Share

Bab 3. Enggan Menyerah

Katanya, perasaan cinta itu anugerah. Tetapi, kenapa bisa sepilu ini bila bertepuk sebelah?

Nafsu makan Arash seketika hilang. Bahkan, nasi lalapan ayam yang sudah dipesankan oleh Varen dengan begitu saja diabaikan. 

Arash, dia baru saja bertemu sang ayah di warung lalapan. Sungguh pertemuan yang tidak disengaja, bahkan ada Dio pula.

Seharusnya pertemuan itu membawa bahagia. Nyatanya, Arash justru diabaikan oleh sang ayah, oleh Dio pula. Pertanyaan Arash sama sekali tidak dijawab. Padahal, dia hanya bertanya kabar sang ayah dan mau makan menu apa. Lebih menyakitkan lagi ketika kedua lelaki yang dicintai olehnya itu kompak memilih pindah tempat makan usai menolak memberi jawaban.

“Orang kalau lagi dicuekin, dia pasti sebal. Apa lagi nasi lalapan ayam. Lama-lama itu ayam bisa hidup lagi cuma buat ngomel,” celetuk Varen lantas kembali mengunyah.

“Candaanmu sama sekali tidak lucu, Ren.”

“Yee, siapa yang sedang bercanda. Aku cuma sedang berusaha membuatmu berbicara.”

Kurang lebih sudah lima belas menit lamanya Arash hanya memandangi piring berisi nasi lalapan ayam tanpa berniat mulai menyuap. Dia juga tidak berucap apa pun. 

“Maaf, ya. Tadi seharusnya kita tetap makan di kantin kampus saja. Tidak di sini,” tutur Varen lagi, tapi kali ini makanan di piringnya sudah habis. Yang tersisa hanya makanan milik Arash.

“Hm? Bukankah kau yang selalu menasihati aku tentang kelapangan hati? Tidak ada yang perlu disesali, Ren. Pertemuanku dengan ayah, bahkan Dio, itu semua bukan kebetulan. Lagi pula, kalau tidak bertemu, aku jadi tidak tahu perkembangan sikap mereka kepadaku.”

Kalimat Arash terjeda. Dia tersenyum kecut, lantas mulai meneguk es teh yang juga telah dipesankan oleh Varen.

“Karena tidak sedang bersama Tante Kristal, kukira ayahku akan menunjukkan kepedulian. Nyatanya dugaanku salah. Parahnya lagi, Dio juga menunjukkan sikap yang sama. Entah ke mana sikap ramah yang tadi dia tunjukkan saat di kampus,” imbuh Arash sembari menunjukkan kekecewaan yang begitu kentara.

Harapan yang terlampau tinggi memang sering kali menimbulkan kekecewaan dalam hati. Ekspetasi memang tidak seindah realita. Berharap bisa bahagia, tapi yang tersuguh justru perasaan kecewa.

“Lalu, apa kau akan menyerah?” tanya Varen blak-blakan.

“Aku tidak berniat untuk menyerah. Aku … sedikit kecewa, sih. Tidak habis pikir saja. Kok bisa, ya?”

“Serius tidak mau menyerah, nih?”

Arash menggeleng tegas. Bahkan, dia tunjukkan pula sorot mata yang dipenuhi keseriusan.

“Mereka berdua adalah sosok yang aku cintai. Aku pantas kembali mendapat cinta dari ayah. Dio juga.”

“Yakin akan tahan dengan sikap-sikap cuek yang tidak terduga dari mereka?” tanya Varen dengan sikap tenangnya.

Arash mengangguk mantap. Benar-benar mantap sampai tangan kanannya menggebrak.

“Kalau yakin, kenapa harus murung saat mereka bersikap acuh tak acuh?” sindir Varen sambil menunjuk nasi lalapan ayam yang belum dimakan. “Kasihan banget itu nasinya dicuekin,” imbuhnya.

Cengiran ala kuda ditunjukkan Arash sebelum akhirnya mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya. Melihat itu, Varen segera memesan satu porsi lagi untuk dibungkus.

“Tidak perlu repot-repot, Ren. Ini saja sudah cukup,” terang Arash di sela kunyahan.

“PD banget, sih. Ini bukan untukmu, tapi untuk ibuku.”

Arash hampir saja lupa kalau Varen punya kebiasaan membelikan oeh-oleh untuk sang ibu di rumah. Ya, rumah Varen memang tidak jauh dari area kampus. Dia tinggal bersama ibunya. Sementara sang ayah berada di luar kota dan pulang sepekan sekali.

“Kalau begitu, salam buat ibumu, ya?” pinta Arash.

“Aku tidak mau menyampaikan salam darimu. Terakhir kali saat kusampaikan, ibu justru ingin kau datang lagi ke rumah untuk mencicipi resep barunya.”

“Eh? Kenapa kau tidak bilang, Ren? Dengan senang hati aku akan ke sana. Lain kali kabar-kabar kalau ibumu meminta aku icip-icip, ya?”

Varen tidak mengiyakan. Dia hanya memberi kode tangan bermakna ‘oke’, tapi sembari menunjukkan senyum masam. Bukan tanpa sebab, karena ibunya Varen terkenal tidak bisa memasak. 

Obrolan Arash dan Varen rupanya diperhatikan dari kejauhan oleh seseorang. Mulanya dia terus bertahan memerhatikan. Akan tetapi, begitu melihat tawa Arash pecah tanpa tahu isi obrolan, barulah dia pergi menuju seseorang yang telah beberapa menit lalu menunggu.

“Dio, kenapa kau lama sekali? Sudah ketemu kunci motornya?” tanya Zen.

Tadi, Dio berdalih tentang kunci motor. Meminta izin pada Zen pula untuk mencari di dalam rumah makan, barang kali terjatuh di dalam sana. 

Ya, semua itu hanya dalih agar Dio dapat memerhatikan Arash. Sungguh, dalam hatinya masih membuncah perasaan bersalah karena sang ayah yang kini telah menjadi ayahnya. 

“Ini kuncinya ada. Tadi, sekalian aku pesan dua bungkus makanan,” ungkap Dio, dan memang demikianlah yang dia lakukan. Sambil menunggu pesanan, dia pun memerhatikan Arash dari kejauhan.

Zen terdiam. Dia memerhatikan ekspresi di wajah Dio, lantas menarik nafas dalam.

“Apa kau mengkhawatirkan Arash?” tebak Zen sembari menyuguhkan senyuman.

“Kurang lebih seperti itu. Ayah pasti paham apa yang aku rasakan.”

“Apa kalian saling bermusuhan sejak hari itu?”

“Sama sekali tidak, Ayah. Kami tetap berteman. Hanya saja. Aku tidak enak hati, apa lagi dia pernah diusir mama.”

Memertahankan hubungan baik usai keadaan yang tidak adil bagi salah satu pihak, itu sungguh tidak mudah. Ada bayang-bayang kisah tiga bulan lalu di setiap kali Dio ingin memulai pertemanan baik dengan Arash. 

“Dio, jangan menanggung kesalahanku dan mamamu! Kau tidak bersalah!” tegas Zen. Posisi mereka saat ini masih berada di area parkiran rumah makan.

“Iya, Ayah. Akan kulakukan. Lagi pula, kami tetap berteman.”

Begitulah jawaban Dio, meski sangat sulit baginya untuk menghilangkan perasaan tidak enak dalam dirinya.

“Lalu, di mana sebaiknya kita memakan bungkusan nasi ini? Sejujurnya, aku masih kecewa dengan Kristal. Mamamu sungguh tega berkata seperti itu, padahal aku baru menganggur seminggu,” ungkap Zen, kembali mengungkit perkataan Kristal yang tidak sengaja dia dengar.

Tidak seharusnya ada hati yang terluka karena lisan. Namun, siapa yang bisa mencegah torehan luka ketika ucapan tak pantas itu sudah tertangkap oleh telinga? Dio sungguh tidak menyangka bahwa perkataan sang mama justru akan terdengar oleh Ayah Zen. 

Tadi, sebelum Zen memutuskan untuk ikut Dio, dia sempat kesal. Dia melempar sayuran segar yang baru saja dia beli di pasar sesuai pesanan Kristal. Istrinya itu tahu, tapi dia justru melotot, lantas masuk ke dalam rumah.

Dio urung mencari tempat kerja paruh waktu. Dia lebih memilih mendamaikan hati sang ayah dengan mengajak dia makan lalapan. Tidak disangka, di sana justru ada Arash dan Varen. Dan, sikap cueklah yang mereka pilih sebelum akhirnya berlalu pergi.

“Bagaimana kalau kita makan di kafe milik ayah. Kafe yang di sebelah utara kampus.”

“Dio, bangunan yang satu itu juga akan aku jual untuk menutup hutang. Ayahmu ini benar-benar sudah bangkrut,” terang Zen.

“Tidak masalah. Kita ke sana saja. Sekalian aku mau menyampaikan sesuatu.”

“Apa yang ingin kau sampaikan?”

“Tentang Arash.”

Perubahan mimik wajah yang kentara, diperlihatkan oleh Zen begitu nama Arash disebut. Sebenarnya, ada apa? Apa yang ingin Dio sampaikan? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status