Share

Berebut Pantas
Berebut Pantas
Penulis: BintangAeri

Bab 1. Perkara Cinta

Perkara cinta, bukan hal yang melulu menyuguhkan suka cita. Gerimis hingga hujan badai pun sesekali menyapa, menoreh duka. Sebagian insan menyerah pada ujian. Sebagian lagi bertahan sembari menunjukkan posisi pantas di hadapan dia yang tersayang.

Arash, dia telah memasuki semester kedua masa kuliah. Bermodal beasiswa dan uang pemberian sang ibu, semangat gadis bermata kecoklatan dengan rambut sebahu itu semakin menggebu. Tidak hanya gelar sarjana yang ingin dia gapai, melainkan juga cinta kasih sang ayah yang ternyata bukan ayah kandungnya. Fakta itu diketahui Arash tiga bulan lalu, tepat ketika ayah dan ibunya resmi berpisah. 

“Ibu senang karena kamu semakin mandiri, Arash. Kamu bahkan sudah memiliki banyak penggemar melalui video ulasan makanan tradisional,” ungkap Lestari, ibunya Arash yang baru tiba lima menit lalu di kos-kosan yang ditempati Arash. 

“Jumlah mereka memang beribu, tapi aku tetap merasa kesepian, Bu. Ibu datang dua pekan sekali. Itu pun tidak menginap, lalu pergi. Sementara ayah, dia tidak peduli lagi padaku.”

“Lebih baik kamu lupakan saja ayahmu itu! Dia tidak pantas menjadi ayahmu!” tegas Lestari kepada sang putri.

Dalam dada Arash bergemuruh perasaan tidak nyaman. Dia membuang pandang sebentar demi menguatkan hatinya yang tidak lagi tenang. Untung saja tidak berlangsung lama. Begitu hatinya terkuasai, dia kembali menatap bola mata sang ibu sembari menyuguhkan senyuman.

“Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Meski dia bukan ayah kandungku, tapi dia telah ada sejak aku masih dalam gendongan ibu. Benar begitu, kan, Bu?”

Arash meminta pembenaran atas fakta yang diungkapkan kepadanya tiga bulan lalu. Lantas, tidak butuh waktu lama pula hingga sang ibu mengangguk membenarkan fakta itu.

“Jika demikian, maka sembilan belas tahun, itulah waktu yang telah dihabiskan ayah untuk melihatku tumbuh. Meski ayah tidak seramah ayah-ayah lainnya, tapi aku tetap sayang dia, Bu. Dan … meski ibu dan ayah tidak lagi bersama, aku tetap pantas mendapatkan cinta dari kalian berdua.”

Bulir bening di pelupuk mata, akhirnya jatuh membasahi pipi Arash. Hebatnya, dia masih tetap menyuguhkan senyum terbaiknya di hadapan sang ibu.

Hati Lestari terketuk untuk memberi pelukan. Dia paham betul dengan kondisi anak gadisnya yang sedang tidak baik-baik saja. Lagi pula, anak mana yang mentalnya tetap terjaga ketika menyaksikan ayah ibunya berpisah? 

Selama hampir empat puluh dua tahun Lestari hidup, sekali saja belum pernah dia temui yang bisa benar-benar tegar menghadapi momen perpisahan, termasuk putrinya. Arash memang terlihat tegar, tapi dalam hatinya membuncah beban dan kekecewaan yang sejauh ini belum terungkapkan secara gamblang.

“Ibu ingin kamu tetap terlihat tegar seperti sebelumnya. Karena, wanita yang telah merebut hati ayahmu itu pasti akan semakin merasa menang bila melihatmu terpuruk.”

Arash melepas pelukan dengan lembut, lantas mengusap air matanya. Dia tidak lagi menangis. Bukan karena perintah sang ibu, melainkan demi menegaskan sesuatu. 

“Ibulah yang lebih pantas memenangkan hati ayah, bukan wanita itu, Bu. Aku akan berebut pantas demi ibu. Aku akan menyadarkan ayah bahwa ibu tidak ada duanya. Dan aku, meski aku bukan anak kandungnya, aku akan membuat ayah kembali mengakuiku sebagai putrinya. Aku kira itu akan mudah karena kami berada di kota yang sama,” tutur Arash panjang lebar disertai tatapan penuh keyakinan. 

Arash mendapati senyum teduh dari sang ibu. Sayangnya, wanita istimewa dalam hidupnya itu menggeleng pelan. Niatan yang telah diungkapkan Arash, nyatanya tidak mendapat dukungan.

“Lupakan ayahmu dan jalani takdirmu! Jatuh cintalah pada lelaki yang tepat, sehingga tidak akan kamu temui kisah gagal seperti ibu dan ayahmu!” titah Lestari pada sang putri.

Arash kembali memalingkan wajah. Dia tidak mengindahkan perintah ibunya. 

“Hanya itu pesan ibu padamu, Arash. Selebihnya, kamu sudah dewasa dan sudah mampu memilih langkah.”

“Ibu benar. Karena aku sudah dewasa, maka aku berhak mengusahakan yang terbaik menurutku,” sahut Arash sembari kembali menoleh pada ibunya.

Satu tarikan nafas dalam, lantas dihembuskan dengan sedikit kasar oleh Lestari. Dia tahu betul watak sang putri. Meski telah dilarang, putrinya itu akan tetap melakukan niatan.

“Doa terbaik dari ibu untukmu. Jaga dirimu baik-baik!”

Kalimat dari Lestari menjadi penutup pertemuan. Dia meninggalkan kos-kosan sang putri, lantas kembali bekerja sebagai karyawan swasta di luar kota.

Arash tidak berlama-lama juga di kos-kosan. Dia bergegas menuju kampus untuk mengikuti salah satu mata kuliah. Untung saja, obrolan penuh makna bersama sang ibu, tidak terlalu memengaruhi mood-nya. Dia tetap bersemangat, bahkan sering menjawab pertanyaan dari dosen. Semangat itu terus dia pertahankan, karena dia selalu teringat dengan sang ayah. Sedari kecil hingga besar, sang ayah akan memberi perhatian sedikit lebih banyak dari biasanya, hanya ketika ada sebuah prestasi yang diraih. 

“Nilaiku harus bagus terus agar ayah senang,” ucap Arash kepada Varen selepas perkuliahan.

“Kau kapan sadarnya, sih, Rash? Ayahmu itu sudah tidak peduli lagi padamu. Ingat di bulan lalu, kan? Kau tunjukkan pada ayahmu jumlah penggemarmu yang mengikuti video review makanan. Bagiku itu pencapaianmu yang luar biasa. Tetapi, apa yang kau terima dari ayahmu? Jangankan pujian, kau justru diusir oleh Tante Kristal,” terang Varen yang telah tahu perjalanan hidup Arash sejak SMA. Mereka telah bersahabat selama lebih dari tiga tahun.

“Tidak ada pujian karena di sana ada Tante Kristal. Makanya, aku akan merebut hati ayah. Tante Kristal tidak pantas memiliki hati ayahku.”

“Arash, sadarlah! Lebih baik kau dengarkan nasihat ibumu, deh! Lupakan ayahmu! Risikonya terlalu besar kalau main rebut-rebutan.” Varen mengingatkan Arash tentang pesan yang disampaikan Bu Lestari. Tadi Arash sempat bercerita sebelum kelas dimulai.

Mendapati sahabatnya tidak memberi dukungan, Arash menghentikan langkah kakinya, lantas mendengus kesal.

“Sebenarnya kau ada di pihak siapa, sih?” tanya Arash sembari bersedekap tangan. 

Kurang lebih sama seperti Bu Lestari, Varen, lelaki gagah berambut keriting itu juga telah memahami watak Arash yang keras kepala. Itulah alasan, mengapa selama ini dia sering memberi nasihat untuk Arash meski hanya sebagian nasihat saja yang didengar.

“Tenang saja, aku masih di pihakmu, kok. Tetapi, aku berharap kau tidak mengambil tindakan yang bisa merugikan apa lagi sampai mempermalukan dirimu sendiri. Contohnya … seperti ini!”

Dengan cepat Varen mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, lantas mengusap bagian pipi kiri dan pipi kanan Arash secara bergantian. Sayangnya, usapannya sedikit kasar, sampai Arash harus mundur beberapa langkah ke belakang. 

Arash hendak protes. Tetapi, begitu mendapati Varen tersenyum aneh sambil menunjukkan hasil usapan di sapu tangan, seketika itu tawanya pecah. Dia tertawa sambil memegangi perutnya.

“Riasan wajahmu menor sekali, Rash! Bedakmu terlalu tebal! Nih, warna sapu tanganku sampai tertutup bedak! Gara-gara siapa ini, ha? Dio lagi?”

“Memangnya karena siapa lagi kalau bukan karena Dio. Ketika mahasiswi lain mengidolakan lelaki yang romantis, hatiku justru tertawan oleh Dio yang humoris. Dengar-dengar, sih, dia suka perempuan yang hobi dandan.”

Arash dan Varen menampilkan mimik wajah yang berbeda. Arash tampak bahagia, sementara Varen telah bersiap dengan nasihatnya.

“Arash, kuharap kau tidak lupa kalau Dio adalah anak kandung Tante Kristal!" tegas Varen tanpa canda.

Senyum Arash berubah masam. Fakta itu telah dia ketahui sejak ayah dan ibunya resmi berpisah. Sempat bingung pula harus menyerah atau memertahankan perasaan cintanya pada Dio. Hingga akhirnya, sampailah Arash pada sebuah keputusan untuk menunjukkan kepantasan pada kedua lelaki yang dia cintai.

“Aku percaya pada kekuatan cinta. Cinta ayah akan aku raih, begitu juga dengan cinta Dio.”

“Ya-ya-ya. Aku paham dengan impianmu. Tetapi, semua akan lebih mudah andai cintamu tidak bertepuk sebelah. Ingat, perasaan cintamu masih satu arah!” tegas Varen, mengingatkan Arash tentang situasi yang sebenarnya.

Arash terdiam seribu bahasa. Menghadapi sahabat seperti Varen yang rasional, kadang kala cukup menyebalkan. Hingga kemudian, tidak disangka-sangka lelaki yang tengah diperbincangkan justru melangkah mendekat sembari menenteng sebuah kamera digital. Wajahnya tampak serius. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status