus pada ponselnya. Sedari tadi ia mencari info mengenai kos-kosan atau apartemen yang akan ia tinggali. Beruntung siang tadi ia menarik sedikit uang dari kartu Mamanya, ia juga punya cukup uang karena Papanya terkadang mengiriminya uang meskipun Kaila selalu menolak dan tidak pernah menggunakannya.
Ia yakin uang dari Papanya selama beberapa tahun terakhir ini sudah berjumlah tiga puluh juta lebih di rekeningnya. Kali ini ia akan menggunakannya karena ia tidak punya pilihan lain. Dia juga butuh uang untuk menyewa apartemen.
Kaila memutuskan untuk menyewa satu buah apartemen, tapi ketika melihat harga satu tahunnya, ia mengurungkan niatnya. Terlalu mahal, begitulah pikirnya.
Tangannya masih sibuk menggulir layar ponselnya dan mencari-cari mengenai rumah kontrakan, apartemen, atau kosan yang murah. Dua menit kemudian, ia menemukan sesuatu.
Sharing Apartment di Jalan Cempaka, 11jt per tahun. Kamar dua, toilet di dalam kamar. Balkon. Nyaman.
Kaila melihat foto-foto yang di upload oleh pengguna twitter tersebut. Ia tertarik. Apartemennya bagus dan harganya setengah lebih murah dari yang sebelumnya karena ini sharing alias berbagi dengan orang lain. Tidak masalah.
Tanpa pikir panjang lagi dan juga karena matanya sudah sangat berat, kepalanya juga masih sedikit pusing karena mabuk walaupun ia sudah sadar sepenuhnya saat ini. Kaila mengirimi pesan pada pengguna twitter tersebut.
Awalnya Kaila takut kalau orang itu sudah tidur, tapi ternyata ia mendapat balasan saat itu juga.
@K_sa : Bisa langsung datang ke lokasi ya.
Malam itu, Kaila resmi pergi dari rumahnya dan sekarang ia sedang menuju tempat tinggalnya yang baru bersama orang yang ia tidak tahu siapa.
Kaila memencet bel pintu yang bernomor 048.Terdengar suara langkah kaki dari dalam apartemen itu dan tidak lama kemudian pintu apartemen terbuka. Kaila terkejut, begitu juga dengan orang itu. Mereka berdiam diri selama hampir satu menit di sana.“Cowok?” tanya Kaila ragu. Ia benar-benar tidak tahu kalau orang yang akan berbagi apartemen dengannya adalah seorang laki-laki.“Ya lo liat aja, gue cowok apa bukan,” balas pemuda itu, tidak ramah sama sekali.Kaila tidak percaya dengan balasan yang ia dapat barusan. Ia ingin membatalkannya tapi ia juga sudah mentransfer separuh uangnya di jalan tadi sebagai DP, ditambah ia benar-benar sudah mengantuk saat ini.“Jadi atau enggak?” tanya cowok itu lagi. Ia masih berdiri di depan pintu dengan kaos putih yang melekat di tubuhnya dan celana pendek di atas lutut.“Jadi,” jawab Kaila dan menerobos masuk.Pemuda itu mengeluh kesakitan karena roda koper Kaila mengenai jari kelingking kakinya namun gadis itu hanya mengangkat tangannya sebagai isyarat
Tubuhnya terasa sangat segar karena baru selesai mandi.Kaila menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya dan mencium wanginya yang menenangkan. Kaila selalu menyukai minyak wangi yang beraroma soft seperti vanilla, dia tidak bisa dengan minyak wangi yang menyengat. Kepalanya akan langsung pusing ketika mencium wanginya.Sekarang ia sedang bersiap-siap untuk ke supermarket dan belanja keperluan yang ia butuhkan di tempatnya yang baru ini. Ia juga harus membeli beberapa sprei karena semalam ia tidur tidak menggunakan sprei, tapi barang lain seperti lemari, meja kecil, dan semua yang ia butuhkan sudah lengkap di sana. Ia hanya harus membeli beberapa saja.Topi putih melekat di kepalanya, hoodie yang semalam masih ia pakai karena ia malas mencari baju-baju santainya, celana jin hitam semalam juga masih ia kenakan. Kaila tidak terlalu peduli dengan penampilan sebenarnya, tapi kalau ke bar, dia memang akan lebih berdandan dan memakai baju yang sesuai dengan suasana di bar.Kaila membuka bungkus
Kaila sudah lama tidak mengendarai sepeda.Mungkin ini kali pertamanya sejak enam tahun yang lalu, seingatnya terakhir kali ia bersepada ketika sedang menginap di rumah Kakek dan Neneknya, ia meminjam sepeda milik sepupunya yang ada di sana. Dia punya sepeda di rumahnya tapi dia sudah tidak pernah memakainya karena itu akan mengingatkan dirinya akan kenangan bersama Kakaknya.Kaila sedikit kesusahan pada awalnya, karena ini kali pertama sejak enam tahun ditambah dengan ia membonceng seseorang yang beratnya hampir sama dengannya. Rania juga beberapa kali bertanya pada Kaila apa ia bisa mengendarai sepeda karena Kaila selalu ke sana ke mari, masih berusaha menyeimbangkan sepedanya.“Gue bisa,” ujarnya dan masih berusaha mengayuh sepeda ke rumah sakit.Mereka sudah melewati apartemen Kaila dan juga kampus Kaila, di depannya berdiri gedung besar berwarna putih dengan tulisan Rumah Sakit di depannya dan juga di atas gedungnya.Kaila mengambil tas belanjaannya dari tangan Rara. Mereka berdu
Angkasa sudah bertemu dengan banyak orang dan dengan banyak sifat, tapi ini kali pertama ia bertemu dengan orang yang sifatnya seperti ini.Sebelumnya ia tidak pernah bertemu seseorang yang seperti Kaila. Seseorang yang menolak bantuan, seseorang yang enggan menjawab pertanyaan darinya, seseorang yang bahkan tidak ingin akrab dengannya. Ini pertama kalinya bagi Angkasa.Bertanya tentang keadaan saja tidak boleh? Pikir Angkasa.Ia masih duduk di meja dan memandang Kaila yang sedang membelakanginya dan sedang memasak mie untuk dirinya sendiri. Angkasa teringat akan sesuatu ketika gadis itu sedang pergi ke luar.“Lo kuliah di kampus sini juga ya?” tanya Angkasa.“Iya,” jawab Kaila tanpa menoleh.Angkasa ingin marah tapi setidaknya ia menjawab pertanyaannya kali ini dan tidak menjawab ‘jangan sok akrab’.“Lo gak tau gue siapa?” tanyanya lagi.Kaila menghela napasnya. “Gak,” balasnya.“Lo semester berapa dan jurusan apa?”Kaila berbalik. “Lo denger gak kata gue barusan?” tanya Kaila dengan
Kaila terbangun.Tenggorokannya terasa sangat kering dan ia tidak punya air di dalam kamarnya. Dengan gerakan yang malas, ia berusaha untuk bangkit dan keluar kamar menuju dispenser yang ada di dapur.Ia membuka kamarnya dan berjalan dengan mata yang masih setengah terpejam. Tidak menyadari kalau Angkasa ada di sofa depan televisi, pemuda itu menatap Kaila dari belakang dan melihat gadis itu yang berjalan dengan pelan menuju dispenser mereka.Angkasa tidak mengatakan apa-apa, ia kembali berkutat dengan laptop dan proposal yang harus ia selesaikan hari ini. Ya, hari ini, karena sekarang sudah jam tiga pagi.Kaila berbalik dan meminum airnya tapi tiba-tiba ia terkejut dan menjerit, gelas yang ada di tangannya terlepas menghantam lantai dan pecah. Serpihan kaca mengenai kakinya dan berdarah.“Kenapa?” tanya Angkasa yang entah sejak kapan sudah ada di dekat Kaila. Raut wajahnya terlihat terkejut juga dengan teriakan gadis itu.Kaila memegang dadanya. “Gue kaget anjir. Gue kira lo hantu,”
“Lo pernah ciuman gak?”Angkasa tidak segera menjawab ketika mendapat pertanyaan itu dari gadis yang ada di sampingnya saat ini. Ia mengerutkan dahinya heran karena Kaila tiba-tiba menanyakan sesuatu yang seperti itu.“Kenapa?” tanya Angkasa balik.Kaila memutar bola matanya. “Lo bisa gak kalo gue nanya tuh jawab aja, jangan malah nanya balik?”Angkasa tersenyum miring. “Peraturan nomor lima, ingat? Jangan sok akrab.” Angkasa membalikkan omongan Kaila tadi sore. Memangnya hanya Kaila yang bisa begitu? Ia juga bisa.Kaila mengangkat tangannya di depan dada. Ia mengangguk. “Oke,” balasnya dan berdiri dari duduknya.“Lo pernah?” tanya Angkasa tiba-tiba.Kaila masih berdiri di tempatnya, alisnya bertaut tidak mengerti dengan pertanyaan Angkasa yang tiba-tiba.“Ciuman,” jelasnya. “Lo pernah?”Kaila tidak segera menjawab. Ia menunduk dan mengambil kotak P3K di atas meja, setelahnya ia kembali berdiri dan menatap Angkasa dengan kotak P3K yang ada di tangannya.“I’m good at that,” jawabnya. I
Sinar matahari menyerang Kaila dengan begitu semangat.Saat ini, Kaila duduk di salah satu kafe yang cukup jauh dari kampus dan apartemennya. Sembari menyesap americanonya, ia mengedarkan pandangannya dan menunggu seseorang datang.“Kaila Renasya ya?” tanya seseorang yang memakai celemek.Kaila mengangguk dan mendudukkan cup kopinya di atas meja. Ia mengelap tangannya dengan terburu-buru dan menyambut tangan orang itu.“Kita langsung aja ya mulai wawancaranya,” ujar orang itu. Kaila mengangguk. “Saya Adrian, pemilik kafe ini.” Ia memperkenalkan dirinya.Kaila mengira orang yang ada di depannya ini sekitar umur tiga puluh lebih. Ia pikir akan lebih tua dari ini, tapi ternyata masih cukup muda.“Saya sudah baca lamaran kamu, dan kamu ngelamar di posisi bersih-bersih piring dan gelas, bener?”“Ya, benar,” jawab Kaila.“Kenapa ngelamar di posisi itu?” tanyanya dan membuat Kaila sedikit kebingungan. “Maksudnya kenapa gak jadi barista atau yang nganterin kopi ke tamu-tamu?” tanyanya lebih m
Suara pintu berbunyi.Kaila melangkahkan kakinya masuk ke apartemen. Kepalanya pusing dan pandangannya tidak jelas. Jordan mengantarnya, sama seperti biasa. Jordan memang satu-satunya teman yang tidak meninggalkan dirinya meskipun ia sudah tahu latar belakang Kaila.Kaila mengambil satu buah gelas dan mengisinya dengan air. Tenggorokkannya terasa sangat kering meskipun ia sudah minum banyak di bar tadi.“Aish.” Ia memegang bibirnya yang luka karena pemuda tadi. “Kenapa digigit sih?” keluhnya.Ciuman mereka berdua terjadi cukup panas. Kaila ingat ketika ia menekan kepala pemuda itu untuk terus mempertahankan dan memperdalam ciumannya, tapi bukan berarti ia boleh menggigit bibir Kaila.“Lo baru pulang?”Angkasa keluar dari kamarnya dan melihat Kaila dari atas kepala sampai kaki. Ia mengerutkan dahinya dan terkejut dengan keadaan gadis yang ada di depannya. Penampilannya cukup kacau, dan ia benar-benar terlihat mabuk.“Lo mabok?” tanya Angkasa lagi dan berjalan mendekat. “Ow, lo minum be