Share

2. Mas Bara

Sial sekali aku pagi ini, setelah menunggu mbak Alya yang mandi pagi lama sekali malah ganti mas Bara yang masuk kamar mandi. Aku menghentakkan kaki dengan kesal, sangat tidak berperasaan. Aku juga mau sekolah dan hari ini piketku, aku harus datang ke sekolah lebih awal. Ini aku malah dihadapkan pada proses menunggu untuk yang kedua kalinya. Mana mas Bara pun ternyata mandinya juga lama seperti mbak Alya. Apa sih yang mereka bersihkan sampai begitu lamanya di kamar mandi yang hanya satu-satunya di rumah ini.

Mas Bara keluar kamar mandi hanya memakai celana pendek dan handuk yang melingkar di lehernya. Dadanya hampir terlihat sempurna, gila! Aku membuang muka. Tanpa bicara aku pun ngeloyor masuk ke kamar mandi.

Bayangan tubuh mas Bara yang atletis menggodaku. Rambutnya yang basah dan tetesan air yang membasah di pundaknya kemudian mengalir ke lengannya yang kekar terus saja membayangiku. Sial, kenapa aku jadi memikirkan fisik suami kakakku.

Air dingin mengguyur tubuhku. Rasa dingin bersensasi segar membuatku sedikit berpikir jernih untuk segera menyelesaikan pekerjaan pagiku. Untuk kemudian aku bisa berangkat sekolah dengan cepat. Ayah pasti sudah berangkat kerja dari subuh tadi, sama seperti ibu yang juga sudah mulai menjajakan kue meskipun sudah di larang oleh Mbak Alya. Katanya ibu tidak capek. Tidak mungkin bukan setelah persiapan panjang acara pernikahan kok katanya tidak capek. Ibu pasti takut tidak bisa belanja, makanya cepat-cepat kembali bekerja.

Di rumah hanya tinggal aku dan pasangan pengantin baru itu. Aku harus cepat-cepat pergi dari pada melihat adegan yang tidak kuinginkan, dan aku juga takut anganku jadi traveling ke mana-mana.

"Hei, Aruna .... Kamu tidak sarapan dulu?"

Mbak Alya meneriakiku saat aku dengan buru-buru memakai sepatuku. Biasanya ini pekerjaan paling terakhir yang kulakukan saat akan berangkat sekolah. Mbak Alya dengan tergesa-gesa menghampiriku, saat itu aku sedang mengikat tali sepatu sambil duduk di dekat pintu depan.

"Tidak usah, Mbak. Aku bisa terlambat nanti, soalnya hari ini piketku."

"Tapi aku tadi sudah membuat nasi goreng, sarapan lah dulu."

"Simpan saja untuk makan siangku, Mbak."

"Sarapan dulu sama kami, nanti biar Mas Bara mengantarmu ke sekolah. Kamu tidak perlu nunggu angkot lama-lama."

Tawaran mbak Alya membuatku tergiur. Kapan lagi aku bisa naik mobil mewahnya mas Bara. Seru pastinya nanti, di sekolah teman-teman akan memperhatikanku. Aku menyetujui tawaran Mbak Alya, kubuka lagi sepatuku dan melangkah mengikuti langkah mbak Alya ke ruang makan. Di sana mas Bara sudah menunggu.

Seporsi nasi goreng buatan mbak Alya mulai kunikmati dengan tenang. Begitu pun mas Bara dan mbak Alya yang duduk berdampingan sambil sarapan, sesekali mereka saling bersenggolan siku. Saling melirik dan tersenyum malu. Buset! Aku malah jadi salah tingkah melihat kemesraan pengantin baru ini, kenapa juga tadi aku mau menerima tawaran mbak Alya. Lebih baik aku mengambil sikap pura-pura tidak tahu, padahal hatiku sumpah sangat risih sekali.

Aku mengakhiri sarapanku dengan minum air putih, mengelap mulut dengan tisu dan beranjak pergi.

"Mbak aku sudah selesai, nih."

Kataku untuk menyadarkan pasangan yang masih asik sarapan ini.

"Oh, iya. Ayo antar Aruna sekolah, Mas. Mumpung ada kesempatan, kita kan masih cuti kerja."

Mbak Alya mengakhiri sarapannya diikuti oleh mas Bara juga.

"Iya, tunggu aku siap-siap dulu."

Mas Bara melangkah ke kamar.

"Tunggu di depan ya, Aruna."

Perintah mbak Alya sambil buru-buru menyusul suaminya ke kamar. Aku tidak menyahut. Kulangkahkan kaki keruang depan untuk memakai sepatuku lagi.

"ih, Mas .... Geli, jangan gitu."

Suara manja mbak Alya terdengar saat aku melewati kamarnya. Entah apa yang sedang dilakukan mas Bara padanya. Aku menggeleng resah. Katanya mau bersiap malah bermesraan lagi, dasar!

"Ayo, Mbaaaak ...."

Teriakku jengkel, sepatuku sudah terpasang rapi tapi mas Bara tak kunjung ke luar kamar. Entah mereka sedang apa di kamar, bukannya mas Bara tadi sudah memakai pakaian layak kalau cuma untuk mengantarku ke sekolah saja. Berarti tinggal mengambil kunci mobil bukan?

"Iyaaaaaa."

Suara mbak Alya menyahut dari dalam. Terlihat keduanya ke luar kamar dengan mesra, mbak Alya bergelayut manja di pundak mas Bara. Mengapa mereka memakai baju bagus dan rapi seperti mau pergi saja? Jadi, ceritanya ini mbak Alya juga ikut mengantarku ke sekolah. Idih, nggak banget deh! Aku menggeleng kesal, tidak seperti yang kubayangkan tadi.

Mobil melaju dengan santai, aku seperti orang bodoh yang duduk di kursi belakang sambil melihat kemesraan pasangan pengantin baru di depanku. Bahkan sepanjang perjalanan tangan mereka berpegangan, o my God! belum lagi saat mereka saling menatap dengan mesra dan tersenyum bersama. Membuat aku ingin cepat-cepat sampai di sekolah saja

Dulu, sewaktu mbak Alifia baru menikah dengan mas Bilal, aku baru lulus SD. Aku tidak peduli dan tidak mengerti kemesraan mereka. Tapi saat mbak Alya menikah, aku sudah SMA dan, oh no .... Mau tidak mau sekarang aku harus merasakan ini. Sumpah, tidak nyaman sekali melihat mbak Alya dan mas Bara dalam kemesraan.

Apakah semua pengantin baru akan seperti mbak Alya dan mas Bara? Sepertinya mereka sangat bahagia sekali. Apakah setiap orang yang sudah menikah akan sangat senang sekali menjalani hidup baru mereka dengan pasangannya. Iya kalau pasangannya tampan dan kaya seperti mas bara, pasti senang.

Mbak Alya akan memiliki hidup baru yang jauh lebih baik dari hidup lamanya. Selamanya hidup dalam kesederhanaan akan membuat mbak Alya tidak mau menoleh ke belakang lagi. Masa depannya akan lebih indah dan ceria bersama suaminya.

Apakah akan bahagia juga jika seseorang mendapat pasangan hidup yang jelek dan miskin? pasti tidak, karena apa yang akan dibanggakannya di depan khalayak umum. Mungkin malah akan timbul rasa malu dan minder saja. Berarti kelak aku harus mendapatkan laki-laki seperti mas Bara. Aku tidak mau kalah dengan mbak Alya.

Tapi aku juga masih ingin kuliah, aku ingin punya pendidikan lebih tinggi dari kedua saudaraku. Pokoknya, sebagai si bungsu aku harus lebih istimewa. Apa lagi mbak Alya sudah menawariku untuk memilih universitas yang kusuka. Mbak Alya sanggup membiayai kuliahku dengan uang tabungannya. Baiklah, aku harus memperoleh gelar yang akan membuatku lebih percaya diri. Aku akan punya banyak kesempatan mempunyai hidup lebih baik dari kedua saudaraku nantinya.

"Sudah sampai, Aruna."

Lamunanku buyar karena suara mbak Alya menyadarkanku. Pintu gerbang sekolah sudah terpampang di depan mata.

Aku membuka pintu mobil dan ke luar. Mbak Alya membuka kaca depan dan melambaikan tangan padaku.

"Hati-hati dan belajar yang benar."

"Iya, Mbak. Terima kasih ya Mas Bara."

Aku menunduk demi melihat ke arah mas Bara, ternyata mas Bara hanya mengangguk dan tersenyum kecil padaku.

Sial!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status