Share

Bab 6. Terlalu Peduli

Arash menarik lengan Varen hingga ke tepian jalanan besar, dekat gerbang utama kampus. Kurang lebih jarak yang sudah ditempuh adalah seratus meter. Sejauh itu pula Varen hanya manurut saat Arash menarik lengan kirinya. Dia hanya diam, tanpa menyuarakan protes seperti biasanya. Padahal, Arash tak henti-hentinya mengomel di sepanjang perjalanan.

“Berhenti dulu!” tegas Varen sembari melepas cengkraman tangan Arash di lengan kirinya.

Varen tidak membiarkan tangannya bebas begitu saja. Dia justru ganti menggenggam tangan Arash, bahkan kedua tangan gadis itu digenggam. 

“Kau ngapain, sih, Ren?” Arash melepas genggaman tangan Varen.

Di luar dugaan, Varen justru melakukan tindakan lain. Dia ganti menyentuh kedua pipi Arash. 

“Varen! Kau nggak sopan!” protes Arash seraya mundur beberapa langkah ke belakang.

“Diam di situ sebentar!” titah Varen, dan kali ini dia menyentuh bagian kening Arash. “Kau demam,” ungkapnya kemudian.

Arash menepis lengan Varen, lantas memalingkan wajahnya ke sebelah kanan.

“Hanya sedikit hangat. Aku baik-baik saja,” terang Arash dengan nada suara yang di telinga Varen justru terdengar seperti sebuah kebohongan.

“Ck. Sial! Gara-gara membantu si Vina, motorku jadi kutinggal di tempat cucian mobil! Sekarang, aku tidak bisa mengantarmu pulang ke kos-kosan,” sesal Varen.

Arash tertarik dengan kalimat Varen. Vina, dia adalah si cantik tinggi hati yang tak lain adalah rival Arash sejak masa orientasi mahasiswa baru. 

“Jadi, mobil yang tadi itu seriusan milik Vina? Dia dapat mobil dari mana?” tanya Arash spontan.

“Katanya, sih, hadiah dari calon mama barunya. Tadi itu dia tiba-tiba saja telepon minta bantuanku untuk mengambil mobilnya di tempat cucian mobil.”

“Tumben banget dia mau telepon? Bukankah kalian tidak akrab? Si Vina juga tahu kalau kau adalah sabahat dekatku.”

Arash masih tidak percaya dengan sikap Vina yang tiba-tiba saja berubah menjadi tidak biasa.

“Kalau aku, sih, ogah mikir ribet, Rash. Aku iyakan saja, sekalian nyenengin hati ibu di rumah. Ibu senang sekali waktu melihatku mengantar nasi bungkus pakai mobilnya si Vina,” aku Varen.

Arash bersedekap tangan, lantas menatap Varen dengan tatapan penuh keheranan. 

Fix, si Vina mau pamer mobil barunya!” simpul Arash seraya menjentikkan jemarinya.

Satu sentilan mendarat di kening Arash. 

“Jangan bebani dirimu dengan pikiran yang macam-macam, apa lagi kau dalam kondisi demam! Kalau memang si Vina niat pamer, biarkan saja! Abaikan! Yang terpenting, kita harus tetap baik kepada teman,” nasihat Varen dengan bijak.

“Dari dulu aku selalu berusaha menganggap dia sebagai teman, tapi dia selalu saja berkata kasar, menyindirku, dan … ya, kau tahu sendiri bagaimana sikap Vina kepadaku.”

Kembali Varen mendaratkan sentilan tangan di kening Arash, membuat gadis cantik yang sedang demam itu spontan mengerucutkan bibirnya.

“Mau sampai kapan kau menyentil keningku, ha? Bisa-bisa aku makin demam gara-gara ulah tanganmu!” protes Arash.

“Aku akan berhenti ketika pikiranmu jernih. Masih mau menganggap si Vina rival?” tanya Varen.

“Iya. Dan, kau tidak perlu ikut campur dengan itu! Itu urusanku dengan Vina!” tegas Arash, lantas dia pun bergegas balik kanan dan melangkah menjauhi Varen.

Sikap Arash yang demikian sama sekali tidak membuat Varen terkejut. Seorang Arash yang kepala batu, dengan sendirinya akan kembali luluh. Bahkan, menurut pengakuan beberapa teman di kampus, Arash memiliki hati yang mudah tersentuh. Mudah kasihan pula, dan jarang sekali memperpanjang masalah. Namun, ada pengecualian untuk si Vina, karena gadis cantik rival Arash itu memang terus-terusan mencari gara-gara.

“Aku akan mengantarmu pulang,” tutur lembut Varen sembari menyejajarkan langkahnya dengan Arash.

“Aku baik-baik saja, Ren. Bisa pulang sendiri. Lagi pula, motormu ada di tempat cucian mobil, tuh! Ambil, gih!” 

“Akan aku ambil setelah kau sampai di kos-kosan. Yuk, aku temani naik angkutan!”

“Aku mau naik ojek saja.”

“Oke, deh. Biar aku bantu panggilkan ojeknya, ya?”

“Bisa pakai aplikasi ojol, Varen!” Arash spontan menunjukkan aplikasi ojol di ponselnya.

“Kalau begitu, aku bantu memesankan ojol untukmu.”

“Cukup! Kau terlalu peduli padaku! Jangan khawatirkan aku lagi!” tegas Arash sembari menampilkan mimik wajah tidak suka atas sikap Varen.

Arash balik kanan, lantas melangkah dengan cepat meninggalkan Varen. Dia langsung menghentikan sebuah angkutan umum. Pilihan tersebut sebagai penegas pula bahwa dia tidak jadi menggunakan jasa ojek online.

“Sepertinya demam telah mengacaukan pikiranmu,” ujar Varen dengan lirih, lantas dia pun mengalah dan tidak mengejar Arash lagi. 

Dengan lesu, Varen duduk di tepian trotoar. Kalimat terakhir yang dilontarkan Arash, sedikit banyak telah memengaruhi suasana hati dan pikiran. 

Terlalu peduli, ya, Varen pun menyadari. Bukan tanpa sebab pula dia bersikap demikian kepada Arash. Sebuah kisah masa lalu telah mencipta tameng tersendiri, bahkan memicu sikap yang memang pantas dianggap terlalu peduli.

“Aku tahu rasanya menjadi seorang diri. Rasanya begitu sepi. Tanpa ayah dan ibu, bahkan saudara pun seolah menjauh dan tidak mau tahu,” batin Varen seraya melambungkan ingatan kembali ke beberapa tahun lalu ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, yakni ketika dia belum mengenal Arash.

Kedua orangtua Varen pernah menghadapi ujian rumah tangga yang menyebabkan mereka selalu bertengkar, bahkan di hadapan sang putra semata wayang. Mereka juga sempat pisah ranjang tanpa adanya proses perceraian. Setahun lamanya Varen tidak mendapat kasih sayang, bahkan minim perhatian. Sang ayah terus-terusan di luar kota, sementara sang ibu menyibukkan dirinya dengan bekerja sampai kadang lupa bertanya kabar sang putra.

“Beruntungnya aku, karena ayah dan ibuku tidak sampai berpisah. Keharmonisan keluargaku kembali usai goyah setahun lamanya. Berkaca dari itu, kurang lebih aku bisa merasakan kesepianmu, Arash. Aku hanya tidak ingin kau merasa sendiri. Maaf jika aku terlalu peduli,” kembali Varen membatin. Disusul dengan satu tarikan nafas dalam yang sama sekali tidak melegakan hati.

“Halah! Bomat, dah! Bodoh amat! Risiko jadi sahabat penuh nasihat ya begini, deh!” 

Varen dengan mudahnya kembali menguatkan hati. Dia sudah lama mengenal Arash, sehingga sikap tadi pun tidak sampai larut diambil hati.

Detik berikutnya, Varen memesan ojek online. Dia akan menuju tempat cucian mobil guna mengambil motor miliknya. Saat menunggu, tiba-tiba saja ada telepon masuk. 

Varen tidak langsung menerima telepon itu. Jika dia angkat, maka dia harus benar-benar mengambil sikap. Harus berkata jujur atau justru berbohong menutupi keadaan yang sebenarnya.

Lama menimbang, membuat telepon terabaikan. Namun, tak lama setelahnya, nomor telepon yang sama kembali membuat panggilan suara. 

Varen putuskan untuk menerima telepon itu. Segera terdengar pula sebuah suara yang tegas tapi masih tetap terdengar merdu. Sang penelepon, dia tak lain adalah sosok yang menambah alasan bagi Varen untuk terus menampilkan kepedulian kepada Arash.  Bahkan, Varen pernah diminta untuk menjaga Arash. 

Siapakah si penelepon itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status