Share

Berikan Suamimu Untukku, Mbak
Berikan Suamimu Untukku, Mbak
Penulis: Tutyas

1. Aruna

"Aruna itu cantik, tinggi dan pandai bergaul."

"Iya, dia itu si bungsu penyempurna kakak-kakaknya. Alifia cantik tapi pendek. Alya kurang menarik, postur tubuhnya saja yang bagus."

"Dan Aruna punya sisi positif keduanya ditambah sifatnya yang ceria dan enerjik."

Tetangga sibuk menggunjingkanku saat usiaku menginjak dewasa ini, dan aku suka sekali dengan pujian mereka.

Namaku Aruna, aku kelas tiga SMA. Aku adalah anak bungsu, kakak pertamaku sudah menikah dan kakak kedua juga akan segera menikah.

Pernikahan mbak Alifia dan mas Bilal yang diadakan di rumah ini enam tahun yang lalu belum juga terhapus dalam ingatanku. Pesta yang lumayan meriah dan sangat mengesankan. Kakak sulungku mendapatkan suami dari luar pulau, hubungan mereka terjalin karena perkenalan melalui sosial media. Tidak ada yang menduga jika mas Bilal benar-benar serius mempersunting mbak Alifia menjadi istrinya. Seminggu setelah pesta, pasangan pengantin baru itu harus meninggalkan rumah ini. Semua karena pekerjaan mas Bilal yang tidak bisa ditinggalkan lama-lama.

Katanya Mas Bilal mempunyai kebun sawit yang luasnya berhektar-hektar, semuanya digarap oleh orang. Mas Bilal tetap bekerja mengawasi pekerjaan mereka. Selain itu mas Bilal mempunyai pondok pesantren yang dipimpinnya langsung. Meskipun tidak terlalu besar tapi mas Bilal tidak bisa meninggalkan santrinya. Para santri itu membutuhkannya sebagai pimpinan pondok.

Satu tahun menikah mereka dikaruniai putra yang diberi nama Bahir. Menurutku kehidupan mbak Alifia sudah terjamin di sana. Mas Bilal mampu memberikan kesejahteraan untuk keluarga kecilnya.

"Jangan pakai celana pendek seperti itu, tidak baik dilihat oleh calon keluarga besar Ibu," seperti biasa ibu selalu mengaturku. Padahal aku ingin tampil seksi disaat acara pertunangannya mbak Alya.

"Iya, iya."

Aku bersungut dan masuk ke kamar untuk menuruti ibu.

Mbak Alya adalah putri kedua keluarga kami, sama seperti mbak Alifia, mbak Alya juga mempunyai sifat pendiam dan pemalu. Aku juga tidak habis fikir, gadis lugu seperti mbak Alya bisa memikat hati mas Bara.

"Kenapa bukan aku saja yang dipilih Mas Bara untuk jadi istrinya, ya? Aku kan lebih cantik dari Mbak Alya."

Aku bicara sendiri saat tahu hubungan mereka benar-benar sudah masuk kejenjang serius.

Mas Bara adalah putra tunggal dari keluarga kaya yang terkenal sangat baik hati dan dermawan. Usia mas Bara sama dengan mbak Alifia, tiga puluh tahun. Sementara mbak Alya berusia dua puluh lima tahun. Perkenalan mereka berawal dari saat mbak Alya bekerja di salah satu toko milik keluarga mas Bara. Setelah lulus sekolah mbak Alya memang memutuskan untuk langsung bekerja. Takdir baik menyapa mbak Alya, putra bos besarnya ternyata menaruh hati padanya.

Mbak Alya menerima cinta mas Bara dan kemudian mereka memutuskan untuk menikah. Empat tahun mbak Alya bekerja dengan giat dan jujur di toko mas Bara. Ternyata mbak Alya mendapatkan perhatian khusus dari mas Bara dan kedua orang tuanya. Mereka sepakat untuk melamar mbak Alya yang hanya dari keluarga ekonomi kelas menengah ke bawah. Mbak Alya sangat beruntung, menjadi menantu keluarga kaya raya. Selain tampan dan baik, mas Bara adalah pewaris tunggal kekayaan keluarganya.

Di usianya yang masih muda mas Bara pun sudah terjun ke dunia bisnis. Mengelola beberapa toko di bawah bimbingan dan pengawasan Pak Hardiyanto, nama papanya mas Bara. Nama yang sangat terkenal di daerah kami juga beberapa daerah sekitarnya. Pengusaha sukses yang memiliki toko yang berada di beberapa tempat.

Sementara keluargaku hanyalah keluarga sederhana dan tidak mempunyai keistimewaan apa-apa. Ayahku bekerja sebagai buruh harian lepas dan ibuku penjual kue keliling. Kami tiga bersaudara dari kecil sudah diajari hidup hemat, supaya kami bisa bersekolah seperti teman yang lainnya.

Ayah dan ibu bekerja keras setiap hari hanya demi mencukupi kebutuhan keluarga yang sangat sederhana ini. Kami hanya memikirkan bagaimana caranya bisa makan sehari-hari dan membayar uang sekolah. Masalah membeli pakaian belum tentu kami mampu selain membeli seragam sekolah dan pakaian lebaran.

Kendaraan pribadi pun kami tidak memilikinya meskipun hanya sepeda motor. Pergi ke mana-mana kami menggunakan jasa kendaraan umum.

Setelah mbak Alifia tinggal di Kalimantan barulah ayah bisa membeli sepeda motor. Kendaraan satu-satunya itu digunakannya untuk pulang dan pergi bekerja. Tempat kerja ayah tidak menentu, tergantung di mana tenaganya dibutuhkan. Mas Bilal dan mbak Alifia mengirim sejumlah uang yang katanya hasil dari panen sawitnya. Ayah kemudian menggunakan uang itu untuk membeli satu unit sepeda motor. Aku ingin sekali memakai sepeda motor itu ke sekolah tapi tak seorang pun di rumah ini mengizinkan.

Menjelang pernikahan mbak Alya timbul masalah baru, ayah tidak mau menggunakan uang tabungan mbak Alya yang nyata-nyata sudah diserahkannya. Aneh sekali. Aku tidak mengerti mengapa ayah lebih memilih menjual sepeda motornya untuk mengadakan pesta pernikahan mbak Alya. Padahal uang tabungan mbak Alya sudah lebih dari cukup. Apa lagi kalau hanya untuk mengadakan acara seperti acara pernikahan mbak Alifia dulu. Menurutku aku juga sudah besar tapi sampai saat ini aku tidak mengerti dengan keputusan ayah itu.

"Jangan dijual motornya, Yah. Aruna saja tidak boleh pakai, ini malah mau dipakai buat biaya pernikahan mbak Alya."

"Diam, Aruna. Kamu belum tahu apa-apa."

"Aku pakai tidak boleh, malah mau dijual. Mbak Alya kan punya uang sendiri, calon suaminya juga kaya. Kok malah Ayah yang sibuk keluarkan biaya."

"Aruna!"

"Huh!"

Aku merasa dongkol, awas nanti!

Sampailah pada hari yang sangat dinantikan oleh mbak Alya dan keluarga ini. Pernikahan mbak Alya dan mas Bara berlangsung. Acara demi acara berjalan lancar, dan yang terpenting mereka sudah sah menjadi suami istri. Mbak Alifia, mas Bilal dan keponakan terganteng bernama Bahir pun akhirnya berpamitan pulang sehari setelah acara usai.

"Kenapa pakai kaos yang ketat seperti itu, nanti kita makan malam ada Bara juga."

"Memang kenapa, Bu. Mas Bara kan sudah jadi saudaraku, aku ini adiknya juga."

Aku tidak mempedulikan ibu, tetap memakai kaos dan celana yang ketat. Aku suka memakainya, tubuhku akan terlihat seksi dan lebih menarik.

Rumah kembali sepi, tidak ada lampu yang bersinar terang benderang, acara musik yang menggema dan hiruk pikuk para tetangga yang berpartisipasi menyelenggarakan pesta. Pesta pernikahan mbak Alya sudah berakhir. Tinggallah lima orang yang sedang menikmati makan malam dengan saling diam, ayah, ibu, mbak Alya, mas Bara dan aku. Tidak ada seorang pun diantara kami yang membuka pembicaraan. Hanya sesekali terdengar suara denting sendok yang beradu dengan piring. Mungkin karena masih dalam suasana baru, mas Bara pun hanya diam sambil menikmati makan malamnya.

Sesekali aku melirik ipar baruku yang orang kaya itu. Dalam hati aku berkata, apa cocok makan malam ini di lidahnya dan betah kah dia tinggal di rumah yang sempit dan minim fasilitas ini?

Ayah dan ibu meninggalkan meja setelah menyelesaikan makannya, biasanya mereka akan duduk berdua di teras sambil mengobrol. Aku tidak tahu topik pembicaraan mereka.

"Mas Bara sudah selesai makannya, sini biar aku bereskan. "

Aku mencoba mencuri perhatian ipar baruku yang tampan ini, eh ... mas Bara malah cuek saja.

"Tidak usah, aku bisa sendiri."

Jawabnya tanpa memandang ke arahku. Padahal tadi aku sengaja memakai kaos ketat yang menunjukkan lekuk tubuhku supaya mas Bara melihat aku lebih menarik dari mbak Alya.

Aku pun meninggalkan ruang makan menuju ruang tengah yang bersebelahan dengan ruang makan ini.

Aku melihat mbak Alya membereskan peralatan makan dan membersihkan meja. Tunggu .... tunggu, apa yang kulihat ini? Saat mbak Alya membersihkan meja, mas Bara yang mencuci piring, sendok dan gelas kotor bekas makan malam kami. Aku pura-pura melihat ke televisi saat mata mbak Alya memergokiku. Aku malu sudah memperhatikan kedua pasangan pengantin baru itu.

"Kamu tidak belajar?"

Tanya mbak Alya sambil menghampiriku, kemudian dia duduk di sebelahku.

Aku mengatur posisi dudukku agar menarik perhatian mas Bara dan dia akan ikut duduk bergabung denganku dan mbak Alya. Aku mencari keberadaan mas Bara.

"Kamu lihat apa?"

Mbak Alya mengagetkanku. Aku tergagap.

Kulihat dari ekor mataku mas Bara sudah masuk kamar mbak Alya, eh kamar mereka. Hah, gagal deh!

"Nggak lah Mbak, nggak ada PR kok."

Jawabku seperti biasanya, dan seperti biasanya juga mbak Alya hanya tersenyum.

"Ya sudah, tapi jangan malam-malam tidurnya. Besok kesiangan. Habis matiin tv, shalat isya langsung tidur ya. Jangan begadang, jangan mainan hape."

"Iya, Mbak."

Dari pada ada perdebatan, lebih baik aku iyakan saja nasihat basi mbak Alya.

"Mbak mau ke kamar dulu ya, Aruna?"

Aku mengangguk.

Wah, pengantin baru nih. Mbak Alya pasti sangat bahagia menghabiskan malam ini bersama mas Bara. Duh, enak ya kalau sudah menikah. Pasti mbak Alya tidak akan mau bekerja lagi setelah menikah. Mas Bara pasti akan memberikan uang yang banyak setiap bulannya, pasti terjamin hidup mbak Alya nanti.

"Mengapa bukan aku saja yang mendapatkan nasib baik seperti mbak Alya, huh!"

Mbak Alifia sudah menikah dan mendapatkan kehidupan lebih baik, begitu pun dengan mbak Alya. Terus aku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status