Share

2. Mas Bara

Author: Tutyas
last update Last Updated: 2023-10-09 20:25:38

Sial sekali aku pagi ini, setelah menunggu mbak Alya yang mandi pagi lama sekali malah ganti mas Bara yang masuk kamar mandi. Aku menghentakkan kaki dengan kesal, sangat tidak berperasaan. Aku juga mau sekolah dan hari ini piketku, aku harus datang ke sekolah lebih awal. Ini aku malah dihadapkan pada proses menunggu untuk yang kedua kalinya. Mana mas Bara pun ternyata mandinya juga lama seperti mbak Alya. Apa sih yang mereka bersihkan sampai begitu lamanya di kamar mandi yang hanya satu-satunya di rumah ini.

Mas Bara keluar kamar mandi hanya memakai celana pendek dan handuk yang melingkar di lehernya. Dadanya hampir terlihat sempurna, gila! Aku membuang muka. Tanpa bicara aku pun ngeloyor masuk ke kamar mandi.

Bayangan tubuh mas Bara yang atletis menggodaku. Rambutnya yang basah dan tetesan air yang membasah di pundaknya kemudian mengalir ke lengannya yang kekar terus saja membayangiku. Sial, kenapa aku jadi memikirkan fisik suami kakakku.

Air dingin mengguyur tubuhku. Rasa dingin bersensasi segar membuatku sedikit berpikir jernih untuk segera menyelesaikan pekerjaan pagiku. Untuk kemudian aku bisa berangkat sekolah dengan cepat. Ayah pasti sudah berangkat kerja dari subuh tadi, sama seperti ibu yang juga sudah mulai menjajakan kue meskipun sudah di larang oleh Mbak Alya. Katanya ibu tidak capek. Tidak mungkin bukan setelah persiapan panjang acara pernikahan kok katanya tidak capek. Ibu pasti takut tidak bisa belanja, makanya cepat-cepat kembali bekerja.

Di rumah hanya tinggal aku dan pasangan pengantin baru itu. Aku harus cepat-cepat pergi dari pada melihat adegan yang tidak kuinginkan, dan aku juga takut anganku jadi traveling ke mana-mana.

"Hei, Aruna .... Kamu tidak sarapan dulu?"

Mbak Alya meneriakiku saat aku dengan buru-buru memakai sepatuku. Biasanya ini pekerjaan paling terakhir yang kulakukan saat akan berangkat sekolah. Mbak Alya dengan tergesa-gesa menghampiriku, saat itu aku sedang mengikat tali sepatu sambil duduk di dekat pintu depan.

"Tidak usah, Mbak. Aku bisa terlambat nanti, soalnya hari ini piketku."

"Tapi aku tadi sudah membuat nasi goreng, sarapan lah dulu."

"Simpan saja untuk makan siangku, Mbak."

"Sarapan dulu sama kami, nanti biar Mas Bara mengantarmu ke sekolah. Kamu tidak perlu nunggu angkot lama-lama."

Tawaran mbak Alya membuatku tergiur. Kapan lagi aku bisa naik mobil mewahnya mas Bara. Seru pastinya nanti, di sekolah teman-teman akan memperhatikanku. Aku menyetujui tawaran Mbak Alya, kubuka lagi sepatuku dan melangkah mengikuti langkah mbak Alya ke ruang makan. Di sana mas Bara sudah menunggu.

Seporsi nasi goreng buatan mbak Alya mulai kunikmati dengan tenang. Begitu pun mas Bara dan mbak Alya yang duduk berdampingan sambil sarapan, sesekali mereka saling bersenggolan siku. Saling melirik dan tersenyum malu. Buset! Aku malah jadi salah tingkah melihat kemesraan pengantin baru ini, kenapa juga tadi aku mau menerima tawaran mbak Alya. Lebih baik aku mengambil sikap pura-pura tidak tahu, padahal hatiku sumpah sangat risih sekali.

Aku mengakhiri sarapanku dengan minum air putih, mengelap mulut dengan tisu dan beranjak pergi.

"Mbak aku sudah selesai, nih."

Kataku untuk menyadarkan pasangan yang masih asik sarapan ini.

"Oh, iya. Ayo antar Aruna sekolah, Mas. Mumpung ada kesempatan, kita kan masih cuti kerja."

Mbak Alya mengakhiri sarapannya diikuti oleh mas Bara juga.

"Iya, tunggu aku siap-siap dulu."

Mas Bara melangkah ke kamar.

"Tunggu di depan ya, Aruna."

Perintah mbak Alya sambil buru-buru menyusul suaminya ke kamar. Aku tidak menyahut. Kulangkahkan kaki keruang depan untuk memakai sepatuku lagi.

"ih, Mas .... Geli, jangan gitu."

Suara manja mbak Alya terdengar saat aku melewati kamarnya. Entah apa yang sedang dilakukan mas Bara padanya. Aku menggeleng resah. Katanya mau bersiap malah bermesraan lagi, dasar!

"Ayo, Mbaaaak ...."

Teriakku jengkel, sepatuku sudah terpasang rapi tapi mas Bara tak kunjung ke luar kamar. Entah mereka sedang apa di kamar, bukannya mas Bara tadi sudah memakai pakaian layak kalau cuma untuk mengantarku ke sekolah saja. Berarti tinggal mengambil kunci mobil bukan?

"Iyaaaaaa."

Suara mbak Alya menyahut dari dalam. Terlihat keduanya ke luar kamar dengan mesra, mbak Alya bergelayut manja di pundak mas Bara. Mengapa mereka memakai baju bagus dan rapi seperti mau pergi saja? Jadi, ceritanya ini mbak Alya juga ikut mengantarku ke sekolah. Idih, nggak banget deh! Aku menggeleng kesal, tidak seperti yang kubayangkan tadi.

Mobil melaju dengan santai, aku seperti orang bodoh yang duduk di kursi belakang sambil melihat kemesraan pasangan pengantin baru di depanku. Bahkan sepanjang perjalanan tangan mereka berpegangan, o my God! belum lagi saat mereka saling menatap dengan mesra dan tersenyum bersama. Membuat aku ingin cepat-cepat sampai di sekolah saja

Dulu, sewaktu mbak Alifia baru menikah dengan mas Bilal, aku baru lulus SD. Aku tidak peduli dan tidak mengerti kemesraan mereka. Tapi saat mbak Alya menikah, aku sudah SMA dan, oh no .... Mau tidak mau sekarang aku harus merasakan ini. Sumpah, tidak nyaman sekali melihat mbak Alya dan mas Bara dalam kemesraan.

Apakah semua pengantin baru akan seperti mbak Alya dan mas Bara? Sepertinya mereka sangat bahagia sekali. Apakah setiap orang yang sudah menikah akan sangat senang sekali menjalani hidup baru mereka dengan pasangannya. Iya kalau pasangannya tampan dan kaya seperti mas bara, pasti senang.

Mbak Alya akan memiliki hidup baru yang jauh lebih baik dari hidup lamanya. Selamanya hidup dalam kesederhanaan akan membuat mbak Alya tidak mau menoleh ke belakang lagi. Masa depannya akan lebih indah dan ceria bersama suaminya.

Apakah akan bahagia juga jika seseorang mendapat pasangan hidup yang jelek dan miskin? pasti tidak, karena apa yang akan dibanggakannya di depan khalayak umum. Mungkin malah akan timbul rasa malu dan minder saja. Berarti kelak aku harus mendapatkan laki-laki seperti mas Bara. Aku tidak mau kalah dengan mbak Alya.

Tapi aku juga masih ingin kuliah, aku ingin punya pendidikan lebih tinggi dari kedua saudaraku. Pokoknya, sebagai si bungsu aku harus lebih istimewa. Apa lagi mbak Alya sudah menawariku untuk memilih universitas yang kusuka. Mbak Alya sanggup membiayai kuliahku dengan uang tabungannya. Baiklah, aku harus memperoleh gelar yang akan membuatku lebih percaya diri. Aku akan punya banyak kesempatan mempunyai hidup lebih baik dari kedua saudaraku nantinya.

"Sudah sampai, Aruna."

Lamunanku buyar karena suara mbak Alya menyadarkanku. Pintu gerbang sekolah sudah terpampang di depan mata.

Aku membuka pintu mobil dan ke luar. Mbak Alya membuka kaca depan dan melambaikan tangan padaku.

"Hati-hati dan belajar yang benar."

"Iya, Mbak. Terima kasih ya Mas Bara."

Aku menunduk demi melihat ke arah mas Bara, ternyata mas Bara hanya mengangguk dan tersenyum kecil padaku.

Sial!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   131. Kau Putraku, Afnan.

    "Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   130. Tenangkan aku

    "Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   129. Kubawa Pada Siapa Luka ini

    "Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   128. Maafkan Ibu

    Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   127. Bersiap Untuk Berpisah

    Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   126. Permintaan yang Berat

    Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   125. Biarkan Semua Berlalu

    "Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   124. Aku Bukan Aruna yang Dulu

    Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   123. Pilihan Hidup

    Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status