Aku melangkah pelan memasuki halaman rumah mbak Alya. Sepertinya ada tamu di dalam, kulihat ada sepasang sepatu wanita di teras rumah. Siapa tamu mbak Alya?Aku sengaja berjalan lewat pinggiran, agar kedatanganku tidak terlihat dari pantulan kaca atau pun dari arah pintu depan. Ada suara percakapan. Aku menajamkan telinga untuk mengetahui dengan siapa mbak Alya mengobrol."Baiklah jika kau sedang baik-baik saja. Mama merasa lega dan tentunya akan bekerja lebih tenang, tidak memikirkan kesehatanmu lagi, Alya.""Ma, aku bukan anak kecil. Mama tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku bisa menjaga diriku. Nanti sore aku mau ke luar kota, ambil barang pesanan reseller. Mama pesan oleh-oleh apa, nanti Alya belikan.""Aku tidak ingin apa-apa lagi, Alya. Aku sudah berada dalam keadaan yang terpuruk begitu dalam. Nama baik keluarga yang kujaga dari dulu, akhirnya kini hancur karena Bara. Aku sangat kecewa.""Maafkan keluargaku, Ma. Mau dikatakan seperti apapun tetap keluargaku yang sudah mencorengkan
Aku tidak bisa menahan diriku lagi, aku sangat marah dengan kejadian hari ini. Aku benar-benar dibuat malu oleh mbak Alya dan tante Resti. Untung saja tak ada seorang pun yang tahu, jika ada yang tahu maka mau ditaruh mana mukaku ini."Bisa-bisanya mamamu memberikan rumah itu pada mbak Alya, apakah maksudnya itu?""Aku juga tidak tahu, terus apa hubungannya sama kamu kalau rumah itu sekarang jadi milik Alya?""Ya jelas ada hubungannyalah, Mas Bara dan aku itu sudah menikah dan rumah itu adalah milik mas Bara seutuhnya. Bukannya kita seharusnya yang tinggal di sana. Jadi, kok malah Alya yang menguasainya?""Rumah itu memang dulu yang beli mama, aku dan Alya yang membeli isinya. Kalau sekarang mama ingin Alya yang memilikinya, ya sudah tidak ada masalahkan?""Setidaknya isi rumah itu milikmu, Mas. Kenapa kau tak mengambilnya?""Bagaimana aku akan mengambilnya, aku membelinya bersama Alya, pakai uang Alya juga. Kalau ada sedikit yang dibeli dengan uangku apa aku juga harus mengambilnya, b
Sungguh tega sekali mama Resti padaku. Dulu saat kupanggil tante dia sepertinya sangatmenyayangiku seperti anaknya sendiri tetapi setelah kupanggil mama dia menganggapku pembantunya. Ada saja pekerjaan yang harus kulakukan di rumah ini. Sepertinya dia memang tidak mau melihat aku beristirahat dengan tenang. Bahkan setelah dua bulan kedatanganku di rumahnya, ia malah memberhentikan salah satu ART-nya. "Kamu berhenti saja ya Rumi, sudah ada Aruna yang bisa menggantikan tugas-tugasmu. Kau jangan khawatir aku akan memberimu uang saku yang besar.""Iya, Nyonya. Tidak apa-apa. Aku juga bisa kembali ke yayasan dan mendapat majikan baru."Aku melihat mama Resti memberikan amplop coklat yang tebal untuk Rumi, pasti benar-benar isinya banyak. Kemudian dengan sangat sopan Rumi mengucapkan terima kasih dan berpamitan pada semua orang di rumah ini.Aku akan melahirkan di rumah ini, tapi Mama malah mengurangi satu pembantunya. Apa maksud mama sebenarnya. Dia bilang aku bisa menggantikan tugas Rumi
Waktu berjalan sangat lambat, hari-hari kulalui dengan terasa berat. Bentuk tubuhku semakin tidak karuan, berat badanku bertambah drastis, nyeri pinggangku semakin menjadi-jadi. Setiap malam aku susah tidur dan selalu kepanasan. Sungguh siksaan yang amat berat di sepanjang jalan hidupku."Aku tidak bisa berjalan dengan benar lagi. Yang berada di bawahku tak bisa lagi kulihat karena terhalang perut ini.""Namanya juga sudah hamil tua.""Aku ingin cepat melahirkan, lihat bentuk tubuhku sekarang jelek sekali!""Kalau sudah waktunya kau juga akan melahirkan.""Ya tau lah. Badanku yang sering sakit ini karena bayi ini, kalau dia sudah keluar pasti semua yang kurasa ini juga akan hilang."Mas Bara diam, dia sudah tidak menyahutku lagi. Ternyata dia sudah tertidur, napasnya terlihat berhembus secara teratur. Kutatap wajah tampan mas Bara, wajah yang sudah membuatku terikat padanya. Dia sangat tampan dan baik. Sayangnya dia cuek padaku setelah pernikahan ini. Aku tidak tahu mengapa dia jadi b
Aku senang sekali ibu mengunjungiku. Beliau pun tampak senang melihat bayiku yang imut dan tampan. Ibu tidak melepaskan si mungilku dari pangkuannya."Cepat besar dan jadi anak baik ya," pinta ibu pada bayi yang sama sekali tidak menjawabnya."Bu, mbak Alifia kok tidak membalas pesan yang kukirim ya. Padahal sudah dibacanya dari kemarin.Ibu menghentikan timangannya, ibu melihatku dan kemudian melihat sekeliling. Tidak orang, mama Resti sedang sarapan bersama mas Bara dan papa. "Ya jelaslah Alifia tidak mau membalas pesanmu, memangnya kamu mengharap dia mau ngomong apa? Mengucapkan selamat atas kelahiran bayi yang membuat kehidupan rumah tangga Alya berantakan, begitu?"Ibu langsung marah, kalimatnya langsung mengena di hatiku. Tak ada lagi yang ditutupi kalau masalahnya adalah keluhan tentangku."Ibu kok langsung marah begitu, memang aku salah mengabari mbak Alifia?""Ya iya lah, kami saja malu untuk memberi tahu yang sebenarnya. Kakakmu yang di sana menjadi pengurus pondok pesantren
Aku kebingungan, harus mencari mama ke mana. Karena panik aku tidak bisa berpikir secara jernih."Mang, tolong pinjam sepeda motornya sebentar."Aku menghentikan mang Mamat yang baru selesai belanja, mang Mamat adalah suami bi Ijah yang bekerja di rumah ini juga. Tugasnya adalah belanja dan menjaga kebersihan bagian luar rumah."Mau ke mana, Non?"Tanya pria setengah baya itu dengan kebingungan."Udah, jangan banyak tanya. Kemarikan kunci motornya."Masih dalam keadaan bingung mang Mamat menyerahkan kunci motornya.Aku sudah menghidupkan mesin sepeda motor tatkala mama memasuki halaman rumah bersama bayiku.Aku menghembuskan napas lega. Tanpa berkata apa-apa lagi kukembalikan kunci motor itu kepada pemiliknya dan aku berlari menuju arah depan.""Mama .... Mama dari mana, kenapa membawa bayiku tanpa bertanya lebih dahulu. Aku mencari bayiku, Ma. Aku takut ada yang menculiknya."Mama memandangku dengan penuh rasa heran. "Kau ini kenapa, sepertinya kau terlalu banyak menonton film ya. Ma
Acara penamaan bayi berjalan dengan lancar. Hanya sebuah acara kecil dengan menghadirkan beberapa orang tetangga dekat saja. Afnan Syabil, nama yang kupilih untuk bayiku. Acara ini diselenggarakan oleh mas Bara dan para tetangga tanpa ada kemewahan sama sekali. Hanya pembacaan doa-doa dan makan bersama. Sungguh sangat tidak sesuai dengan keadaan perekonomian keluarga Hardiyanto.Biasanya orang akan mengadakan acara besar untuk menyambut kebahagiaan yang datang untuk mereka, aku menganggap itu sebuah ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Yang Kuasa. Tapi lain dengan keluarga mertuaku yang sama sekali tidak merasa bahagia dengan kehadiran bayi tampan yang sudah kupersembahkan untuk mereka. Mereka juga tidak merasa malu pada tetangga sekitar, teman kerja, atau keluarga besan. Bahkan ayah dan ibuku saja hanya menginap semalam saja. Setelah acara selesai ayah dan ibu langsung berpamitan pulang. Aku kecewa, aku mengira orang tuaku akan menginap beberapa hari di sini. "Ibu merasa s
Baru satu bulan yang lalu mas Bara pergi ke luar kota, kenapa bulan ini juga ia mengatakan kalau mau ada pertemuan di luar kota lagi? Perasaanku jadi tidak enak."Selamat ya Alya, akhirnya kau bisa membuka cabang tokomu di luar kota. Semoga kau sukses selalu."Aku mendengarkan percakapan mama Resti melalui sambungan telepon. Dia mengucapkan selamat untuk mantan menantunya dengan begitu manis."Iya, semoga Bara juga mendapatkan kesuksesan seperti kamu."Loh, kenaoa jadi ke mas Bara. Berarti mbak Alya sedang membicarakan mas Bara dengan mama. Sungguh terlalu! Sudah menjadi mantan tapi masih suka membicarakannya. Apa mbak Alya masih mencintai mas Bara? Memangnya mbak Alya tidak bisa melihat, mas Bara sudah menjadi suamiku dan ayah dari anakku. Dia begitu tega mengganggu ketenangan rumah tanggaku ini.Lihat saja nanti, kalau ada kesempatan bertemu ayah atau ibu aku akan mengadukan perbuatan mbak Aya ini. Biar ayah atau Ibu yang memberi teguran pada putri kesayangannya yang ternyata mempuny