Share

Bab 7. Pengakuan Tak Terduga

Tubuh yang semula hanya terasa hangat, kini bertambah suhunya. Tenaga yang semula terjaga, seketika melemah. Akan tetapi, Arash berusaha menahan dirinya hingga angkutan umum sampai di depan gang kos-kosan. 

Arash berjalan gontai, lantas berhenti untuk mengatur nafasnya yang mulai terasa berat. Suhu tubuhnya pun semakin meningkat. 

Kaki-kaki jenjang terbalut celana jeans keabuan lekas diayunkan kembali hingga tepat di seberang kos-kosan. Ada sebuah warung yang juga menjual obat-obatan sederhana. Arash membeli sebotol air mineral, sebungkus roti tawar, juga beberapa tablet obat penurun panas.

“Lagi nggak enak badan, ya, Mbak?” tanya ibu pemilik warung.

Arash hanya tersenyum, lantas mengangguk ringan. Rasa-rasanya tubuhnya semakin melemah sampai-sampai tak sanggup berucap kata.

“Tunggu sebentar, ya. Ibu punya sesuatu untukmu,” pinta ibu pemilik warung.

Sebenarnya tubuh Arash sudah tidak kuat, tapi dia tetap menghargai ibu pemilik warung. Sekitar lima menit lamanya dia berdiri di depan warung sambil bersandar pada tembok. 

Tiada disangka, ibu pemilik warung sungguh berhati mulia. Beliau telah menyiapkan seduhan teh manis dan sepotong puding rasa cokelat. Teh manisnya benar-benar masih panas. Berbeda dengan puding coklat yang tampak seperti baru dikeluarkan dari kulkas.

“Terima kasih banyak, ya, Bu. Maaf merepotkan,” ucap Arash dengan tutur lembut yang terdengar lemah di telinga ibu pemilik warung.

“Istirahatlah! Semoga lekas sembuh.”

Arash mengangguk, lantas tersenyum. Langkahnya kembali terayun menuju kamar kos-kosan. 

Di kos-kosan itu tidak ada yang satu jurusan kuliah dengan Arash. Rata-rata penghuninya sudah berada di semester akhir, bahkan ada yang tinggal menunggu prosesi wisuda. Meski demikian, Arash tetap nyaman tinggal di sana meski tanpa teman akrab, karena kos-kosan itu terjangkau sekali harganya meski agak jauh dari area kampus.

Arash jarang sekali menggunakan angkutan umum ataupun ojek online kalau tidak sedang terdesak. Dia lebih sering berangkat bersama Varen, sahabatnya. Sempat pula ditawari motor oleh sang ibu, tapi Arash tidak ingin egois dan lebih mengutamakan penggunaan motornya untuk sang ibu bekerja di luar kota.

“Sepertinya aku perlu sepeda angin agar tidak terlalu bergantung pada Varen.” Arash membatin sebelum akhirnya berganti baju tidur.

Roti tawar yang tadi dibeli, ditepikan lebih dulu. Arash memakan puding pemberian ibu pemilik warung, lanjut meminum tablet penurun panas. Beberapa seruputan teh panas yang telah hangat sungguh menguntungkan bagi Arash. Perlahan, tubuh Arash menemukan titik nyaman dalam buaian selimut dan bantal, lantas kesadarannya pun menghilang.

***

Bulan sabit menggantung di langit. Varen melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. 

“Pukul setengah delapan malam. Tiga pesanku tidak dibaca, dan teleponku diabaikan. Sepertinya Arash sudah tidur,” terka Varen sembari menenteng kresek kecil berisi obat dan vitamin.

Varen, lelaki sahabat baik Arash itu baru saja keluar dari apotek. Obat dan vitamin yang baru saja dia beli akan diantar ke kos-kosan Arash. Selain menunjukkan kepedulian sebagai sahabat, Varen juga terdesak oleh permintaan seseorang yang tadi sempat menelponnya. Sang penelepon meminta bantuan kepada Varen untuk membantu keperluan Arash selama dia sakit.

“Arash, andai kau tahu. Kau tidak sendirian. Begitu banyak orang yang peduli kepadamu. Aku, ibumu, dan … si Pengecut itu! Kalau bukan karena hutang budi, aku tidak akan sampai melangkah sejauh ini,” celetuk Varen seraya mulai melajukan motornya.

Sejenak, dia teringat masa-masa ketika masih berada di bangku SMA. Kisah kasih di sekolah mulai lumrah di tengah rutinitas belajar yang mencipta kenangan dan cerita. 

Sayang sekali, bayang-bayang sang penelepon beserta kenangan di masa SMA harus buyar lantaran motor Varen ditepikan oleh pengguna motor lainnya. Demi keamanan, Varen terpaksa menghentikan laju motornya.

Varen emosi. Selain karena ingatan tentang dia yang Varen sebut sebagai pengecut, aksi pemotor nekat juga memicu emosinya tersulut.

“Bosan hidup kau, ya?” Telunjuk Varen teracung kepada si pemotor nekat.

Varen seketika terdiam ketika si pemotor membuka helm motornya. Rupanya, dia yang nekat tak lain adalah lelaki yang dicintai Arash. Dio, dialah yang menepikan motor Varen.

Sorry, Ren. Aku terpaksa membuatmu menepi karena sejak tadi kau seperti orang yang tidak fokus mengemudi,” ungkap Dio.

Amarah yang sempat membuncah, seketika teredam seiring dengan kesadaran. Varen menyadari bahwa dirinya sempat larut dalam ingatan masa lalu. Wajar bila tak lagi fokus mengemudi. Jika sudah begini, maka yang harus disalahkan bukanlah Dio, melainkan Varen. Meski tampak menyebalkan, tapi Dio sudah membantu dengan caranya sendiri.

“Kalau begitu terima kasih sudah membuatku menepi,” ucap Varen tanpa ragu.

“Sama-sama. Kau mau ke mana?” tanya Dio sembari melirik ke arah kresek kecil berisi obat dan vitamin. “Siapa yang sakit?” tanyanya kemudian.

“Arash,” jawab Varen spontan.

Tampak perubahan ekspresi yang begitu kentara di wajah Dio. Lelaki yang dicintai Arash itu tampak terkejut. Usai peristiwa di kedai kopi sang ayah, yang membuat Arash sampai menitihkan air mata, sungguh tidak dia duga bahwa wanita yang dia khawatirkan justru sakit di malam harinya.

“Arash sakit apa?” Dio bertanya dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran.

“Kenapa ekspresimu seperti itu? Apa kau mengkhawatirkan Arash?” tanya Varen tanpa ragu. Ada yang ingin dia buru.

Dio terdiam. Dia sadar bahwa ekspresinya terlalu berlebihan.

“Apa salahnya bila aku bertanya keadaan Arash? Bukankah kita teman satu jurusan kuliah?”

“Syukurlah bila kau masih menganggap Arash sebagai teman,” celetuk Varen tiba-tiba.

“Apa maksud ucapanmu? Juga, sebelumnya kau tidak pernah bersikap sedingin ini kepadaku. Apa apa, Ren?”

Dio bertanya panjang lebar. Inilah pertama kalinya Dio dan Varen berbicara serius selain topik perkuliahan. Biasanya, Varen akan mengikuti ritme gaya pertemanan Dio yang terkenal humoris. Namun, kali ini sungguh berbeda. Benar-benar tidak akan ada canda.

“Aku tahu ini bukan urusanku. Aku pun tidak berhak ikut campur ke dalam masalah yang tidak ada sangkut pautnya denganku. Tapi, tidakkah kau sadari kalau selama ini ada yang kau sakiti?” tanya Varen.

Entah apa yang tiba-tiba merasuki diri Varen sehingga dia mengambil sikap gegabah, bahkan terlalu berani mencampuri urusan Arash dengan Dio.

“Bagian mana yang kau sebut menyakiti?” tanya Dio lagi dengan sikap tenang tanpa tersulut emosi.

“Apa kau tidak tahu? Tidak merasa sama sekali?” 

“Perjelas ucapanmu, Ren! Jangan berbelit!” 

“Sejak tadi aku sudah berada dalam topik. Kau saja yang berbelit sampai balik bertanya.” Varen tidak mau mengalah.

“Kalau yang kau maksud adalah perceraian Ayah Zen dan ibunya Arash, itu di luar kendaliku. Aku pernah mencegah, tapi semesta tetap menyatukan Ayah Zen dengan mama.”

Dio menjelaskan dengan apa adanya. “Lagi pula, sejak di hari itu hingga saat ini, Arash tetap bersikap baik kepadaku,” imbuh Dio.

“Oh, iya. Itu benar, karena Arash adalah gadis yang baik. Dia teman yang baik. Dan, apa kau tahu kenapa dia tetap bersikap baik meski kadang kau dan ayah barumu itu mengabaikan dia?”

Dio menggeleng pelan sembari mengendikkan bahunya. Tanda bahwa dia tidak tahu.

“Arash menyukaimu!” tegas Varen.

Sudah benarkah yang Varen lakukan? Apa yang akan terjadi setelah ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status