Share

7. Aku Benar-Benar Jatuh Cinta

Acara syukuran rumah barunya mbak Alya dan mas Bara sudah selesai. Ibu dan ayah pulang karena pagi-pagi sekali ayah harus berangkat kerja bersama teman-temannya. Ibu harus memasak bekal untuk ayah.

"Kasihan Mbak Alya kalau harus sendirian membereskan ini semua, Bu."

Aku mencari alasan untuk diizinkan menginap di rumah mbak Aya.

"Tapi kamu nggak bawa seragam sekolahmu, tas dan juga sepatumu bagaimana?"

"Aku nanti telepon Arum, Bu. Besok Arum akan membawakannya ke sini."

Akhirnya ibu menyerah, bisa jadi bukan karena rengekanku tapi karena kasihan melihat mbak Alya yang pasti nanti kelelahan untuk membereskan perabot rumahnya.

Ibu dan ayah pulang diantarkan oleh mas Bara, sementara aku dan mbak Alya memulai pekerjaan yang sebenarnya tidak aku sukai ini. Tapi mau bagaimana lagi karena pekerjaan ini aku diizinkan ibu menginap di rumah baru yang bagus ini.

Aku dan mbak Alya mengelap piring, gelas, sendok dan lain-lainnya. Kemudian memasukkannya ke kotaknya masing-masing dan menyimpannya di tempat yang sudah di sediakan.

Hingga tengah malam pekerjaan itu belum selesai, aku mengantuk sekali. Pinggangku juga mulai terasa sakit. Capek sekali aku.

Mas Bara entah sedang apa di kamarnya, sementara mbak Alya masih saja bersemangat untuk terus menyelesaikan pekerjaannya. Aku tidak berani mengeluh, takut diejek mbak Alya dan dilaporkan ke ibu.

"Akhirnya .... Selesai sudah. Ayo kita tidur. Jangan lupa matikan lampu ya."

"Iya, Mbak."

Ternyata mbak Alya merasakan capek juga. Ia sangat terburu-buru menuju kamarnya dan kulihat tadi dia sudah berulang kali menguap.

Setelah membersihkan diri, aku pun melempar tubuhku ke kasur yang langsung memberiku rasa nyaman.

"Aduh, aku lupa membawa air minum. Malas sekali nanti kalau terbangun dan haus aku harus ke dapur yang lumayan jauh itu."

Aku menggerutu sendiri.

Dengan malas aku beranjak ke luar, menuju dapur untuk mengambil botol berisi air minum.

Tiba-tiba aku bertabrakan dengan seseorang.

"Aduh."

Aku terjatuh ke lantai. Lampu menyala, ternyata mas Bara yang bertabrakan denganku tadi. Dia sedang berdiri di dekat dinding tempat dipasang saklar lampu dapur. Mas Bara memandangiku.

"Kenapa tidak menyalakan lampu, Aruna? Aku jadi menabrakmu. Maaf ya ...."

Ucap mas Bara sambil mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya, tangan mas Bara kupakai untuk membantu supaya bisa untukku berdiri lagi.

"Kau mengambil air minum, ya. Aku juga mau ambil air minum, tadi Alya lupa membawanya. Sekarang malah sudah tidur nyenyak. Kakakmu kecapekan sekali nampaknya."

Aku mengangguk. Ternyata mas Bara kalau lagi mau ngomong ya cerewet juga ya, aku nggak tanya dia jelaskan sendiri. Asik juga ternyata orangnya. Kesan luarnya saja kelihatan selalu serius, ternyata tidak seperti itu.

Aku mau pergi saja dari pada kelamaan dengan mas Bara dan pasti menyebabkan anganku akan traveling ke mana-mana.

Sial, tanpa sengaja aku menginjak sandal mas Bara. Dan .....

"Auw ...."

Aku berteriak, aku yang menyebabkan insiden ini tapi aku juga yang berteriak. Bagaimana tidak, tubuh mas Bara yang besar menghimpitku ke lantai.

"Maaf Aruna."

Kembali mas Bara meminta maaf, aku tak mempedulikannya. Aku sedang keheranan dengan rasa yang menyerang lubuk hatiku. Aku belum pernah merasakannya sebelumnya. Ada getaran halus yang menjalar di seluruh tubuhku saat kami bersentuhan. Dadaku pun berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Ada apa ini?

"Kau melamun, Aruna? Oh, iya apa ada yang sakit di tubuhmu?"

Tanya mas Bara, aku senang sekali dia memperhatikanku.

"Tidak, Mas. Aku tidak apa-apa, tadi kaget saja makanya aku teriak."

"Oh, ya sudahlah. Aku duluan ke kamar ya."

"Iya, silakan Mas."

Mas bara memandangku dengan cara yang terasa lain dari biasanya. Apa mas Bara juga merasakan apa yang kurasakan ini. Aku menunduk. Sial, kenapa aku jadi salah tingkah seperti ini.

Mas Bara berlalu meninggalkanku sendiri. Aku melangkahkan kakiku berjalan menuju kamarku, sebelumnya kumatikan lampu terlebih dahulu.

Hampir setengah botol air minum kuhabiskan. Rasa yang berkecamuk di dalam dadaku meresahkanku, membuatku kesulitan untuk memejamkan mata.

_______

"Aruna, Arunaaaa ...."

Aku menggeliat, mataku masih terasa lengket, susah untuk kubuka.

"Ayo bangun, Aruna. Shalat subuh dulu, sudah hampir habis waktunya."

Suara itu kembali terdengar, sekarang disertai ketukan pintu. Berisik.

Aku menutup telingaku.

"Aruna, ayo bangun. Nanti Arum ke sini kamu belum bersiap. Mbak nggak mau ya kalau sampai kamu terlambat sekolah gara-gara menginap di sini."

Wah, sudah ada ancaman ini, lagi-lagi aku harus mematuhi mbak Alya seperti mematuhi ibu. Kalau tidak, pasti ada harga yang harus kubayarkan nanti. Aku tidak mau kalau sampai ada peraturan baru yang melarangku untuk menginap di sini, kalau bisa aku malah akan menetap d sini.

"Iya, Mbak ...."

Kutinggikan suaraku agar mbak Alya mendengarkannya dan berhenti menggedor pintu kamarku.

Aku buru-buru membuka pintu kamar untuk membuktikan diriku sudah bangun.

"Cepat sana ke kamar mandi, aku akan siapkan sarapan untukmu dan mas Bara."

Dengan mata sedikit terpejam aku menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Kucuci muka dan menggosok gigi.

Karena tidak membawa pakaian ganti akhirnya kupakai lagi baju yang kupakai ini, terasa tidak nyaman. Tapi biarlah, nanti Arum datang aku segera mengganti bajuku.

Aku sudah siap menunggu sarapan yang sedang disiapkan oleh mbak Alya. Mbak Alya paling suka membuat sarapan nasi goreng dengan telur ceplok.

Mbak Alya sudah berjalan ke arahku dan mas Bara dengan membawa dua piring nasi goreng. Aku buru-buru mengambil sendok dari tempat yang disediakan di atas meja makan. Ternyata mas Bara juga melakukan hal yang sama.

Tangan kamu bersentuhan, mata kami pun saling bersitatap. Mas Bara cepat-cepat menjauhkan tangannya dari tanganku saat mbak Alya sudah menghidangkan nasi goreng untuk kami.

"Ayo dinikmati sarapannya."

Mbak Alya tersenyum manis kepada kami.

"Terima kasih, Sayang."

Ucap mas Bara.

"Sama-sama, Maas."

Idih, lebai sekali mereka. Nasi goreng tinggal dimakan saja pake acara terima kasih segala.

Aku cepat-cepat menyantap nasi goreng bikinan mbak Alya dan segera meninggalkan meja makan.

"Buru-buru sekali, Aruna. Kenapa?"

Tanya mbak Alya.

"Tidak apa-apa, Mbak. Mau ke depan saja, takut kalau Arum datang aku tidak mendengarnya."

"Oh, ya sudah."

Aku duduk di teras sambil memainkan hpku. Tidak kusangka mas Bara menyusulku. Aku tahu karena aku melirik ke arah belakangku tadi. Segera kuambil posisi duduk yang akan menarik perhatian mas Bara nantinya.

"Mas mau kerja nanti?"

Tanyaku saat mas Bara sudah duduk di depanku.

"Iya, kenapa Aruna?"

"Tanya saja, Mas. "

Aku pura-pura menunduk untuk mengambil permen yang sengaja kujatuhkan

"Aruna, kancing bajumu ada yang terbuka."

Aku pura-pura gugup dan dengan cepat menutup bagian dadaku. Ternyata mas Bara memperhatikan sesuatu yang kusengajakan tadi.

Aku berlari masuk ke dalam, biar terkesan aku malu di lihat mas Bara tadi

Arum belum juga datang, lebih baik aku mandi saja dulu.

Terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku membukanya segera, kukira mbak Alya ternyata mas Bara. Mas Bara melihatku yang hanya menutupi tubuhku dengan sepotong handuk mandi. Bagian atas dan bawahku terekspos sempurna.

Aku tahu mas Bara memperhatikan keseluruhan pemandangan di depan matanya tapi ia buru-buru memalingkan muka sambil menyerahkan bungkusan plastik berisi seragam sekolahku.

Kembali tangan kami bersentuhan dan aku sangat menikmati desiran aneh itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status