Katanya, perasaan cinta itu anugerah. Tetapi, kenapa bisa sepilu ini bila bertepuk sebelah?
Nafsu makan Arash seketika hilang. Bahkan, nasi lalapan ayam yang sudah dipesankan oleh Varen dengan begitu saja diabaikan.
Arash, dia baru saja bertemu sang ayah di warung lalapan. Sungguh pertemuan yang tidak disengaja, bahkan ada Dio pula.
Seharusnya pertemuan itu membawa bahagia. Nyatanya, Arash justru diabaikan oleh sang ayah, oleh Dio pula. Pertanyaan Arash sama sekali tidak dijawab. Padahal, dia hanya bertanya kabar sang ayah dan mau makan menu apa. Lebih menyakitkan lagi ketika kedua lelaki yang dicintai olehnya itu kompak memilih pindah tempat makan usai menolak memberi jawaban.
“Orang kalau lagi dicuekin, dia pasti sebal. Apa lagi nasi lalapan ayam. Lama-lama itu ayam bisa hidup lagi cuma buat ngomel,” celetuk Varen lantas kembali mengunyah.
“Candaanmu sama sekali tidak lucu, Ren.”
“Yee, siapa yang sedang bercanda. Aku cuma sedang berusaha membuatmu berbicara.”
Kurang lebih sudah lima belas menit lamanya Arash hanya memandangi piring berisi nasi lalapan ayam tanpa berniat mulai menyuap. Dia juga tidak berucap apa pun.
“Maaf, ya. Tadi seharusnya kita tetap makan di kantin kampus saja. Tidak di sini,” tutur Varen lagi, tapi kali ini makanan di piringnya sudah habis. Yang tersisa hanya makanan milik Arash.
“Hm? Bukankah kau yang selalu menasihati aku tentang kelapangan hati? Tidak ada yang perlu disesali, Ren. Pertemuanku dengan ayah, bahkan Dio, itu semua bukan kebetulan. Lagi pula, kalau tidak bertemu, aku jadi tidak tahu perkembangan sikap mereka kepadaku.”
Kalimat Arash terjeda. Dia tersenyum kecut, lantas mulai meneguk es teh yang juga telah dipesankan oleh Varen.
“Karena tidak sedang bersama Tante Kristal, kukira ayahku akan menunjukkan kepedulian. Nyatanya dugaanku salah. Parahnya lagi, Dio juga menunjukkan sikap yang sama. Entah ke mana sikap ramah yang tadi dia tunjukkan saat di kampus,” imbuh Arash sembari menunjukkan kekecewaan yang begitu kentara.
Harapan yang terlampau tinggi memang sering kali menimbulkan kekecewaan dalam hati. Ekspetasi memang tidak seindah realita. Berharap bisa bahagia, tapi yang tersuguh justru perasaan kecewa.
“Lalu, apa kau akan menyerah?” tanya Varen blak-blakan.
“Aku tidak berniat untuk menyerah. Aku … sedikit kecewa, sih. Tidak habis pikir saja. Kok bisa, ya?”
“Serius tidak mau menyerah, nih?”
Arash menggeleng tegas. Bahkan, dia tunjukkan pula sorot mata yang dipenuhi keseriusan.
“Mereka berdua adalah sosok yang aku cintai. Aku pantas kembali mendapat cinta dari ayah. Dio juga.”
“Yakin akan tahan dengan sikap-sikap cuek yang tidak terduga dari mereka?” tanya Varen dengan sikap tenangnya.
Arash mengangguk mantap. Benar-benar mantap sampai tangan kanannya menggebrak.
“Kalau yakin, kenapa harus murung saat mereka bersikap acuh tak acuh?” sindir Varen sambil menunjuk nasi lalapan ayam yang belum dimakan. “Kasihan banget itu nasinya dicuekin,” imbuhnya.
Cengiran ala kuda ditunjukkan Arash sebelum akhirnya mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya. Melihat itu, Varen segera memesan satu porsi lagi untuk dibungkus.
“Tidak perlu repot-repot, Ren. Ini saja sudah cukup,” terang Arash di sela kunyahan.
“PD banget, sih. Ini bukan untukmu, tapi untuk ibuku.”
Arash hampir saja lupa kalau Varen punya kebiasaan membelikan oeh-oleh untuk sang ibu di rumah. Ya, rumah Varen memang tidak jauh dari area kampus. Dia tinggal bersama ibunya. Sementara sang ayah berada di luar kota dan pulang sepekan sekali.
“Kalau begitu, salam buat ibumu, ya?” pinta Arash.
“Aku tidak mau menyampaikan salam darimu. Terakhir kali saat kusampaikan, ibu justru ingin kau datang lagi ke rumah untuk mencicipi resep barunya.”
“Eh? Kenapa kau tidak bilang, Ren? Dengan senang hati aku akan ke sana. Lain kali kabar-kabar kalau ibumu meminta aku icip-icip, ya?”
Varen tidak mengiyakan. Dia hanya memberi kode tangan bermakna ‘oke’, tapi sembari menunjukkan senyum masam. Bukan tanpa sebab, karena ibunya Varen terkenal tidak bisa memasak.
Obrolan Arash dan Varen rupanya diperhatikan dari kejauhan oleh seseorang. Mulanya dia terus bertahan memerhatikan. Akan tetapi, begitu melihat tawa Arash pecah tanpa tahu isi obrolan, barulah dia pergi menuju seseorang yang telah beberapa menit lalu menunggu.
“Dio, kenapa kau lama sekali? Sudah ketemu kunci motornya?” tanya Zen.
Tadi, Dio berdalih tentang kunci motor. Meminta izin pada Zen pula untuk mencari di dalam rumah makan, barang kali terjatuh di dalam sana.
Ya, semua itu hanya dalih agar Dio dapat memerhatikan Arash. Sungguh, dalam hatinya masih membuncah perasaan bersalah karena sang ayah yang kini telah menjadi ayahnya.
“Ini kuncinya ada. Tadi, sekalian aku pesan dua bungkus makanan,” ungkap Dio, dan memang demikianlah yang dia lakukan. Sambil menunggu pesanan, dia pun memerhatikan Arash dari kejauhan.
Zen terdiam. Dia memerhatikan ekspresi di wajah Dio, lantas menarik nafas dalam.
“Apa kau mengkhawatirkan Arash?” tebak Zen sembari menyuguhkan senyuman.
“Kurang lebih seperti itu. Ayah pasti paham apa yang aku rasakan.”
“Apa kalian saling bermusuhan sejak hari itu?”
“Sama sekali tidak, Ayah. Kami tetap berteman. Hanya saja. Aku tidak enak hati, apa lagi dia pernah diusir mama.”
Memertahankan hubungan baik usai keadaan yang tidak adil bagi salah satu pihak, itu sungguh tidak mudah. Ada bayang-bayang kisah tiga bulan lalu di setiap kali Dio ingin memulai pertemanan baik dengan Arash.
“Dio, jangan menanggung kesalahanku dan mamamu! Kau tidak bersalah!” tegas Zen. Posisi mereka saat ini masih berada di area parkiran rumah makan.
“Iya, Ayah. Akan kulakukan. Lagi pula, kami tetap berteman.”
Begitulah jawaban Dio, meski sangat sulit baginya untuk menghilangkan perasaan tidak enak dalam dirinya.
“Lalu, di mana sebaiknya kita memakan bungkusan nasi ini? Sejujurnya, aku masih kecewa dengan Kristal. Mamamu sungguh tega berkata seperti itu, padahal aku baru menganggur seminggu,” ungkap Zen, kembali mengungkit perkataan Kristal yang tidak sengaja dia dengar.
Tidak seharusnya ada hati yang terluka karena lisan. Namun, siapa yang bisa mencegah torehan luka ketika ucapan tak pantas itu sudah tertangkap oleh telinga? Dio sungguh tidak menyangka bahwa perkataan sang mama justru akan terdengar oleh Ayah Zen.
Tadi, sebelum Zen memutuskan untuk ikut Dio, dia sempat kesal. Dia melempar sayuran segar yang baru saja dia beli di pasar sesuai pesanan Kristal. Istrinya itu tahu, tapi dia justru melotot, lantas masuk ke dalam rumah.
Dio urung mencari tempat kerja paruh waktu. Dia lebih memilih mendamaikan hati sang ayah dengan mengajak dia makan lalapan. Tidak disangka, di sana justru ada Arash dan Varen. Dan, sikap cueklah yang mereka pilih sebelum akhirnya berlalu pergi.
“Bagaimana kalau kita makan di kafe milik ayah. Kafe yang di sebelah utara kampus.”
“Dio, bangunan yang satu itu juga akan aku jual untuk menutup hutang. Ayahmu ini benar-benar sudah bangkrut,” terang Zen.
“Tidak masalah. Kita ke sana saja. Sekalian aku mau menyampaikan sesuatu.”
“Apa yang ingin kau sampaikan?”
“Tentang Arash.”
Perubahan mimik wajah yang kentara, diperlihatkan oleh Zen begitu nama Arash disebut. Sebenarnya, ada apa? Apa yang ingin Dio sampaikan?
Menu nasi lalapan ayam yang telah tandas, menjadi penegas waktu yang semakin terbatas. Varen harus pulang demi bisa segera memberikan nasi bungkusnya pada sang ibu di rumah. Sementara Arash, dia harus segera menuju salah satu toko kue. Dia perlu mengambil beberapa rekaman video ulasan tentang ‘Kue Cucur’.Arash memiliki banyak penggemar di sosial media, salah satunya lantaran video-video ulasan tentang kue tradisional. Semua bermula dari keisengan ketika menjadi mahasiswa baru. Kini, keisengan itu justru menjadi pundi-pundi rupiah meski banyaknya belum seberapa.“Anak muda zaman now wajib cobain kue tradisional yang satu ini, nih. Kue Cucur gula merah. Sekali coba, bikin kamu terus-terusan ingin mengunyah. Yuk, coba! Lokasinya aku sematkan di akhir video, ya.”Tiga puluh menit yang begitu menyenangkan bagi Arash. Tidak ada naskah. Tidak ada pula arahan apa pun sebelumnya. Kalimat-kalimat ulasan meluncur dengan ringan dari mulut Arash yang sudah tampak seperti pengulas jajanan dengan b
Tangisan Arash tidak berlangsung lama. Hanya beberapa detik dia tunjukkan di depan Dio dan sang ayah. Bahkan, satu senyuman sempat disuguhkan sebelum akhirnya dia pergi dari kafe, tanpa diikuti oleh satu pun di antara dua lelaki yang dia cintai.Langkah kaki Arash mulanya terayun pelan. Tatapan matanya seperti orang-orang pada umumnya, tapi dalam hatinya membuncah perasaan yang tak karuan rasanya. Langkah kaki gadis yang tengah diselimuti kesedihan itu pun dipercepat. Dia sama sekali tidak berniat menggunakan jasa ojek apa lagi angkutan umum. Hanya satu yang dia fokuskan, yakni segera sampai di kos-kosan tanpa menggunakan kendaraan. Karena, bekas air mata di wajahnya sangat rentan memicu kekhawatiran dari orang yang menyaksikan.Tiba-tiba saja, klakson mobil dari arah belakang membuat Arash terkejut sampai spontan menghentikan langkah. Begitu dia menengok ke arah pengemudi, barulah dia mengubah ekspresi dan siap memaki.“Vareeeen! Keluar kau!” seru Arash sembari melangkah mendekati m
Arash menarik lengan Varen hingga ke tepian jalanan besar, dekat gerbang utama kampus. Kurang lebih jarak yang sudah ditempuh adalah seratus meter. Sejauh itu pula Varen hanya manurut saat Arash menarik lengan kirinya. Dia hanya diam, tanpa menyuarakan protes seperti biasanya. Padahal, Arash tak henti-hentinya mengomel di sepanjang perjalanan.“Berhenti dulu!” tegas Varen sembari melepas cengkraman tangan Arash di lengan kirinya.Varen tidak membiarkan tangannya bebas begitu saja. Dia justru ganti menggenggam tangan Arash, bahkan kedua tangan gadis itu digenggam. “Kau ngapain, sih, Ren?” Arash melepas genggaman tangan Varen.Di luar dugaan, Varen justru melakukan tindakan lain. Dia ganti menyentuh kedua pipi Arash. “Varen! Kau nggak sopan!” protes Arash seraya mundur beberapa langkah ke belakang.“Diam di situ sebentar!” titah Varen, dan kali ini dia menyentuh bagian kening Arash. “Kau demam,” ungkapnya kemudian.Arash menepis lengan Varen, lantas memalingkan wajahnya ke sebelah kan
Tubuh yang semula hanya terasa hangat, kini bertambah suhunya. Tenaga yang semula terjaga, seketika melemah. Akan tetapi, Arash berusaha menahan dirinya hingga angkutan umum sampai di depan gang kos-kosan. Arash berjalan gontai, lantas berhenti untuk mengatur nafasnya yang mulai terasa berat. Suhu tubuhnya pun semakin meningkat. Kaki-kaki jenjang terbalut celana jeans keabuan lekas diayunkan kembali hingga tepat di seberang kos-kosan. Ada sebuah warung yang juga menjual obat-obatan sederhana. Arash membeli sebotol air mineral, sebungkus roti tawar, juga beberapa tablet obat penurun panas.“Lagi nggak enak badan, ya, Mbak?” tanya ibu pemilik warung.Arash hanya tersenyum, lantas mengangguk ringan. Rasa-rasanya tubuhnya semakin melemah sampai-sampai tak sanggup berucap kata.“Tunggu sebentar, ya. Ibu punya sesuatu untukmu,” pinta ibu pemilik warung.Sebenarnya tubuh Arash sudah tidak kuat, tapi dia tetap menghargai ibu pemilik warung. Sekitar lima menit lamanya dia berdiri di depan wa
Dua lelaki gagah di tepian jalan raya tampak saling terdiam. Tatapan keduanya menyiratkan keseriusan. Varen serius dengan ucapannya, sementara Dio serius menyimak kabar berita.“Arash tidak mungkin menyukaiku. Dia cerdas dan berkelas. Dia lebih pantas dicintai oleh lelaki yang lebih romantis. Bukan lelaki humoris semacam aku.” Dio menanggapi panjang lebar.“Tahu apa kau tentang pantas, ha? Kalau cinta, ya cinta. Tidak peduli seperti apa sosoknya.” Mimik wajah Varen mengeras.“Maksudmu, Arash benar-benar mencintaiku?’ tanya Dio.“Apa kau kira aku sedang bercanda?” “Kalau begitu, kau mungkin salah paham. Yang tampak di mataku, Arash seperti bersimpati terhadapku karena tahu aku terbeban dan dipenuhi rasa bersalah yang teramat dalam. Aku terlihat seolah telah merebut Ayah Zen dari Arash.”Varen menangkap pengakuan Dio. Entah sengaja atau tidak, tapi pengakuan barusan cukup rasional. Sedikit banyak, Dio pasti menyimpan perasaan tidak enak hati atas perpisahan kedua orangtua Arash.“Lagi
“Aku bau badan,” ucap Arash sembari mulai turun dari ranjang.Suhu tubuhnya sudah turun setelah istirahat semalaman. Akan tetapi, hidungnya mengeluarkan cairan bening, sering bersin, dan terbatuk ringan.“Syukurlah karena ini hanya flu. Aku tidak akan memaafkan diriku bila harus berlama-lama terbaring lemah di atas kasur,” ujar Arash yang kini berniat mandi.Kamar mandi di kos-kosan Arash adalah kamar mandi berbagi. Sehingga, dia harus antri. Dan, antriannya panjang sekali. Di jeda waktu setengah jam menunggu, tubuh Arash hangat lagi. Kepalanya juga terasa pening.“Hari ini ada kuis dari dosen. Kalau aku tidak masuk, aku harus menyusul sendirian,” batin Arash penuh pertimbangan.Tiba-tiba saja ada yang menyodorkan tas kresek tepat di depan wajah Arash. Tidak hanya itu, kening Arash pun disentuh olehnya.“Kamu masih sakit. Lebih baik izin dulu kuliahnya. Ini ada titipan dari temanmu yang semalam,” ujar tetangga kamar kos Arash yang semalam mengantar titipan obat dan vitamin.“Terima ka
Vina datang menengahi Varen dan Dio yang sudah bersiap adu bogem. Si Cantik tinggi hati yang mendapat sebutan nenek lampir dari beberapa temannya itu tak segan menjewer telinga Varen dan Dio secara bergantian. Dio bersikap biasa saja, sementara Varen segera menepis tangan Vina.“Bocah kalau lagi bertengkar ya begini, nih. Sukanya main tangan. Tidak pikir panjang. Tunjukkan kalau kalian adalah mahasiswa yang bisa meredam emosi tanpa saling menyakiti!” tegas Vina tanpa rasa takut. Vina sudah bersiap dengan ceramahnya yang panjang, tapi Varen dan Dio tidak berminat mendengarkan. Mereka kompak memilih tempat duduk masing-masing tanpa memedulikan apa yang Vina katakan. Bahkan, Varen terang-terangan menyumpal kedua telinganya dengan tangan.“Kalian sungguh tidak sopan! Awas kalau ….”“Silakan duduk di kursimu!” tegur seorang dosen yang akan mengajar, tapi jalannya terhalang oleh Vina yang kini berkacak pinggang.Seketika tidak lagi ada suara, apa lagi keributan. Semua terdiam dan bersiap m
Kehadiran Kristal yang tak lain adalah mamanya Dio, cukup membuat dada Arash berdebar-debar. Dia masih teringat momen ketika diusir tanpa ada satu pun yang membela. Belajar dari pengalaman, kali ini dia mengambil sikap yang berbeda. Dia tampak lebih tegar.“Aku sudah menyingkir dari suami Tante Kristal,” ucap Arash usai minggir dua langkah ke samping kanan dengan tenang.“Dasar bocah tengil! Minggir!”Arash terpaksa harus membuat jarak beberapa langkah lagi dari sang ayah. Kini, dia berdiri tepat di samping Varen. Tentu saja sahabat Arash itu hendak membela, tapi lekas dicegah melalui tatapan mata.“Tolong, jangan membuat keributan di sini!” tegas Zen dengan setengah memelankan suaranya. “Aku datang dengan damai, sampai aku melihat dia memelukmu dengan tidak wajar,” alasan Kristal sembari menatap tidak suka ke arah Arash.“Sikap mama yang tidak wajar. Arash itu putrinya Ayah Zen. Wajar bila dia memeluk ayahnya karena rindu,” celetuk Dio.“Tapi dia bukan putri kandung Zen. Harusnya di