Beranda / Romansa / Berikan Suamimu Untukku, Mbak / 7. Aku Benar-Benar Jatuh Cinta

Share

7. Aku Benar-Benar Jatuh Cinta

Penulis: Tutyas
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-18 22:26:50

Acara syukuran rumah barunya mbak Alya dan mas Bara sudah selesai. Ibu dan ayah pulang karena pagi-pagi sekali ayah harus berangkat kerja bersama teman-temannya. Ibu harus memasak bekal untuk ayah.

"Kasihan Mbak Alya kalau harus sendirian membereskan ini semua, Bu."

Aku mencari alasan untuk diizinkan menginap di rumah mbak Aya.

"Tapi kamu nggak bawa seragam sekolahmu, tas dan juga sepatumu bagaimana?"

"Aku nanti telepon Arum, Bu. Besok Arum akan membawakannya ke sini."

Akhirnya ibu menyerah, bisa jadi bukan karena rengekanku tapi karena kasihan melihat mbak Alya yang pasti nanti kelelahan untuk membereskan perabot rumahnya.

Ibu dan ayah pulang diantarkan oleh mas Bara, sementara aku dan mbak Alya memulai pekerjaan yang sebenarnya tidak aku sukai ini. Tapi mau bagaimana lagi karena pekerjaan ini aku diizinkan ibu menginap di rumah baru yang bagus ini.

Aku dan mbak Alya mengelap piring, gelas, sendok dan lain-lainnya. Kemudian memasukkannya ke kotaknya masing-masing dan menyimpannya di tempat yang sudah di sediakan.

Hingga tengah malam pekerjaan itu belum selesai, aku mengantuk sekali. Pinggangku juga mulai terasa sakit. Capek sekali aku.

Mas Bara entah sedang apa di kamarnya, sementara mbak Alya masih saja bersemangat untuk terus menyelesaikan pekerjaannya. Aku tidak berani mengeluh, takut diejek mbak Alya dan dilaporkan ke ibu.

"Akhirnya .... Selesai sudah. Ayo kita tidur. Jangan lupa matikan lampu ya."

"Iya, Mbak."

Ternyata mbak Alya merasakan capek juga. Ia sangat terburu-buru menuju kamarnya dan kulihat tadi dia sudah berulang kali menguap.

Setelah membersihkan diri, aku pun melempar tubuhku ke kasur yang langsung memberiku rasa nyaman.

"Aduh, aku lupa membawa air minum. Malas sekali nanti kalau terbangun dan haus aku harus ke dapur yang lumayan jauh itu."

Aku menggerutu sendiri.

Dengan malas aku beranjak ke luar, menuju dapur untuk mengambil botol berisi air minum.

Tiba-tiba aku bertabrakan dengan seseorang.

"Aduh."

Aku terjatuh ke lantai. Lampu menyala, ternyata mas Bara yang bertabrakan denganku tadi. Dia sedang berdiri di dekat dinding tempat dipasang saklar lampu dapur. Mas Bara memandangiku.

"Kenapa tidak menyalakan lampu, Aruna? Aku jadi menabrakmu. Maaf ya ...."

Ucap mas Bara sambil mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya, tangan mas Bara kupakai untuk membantu supaya bisa untukku berdiri lagi.

"Kau mengambil air minum, ya. Aku juga mau ambil air minum, tadi Alya lupa membawanya. Sekarang malah sudah tidur nyenyak. Kakakmu kecapekan sekali nampaknya."

Aku mengangguk. Ternyata mas Bara kalau lagi mau ngomong ya cerewet juga ya, aku nggak tanya dia jelaskan sendiri. Asik juga ternyata orangnya. Kesan luarnya saja kelihatan selalu serius, ternyata tidak seperti itu.

Aku mau pergi saja dari pada kelamaan dengan mas Bara dan pasti menyebabkan anganku akan traveling ke mana-mana.

Sial, tanpa sengaja aku menginjak sandal mas Bara. Dan .....

"Auw ...."

Aku berteriak, aku yang menyebabkan insiden ini tapi aku juga yang berteriak. Bagaimana tidak, tubuh mas Bara yang besar menghimpitku ke lantai.

"Maaf Aruna."

Kembali mas Bara meminta maaf, aku tak mempedulikannya. Aku sedang keheranan dengan rasa yang menyerang lubuk hatiku. Aku belum pernah merasakannya sebelumnya. Ada getaran halus yang menjalar di seluruh tubuhku saat kami bersentuhan. Dadaku pun berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Ada apa ini?

"Kau melamun, Aruna? Oh, iya apa ada yang sakit di tubuhmu?"

Tanya mas Bara, aku senang sekali dia memperhatikanku.

"Tidak, Mas. Aku tidak apa-apa, tadi kaget saja makanya aku teriak."

"Oh, ya sudahlah. Aku duluan ke kamar ya."

"Iya, silakan Mas."

Mas bara memandangku dengan cara yang terasa lain dari biasanya. Apa mas Bara juga merasakan apa yang kurasakan ini. Aku menunduk. Sial, kenapa aku jadi salah tingkah seperti ini.

Mas Bara berlalu meninggalkanku sendiri. Aku melangkahkan kakiku berjalan menuju kamarku, sebelumnya kumatikan lampu terlebih dahulu.

Hampir setengah botol air minum kuhabiskan. Rasa yang berkecamuk di dalam dadaku meresahkanku, membuatku kesulitan untuk memejamkan mata.

_______

"Aruna, Arunaaaa ...."

Aku menggeliat, mataku masih terasa lengket, susah untuk kubuka.

"Ayo bangun, Aruna. Shalat subuh dulu, sudah hampir habis waktunya."

Suara itu kembali terdengar, sekarang disertai ketukan pintu. Berisik.

Aku menutup telingaku.

"Aruna, ayo bangun. Nanti Arum ke sini kamu belum bersiap. Mbak nggak mau ya kalau sampai kamu terlambat sekolah gara-gara menginap di sini."

Wah, sudah ada ancaman ini, lagi-lagi aku harus mematuhi mbak Alya seperti mematuhi ibu. Kalau tidak, pasti ada harga yang harus kubayarkan nanti. Aku tidak mau kalau sampai ada peraturan baru yang melarangku untuk menginap di sini, kalau bisa aku malah akan menetap d sini.

"Iya, Mbak ...."

Kutinggikan suaraku agar mbak Alya mendengarkannya dan berhenti menggedor pintu kamarku.

Aku buru-buru membuka pintu kamar untuk membuktikan diriku sudah bangun.

"Cepat sana ke kamar mandi, aku akan siapkan sarapan untukmu dan mas Bara."

Dengan mata sedikit terpejam aku menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Kucuci muka dan menggosok gigi.

Karena tidak membawa pakaian ganti akhirnya kupakai lagi baju yang kupakai ini, terasa tidak nyaman. Tapi biarlah, nanti Arum datang aku segera mengganti bajuku.

Aku sudah siap menunggu sarapan yang sedang disiapkan oleh mbak Alya. Mbak Alya paling suka membuat sarapan nasi goreng dengan telur ceplok.

Mbak Alya sudah berjalan ke arahku dan mas Bara dengan membawa dua piring nasi goreng. Aku buru-buru mengambil sendok dari tempat yang disediakan di atas meja makan. Ternyata mas Bara juga melakukan hal yang sama.

Tangan kamu bersentuhan, mata kami pun saling bersitatap. Mas Bara cepat-cepat menjauhkan tangannya dari tanganku saat mbak Alya sudah menghidangkan nasi goreng untuk kami.

"Ayo dinikmati sarapannya."

Mbak Alya tersenyum manis kepada kami.

"Terima kasih, Sayang."

Ucap mas Bara.

"Sama-sama, Maas."

Idih, lebai sekali mereka. Nasi goreng tinggal dimakan saja pake acara terima kasih segala.

Aku cepat-cepat menyantap nasi goreng bikinan mbak Alya dan segera meninggalkan meja makan.

"Buru-buru sekali, Aruna. Kenapa?"

Tanya mbak Alya.

"Tidak apa-apa, Mbak. Mau ke depan saja, takut kalau Arum datang aku tidak mendengarnya."

"Oh, ya sudah."

Aku duduk di teras sambil memainkan hpku. Tidak kusangka mas Bara menyusulku. Aku tahu karena aku melirik ke arah belakangku tadi. Segera kuambil posisi duduk yang akan menarik perhatian mas Bara nantinya.

"Mas mau kerja nanti?"

Tanyaku saat mas Bara sudah duduk di depanku.

"Iya, kenapa Aruna?"

"Tanya saja, Mas. "

Aku pura-pura menunduk untuk mengambil permen yang sengaja kujatuhkan

"Aruna, kancing bajumu ada yang terbuka."

Aku pura-pura gugup dan dengan cepat menutup bagian dadaku. Ternyata mas Bara memperhatikan sesuatu yang kusengajakan tadi.

Aku berlari masuk ke dalam, biar terkesan aku malu di lihat mas Bara tadi

Arum belum juga datang, lebih baik aku mandi saja dulu.

Terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku membukanya segera, kukira mbak Alya ternyata mas Bara. Mas Bara melihatku yang hanya menutupi tubuhku dengan sepotong handuk mandi. Bagian atas dan bawahku terekspos sempurna.

Aku tahu mas Bara memperhatikan keseluruhan pemandangan di depan matanya tapi ia buru-buru memalingkan muka sambil menyerahkan bungkusan plastik berisi seragam sekolahku.

Kembali tangan kami bersentuhan dan aku sangat menikmati desiran aneh itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   131. Kau Putraku, Afnan.

    "Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   130. Tenangkan aku

    "Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   129. Kubawa Pada Siapa Luka ini

    "Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   128. Maafkan Ibu

    Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   127. Bersiap Untuk Berpisah

    Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   126. Permintaan yang Berat

    Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   125. Biarkan Semua Berlalu

    "Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   124. Aku Bukan Aruna yang Dulu

    Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   123. Pilihan Hidup

    Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status