Pantas itu pembuktian. Bukan sekadar perkataan, apa lagi hanya untuk diangan-angan.
Arash justru menundukkan pandangan ketika mendapati sang pujaan hati melangkah mendekat. Sikap yang dia tunjukkan sungguh jauh berbeda dibandingkan gema cinta dalam hatinya. Ingin hati menyambut dengan senyuman, tapi yang tercipta justru sikap biasa yang seolah tidak memedulikan keberadaan sang pujaan.
“Bisa pegangkan kameraku sebentar?” tanya Dio usai berdiri tepat di hadapan Varen.
Arash memerhatikan Varen dan Dio dalam diam. Usai Varen memegang kamera digital, Dio merogoh tas ransel, lantas mengeluarkan syal rajut berwarna keabuan. Syal rajut itu lekas dia berikan kepada Varen.
“Terima kasih,” ucap Varen sembari menerima syal, dan bergegas mengembalikan kamera digital milik Dio.
Syal itu adalah milik Dio. Varen sengaja meminjamnya karena iseng, demi bisa mengetahui reaksi Arash. Di luar dugaan Varen, Arash justru bersikap pasif ketika ada Dio.
Momen temu antara Dio dan Varen berlangsung cepat. Tidak ada basa-basi lagi, hingga Dio pun memutuskan untuk pergi. Akan tetapi, langkahnya justru berbalik lagi. Bukan menuju Varen, melainkan menuju ke tempat Arash yang masih berdiri terdiam.
Arash yang sebelumnya tidak menebak sikap Dio, dia sampai melongo ketika di hadapannya ada Dio. Saat itulah Dio mengambil kesempatan untuk memotret wajah Arash dari jarak dekat. Sekali bidikan, kemudian … Dio tertawa pelan.
“Akan kutunjukkan foto ini pada Ayah Zen ketika makan. Dia pasti akan tersedak kalau melihat wajahmu yang dipenuhi bedak,” terang Dio disusul tawa cekikikan, lantas pergi begitu saja tanpa memedulikan perubahan ekspresi di wajah Arash.
Arash, dia spontan menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Sementara Varen, dia tidak terkejut dengan sikap Dio yang demikian. Selain terkenal humoris, Dio juga dikenal suka usil pada teman. Namun, Arash yang memang memiliki perasaan, dia justru memberi arti spesial.
“Vareeeen! Kau lihat yang barusan itu, kan? Dio memotret wajahku. Mau ditunjukkan kepada ayah pula. Mungkinkah Dio mulai ada rasa kepadaku?” tanya Arash dengan antusias.
Satu sentilan mendarat di dahi Arash. Varen menyentil Arash dengan gemas. Selalu dilakukan pula bila Arash mulai berpikiran melewati batas.
“Sadar-sadar-sadar! Cepat hapus bedakmu yang tebal itu, lalu bergegaslah pulang!” titah Varen.
“Tapi, Ren. Baru kali ini Dio mau bercanda denganku. Kau masih ingat, kan, kejadian sebulan lalu ketika aku diusir Tante Kristal dari rumahnya? Dio ada di sana, tapi tidak membelaku. Dia justru langsung masuk ke dalam rumah bersama ayah. Tapi hari ini dia …. Aaaa!” Arash masih histeris dan bahagia.
“Maaf jika asumsiku berbeda denganmu. Aku kira Dio mulai mencoba akrab, tapi sebagai seorang teman," ungkap Varen tanpa takut-takut.
Mimik wajah Arash berubah sepenuhnya. Kebahagiaan yang tergambar seketika sirna.
“Apa maksud dari kata-katamu itu, Ren?”
"Hanya Tante Kristal yang sejauh ini terang-terangan menyampaikan ketidaksukaan. Sementara Dio, kau, dan aku, kita bertiga adalah teman satu jurusan di perkuliahan meski tidak pernah mencoba untuk lebih mengenal. Ingat kembali, Rash. Tiga bulan lalu adalah puncak kesedihanmu. Aku rasa, Dio hanya menunggu waktu untuk bisa berdamai denganmu. Dan, sekaranglah waktunya,” terang Varen menyuarakan isi pikiran.
Arash, Dio, dan Varen sama-sama berada di jurusan ekonomi dan bisnis. Dari tahun angkatan yang sama pula. Sebagaimana Arash yang akrab dengan Varen, Dio pun memiliki teman-teman akrabnya sendiri. Teman-teman itulah yang sering diberi canda bahkan dijahili oleh Dio.
Tiga bulan lalu, ketika ayah dan ibu Arash resmi berpisah, saat itulah pertama kali Arash mengetahui fakta tentang Dio. Sejak saat itu hingga di detik ini, tidak ada perbincangan. Saat berpapasan jalan atau bahkan di kelas perkuliahan, Arash dan Dio tetap bersikap sebagai teman tanpa keakraban. Arash baru akan menunjukkan reaksi berlebih ketika di depan sahabatnya, Varen.
“Kenapa aku harus berdamai dengan Dio? Kita tidak sedang berperang. Urusanku hanya dengan Tante Kristal,” ucap Arash tiba-tiba usai terdiam sekian detik lamanya.
“Tante Kristal adalah wanita spesial untuk Dio. Dia mamanya Dio, Arash. Secara tidak langsung semuanya saling terhubung. Seharusnya kau sudah paham tentang ini karena kau cukup cerdas. Ah, tapi sepertinya perasaanmu pada Dio itulah yang membuatmu jadi kurang waras.”
Sekali lagi Arash menunjukkan wajah masam, karena bukan hanya di hari ini Varen menunjukkan nasihat tegas. Sudah berulang kali, dan Arash masih belum mengambil sikap tegas. Arash hanya berjalan pada jalur yang dia anggap benar. Bahkan, perasaannya pada Dio tidak berkurang sedikit pun meski lelaki idola kampus itu adalah anak kandung dari wanita yang telah merebut hati sang ayah.
“Satu lagi, seingatku Dio tidak pernah mencari gara-gara denganmu, kecuali di hari ini, yang barusan itu tadi. Lagi pula, bukankah Dio belum tahu kalau kau menaruh cinta? Atau jangan-jangan … kau pernah menyatakan cinta pada Dio?” tanya Varen, curiga.
“Mana ada perempuan yang menyatakan cintanya lebih dulu, Ren. Itu tidak mungkin aku lakukan!” tegas Arash.
“Di luaran sana ada, kok. Kurasa sah-sah saja kalau kau mau mencobanya. Agar kau segera tahu, cintamu bersambut atau justru bertepuk sebelah.”
Arash menggeleng. Dia bahkan menyilangkan kedua tangan untuk mempertegas jawaban.
“Cintaku terlalu berkelas dan kurasa sikap itu tidak pantas,” tutur Arash.
“Wanita berkelas tidak akan mengejar cinta lelaki, Rash.”
“Aku tidak sedang mengejar cinta lelaki. Aku justru akan merebut hati. Tolong bedakan kata mengejar dan merebut!” tegas Arash sembari menunjukkan mimik wajah yang lebih serius dibanding sebelumnya.
“Riasan wajahmu yang tebal, itu cukup menjadi bukti bahwa kau sudah mengubah penampilan demi lelaki yang kau idamkan!”
“Apa ada masalah dengan itu? Kau tidak suka, ya?” Tatapan mata Arash semakin tajam menghujam.
Situasi mengeruh. Varen paham betul akan hal itu. Terus berdebat dengan Arash yang keras kepala memang sering kali tidak mudah. Sebenarnya, Arash dan Varen memiliki watak yang sama keras. Hanya saja, Varen lebih suka mengalah untuk Arash.
“Oke. Terserah kau saja. Aku tidak peduli,” putus Varen.
“Ouh, begitu rupanya. Kau mau menambahkan namamu dalam daftar orang-orang yang tidak peduli padaku?” tanya Arash sambil berkacak pinggang dan mengembangkan senyum penuh makna.
“Tidak! Kau akan tersesat lebih jauh bila tidak ada aku yang bawel menasihatimu. Ayo, lebih baik kita ke kantin saja!” Varen menarik pelan lengan Arash tanpa mengindahkan protes darinya.
Sementara itu di tempat lain, Dio memerhatikan dari kejauhan. Rupanya dia tidak benar-benar pergi. Sedari tadi dia memerhatikan Arash dan Varen tanpa tahu isi obrolan mereka.
“Sepertinya kekhawatiranku salah. Arash terlihat baik-baik saja. Dia tidak terlihat seperti anak yang terbeban karena perpisahan orangtuanya. Arash, semoga kau bisa menerima takdir hidupmu yang baru.” Dio membatin, lantas bergegas pulang ke rumah karena sudah ditelpon oleh sang mama.
Beberapa bulan lalu ketika sang mama meminta izin untuk menikah dengan Zen, ayahnya Arash, Dio menentang dengan keras lantaran sang mama seolah tengah memainkan peran sebagai pelakor. Dan, benar saja. Di kala itu Dio bahkan menyaksikan adu cek-cok antara mamanya dan ibunya Arash.
Usai sang mama dan Ayah Zen mengaku saling cinta, pada akhirnya Dio hanya bisa pasrah.
Sejak saat itulah Dio menutup mata terhadap definisi cinta. Nyatanya, cinta tetap menimbulkan luka. Tetapi, pedihnya harus berusaha ditahan demi sosok yang dicinta. Walau bagaimana pun, Dio ingin melihat sang mama bahagia setelah lama menyandang status janda. Satu-satunya yang bisa dilakukan kala itu adalah merestui pernikahan sang mama. Meski setelahnya ada beban di hatinya, yakni perasaan bersalah yang mendalam untuk Arash.
“Ayah Zen kemana, Ma?” tanya Dio begitu sampai di rumah.
“Ayahmu ke pasar. Mama suruh beli sayuran segar," terang Kristal, mamanya Dio.
“Kenapa bukan mama yang pergi membeli?”
“Sekarang ayahmu pengangguran. Sangat pantas bila mama menyuruh ini dan itu. Biar ayahmu itu terlihat lebih berguna."
Satu fakta baru yang belum diketahui Arash, bisnis sang ayah telah bangkrut sejak sepekan lalu.
“Mama tidak boleh bersikap seperti itu pada Ayah Zen. Dulu mama menikah karena cinta. Seharusnya tidak akan jadi masalah bila Ayah Zen sudah tidak memiliki apa-apa,” terang Dio.
“Tentu saja itu jadi masalah. Tanpa uang, kita mau makan pakai apa, ha? Daun singkong?”
Atas ucapan sang mama, Dio memilih diam. Semakin dilanjutkan, sang mama pasti akan terus memberi sahutan jawaban.
“Hei, Dio! Mau ke mana lagi kau? Baru pulang sudah mau keluyuran!” teriak sang mama.
“Mau pergi sebentar, Ma!” seru Dio tanpa menoleh ke belakang.
Ada sebuah rencana yang akan Dio jalankan. Dia berniat mencari tempat kerja paruh waktu agar bisa membantu.
“Ayah Zen telah menjadi ayahku. Sebisa mungkin aku harus membantu,” ucap Dio dalam hati sembari mulai menghidupkan mesin motor.
Tetapi, tiba-tiba saja ada tangan yang mencegah kepergian Dio. Setelahnya, tersuguh tatapan tajam tanpa senyuman. Mengetahui hal itu, bola mata Dio spontan melebar.
Varen. Dialah yang datang ke ruang perawatan. Mulanya lelaki sahabat Arash itu tampak khawatir, tapi kemudian dia bersikap tengil.“Gimana rasanya ketusuk jarum infus? Enak?” tanya Varen.“Enak, kok. Kau mau coba?” Dio balik bertanya. “Rasa apa?”“Kau sukanya rasa apa, Ren?”“Cappucino cincau.”“Bungkus! Sekarang, kau pergi ke ruang perawat jaga, lalu minta diinfus sepertiku! Jangan lupa bilang yang rasa Cappucino cincau ya.”Varen dengan tanpa sungkan menepuk lengan kiri Dio, lantas tertawa dengan kencangnya.“Karena aku baik, gimana kalau buat kau saja. Ini nih, punggung tanganmu yang satunya masih nganggur,” canda Varen. Hanya candaan biasa, tapi rupanya cukup berhasil membuat Dio jadi ikutan tertawa. Kini, tiada kecanggungan yang tergambar di sana. Suasana menghangat, diikuti sikap Varen yang melembut. “Gimana keadaanmu?” tanya Varen kemudian.“Aku masih beruntung. Hanya luka ringan. Tuh, lihat!”Luka ringan yang dimaksud Dio bukanlah luka lecet biasa, melainkan luka yang sudah
Dio menepis tangan Vina dengan kasar. Dia sungguh tidak nyaman. “Ah, kau nggak asik banget, sih. Yang romantis dikit, dong. Niatku baik, nih, mau bikin tenang,” protes Vina yang tak segan memberondong kata sembari menampilkan wajah jutek.“Bomat! Bod*oh amat!” sahut Dio tanpa melihat ke arah Vina.Sementara Dio masih bersikap cuek dan kukuh pada pendirian, Vina bersedekap tangan. Dia mencoba memahami keadaan, khususnya memahami keadaan Dio yang seolah tengah banyak pikiran.“Kalau misalkan hanya Arash yang aku beri tahu, gimana?” tanya Vina tiba-tiba.Dio langsung menoleh sembari melebarkan bola mata.“Jangan lakukan!”“Ah, ternyata memang benar. Kau memang ada apa-apa sama si Arash sia*lan itu!”“Jaga bicaramu, Vin! Kau tidak tahu apa-apa!”“Aku memang tidak tahu apa-apa, tapi satu hal yang aku tahu, kau sering memperhatikan Arash dari kejauhan dan diam-diam.” Bidikan telak. Tebakan Vina tidak asal. Semua itu berdasar pengamatan, dan benar. Buktinya, ekspresi wajah Dio menunjukkan
Zen mendapati meja makan kosong tanpa makanan. Satu-satunya yang tertutupi oleh tudung saji hanyalah bungkus nasi goreng sisa semalam. Ya, benar-benar hanya tinggal bungkus kertas minyaknya saja. Isinya telah tandas dihabiskan Kristal sejak semalam. “Kau tidak memasak?” tanya Zen begitu melihat sang istri keluar dari kamar mandi.“Malas,” jawab Kristal singkat.“Malas karena tidak ada uang? Bukankah semalam aku sudah membagi 50% keuntungan penjualan es tebu?”Kristal menatap tidak suka ke arah suaminya. Dia tidak suka dibantah. “Perhitungan sekali, sih? Semalam yang kau berikan padaku masih belum cukup untuk mengganti jatah harian yang tidak kau berikan selama seminggu penuh.” Yang dimaksud Kristal adalah ketika Zen mengalami krisis keuangan karena bisnisnya bangkrut. Kedai kopi yang kini mendapat keuntungan banyak karena penjualan es tebu, menjadi satu-satunya bisnis yang memberi harapan bagi Zen untuk mengembalikan kondisi keuangannya yang sempat jatuh. Sayang sekali, respon Kri
Malam begitu cepat menyapa, menyisakan banyak kisah di sepanjang hari yang terasa lelah. Arash tidak tertidur. Dia tengah mengecek jadwal mata kuliah untuk besok. Sempat terbersit dalam hatinya untuk urung izin kuliah lagi, tapi tiba-tiba niatan itu berganti karena teringat dengan kesehatan diri.“Andai ibu tau kalau aku sakit, pasti dia akan memaksaku untuk rawat inap di rumah sakit meski hanya flu. Ibu tidak boleh tahu,” ucap Arash lirih ketika teringat ucapan sang ibu.Bu Lestari, saat ini beliau hanya memiliki Arash sebagai orang terdekat dan satu-satunya yang begitu dipedulikan. Itu sebabnya dia giat bekerja demi mendapat banyak uang guna membantu kebutuhan kuliah Arash. Akan tetapi, yang Arash butuhkan bukan hanya uang, melainkan juga kasih sayang. Bahkan, Arash sering merasa kesepian.“Aku harus bagaimana? Aku sayang ayahku meski dia bukan ayah kandungku. Melihat sikap Tante Kristal yang seperti itu, aku jadi tidak yakin kalau ayah bisa bahagia. Masih lebih baik ketika bersama
“Pil pahit ini tak sepahit kisah hidupku,” ucap Arash usai gagal menelan sebutir pil pereda flu. Sudah masuk ke mulut, tapi termuntahkan kembali karena terasa pahit.Arash kembali menelan obat dari dokter tanpa mengulang kesalahan. Tadi, begitu dia sampai di kos-kosan, Arash memang makan dengan tergesa-gesa, lantas gagal menelan obatnya. Pikiran Arash sungguh kacau, hingga tidak fokus dengan apa yang ada di depan mata. Bahkan, ketika makan pun pikirannya melambung jauh ke mana-mana.“Ibu, aku ingat betul isi pesanmu, tapi aku masih tidak rela bila ayah mengabaikanku. Belasan tahun dia menyaksikan aku tumbuh, masa iya sama sekali tidak ada kasih sayang untukku?”Arash bertanya-tanya sendiri sembari terus terngiang-ngiang isi pesan sang ibu. “Lupakan ayahmu dan jalani takdirmu! Jatuh cintalah pada lelaki yang tepat, sehingga tidak akan kamu temui kisah gagal seperti ibu dan ayahmu!” “Ah! Bagaimana aku bisa melupakan ayah sementara aku semakin rindu akan kasih sayangnya? Oh Tuhan, maaf
“Antar aku pulang!” pinta Arash tanpa berniat menjawab pertanyaan Varen. Ekspresi wajahnya pun berubah. Tidak lagi sendu apa lagi sampai berlinang air mata.Varen terdiam sebentar. Dia melihat ke arah Arash dengan lekat untuk sekian detik lamanya. Hingga dirasa tidak ada lagi kelanjutan obrolan, dia pun memutuskan untuk mengalah dan mengantar Arash pulang.Sepanjang jalan menuju ke kos-kosan Arash sama sekali tidak ada obrolan. Arash hanya diam, duduk tenang di boncengan belakang. Varen pun menghargai kondisi Arash. Dia tetap tenang sembari fokus ke jalanan.“Besok tidak perlu menjemputku. Aku tidak masuk kuliah. Mau istirahat hingga sembuh,” ungkap Arash begitu sampai di depan gerbang kos-kosan.“Oke,” jawab Varen singkat. Sebenarnya dia berat untuk mengiyakan, tapi itulah yang terbaik untuk kondisi sekarang.Kini, lelaki berkacamata yang tampak begitu peduli pada Arash itu pun hanya bisa memandang dalam diam sampai Arash menghilang dari pandangan. Setelahnya, dia melajukan motornya