Keesokan pagi, aku bangun dengan pening luar biasa. Semalaman aku menangis karena kesal. Aku tidak tahu apa yang membuatku seperti ini. Selama ini aku tahu Shane selalu mencintai Erina, tapi pria itu seolah sudah menyerah akan cintanya pada Erina. Aku tidak peduli pada siapa hati Shane dilabuhkan, asalkan ia berada di sini bersamaku.
Perlahan, aku bangun dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Aku melirik ke arah ruang gym yang pintunya dibiarkan terbuka. Shane sedang berada di sana, berkutat dengan barbelnya. Shane adalah pecinta body building. Dia hampir tidak pernah melewatkan olahraga di pagi hari. Dia seorang morning person. Selalu bangun pagi kemudian jogging di sekitar wilayah apartemen kami. Jika dia tidak sempat jogging, maka dia akan menambah waktu di ruang gym pribadinya seperti yang sekarang sedang ia lakukan. Tadi malam adalah pertama kalinya kami bertengkar hebat. Biasanya kami tidak pernah saling peduli. Namun entah kenapa aku benar-benar tidak terima dengan kenyataan bahwa Shane bertemu Erina di Korea. Dan lebih menyebalkannya lagi, Shane menolak untuk menjelaskan apapun padaku. Aku berjalan ke ruang makan dan mendapati sarapan sudah tertata di meja. Shane pasti sudah memasak sebelum nge-gym. Barangkali ini adalah salah satu alasan kenapa aku mulai tidak rela jika Shane masih menyimpan perasaan pada Erina, apa lagi menemui wanita itu. Shane benar-benar memperlakukanku dengan baik sejak kami menikah. Dia melakukan semua hal sendiri tanpa pernah menuntut apapun padaku. Aku beberapa kali berniat untuk belajar memasak, tapi niatku itu hanya disambut dengan ekspresi dingin Shane seolah-olah ia tidak mempercayai dapurnya padaku. Mungkin dia takut aku akan meledakkan dapur ini atau apa. Jika hanya untuk menyewa beberapa pembantu, Shane sangat sanggup melakukannya. Akan tetapi dia menolak kehadiran orang asing di penthouse-nya. Mungkin dia meminimalisir ada orang lain yang tahu tentang kehidupan rumah tangga kami yang sebenarnya. Aku duduk di salah satu kursi dan mulai menyesap segelas susu hangat yang sudah Shane siapkan di meja. Tak berselang lama, Shane muncul di ruang makan. Aku tidak mempermasalahkan dia datang kemari tanpa mandi terlebih dahulu. Shane tidak pernah bau meskipun ia sedang berkeringat. Shane selalu wangi. Aku hanya berpura-pura fokus pada susu hangatku tanpa menatapnya. Aku hanya meliriknya sedikit. Hanya ada sedikit sisa keringat di keningnya. Dia pasti sudah mengelap tubuhnya sebelum datang kemari. Shane duduk di hadapanku kemudian mulai meneguk air putih banyak-banyak. Ia lalu meletakkan gelasnya dan memainkan ponselnya selagi menikmati sarapannya yang berupa salad sayur dan telur rebus. Seperti biasa, kami makan dalam diam. Hanya saja kali ini ketegangan lebih terasa karena kejadian tadi malam. Tiba-tiba ponsel Shane berdering di tangannya. Jika kulihat dari ekspresi wajah Shane, yang menelepon pasti orang yang sedang tidak ia harapkan. Siapa lagi jika bukan mami atau papinya. Shane mendesah kesal sebelum kemudian mengangkat panggilan tersebut. "Ya, Mi?" Shane sedikit melirikku. Ia terdiam beberapa saat karena maminya masih berbicara di ujung sambungan. Bisa kutebak, pembicaraan mereka pasti mengenai artikel tempo hari. "Aku memang lagi melakukan perjalanan bisnis selama seminggu belakangan, Mi. Mami kan tahu aku harus bertemu tuan Kim untuk membicarakan tentang investasiku di perusahaannya," jelas Shane tegas. Lagi-lagi Shane mendesah. Rautnya terlihat semakin kesal. "Aku memang bertemu Erina, tapi itu bukan sebuah kesengajaan. Erina bekerja di sana dan kami berpas-pasan di restauran itu. Lalu apa salahnya kami makan bersama sebagai teman lama?" Aku mencibir dalam hati. Teman lama katanya. Mereka adalah mantan kekasih dan mereka masih saling menyukai. Mungkin mereka tidak sepenuhnya bersalah di sini. Shane dan Erina mulanya adalah sepasang kekasih namun mereka harus berpisah karena perjodohan kami. Jika dilihat dari sudut pandang kedua orang itu, mereka juga adalah korban atas keputusan orang tua kami. Meski begitu, aku juga tidak ingin menjadi pihak yang dirugikan. Aku sudah mengorbankan masa mudaku karena pernikahan ini. Shane adalah suamiku. Kami sah di mata hukum dan agama. Tentu saja aku tidak mau mengalah. "Dia baik-baik aja," ujar Shane lagi seraya melirik ke arahku. Pasti maminya sedang menanyakan soal aku. Shane lalu menyodorkan ponselnya padaku. Aku menerima ponsel itu dan menekan tombol loudspeaker. "Iya, Mami? Ini aku. Melody," ucapku. "Mel sayang. Kamu jangan sedih ya? Mami pastikan berita itu gak sepenuhnya benar. Perempuan itu memang mantan pacar Shane, kita semua tau. Tapi Shane sudah menikah dengan kamu. Shane pasti akan lebih memilih mempertahankan pernikahannya dengan kamu. Itu bukan sebuah pertemuan yang berarti." Mertua perempuanku itu menjelaskan panjang lebar seolah sangat takut aku akan membuat sebuah keputusan yang mengancam kerja sama perusahaan keluargaku dengan keluarganya. Shane hanya memutar matanya dengan malas seakan sedang mendengar omong kosong. Kenyataannya, yang diucapkan mami Shane adalah omong kosong. Orang tua kami berpikir bahwa kami sudah menerima perjodohan ini mengingat usia pernikahan kami sudah menginjak satu tahun. Mereka tidak tahu saja bahwa aku dan Shane tidur di kamar yang terpisah. Shane bahkan belum pernah menyentuhku selayaknya suami istri. "Iya, Mami..." hanya itu yang bisa kuucapkan. Toh, aku tidak memiliki kuasa apa-apa di sini. Di rumah orang tuaku, aku hanya dibesarkan sebagai pewaris. Ketika aku tumbuh besar dan mereka menganggap sikap manja dan kekanakanku tidak cocok untuk meneruskan perusahaan, mereka segera mengambil langkah ekstrem, yaitu menjodohkanku dengan pria yang mereka anggap mampu untuk meneruskan dan memperluas bisnis keluarga kami. Jika boleh jujur, hidup bersama Shane jauh lebih baik dibandingkan tinggal bersama kedua orang tuaku. Di sana, aku tidak boleh melakukan apapun yang tidak sesuai dengan jadwal yang sudah disusun untukku. Bagi mereka, apapun yang kulakukan akan berdampak besar bagi citra keluarga kami. Sedangkan bersama Shane, aku boleh melakukan apapun yang kusukai. Shane memperbolehkan aku membeli mainan-mainan viral yang aku gunakan untuk membuat konten seru-seruan dan ditonton banyak orang. Shane juga mengizinkan aku memelihara kucing meski kucing yang kupelihara akhirnya mati dua bulan lalu karena tertabrak saat kubawa bermain di taman. Itulah yang membuatku takut kehilangan Shane. Aku tidak ingin membuat Shane muak padaku dan berujung bercerai kemudian mengembalikan aku ke mansion orang tuaku. Suara lembut mami Shane terdengar lagi. "Jangan terlalu banyak pikiran ya, sayang? Mami ingin Melody selalu bahagia. Dengan begitu, Melody pasti bisa lebih mudah untuk hamil." Shane menyemburkan air putihnya begitu mendengar ucapan maminya.Perjalananan dari resort menuju rumah sakit membutuhkan waktu selama hampir satu jam lamanya. Selama di dalam taksi, aku tidak bisa tenang sama sekali. Semua kemungkinan-kemungkinan terburuk hilir mudik di kepalaku. Ponselku di dalam tas terus bergetar, namun aku tak berani membukanya. Aku takut kalau itu adalah kabar buruk. Aku tidak ingin mendengar kabar buruk sementara aku masih dalam perjalanan. Kalaupun ada hal tak diinginkan yang terjadi, lebih baik aku tahu setelah tiba di sana. Aku yakin Papa akan baik-baik saja. Mana mungkin Papa meninggalkanku sendiri 'kan? Papa sangat menyayangiku. Setelah perceraianku dengan Shane, dan kini Mama juga pergi, aku hanya memiliki Papa. Tuhan, aku tidak meminta banyak. Ketika Shane tidak menginginkanku, aku rela mundur dari kehidupannya tanpa menuntut padaMu untuk membuat Shane mencintaiku. Lalu ibuku sendiri memilih untuk pergi bersama laki-laki pilihannya. Aku ikhlaskan dia jika itu adalah kebahagiaannya. Tapi tolong, jangan ambil Papa.
Tepat setelah lima hari Papa dirawat di rumah sakit, Mama kembali ke kota ini. Aku tidak mengizinkan Mama untuk datang ke rumah sakit, melainkan aku meminta untuk bertemu di tempat lain. Aku tidak mau kondisi Papa memburuk karena bertemu Mama yang merupakan pemicu utama sakitnya Papa. Kami memutuskan untuk bertemu di resort Pantai Putih. Aku tiba lebih dulu dan memutuskan untuk duduk di teras resort sambil menunggu Mama. Sepuluh menit kemudian, Lita datang mengantar Mama. Begitu melihatku, Mama langsung memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku hanya terdiam, bingung harus bereaksi seperti apa. Aku merindukan Mama, namun di sisi lain, rasa kecewaku lebih besar. Aku memberi isyarat pada Lita untuk meninggalkan kami. Perlahan, aku melepaskan pelukan Mama. Aku berpindah tempat duduk hingga kini aku duduk di seberang meja. Ekspresi Mama terlihat semakin sedih karena aku terang-terangan menjauhinya. "Kenapa Mama melakukan ini semua?" tanyaku tanpa ekspresi. Mama mengusap air matan
Sudah tiga hari semenjak Papa dirawat di rumah sakit. Keadaan Papa berangsur-angsur membaik. Setidaknya menurutku begitu karena Papa kini sudah bisa membuka mata dan merespon tiap kali kuajak bicara. Papa juga mulai berusaha untuk berbicara meski aku berkali-kali melarangnya untuk memaksakan diri. Aku tidak mau Papa semakin tertekan dan merasa harus dituntut sembuh secepatnya. Dokter bilang, Papa harus menjalani terapi nantinya agar dapat berbicara dan beraktivitas lagi. Sambil mengurus Papa di rumah sakit, aku tetap pergi ke kampus. Jena banyak membantuku dengan membuatkan daftar tugas-tugas dan mengurutkannya sesuai deadline. Jena juga berbaik hati mencatat semua materi yang disampaikan dosen untukku ketika aku kelelahan dan tertidur di kelas atau saat aku harus melewatkan kelas karena mengurusi Papa. Sepulang dari kampus, Pak Arman lah yang selalu menjemputku dan mengantarkanku ke rumah sakit. Aku tidak pernah pulang ke rumah selama tiga hari belakangan. Aku mempercayakan rumah
Aku pulang ke rumah naik taksi setelah menolak penawaran Shane untuk mengantarku pulang. Bisa-bisa Papa marah lagi padaku kalau sampai Papa tahu aku semalaman tidak pulang karena menginap di tempat Shane. Saat aku berjalan mendekati gerbang mansion, dua satpam yang sedang berjaga segera berlari ke arahku. "Nona Melody akhirnya pulang." Aku berhenti dan menatap mereka bingung. "Ada apa?" tanyaku. "Tuan masuk rumah sakit, Nona." Kakiku terasa lemas seketika. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap berdiri meskipun tubuhku mulai bergetar. "Kapan? Papa kenapa?" "Sekitar tiga puluh menit yang lalu, Nona. Pagi tadi Bu Nani menemukan Tuan terjatuh di halaman belakang." Aku menyentuh kepalaku. "Kenapa gak ada yang hubungi saya?" "Tuan melarang kami, Nona. Tuan bilang barangkali Nona menginap di hotel tempat pesta Tuan James diselenggarakan. Tuan berpesan agar kami cukup memberitahu Nona saat Nona tiba." Tidak ada gunanya aku marah sekarang. Aku harus segera tiba di rumah sa
Aku terbangun dengan pening luar biasa. Untuk duduk pun rasanya tak sanggup. Dengan mata masih tertutup, aku menyentuh kepalaku. Aku menggeliat tak nyaman di atas ranjang yang begitu empuk. Bayang-bayang mimpi tadi malam terasa begitu nyata. Mulai saat ini aku harus lebih berhati-hati dengan alkohol. Aku tidak mau berhalusinasi liar lagi terutama tentang Shane. Perlahan, kubuka mataku. Aku mengerjap beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya matahari yang masuk melalui dinding kaca yang menampilkan pemandangan langit biru di pagi hari. Tunggu... Dinding kaca? Langit biru? Mansion milik keluargaku hanya terdiri dari dua lantai. Kamarku berada di lantai dua dan tidak menggunakan dinding kaca, melainkan hanya sebuah jendela besar yang tirainya selalu tertutup rapat jika aku masih tidur. Tidak akan ada pelayan yang berani masuk ke kamarku tanpa seizinku. Aku mengedarkan pandanganku. Seiring pengelihatanku semakin jelas, aku kini yakin bahwa ini bukan kamarku dan ini j
Suaraku sedikit bergetar di awal lagu karena aku masih merasa gugup. Untungnya aku mulai bisa mengendalikan diriku hingga perlahan, suaraku menjadi stabil. Sudah lama aku tidak bernyanyi, terutama di depan banyak orang seperti ini. Aku rindu saat di mana aku selalu tampil percaya diri di depan teman-teman sekolahku. Aku rindu dengan ekspresi kagum dan tepuk tangan dari mereka. Aku merindukan kehidupanku yang dulu. "I wish I could lay down beside you, when the day is done... and wake up to your face against the morning sun..." Tatapanku bertemu dengan mata Shane tanpa sengaja. Biasanya aku tidak pernah benar-benar menatap mata orang ketika aku sedang berada di panggung karena itu hanya akan membuatku gugup. Ajaibnya ketika melihat Shane, aku malah merasa tenang. Erina masih duduk di sisinya, namun aku merasa Shane seolah sedang sendiri. Ia hanya memperhatikan aku dan bukannya Erina yang menjadi pendampingnya malam ini. Pernikahan kami tidak dibangun di atas lahan yang rata,