Shesa menepikan mobil di sebuah rumah asri, rumah milik Wulan ibunya, satu bulan yang lalu mereka bertemu dan berjanji akan saling mengunjungi. Ini kali kedua Shesa menginjakkan kakinya di rumah ini.
Shesa perlahan membuka pintu pagar berwarna putih yang ukurannya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Terparkir dua mobil di pekarangan rumah milik sang Mama.
Rumah itu terlihat sangat sepi, mungkin Wulan masih berada di restorannya pikir Shesa. Shesa mengetuk beberapa kali pintu rumah itu.
Tak berapa lama suara kunci terputar pun terdengar, perlahan pintu itu terbuka. Seorang gadis berusia 20 tahun, dengan rambut hitam panjang se pundak, hidung yang mancung dan mata yang sama indah dengannya pun berdiri di ambang pintu itu.
Lama mereka saling terdiam, seolah mengamati kemiripan di antara keduanya. Hanya umur saja yang terpaut tujuh tahun.
"Kakak ... Kak Shesa? Kakak ...." Anggi memeluk Shesa yang masih berdiri terpaku tak percaya deng
"Kenapa?" tanya Shesa. "Kenal?" Shesa mengerutkan keningnya. "Uhuk ... uhuk ...." Pandu kembali meneguk air minumnya, mengusap bibirnya dengan tisue yang diberikan oleh Anggi. "Alvin? mungkin orang yang berbeda," ujar Pandu. "Tapi Alvin aku juga pernah menyebut nama Pandu, bisa jadi Alvin yang sama," kata Shesa lalu mengusap layar ponselnya. Shesa menunjukkan Poto Alvin dan dirinya saat di apartemen. "Kenal? Alvin ini?" "Alvin?" Pandu seketika terdiam. "Mas, kamu ditanya Kak Shesa, kamu kenal gak?" tanya Anggi. "Alvin Atmaja ... adik tiri aku," ujar Pandu. Shesa menyandarkan tubuhnya di kursi, dunia ini sungguh kecil, bertemu dengan orang yang satu sama lainnya saling berhubungan. "Mas, kamu serius?" tanya Anggi tak percaya. "Aku anak Budiman Atmaja dari pernikahan siri nya sebelum menikah dengan Mama Paula, mama nya Alvin." Anggi memijat keningnya, bagaimana mungkin bisa bertemu deng
"Dimana Shesa?" tanya Alvin pagi itu pada Pandu. "Ada di kamarnya," jawab Pandu. "Lo hutang penjelasan sama gue," ujar Alvin berjalan masuk ke dalam rumah Wulan. Keadaan di dalam rumah itu sudah sepi, waktu menunjukkan pukul setengah 10 pagi. Anggi jelas saja sedang mengantar Wulan ke restorannya, sedangkan Pandu meminta diri untuk di rumah menunggu kedatangan Alvin. Alvin membuka pintu kamar itu perlahan, Shesa masih meringkuk di atas tempat tidur menghadap ke sisi yang lain. Melihat kekasihnya masih tertidur, Alvin ikut masuk ke dalam selimut, memeluk Shesa dari belakang. Menciumi leher jenjang kekasihnya dan mengeratkan pelukannya. Alvin tahu betul apa yang di rasakan Shesa. Dan dia akan berjuang untuk itu. Tubuh Shesa bergerak, merasakan lengan kokoh melingkar di pinggangnya. Mencium wangi yang menyeruak dari sosok yang dia rindukan. Shesa membalikkan tubuhnya, lelaki itu menatapnya, lalu tersenyum. "Sudah siang, ayo bangun
"Tapi kenapa Shesa gak bialng ke gue!" Alvin menahan amarahnya. "Karena aku takut menerima kenyataan." Shesa menghampiri Alvin, Alvin membuang puntung rokoknya lalu merangkul pundak kekasihnya itu. "Kenapa harus takut? Kenapa nggak bilang saat itu juga, supaya aku bisa menghajarnya saat itu juga," geram Alvin. Mata Shesa sudah berkaca-kaca, dia tahun betul Alvin akan benar-benar melakukan tindakan itu jika Shesa mengatakan yang sebenarnya saat itu. "Beberapa hari setelah pertemuan di ruang meeting itu, dia juga datang menghampiriku. Aku jijik melihatnya, Vin." Shesa menangkup wajahnya, menunduk dan menangis terisak. "Kita harus laporkan ini, Sha," kata Alvin. "Benar kata Alvin," ujar Wulan yang ternyata sudah berdiri di dekat mereka. "Kalian harus tetap melaporkan kejadian ini meski sudah terjadi 10 tahun yang lalu." "Benar, aku yakin bukan hanya Shesa yang menjadi korbannya," ujar Pandu. "Maksud kamu, ini skandal
Dua hari di Tasikmalaya, akhirnya Shesa dan Alvin memutuskan kembali ke Jakarta. Begitu juga dengan Pandu yang akhirnya kembali ke Bandung, sementara Anggi menghabiskan libur semesternya membantu usaha sang Mama. Rencana mereka untuk menjatuhkan Chandra Adhiyaksa sudah mulai tersusun rapi, jika pun akan terendus oleh media, itu adalah konsekuensi yang harus di ambil oleh Alvin apalagi Shesa. "Hari ini masuk ke kantor ya," ucap Alvin pagi itu masih di atas tempat tidur mereka. Shesa menghela nafasnya, "kalo aku berhenti aja gimana? Bukan karena aku takut oleh cibiran orang, tapi lebih menjaga nama baik perusahaan kamu bahkan ... aku masih ragu bisa menatap mata Pak Budiman lama." "Papa dan mama urusan aku, Sha. Kamu nggak perlu mikir ke arah sana, cukup fokus sama aku," ujar Alvin memberikan kecupan di puncak kepala Shesa. "Tetap aku mikir ke mereka, Vin. Interaksiku dengan mereka akan lebih sering karena masalah ini, apalagi mama kamu sempat t
Shesa hanya bisa terdiam saat Minggu pagi Alvin mengajaknya untuk bertemu dengan keluarganya. "Ayo, masuk," ajak Alvin saat mereka tiba di rumah besar itu. "Nggak apa-apa, semua terkendali," ujar Alvin tersenyum lalu merangkul kekasihnya itu. Suami-istri itu sedang berbincang-bincang di sebuah taman yang asri, dua cangkir teh dan beberapa bakery menemani mereka pagi itu. "Pa, Ma," sapa Alvin. Paula dan Budiman Atmaja menoleh kepada asal suara, tidak nampak sedikit senyum pun yang menyambut kedatangan Alvin dan Shesa. "Ma, gimana? udah enakan?" tanya Alvin sambil menautkan kedua pipinya. "Kamu kemana aja?" tanya Paula tanpa menjawab pertanyaan Alvin. Mata Paula beralih pada Shesa, "ini sekretaris kamu itu, kan?" "Ini Shesa, pacar aku dan sekretaris aku juga, Mama sudah pernah bertemu, Papa juga sudah sering bertemu bahkan papa suka cara Shesa dalam mengerjakan pekerjaannya, iya kan Pa?" Alvin merengkuh
"Halo Mas," sapa Alvin pada Pandu yang menjawab telponnya malam itu. "Gimana?" "Gue udah dapet informasinya, ayah mereka tinggal di Bogor, perusahaan Pak Gunawan bangkrut dua tahun yang lalu, perusahaannya di ambil alih oleh Chandra Adhiyaksa, jadi bohong kalo Chandra bilang dia tidak tau keberadaan ayah Shesa." "Bogor?" "Iya, gue lagi pastiin alamatnya, tunggu kabar gue," jawab Pandu. "Jangan lama, Mas ... Mau nikah gue," ujar Alvin. "Sabar, Vin ... bukan cuma lo yang mau nikah, gue juga mau," seloroh Pandu. "Lo cari yang lain kenapa, Mas ... yang bener aja, kakak sama adik nikah sama pacarnya yang ternyata kakak adik juga, gimana ini ceritanya," ujar Alvin terkekeh sambil menghisap puntung rokoknya. "Gue nggak mikirin itu, Vin," ujar Pandu ikut tertawa. "Kebayang Budiman Atmaja pusing liat kelakuan anaknya," ujar Pandu lagi tertawa terbahak-bahak. "Ngobrolin apa?" tanya Shesa memeluk Alvin dari belakang.
Butuh waktu hampir dua jam mencari keberadaan Gunawan, ayah dari Shesa. Mobil yang di kendarai Pandu dan Alvin berhenti di sebuah rumah sederhana berhalaman besar tanpa pagar itu. Setelah memastikan pada beberapa orang yang mereka tanyai bahwa benar itu adalah rumah Gunawan. Beberapa kali mengetuk pintu serta kaca rumah itu, belum ada jawaban dari dalam. Hingga akhirnya Pandu dan Alvin menunggu di teras rumah itu. "Cari siapa?" tanya suara wanita berumur 40 tahunan itu tidak jauh dari tempat mereka duduk. Pandu dan Alvin buru-buru berdiri sambil menunduk tanda hormat. "Kami mencari Bapak Gunawan, apa benar ini rumahnya?" tanya Alvin. "Kalian siapa?" tanya wanita itu lagi. "Kami—" Alvin terdiam. "Kami kerabat dari Pak Gunawan. Pak Gunawan ada?" tanya Pandu. "Sebentar, biasanya jam segini dia ada di taman belakang," ujar wanita itu lagi. "Kalau Ibu?" Alvin mencari tahu siapa wanita ini. "Saya yang merawat
Alvin masih terduduk di sofa kamar Shesa, dia membiarkan Shesa tertidur setelah tangisan itu mulai mereda. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Alvin, Wulan membuka pintu kamar itu perlahan, menghampiri Alvin yang sudah berdiri dari sofa. "Gimana, Tante?" "Tante putuskan sementara Tante tinggal di sini untuk sementara waktu, Tante rasa Tante nggak bisa ninggalin Shesa dan papa nya berdua di rumah ini," ujar Wulan pelan. "Anggi?" "Minggu depan Anggi sudah harus oulang ke Singapura, jadi ... tadi Pandu bilang dia dan kamu akan bergantian menemani kami, hingga kasus ini selesai," ujar Wulan dan Alvin mengangguk tanda paham. "Bagaimana Shesa?" tanya Wulan. "Keadaannya masih sama, aku kira trauma itu tidak akan muncul lagi setelah hitungan 10 tahun Shesa melewatinya," ujar Alvin. "Tante merasa bersalah," ucap Wulan memandangi putrinya. "Bukan saatnya menyalahkan diri Tante, sekarang saatnya kita