Share

Perjodohan

     

    Setelah semua usai, satu persatu pamit undur diri. Tapi tidak dengan pria yang sekarang hanya bisa membatu di atas kursi kayu yang mulai keropos dimakan rayap. Bingung, ia harus berbuat apa setelah statusnya berubah menjadi seorang suami. Ada wanita yang kini menjadi haknya. Ada keluarga yang sebelumnya bukan siapa-siapa untuknya. 



   "Pak Fajrul, sepertinya ponsel Anda berbunyi," tutur Una, masih berdiri di ambang pintu setelah mengangkat jemuran sebelum langit semakin petang. 



   Gegas pria itu mengambil gawai yang diletakkan di jok motornya. Panggilan yang sebenarnya tak terlalu diharapkan. Namun harus diterima karena biar bagaimanapun, statusnya masih seorang anak yang memiliki kedua orang tua di kota. 



   Kabar yang tak sedap baru saja diterima. Ayah Fajrul tengah terkapar di sumah sakit sore ini. Mengharuskan Fajrul untuk kembali ke kota asalnya. Namun, bagaimana dengan sang istri? Mana mungkin dia pergi di hari pertama pernikahannya. 



   "Mohon maaf, bukannya saya menolak ajakan Pak Fajrul untuk bertemu keluarga besar di kota. Tapi, saya rasa ini bukan saat yang tepat untuk memperkenalkan saya sebagai istri Pak Fajrul. Lagipula, Ayah Pak Fajrul sedang sakit, 'kan? Takutnya beliau malah down setelah mengetahui hubungan kita," kilah Una sebagai penolakan halus. Setelah Fajrul mencoba mengajaknya pulang ke kota. 



   Bukan hanya alasan itu. Una belum tega meninggalkan anak-anak di kampung yang setiap sore setia belajar ilmu agama dengannya. Sementara kondisi Mbah Aab yang renta, tak tega jika harus ditinggal seorang diri dalam waktu yang lama. 



   "Baiklah, saya mengerti maksud kamu, Dek. Tapi, apa tak masalah jika saya meninggalkanmu untuk sementara waktu? Sementara kita baru saja menikah," ujar Fajrul, tak enak hati. 



   Una menggeleng disertai senyuman ikhlas. Ia benar-benar tak masalah jika sang suami harus pergi. Ia pun mempersilakan pria itu untuk segera bersiap. Karena tak baik mengulur waktu sebelum semuanya terlambat. 



   Akhirnya, dengan berat hati Fajrul pamit dari hadapan istri juga kakek mertuanya. Sesekali menatap wanita cantik yang begitu teduh tiap kali dipandang. 



   Di atas motornya, ia bersiap untuk tancap gas. Namun urung sekejap. Ia belum rela meninggalkan Una di sana. 



   "Tunggu saya kembali. Nanti kalau kita berjumpa lagi, saya harap tak ada panggilan "Pak Fajrul". Sepertinya panggilan "Mas" lebih indah," gurau lelaki itu dengan senyum yang menawan. 



   Hanya bisa tertunduk malu. Dibuat mabuk kepayang oleh gombalan sang suami yang tak seberapa. Namun terasa menggelitik hati Una yang tengah berbunga. 



***

  Tergesa pria itu berjalan ke dalam rumah mewah berlantai tiga. Pagar besi nan kokoh menjulang tinggi. Penutup juga sebagai pengamanan untuk rumah pengusaha sukses yang tak lain adalah keluarga Fajrul Falah bin Luqmanul Falah. 



   Begitu kaki kanan memasuki ambang pintu yang terbuka lebar untuknya, kedua netra Fajrul disuguhkan dengan pemandangan tak sedap. Para manusia yang masih asing, duduk memenuhi ruang tamu yang luas. Dengan jamuan berbagai ragam makanan juga buah-buahan segar di atas meja kaca yang mengkilap. 



   Merasa dibohongi, hanya bisa menahan kecewa yang tak ada ujungnya. Marah, namun harus ditahan demi menjaga kehormatan nama baik keluarga Luqman yang terpandang. Fajrul melangkah pelan ke arah sang bunda. Bertekuk lutut untuk bersalaman dengannya. Lanjut pada sang ayah yang duduk di sebelahnya. 



   Tak ada senyum yang terulas. Perasaan tak enak melanda Fajrul karena mencium rencana tak sedap di dalam rumah ini. Sementara di ujung sana, ada gadis cantik yang menundukkan pandangannya. 



   "Alhamdulillah, akhirnya putra saya sudah pulang. Bisa kita mulai acaranya," tutur Pak Luqman dengan ramah. Tatapannya lurus pada pria yang duduk berseberangan dengan beliau. 



   Manggut-manggut bergantian, semuanya setuju nan lega. Namun tidak dengan raut Fajrul yang tak tahu apa-apa di sana. Ia menoleh ke arah wanita di sebelahnya—Bu Fatimah—sang bunda. 



   Bapak-bapak berkumis tipis dengan songkok putih susu, membuka dengan sambutan cukup panjang. Hingga sampai pada penyampaian inti kedatangan mereka di rumah itu. 



   Sontak wajah Fajrul memerah. Setelah telinganya berhasil diusik oleh kata perjodohan. Bukan terlalu percaya diri, namun ia yakin bahwa dirinyalah yang akan dijodohkan di sini. Karena Fajrul adalah anak semata wayang dari Luqman bersama istrinya. 



   Bu Fatimah meraih tangan putranya. Lanjut menggenggamnya dengan erat. Beliau mengangguk dengan senyum yang penuh arti. Kedua netra itu tak bisa berbohong, beliau sebenarnya tak sependapat dengan suaminya. 



   "Bagaimana, Nak Fajrul? Apakah kamu sudah siap hidup bersanding dengan putri saya?" 



   Pertanyaan itu menusuk kalbu pria yang baru beberapa jam lalu mengucap janji suci di hadapan kakek mertuanya. Kali ini, ia mendapat penawaran yang bisa membuatnya gila. Sementara ia tak bisa jujur dengan statusnya sebagai lelaki yang beristri. Karena hanya akan dianggap lelucon juga tameng untuk menghindar dari perjodohan. 



   Tenang, memutar pikiran untuk mencari jawaban yang tepat. Tanpa melukai pihak manapun, Fajrul harus bersikap bijak di hadapan keluarga besar wanita yang sama sekali tak dikenalnya. 



   Sedikit berdeham, lalu mengatur napasnya agar lancar. Fajrul menatap satu persatu wajah para insan di hadapannya. Kecuali wanita diujung yang memang belum mendongak sedari tadi. 



   "Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk bersilaturahmi di rumah kami. Dengan niat yang mulia juga ketulusan hati, patutlah kami sekeluarga merasa bangga. Namun, untuk masalah perjodohan yang saya rasa masih sepihak. Tentu kurang adil bagi saya karena saya sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Bukan bermaksud menolak atau menggantung. Tolong beri saya waktu," jawab Fajrul, cukup panjang. 



   Ada yang tak terima dengan jawaban Fajrul. Tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri. Beliau langsung menatap tajam putranya. Rahangnya menggertak hingga otot-otot terlihat dari luar. 



   "Bukan tanpa alasan, sekali lagi saya mohon maaf. Karena masih banyak anak-anak di kampung yang menjadi tanggung jawab saya sebagai pendidik. Tentu jika saya berumah tangga, pasti harus berpisah dengan mereka. Jujur, saya belum sanggup," imbuhnya, dengan nada memelas. 



   Belum adanya keputusan yang pasti, membuat keluarga pihak wanita bergegas pamit. Sedikit kecewa namun mereka masih bisa menerima alasan Fajrul yang memang masuk akal. 



   Firasat buruk kembali terbesit di benak Fajrul. Setelah para tamu pulang, pasti akan ada keributan di rumah bak istana itu. Memilih diam, karena sudah hafal dengan karakter orang tua yang cenderung keras terhadapnya. 



   "Siapa yang mengajarimu seperti itu. Mereka pasti malu karena tak mendapat jawaban darimu. Sebenarnya kau ini anak macam apa? Tak mau patuh pada orang tua sendiri, hah?!" 



   Sudah tak heran dengan kata-kata yang terdengar kasar. Itulah salah satu sebab mengapa Fajrul memilih hidup mandiri. Mengabdikan diri di sebuah kampung tanpa bayaran sepeserpun. Padahal, harta benda sang ayah yang jelas akan diwariskan padanya sebagai pewaris tahta tunggal.

   Tak mau menentang sang ayah, Fajrul pun pamit untuk kembali ke kampung Sahara—julukannya. 



   "Fajrul pulang karena kabar bahwa Ayah sedang sakit. Namun, Alhamdulillah. Ternyata Ayah baik-baik saja. Jadi, Fajrul izin kembali." 



   Dengan tas ransel hitam yang mulai lusuh, Fajrul pergi dari hadapan kedua orang tuanya. Nahasnya, ia mendapat perlakuan kurang baik dari lelaki paruh baya yang kini mengepalkan kedua tangannya. 



   Plak! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status