Share

Bab 2. Cinta Wanita Berkelas

Pantas itu pembuktian. Bukan sekadar perkataan, apa lagi hanya untuk diangan-angan. 

Arash justru menundukkan pandangan ketika mendapati sang pujaan hati melangkah mendekat. Sikap yang dia tunjukkan sungguh jauh berbeda dibandingkan gema cinta dalam hatinya. Ingin hati menyambut dengan senyuman, tapi yang tercipta justru sikap biasa yang seolah tidak memedulikan keberadaan sang pujaan.

“Bisa pegangkan kameraku sebentar?” tanya Dio usai berdiri tepat di hadapan Varen.

Arash memerhatikan Varen dan Dio dalam diam. Usai Varen memegang kamera digital, Dio merogoh tas ransel, lantas mengeluarkan syal rajut berwarna keabuan. Syal rajut itu lekas dia berikan kepada Varen.

“Terima kasih,” ucap Varen sembari menerima syal, dan bergegas mengembalikan kamera digital milik Dio.

Syal itu adalah milik Dio. Varen sengaja meminjamnya karena iseng, demi bisa mengetahui reaksi Arash. Di luar dugaan Varen, Arash justru bersikap pasif ketika ada Dio. 

Momen temu antara Dio dan Varen berlangsung cepat. Tidak ada basa-basi lagi, hingga Dio pun memutuskan untuk pergi. Akan tetapi, langkahnya justru berbalik lagi. Bukan menuju Varen, melainkan menuju ke tempat Arash yang masih berdiri terdiam.

Arash yang sebelumnya tidak menebak sikap Dio, dia sampai melongo ketika di hadapannya ada Dio. Saat itulah Dio mengambil kesempatan untuk memotret wajah Arash dari jarak dekat. Sekali bidikan, kemudian … Dio tertawa pelan.

“Akan kutunjukkan foto ini pada Ayah Zen ketika makan. Dia pasti akan tersedak kalau melihat wajahmu yang dipenuhi bedak,” terang Dio disusul tawa cekikikan, lantas pergi begitu saja tanpa memedulikan perubahan ekspresi di wajah Arash.

Arash, dia spontan menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Sementara Varen, dia tidak terkejut dengan sikap Dio yang demikian. Selain terkenal humoris, Dio juga dikenal suka usil pada teman. Namun, Arash yang memang memiliki perasaan, dia justru memberi arti spesial.

“Vareeeen! Kau lihat yang barusan itu, kan? Dio memotret wajahku. Mau ditunjukkan kepada ayah pula. Mungkinkah Dio mulai ada rasa kepadaku?” tanya Arash dengan antusias.

Satu sentilan mendarat di dahi Arash. Varen menyentil Arash dengan gemas. Selalu dilakukan pula bila Arash mulai berpikiran melewati batas.

“Sadar-sadar-sadar! Cepat hapus bedakmu yang tebal itu, lalu bergegaslah pulang!” titah Varen.

“Tapi, Ren. Baru kali ini Dio mau bercanda denganku. Kau masih ingat, kan, kejadian sebulan lalu ketika aku diusir Tante Kristal dari rumahnya? Dio ada di sana, tapi tidak membelaku. Dia justru langsung masuk ke dalam rumah bersama ayah. Tapi hari ini dia …. Aaaa!” Arash masih histeris dan bahagia.

“Maaf jika asumsiku berbeda denganmu. Aku kira Dio mulai mencoba akrab, tapi sebagai seorang teman," ungkap Varen tanpa takut-takut.

Mimik wajah Arash berubah sepenuhnya. Kebahagiaan yang tergambar seketika sirna.

“Apa maksud dari kata-katamu itu, Ren?”

"Hanya Tante Kristal yang sejauh ini terang-terangan menyampaikan ketidaksukaan. Sementara Dio, kau, dan aku, kita bertiga adalah teman satu jurusan di perkuliahan meski tidak pernah mencoba untuk lebih mengenal. Ingat kembali, Rash. Tiga bulan lalu adalah puncak kesedihanmu. Aku rasa, Dio hanya menunggu waktu untuk bisa berdamai denganmu. Dan, sekaranglah waktunya,” terang Varen menyuarakan isi pikiran.

Arash, Dio, dan Varen sama-sama berada di jurusan ekonomi dan bisnis. Dari tahun angkatan yang sama pula. Sebagaimana Arash yang akrab dengan Varen, Dio pun memiliki teman-teman akrabnya sendiri. Teman-teman itulah yang sering diberi canda bahkan dijahili oleh Dio.

Tiga bulan lalu, ketika ayah dan ibu Arash resmi berpisah, saat itulah pertama kali Arash mengetahui fakta tentang Dio. Sejak saat itu hingga di detik ini, tidak ada perbincangan. Saat berpapasan jalan atau bahkan di kelas perkuliahan, Arash dan Dio tetap bersikap sebagai teman tanpa keakraban. Arash baru akan menunjukkan reaksi berlebih ketika di depan sahabatnya, Varen.

“Kenapa aku harus berdamai dengan Dio? Kita tidak sedang berperang. Urusanku hanya dengan Tante Kristal,” ucap Arash tiba-tiba usai terdiam sekian detik lamanya.

“Tante Kristal adalah wanita spesial untuk Dio. Dia mamanya Dio, Arash. Secara tidak langsung semuanya saling terhubung. Seharusnya kau sudah paham tentang ini karena kau cukup cerdas. Ah, tapi sepertinya perasaanmu pada Dio itulah yang membuatmu jadi kurang waras.”

Sekali lagi Arash menunjukkan wajah masam, karena bukan hanya di hari ini Varen menunjukkan nasihat tegas. Sudah berulang kali, dan Arash masih belum mengambil sikap tegas. Arash hanya berjalan pada jalur yang dia anggap benar. Bahkan, perasaannya pada Dio tidak berkurang sedikit pun meski lelaki idola kampus itu adalah anak kandung dari wanita yang telah merebut hati sang ayah.

“Satu lagi, seingatku Dio tidak pernah mencari gara-gara denganmu, kecuali di hari ini, yang barusan itu tadi. Lagi pula, bukankah Dio belum tahu kalau kau menaruh cinta? Atau jangan-jangan … kau pernah menyatakan cinta pada Dio?” tanya Varen, curiga.

“Mana ada perempuan yang menyatakan cintanya lebih dulu, Ren. Itu tidak mungkin aku lakukan!” tegas Arash.

“Di luaran sana ada, kok. Kurasa sah-sah saja kalau kau mau mencobanya. Agar kau segera tahu, cintamu bersambut atau justru bertepuk sebelah.”

Arash menggeleng. Dia bahkan menyilangkan kedua tangan untuk mempertegas jawaban. 

“Cintaku terlalu berkelas dan kurasa sikap itu tidak pantas,” tutur Arash.

“Wanita berkelas tidak akan mengejar cinta lelaki, Rash.”

“Aku tidak sedang mengejar cinta lelaki. Aku justru akan merebut hati. Tolong bedakan kata mengejar dan merebut!” tegas Arash sembari menunjukkan mimik wajah yang lebih serius dibanding sebelumnya.

“Riasan wajahmu yang tebal, itu cukup menjadi bukti bahwa kau sudah mengubah penampilan demi lelaki yang kau idamkan!”

“Apa ada masalah dengan itu? Kau tidak suka, ya?” Tatapan mata Arash semakin tajam menghujam. 

Situasi mengeruh. Varen paham betul akan hal itu. Terus berdebat dengan Arash yang keras kepala memang sering kali tidak mudah. Sebenarnya, Arash dan Varen memiliki watak yang sama keras. Hanya saja, Varen lebih suka mengalah untuk Arash. 

“Oke. Terserah kau saja. Aku tidak peduli,” putus Varen.

“Ouh, begitu rupanya. Kau mau menambahkan namamu dalam daftar orang-orang yang tidak peduli padaku?” tanya Arash sambil berkacak pinggang dan mengembangkan senyum penuh makna.

“Tidak! Kau akan tersesat lebih jauh bila tidak ada aku yang bawel menasihatimu. Ayo, lebih baik kita ke kantin saja!” Varen menarik pelan lengan Arash tanpa mengindahkan protes darinya.

Sementara itu di tempat lain, Dio memerhatikan dari kejauhan. Rupanya dia tidak benar-benar pergi. Sedari tadi dia memerhatikan Arash dan Varen tanpa tahu isi obrolan mereka.

“Sepertinya kekhawatiranku salah. Arash terlihat baik-baik saja. Dia tidak terlihat seperti anak yang terbeban karena perpisahan orangtuanya. Arash, semoga kau bisa menerima takdir hidupmu yang baru.” Dio membatin, lantas bergegas pulang ke rumah karena sudah ditelpon oleh sang mama.

Beberapa bulan lalu ketika sang mama meminta izin untuk menikah dengan Zen, ayahnya Arash, Dio menentang dengan keras lantaran sang mama seolah tengah memainkan peran sebagai pelakor. Dan, benar saja. Di kala itu Dio bahkan menyaksikan adu cek-cok antara mamanya dan ibunya Arash. 

Usai sang mama dan Ayah Zen mengaku saling cinta, pada akhirnya Dio hanya bisa pasrah. 

Sejak saat itulah Dio menutup mata terhadap definisi cinta. Nyatanya, cinta tetap menimbulkan luka. Tetapi, pedihnya harus berusaha ditahan demi sosok yang dicinta. Walau bagaimana pun, Dio ingin melihat sang mama bahagia setelah lama menyandang status janda. Satu-satunya yang bisa dilakukan kala itu adalah merestui pernikahan sang mama. Meski setelahnya ada beban di hatinya, yakni perasaan bersalah yang mendalam untuk Arash.

“Ayah Zen kemana, Ma?” tanya Dio begitu sampai di rumah.

“Ayahmu ke pasar. Mama suruh beli sayuran segar," terang Kristal, mamanya Dio.

“Kenapa bukan mama yang pergi membeli?”

“Sekarang ayahmu pengangguran. Sangat pantas bila mama menyuruh ini dan itu. Biar ayahmu itu terlihat lebih berguna."

Satu fakta baru yang belum diketahui Arash, bisnis sang ayah telah bangkrut sejak sepekan lalu.

“Mama tidak boleh bersikap seperti itu pada Ayah Zen. Dulu mama menikah karena cinta. Seharusnya tidak akan jadi masalah bila Ayah Zen sudah tidak memiliki apa-apa,” terang Dio.

“Tentu saja itu jadi masalah. Tanpa uang, kita mau makan pakai apa, ha? Daun singkong?” 

Atas ucapan sang mama, Dio memilih diam. Semakin dilanjutkan, sang mama pasti akan terus memberi sahutan jawaban. 

“Hei, Dio! Mau ke mana lagi kau? Baru pulang sudah mau keluyuran!” teriak sang mama.

“Mau pergi sebentar, Ma!” seru Dio tanpa menoleh ke belakang.

Ada sebuah rencana yang akan Dio jalankan. Dia berniat mencari tempat kerja paruh waktu agar bisa membantu.

“Ayah Zen telah menjadi ayahku. Sebisa mungkin aku harus membantu,” ucap Dio dalam hati sembari mulai menghidupkan mesin motor.

Tetapi, tiba-tiba saja ada tangan yang mencegah kepergian Dio. Setelahnya, tersuguh tatapan tajam tanpa senyuman. Mengetahui hal itu, bola mata Dio spontan melebar. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status