Perkara cinta, bukan hal yang melulu menyuguhkan suka cita. Gerimis hingga hujan badai pun sesekali menyapa, menoreh duka. Sebagian insan menyerah pada ujian. Sebagian lagi bertahan sembari menunjukkan posisi pantas di hadapan dia yang tersayang.
Arash, dia telah memasuki semester kedua masa kuliah. Bermodal beasiswa dan uang pemberian sang ibu, semangat gadis bermata kecoklatan dengan rambut sebahu itu semakin menggebu. Tidak hanya gelar sarjana yang ingin dia gapai, melainkan juga cinta kasih sang ayah yang ternyata bukan ayah kandungnya. Fakta itu diketahui Arash tiga bulan lalu, tepat ketika ayah dan ibunya resmi berpisah.
“Ibu senang karena kamu semakin mandiri, Arash. Kamu bahkan sudah memiliki banyak penggemar melalui video ulasan makanan tradisional,” ungkap Lestari, ibunya Arash yang baru tiba lima menit lalu di kos-kosan yang ditempati Arash.
“Jumlah mereka memang beribu, tapi aku tetap merasa kesepian, Bu. Ibu datang dua pekan sekali. Itu pun tidak menginap, lalu pergi. Sementara ayah, dia tidak peduli lagi padaku.”
“Lebih baik kamu lupakan saja ayahmu itu! Dia tidak pantas menjadi ayahmu!” tegas Lestari kepada sang putri.
Dalam dada Arash bergemuruh perasaan tidak nyaman. Dia membuang pandang sebentar demi menguatkan hatinya yang tidak lagi tenang. Untung saja tidak berlangsung lama. Begitu hatinya terkuasai, dia kembali menatap bola mata sang ibu sembari menyuguhkan senyuman.
“Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Meski dia bukan ayah kandungku, tapi dia telah ada sejak aku masih dalam gendongan ibu. Benar begitu, kan, Bu?”
Arash meminta pembenaran atas fakta yang diungkapkan kepadanya tiga bulan lalu. Lantas, tidak butuh waktu lama pula hingga sang ibu mengangguk membenarkan fakta itu.
“Jika demikian, maka sembilan belas tahun, itulah waktu yang telah dihabiskan ayah untuk melihatku tumbuh. Meski ayah tidak seramah ayah-ayah lainnya, tapi aku tetap sayang dia, Bu. Dan … meski ibu dan ayah tidak lagi bersama, aku tetap pantas mendapatkan cinta dari kalian berdua.”
Bulir bening di pelupuk mata, akhirnya jatuh membasahi pipi Arash. Hebatnya, dia masih tetap menyuguhkan senyum terbaiknya di hadapan sang ibu.
Hati Lestari terketuk untuk memberi pelukan. Dia paham betul dengan kondisi anak gadisnya yang sedang tidak baik-baik saja. Lagi pula, anak mana yang mentalnya tetap terjaga ketika menyaksikan ayah ibunya berpisah?
Selama hampir empat puluh dua tahun Lestari hidup, sekali saja belum pernah dia temui yang bisa benar-benar tegar menghadapi momen perpisahan, termasuk putrinya. Arash memang terlihat tegar, tapi dalam hatinya membuncah beban dan kekecewaan yang sejauh ini belum terungkapkan secara gamblang.
“Ibu ingin kamu tetap terlihat tegar seperti sebelumnya. Karena, wanita yang telah merebut hati ayahmu itu pasti akan semakin merasa menang bila melihatmu terpuruk.”
Arash melepas pelukan dengan lembut, lantas mengusap air matanya. Dia tidak lagi menangis. Bukan karena perintah sang ibu, melainkan demi menegaskan sesuatu.
“Ibulah yang lebih pantas memenangkan hati ayah, bukan wanita itu, Bu. Aku akan berebut pantas demi ibu. Aku akan menyadarkan ayah bahwa ibu tidak ada duanya. Dan aku, meski aku bukan anak kandungnya, aku akan membuat ayah kembali mengakuiku sebagai putrinya. Aku kira itu akan mudah karena kami berada di kota yang sama,” tutur Arash panjang lebar disertai tatapan penuh keyakinan.
Arash mendapati senyum teduh dari sang ibu. Sayangnya, wanita istimewa dalam hidupnya itu menggeleng pelan. Niatan yang telah diungkapkan Arash, nyatanya tidak mendapat dukungan.
“Lupakan ayahmu dan jalani takdirmu! Jatuh cintalah pada lelaki yang tepat, sehingga tidak akan kamu temui kisah gagal seperti ibu dan ayahmu!” titah Lestari pada sang putri.
Arash kembali memalingkan wajah. Dia tidak mengindahkan perintah ibunya.
“Hanya itu pesan ibu padamu, Arash. Selebihnya, kamu sudah dewasa dan sudah mampu memilih langkah.”
“Ibu benar. Karena aku sudah dewasa, maka aku berhak mengusahakan yang terbaik menurutku,” sahut Arash sembari kembali menoleh pada ibunya.
Satu tarikan nafas dalam, lantas dihembuskan dengan sedikit kasar oleh Lestari. Dia tahu betul watak sang putri. Meski telah dilarang, putrinya itu akan tetap melakukan niatan.
“Doa terbaik dari ibu untukmu. Jaga dirimu baik-baik!”
Kalimat dari Lestari menjadi penutup pertemuan. Dia meninggalkan kos-kosan sang putri, lantas kembali bekerja sebagai karyawan swasta di luar kota.
Arash tidak berlama-lama juga di kos-kosan. Dia bergegas menuju kampus untuk mengikuti salah satu mata kuliah. Untung saja, obrolan penuh makna bersama sang ibu, tidak terlalu memengaruhi mood-nya. Dia tetap bersemangat, bahkan sering menjawab pertanyaan dari dosen. Semangat itu terus dia pertahankan, karena dia selalu teringat dengan sang ayah. Sedari kecil hingga besar, sang ayah akan memberi perhatian sedikit lebih banyak dari biasanya, hanya ketika ada sebuah prestasi yang diraih.
“Nilaiku harus bagus terus agar ayah senang,” ucap Arash kepada Varen selepas perkuliahan.
“Kau kapan sadarnya, sih, Rash? Ayahmu itu sudah tidak peduli lagi padamu. Ingat di bulan lalu, kan? Kau tunjukkan pada ayahmu jumlah penggemarmu yang mengikuti video review makanan. Bagiku itu pencapaianmu yang luar biasa. Tetapi, apa yang kau terima dari ayahmu? Jangankan pujian, kau justru diusir oleh Tante Kristal,” terang Varen yang telah tahu perjalanan hidup Arash sejak SMA. Mereka telah bersahabat selama lebih dari tiga tahun.
“Tidak ada pujian karena di sana ada Tante Kristal. Makanya, aku akan merebut hati ayah. Tante Kristal tidak pantas memiliki hati ayahku.”
“Arash, sadarlah! Lebih baik kau dengarkan nasihat ibumu, deh! Lupakan ayahmu! Risikonya terlalu besar kalau main rebut-rebutan.” Varen mengingatkan Arash tentang pesan yang disampaikan Bu Lestari. Tadi Arash sempat bercerita sebelum kelas dimulai.
Mendapati sahabatnya tidak memberi dukungan, Arash menghentikan langkah kakinya, lantas mendengus kesal.
“Sebenarnya kau ada di pihak siapa, sih?” tanya Arash sembari bersedekap tangan.
Kurang lebih sama seperti Bu Lestari, Varen, lelaki gagah berambut keriting itu juga telah memahami watak Arash yang keras kepala. Itulah alasan, mengapa selama ini dia sering memberi nasihat untuk Arash meski hanya sebagian nasihat saja yang didengar.
“Tenang saja, aku masih di pihakmu, kok. Tetapi, aku berharap kau tidak mengambil tindakan yang bisa merugikan apa lagi sampai mempermalukan dirimu sendiri. Contohnya … seperti ini!”
Dengan cepat Varen mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, lantas mengusap bagian pipi kiri dan pipi kanan Arash secara bergantian. Sayangnya, usapannya sedikit kasar, sampai Arash harus mundur beberapa langkah ke belakang.
Arash hendak protes. Tetapi, begitu mendapati Varen tersenyum aneh sambil menunjukkan hasil usapan di sapu tangan, seketika itu tawanya pecah. Dia tertawa sambil memegangi perutnya.
“Riasan wajahmu menor sekali, Rash! Bedakmu terlalu tebal! Nih, warna sapu tanganku sampai tertutup bedak! Gara-gara siapa ini, ha? Dio lagi?”
“Memangnya karena siapa lagi kalau bukan karena Dio. Ketika mahasiswi lain mengidolakan lelaki yang romantis, hatiku justru tertawan oleh Dio yang humoris. Dengar-dengar, sih, dia suka perempuan yang hobi dandan.”
Arash dan Varen menampilkan mimik wajah yang berbeda. Arash tampak bahagia, sementara Varen telah bersiap dengan nasihatnya.
“Arash, kuharap kau tidak lupa kalau Dio adalah anak kandung Tante Kristal!" tegas Varen tanpa canda.
Senyum Arash berubah masam. Fakta itu telah dia ketahui sejak ayah dan ibunya resmi berpisah. Sempat bingung pula harus menyerah atau memertahankan perasaan cintanya pada Dio. Hingga akhirnya, sampailah Arash pada sebuah keputusan untuk menunjukkan kepantasan pada kedua lelaki yang dia cintai.
“Aku percaya pada kekuatan cinta. Cinta ayah akan aku raih, begitu juga dengan cinta Dio.”
“Ya-ya-ya. Aku paham dengan impianmu. Tetapi, semua akan lebih mudah andai cintamu tidak bertepuk sebelah. Ingat, perasaan cintamu masih satu arah!” tegas Varen, mengingatkan Arash tentang situasi yang sebenarnya.
Arash terdiam seribu bahasa. Menghadapi sahabat seperti Varen yang rasional, kadang kala cukup menyebalkan. Hingga kemudian, tidak disangka-sangka lelaki yang tengah diperbincangkan justru melangkah mendekat sembari menenteng sebuah kamera digital. Wajahnya tampak serius.
Pantas itu pembuktian. Bukan sekadar perkataan, apa lagi hanya untuk diangan-angan. Arash justru menundukkan pandangan ketika mendapati sang pujaan hati melangkah mendekat. Sikap yang dia tunjukkan sungguh jauh berbeda dibandingkan gema cinta dalam hatinya. Ingin hati menyambut dengan senyuman, tapi yang tercipta justru sikap biasa yang seolah tidak memedulikan keberadaan sang pujaan.“Bisa pegangkan kameraku sebentar?” tanya Dio usai berdiri tepat di hadapan Varen.Arash memerhatikan Varen dan Dio dalam diam. Usai Varen memegang kamera digital, Dio merogoh tas ransel, lantas mengeluarkan syal rajut berwarna keabuan. Syal rajut itu lekas dia berikan kepada Varen.“Terima kasih,” ucap Varen sembari menerima syal, dan bergegas mengembalikan kamera digital milik Dio.Syal itu adalah milik Dio. Varen sengaja meminjamnya karena iseng, demi bisa mengetahui reaksi Arash. Di luar dugaan Varen, Arash justru bersikap pasif ketika ada Dio. Momen temu antara Dio dan Varen berlangsung cepat. Tid
Katanya, perasaan cinta itu anugerah. Tetapi, kenapa bisa sepilu ini bila bertepuk sebelah?Nafsu makan Arash seketika hilang. Bahkan, nasi lalapan ayam yang sudah dipesankan oleh Varen dengan begitu saja diabaikan. Arash, dia baru saja bertemu sang ayah di warung lalapan. Sungguh pertemuan yang tidak disengaja, bahkan ada Dio pula.Seharusnya pertemuan itu membawa bahagia. Nyatanya, Arash justru diabaikan oleh sang ayah, oleh Dio pula. Pertanyaan Arash sama sekali tidak dijawab. Padahal, dia hanya bertanya kabar sang ayah dan mau makan menu apa. Lebih menyakitkan lagi ketika kedua lelaki yang dicintai olehnya itu kompak memilih pindah tempat makan usai menolak memberi jawaban.“Orang kalau lagi dicuekin, dia pasti sebal. Apa lagi nasi lalapan ayam. Lama-lama itu ayam bisa hidup lagi cuma buat ngomel,” celetuk Varen lantas kembali mengunyah.“Candaanmu sama sekali tidak lucu, Ren.”“Yee, siapa yang sedang bercanda. Aku cuma sedang berusaha membuatmu berbicara.”Kurang lebih sudah lim
Menu nasi lalapan ayam yang telah tandas, menjadi penegas waktu yang semakin terbatas. Varen harus pulang demi bisa segera memberikan nasi bungkusnya pada sang ibu di rumah. Sementara Arash, dia harus segera menuju salah satu toko kue. Dia perlu mengambil beberapa rekaman video ulasan tentang ‘Kue Cucur’.Arash memiliki banyak penggemar di sosial media, salah satunya lantaran video-video ulasan tentang kue tradisional. Semua bermula dari keisengan ketika menjadi mahasiswa baru. Kini, keisengan itu justru menjadi pundi-pundi rupiah meski banyaknya belum seberapa.“Anak muda zaman now wajib cobain kue tradisional yang satu ini, nih. Kue Cucur gula merah. Sekali coba, bikin kamu terus-terusan ingin mengunyah. Yuk, coba! Lokasinya aku sematkan di akhir video, ya.”Tiga puluh menit yang begitu menyenangkan bagi Arash. Tidak ada naskah. Tidak ada pula arahan apa pun sebelumnya. Kalimat-kalimat ulasan meluncur dengan ringan dari mulut Arash yang sudah tampak seperti pengulas jajanan dengan b
Tangisan Arash tidak berlangsung lama. Hanya beberapa detik dia tunjukkan di depan Dio dan sang ayah. Bahkan, satu senyuman sempat disuguhkan sebelum akhirnya dia pergi dari kafe, tanpa diikuti oleh satu pun di antara dua lelaki yang dia cintai.Langkah kaki Arash mulanya terayun pelan. Tatapan matanya seperti orang-orang pada umumnya, tapi dalam hatinya membuncah perasaan yang tak karuan rasanya. Langkah kaki gadis yang tengah diselimuti kesedihan itu pun dipercepat. Dia sama sekali tidak berniat menggunakan jasa ojek apa lagi angkutan umum. Hanya satu yang dia fokuskan, yakni segera sampai di kos-kosan tanpa menggunakan kendaraan. Karena, bekas air mata di wajahnya sangat rentan memicu kekhawatiran dari orang yang menyaksikan.Tiba-tiba saja, klakson mobil dari arah belakang membuat Arash terkejut sampai spontan menghentikan langkah. Begitu dia menengok ke arah pengemudi, barulah dia mengubah ekspresi dan siap memaki.“Vareeeen! Keluar kau!” seru Arash sembari melangkah mendekati m
Arash menarik lengan Varen hingga ke tepian jalanan besar, dekat gerbang utama kampus. Kurang lebih jarak yang sudah ditempuh adalah seratus meter. Sejauh itu pula Varen hanya manurut saat Arash menarik lengan kirinya. Dia hanya diam, tanpa menyuarakan protes seperti biasanya. Padahal, Arash tak henti-hentinya mengomel di sepanjang perjalanan.“Berhenti dulu!” tegas Varen sembari melepas cengkraman tangan Arash di lengan kirinya.Varen tidak membiarkan tangannya bebas begitu saja. Dia justru ganti menggenggam tangan Arash, bahkan kedua tangan gadis itu digenggam. “Kau ngapain, sih, Ren?” Arash melepas genggaman tangan Varen.Di luar dugaan, Varen justru melakukan tindakan lain. Dia ganti menyentuh kedua pipi Arash. “Varen! Kau nggak sopan!” protes Arash seraya mundur beberapa langkah ke belakang.“Diam di situ sebentar!” titah Varen, dan kali ini dia menyentuh bagian kening Arash. “Kau demam,” ungkapnya kemudian.Arash menepis lengan Varen, lantas memalingkan wajahnya ke sebelah kan
Tubuh yang semula hanya terasa hangat, kini bertambah suhunya. Tenaga yang semula terjaga, seketika melemah. Akan tetapi, Arash berusaha menahan dirinya hingga angkutan umum sampai di depan gang kos-kosan. Arash berjalan gontai, lantas berhenti untuk mengatur nafasnya yang mulai terasa berat. Suhu tubuhnya pun semakin meningkat. Kaki-kaki jenjang terbalut celana jeans keabuan lekas diayunkan kembali hingga tepat di seberang kos-kosan. Ada sebuah warung yang juga menjual obat-obatan sederhana. Arash membeli sebotol air mineral, sebungkus roti tawar, juga beberapa tablet obat penurun panas.“Lagi nggak enak badan, ya, Mbak?” tanya ibu pemilik warung.Arash hanya tersenyum, lantas mengangguk ringan. Rasa-rasanya tubuhnya semakin melemah sampai-sampai tak sanggup berucap kata.“Tunggu sebentar, ya. Ibu punya sesuatu untukmu,” pinta ibu pemilik warung.Sebenarnya tubuh Arash sudah tidak kuat, tapi dia tetap menghargai ibu pemilik warung. Sekitar lima menit lamanya dia berdiri di depan wa
Dua lelaki gagah di tepian jalan raya tampak saling terdiam. Tatapan keduanya menyiratkan keseriusan. Varen serius dengan ucapannya, sementara Dio serius menyimak kabar berita.“Arash tidak mungkin menyukaiku. Dia cerdas dan berkelas. Dia lebih pantas dicintai oleh lelaki yang lebih romantis. Bukan lelaki humoris semacam aku.” Dio menanggapi panjang lebar.“Tahu apa kau tentang pantas, ha? Kalau cinta, ya cinta. Tidak peduli seperti apa sosoknya.” Mimik wajah Varen mengeras.“Maksudmu, Arash benar-benar mencintaiku?’ tanya Dio.“Apa kau kira aku sedang bercanda?” “Kalau begitu, kau mungkin salah paham. Yang tampak di mataku, Arash seperti bersimpati terhadapku karena tahu aku terbeban dan dipenuhi rasa bersalah yang teramat dalam. Aku terlihat seolah telah merebut Ayah Zen dari Arash.”Varen menangkap pengakuan Dio. Entah sengaja atau tidak, tapi pengakuan barusan cukup rasional. Sedikit banyak, Dio pasti menyimpan perasaan tidak enak hati atas perpisahan kedua orangtua Arash.“Lagi
“Aku bau badan,” ucap Arash sembari mulai turun dari ranjang.Suhu tubuhnya sudah turun setelah istirahat semalaman. Akan tetapi, hidungnya mengeluarkan cairan bening, sering bersin, dan terbatuk ringan.“Syukurlah karena ini hanya flu. Aku tidak akan memaafkan diriku bila harus berlama-lama terbaring lemah di atas kasur,” ujar Arash yang kini berniat mandi.Kamar mandi di kos-kosan Arash adalah kamar mandi berbagi. Sehingga, dia harus antri. Dan, antriannya panjang sekali. Di jeda waktu setengah jam menunggu, tubuh Arash hangat lagi. Kepalanya juga terasa pening.“Hari ini ada kuis dari dosen. Kalau aku tidak masuk, aku harus menyusul sendirian,” batin Arash penuh pertimbangan.Tiba-tiba saja ada yang menyodorkan tas kresek tepat di depan wajah Arash. Tidak hanya itu, kening Arash pun disentuh olehnya.“Kamu masih sakit. Lebih baik izin dulu kuliahnya. Ini ada titipan dari temanmu yang semalam,” ujar tetangga kamar kos Arash yang semalam mengantar titipan obat dan vitamin.“Terima ka