Tania menuruni tangga dengan wajah pucat pasi. Ia baru saja memuntahkan semua sarapan yang baru saja masuk ke dalam perutnya. Itu sudah terjadi selama dua minggu terakhir.
“Tan, kalau sakit kamu gak perlu kerja.” Mama menahan anak bungsunya diujung tangga. “Aku gak papa, ma." Mama mengusap lengan Tania yang terbalut blazer, “Mama tahu ini berat untukmu. Masalah Romi.... tidak perlu dipikirkan. Mama yakin kamu akan bertemu dengan pria yang tepat suatu saat.” Tania tersenyum kecut, “Aku berangkat, ma.” “Tan, mending kamu berangkat dengan papamu, ya? Kalian memang tidak satu kantor, tapi itu pasti gak masalah.” Tania mengangguk. Perutnya terlalu mual untuk banyak bicara, “Aku tunggu di ruang tamu.” Di ruang tamu, Tania belum sempat duduk di sofa, karena terdengar langkah kaki besar berasal dari tangga. Dimana ketika ia membalikkan badan, papanya yang dikenal sangat tegas menuruni tangga dengan wajah yang sudah lama tak ia lihat menahan marah seperti ini. Tania melihat mama menunggu papa diujung tangga. Ia tahu, sesuatu yang tidak beres sudah terjadi. “Pa? Ada apa?” tanya mama khawatir. “Tania! Apa ini?” lelaki berusia enam puluhan itu melempar sebuah tespek bergaris dua. Tania menganga. Kedua matanya langsung merah menahan buliran panas yang siap turun kapan saja. “Jelaskan, apa yang papa lihat barusan!” Mulut Tania bergetar. Ia yang baru menapaki area ruang keluarga hanya bisa berdiri mematung menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Tak ada yang bisa Tania lakukan selain menatap mama yang kini berdiri dibelakang tubuh papa. Ia meminta bantuan agar papa ditenangkan meski tidak mungkin. Tania melirik muka dapur, dimana beberapa asisten rumah tangga bersembunyi menguping. Itu sudah biasa terjadi, tapi kali ini ia berharap apa yang akan dibahas tidak mereka sampaikan pada antar ART komplek rumah. “Kamu punya mulut tidak? Jawab!” Tania kesulitan bernafas, “Aku—” “Siapa ayahnya? Bilang pada papa!” Buliran hangat itu akhirnya turun. Tania menundukkan kepalanya serendah mungkin agar terlihat merasa bersalah. “Akan ku pancung kepalanya karena sudah menodai kehormatan keluarga Winata!” “Pa, pelankan suaranya. Tania pasti takut.” Papa melirik mama, “Bawa anakmu kesini!” Mama berusaha melunakan hati suaminya, tapi bukan papa namanya jika akan luluh begitu saja. Mama sama bingungnya, sehingga perempuan cantik berkonde itu hanya bisa menurut. Beliau menghampiri Tania dan terpaksa membawanya ke hadapan papa. “Berani kamu melakukan itu, Tania? Mau ditaruh dimana wajah papa? Hah?” Hanya isak tangis yang terdengar dari mulut Tania. Papa memegang kedua bahu anaknya, “Bawa lelaki itu kesini!” “Aku—tidak tahu orangnya, pa.” Tania mati-matian menjawab disaat hatinya remuk ketika hanya memiliki satu jawaban dari semua tanya papa. “Apa maksudmu? Bukan Romi yang melakukan itu?” Tania menggeleng. Papa beradu pandang dengan mama. “Tan, jadi siapa lelaki itu? Bilang pada kami.” Mama berusaha tenang meski hatinya sama bergemuruhnya dengan Tania. “Aku gak tahu, ma. Dia—aku gak ingat wajahnya.” PLAK! Satu tamparan melayang. “Pa!” pekik mama. Meski salah, tidak sepatutnya Tania diberikan tamparan itu. “Kamu menyerahkan tubuh kamu pada orang asing? Dimana otak dan harga diri kamu?” “Aku minta maaf, pa.” suara parau itu beradu dengan isak tangis yang semakin mengencang. “Kamu pikir maaf bisa membuat nama keluarga kita tetap baik?” “Aku—akan gugurkan anak ini.” “Dimana? Di dukun beranak? Di dokter kandungan ternama? Kalau hanya anak itu yang mati. Kalau kamu ikut mati, papa harus bilang apa pada orang-orang? Anakku mati karena aborsi?” Mama mengusap lengan papa, “Pa, tenang dulu.” Papa menatap mama penuh amarah, “Kenapa harus tenang? Perutnya akan terus membesar, ma. Bagaimana mungkin papa tenang?” “Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik. Kasian Tania.” Papa tidak mengindahkan teguran mama, “Kamu tidak usah bekerja! Keluar dari kantormu!” Tania menggeleng. Ia tidak mungkin resign dari kantor karena baru dua bulan menjadi manager keuangan sesuai mimpinya. “Kenapa? Kamu tidak malu kalau ketahuan hamil? Pantas saja beberapa hari ini kamu terus muntah. Karena ada janin sialan itu di tubuhmu?” Tubuh Tania ambruk. Ia tidak kuat terus disalahkan. Ia juga tidak pernah mau ada janin itu diperutnya. Ia bahkan tidak ingat sama sekali dengan perbuatan haramnya. Yang ia tahu, ketika bangun di kamar bar, inti dirinya sakit, hanya itu. Ia pikir itu adalah efek dari minuman alkohol yang diminum berlebihan. Ia tidak mengira sudah kehilangan mahkota yang selama ini dijaga baik. “Diam di rumah dan tunggu papa mengambil keputusan.” Papa berjalan cepat meninggalkan ruang tengah. Mama yang kebingungan tidak tahu harus bagaimana. Menyusul papa atau menenangkan Tania. Tapi akhirnya yang dilakukan adalah menenangkan anak bungsu kesayangannya. Untuk papa, nanti mama akan datang ke kantor membicarakan ini. “Sayang, kamu gak papa?” Tania tak mampu menjawab. Ia hanya bisa menangis. Di liriknya lawang dapur. Mama mengikuti mata Tania melihat, “Jangan sampai berita ini terdengar orang lain. Kalian paham?” Tidak ada jawaban. “Kalian paham tidak? Atau mau saya pecat?” Beberapa Asisten Rumah Tangga saling dorong untuk menunjukkan diri pada wajah sang majikan. “Ba-baik, bu. Kami tidak akan membocorkan berita ini.” “Pergi sana!” Ketiga Asisten Rumah Tangga itu pergi cepat sebelum mama tambah marah karena ketahuan menguping. Mama kembali fokus menatap wajah Tania. Di elusnya punggung tangan Tania, “Semuanya pasti akan baik-baik saja, Tan. Papa tadi cuma—kaget.” “Sekarang aku harus apa, ma?” suara itu sangat lirih hingga nyaris tak terdengar. “Ikuti pinta papa dan kita akan cari solusi sama-sama. Yang penting kamu dan—” mama mengelus perut Tania yang masih rata dengan tangan bergetar, “Dia baik-baik saja.” Tania menatap mama takut, “Papa—akan maafin kesalahan aku ‘kan, ma?”Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan
Tiga tahun kemudian.... “Mama! Aku mau liat mama Wini ke rumah sakit!” teriak Noah sambil berlari-lari membawa selembar kertas yang sudah ia gambar. “Iya, tapi adek harus mandi dulu.” tutur Tania sambil membuka baju Seraphina, adik Noah. “Memang adek boleh ikut?” “Nggak, adek di rumah sama nenek. Tapi adek harus mandi dulu. Kakak Noah tunggu di depan ya, sama pak Udin.” “Oke.” Noah berlari ke depan, memamerkan gambarnya berisi dua mama, satu ayah, dirinya dan Seraphina. “Sayang...” “Aku di kamar bawah, mas!” Adrian menghampiri Tania. Ia mengecup pucuk kepala istrinya dari belakang, “Noah mana?” “Dia di depan. Dia begitu tidak sabar bertemu Wini.” Adrian tertawa. “Dia begitu tidak sabaran mirip kamu.” “Apa yang kamu katakan? Bukankah itu kamu?” Tania mendelik kesal, “Kalau kita tidak sabaran, Seraphina tidak akan ada di dunia ini.” “Mau aku tolong mandikan Sera?” “Tidak. Kamu temani Noah saja. Dia membawa oleh-oleh untuk Wini.” “Baiklah. Aku tunggu di de
Sudah satu minggu semua masih sama. Wini masih di ICU setelah dilakukan operasi untuk mengeluarkan pendarahan dalam jaringan otaknya. Ia terus berada di kesadaran koma, membuat Adrian dan Tania kehilangan minat hidup seperti semestinya. Mereka sama-sama tidak bicara dengan siapapun. Baik Adrian maupun Tania, merasa apa yang menimpa Wini belum bisa mereka terima. “Tania, Adrian, lebih baik kalian pulang. Mama yakin Wini akan segera bangun.” “Betul. Kita tidak pernah putus mendoakannya disini. Pulanglah, demi Noah.” Adrian melirik mama dan papa. Mereka terus menemaninya dan Tania di rumah sakit. Sedang ayah dan ibu belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan urusan mereka di luar negeri. “Mama tahu kalian terpukul. Tapi Wini tidak akan pernah mau kalian begini. Sudah satu minggu kalian tidak pulang. Kasihan Noah.” Adrian menggenggam tangan Tania, “Mama dan papa ada benarnya. Kita pulang. Kita masih memiliki tanggung jawab pada Noah.” “Wini...” “Iya, aku tahu kamu
Tania tidak bisa tidur mengingat ancaman mama Wini. Tadi begitu ia jatuh, ia langsung bangkit dan pergi. Ia menahan rasa nyeri dan takut pada Wini dan Adrian. Ia tidak mau merusak momen. Ceklek. “Kamu belum tidur?” Adrian mendekati ranjang. “Mas? Kenapa kesini? Ini jadwalmu bersama Wini.” Adrian tersenyum, “Kami sudah selesai.” “Lalu?” Tania takut Adrian akan minta jatah saat pikirannya sedang kalut. Adrian mengelus lengan Tania, “Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin tidur disini, memelukmu sampai pagi.” “Mas, lebih baik kamu tidur bersama Wini. Kamu bisa memeluknya sampai pagi.” “Dia memintaku kesini. Dia kelelahan dan tidak ingin diganggu.” “Hm begitu. Tidurlah disini.” Adrian benar-benar memeluk Tania sampai pagi. Malam ini Noah tidak terbangun untuk minum susu. Ketika di cek popoknya di pagi hari, tidak begitu penuh. Suaminya masih tidur. Tania yang terjaga semalaman enggan membangunkannya. Pintu terbuka. Wini tampak berbeda hari ini. Rambutn
Tania mengumumkan ia dan Adrian tidak jadi bercerai pada semua orang di rumah, juga pada mama-papa. Mereka menyambut berita dengan penuh suka cita. “Bagaimana untuk merayakan ini kita semua makan diluar?” Adrian menawari. “Aku setuju, mas. Aku rasa sedang malas masak. Jadi idemu sangatlah bagus.” “Aku juga setuju. Sepertinya kita perlu menunjukkan pada orang-orang, kalau memiliki dua istri dan berbagi suami tidak selamanya buruk.” Adrian tersenyum. Ia merentangkan kedua tangannya siap dipeluk kedua istrinya. Wini dan Tania memeluk Adrian. “Aku harap hubungan kita terus seperti ini, mas.” Wini menuturkan doanya. “Aku juga. Masalah pasti ada, tapi aku percaya kalau kita pasti selalu bisa melalui semuanya dengan baik.” Tania juga menuturkan doanya. “Pasti. Kita hanya perlu bersabar. Ayo bersiap. Aku tunggu istri-istri cantikku bersama tuan muda, Noah.” Semua tertawa. Wini dan Tania sudah siap. Mereka mengenakan gaun yang sudah dipesan Adrian secara khusus. Semua asi
Tania melirik Adrian, “Mas Adrian bilang, Noah—sakit.” Wini tersenyum, “Noah sehat. Mas Adrian yang sakit.” Tania lagi-lagi melirik Adrian, “Kamu tega membohongiku?” “Aku pikir kamu tidak akan datang, jika aku tidak bilang Noah sakit.” “Kamu tidak perlu bohong!” “Gendonglah Noah. Kamu berikan asi langsung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa jika dia bertanya ketika besar, siapakah yang mengurusnya saat ia masih bayi.” Tania menatap Noah. Ia menerimanya dari Wini, “Jaket ini...” “Noah selalu menangis jika baumu hilang, Tan. Mamamu sering datang kesini membawa baju-baju bekasmu untuk menemani Noah dan—mas Adrian tidur.” Wajah Adrian merah padam. “Jadi sekarang yang merindukanku ada dua orang?” pancing Tania. Wini tertawa, “Aku tinggal, aku akan buatkan kamu masakan yang enak. Berbincanglah dengan mas Adrian.” Tania dan Adrian diam saja setelah Wini pergi. Masing-masing dari mereka tidak tahu harus membicarakan apa. “Kamu tidak perlu memberikanku bodyguard lagi.