Sebenarnya tadi aku mau langsung pulang ke rumah dengan menumpang sepeda motor Arum tetapi aku teringat baju kotorku yang masih kutinggal di dalam kamar rumah mbak Alya. Aku harus mengambilnya.
Cuaca terik membuatku sedikit pusing, mungkin juga karena semalam aku kurang tidur.Aku memasuki halaman rumah, sepi. Sedang apa mbak Alya di dalam? Aku memanggilnya tapi tidak ada sahutan. Mungkin mbak Alya sedang di belakang atau sedang tidur siang.Bahkan di dalam rumah pun sepi juga, suara televisi juga tidak terdengar.Langkahku pelan menuju kamar yang kupakai. Belum sampai tujuan, aku mendengar suara dari arah kamar mbak Alya yang memang harus kulewati untuk mencapai kamarku yang terletak agak di belakang.Suara-suara yang membuat telingaku memanas. Memang dasar keterlaluan, ini kan siang hari, mana panas lagi. Mbak Alya pasti sedang bersama mas Bara, tut ... kena sensor. Aku sudah dewasa, aku sudah tau apa arti suara-suara itu.Kuhentakkan kaki ke lantai dengan kesal. Mas Bara begitu sayang kepada mbak Alya, siang hari yang panas juga menyempatkan pulang hanya untuk bermesraan.Apa sih yang menarik dalam diri mbak Alya itu? tidak ada sama sekali menurutku. Aku jauh lebih cantik dan seksi. Aku juga lebih muda dan bisa menjadi semangat untuk mas Bara, coba aku saja yang menjadi istrinya mas BaraAku melanjutkan niatku mengambil baju dan pergi begitu saja. Dadaku terasa sesak, aku benci hari ini."Kenapa kau marah-marah, Aruna? Apa masalahmu di sekolahan?"Mungkin ibu mendengar aku membanting pintu kamar dengan kasar dan melemparkan tasku. Rak sepatuku berantakan karena tasku kulempar ke sana. Dan semua menimbulkan suara berisik yang menarik perhatian ibu."Tidak ada masalah, Bu."Jawabku dengan singkat sambil menghempaskan diri ke kasur."Lalu kenapa pintu kau banting dan sepatumu berantakan, terlempar ke mana-mana seperti itu?""Aku nggak sengaja tadi."Jawabku tanpa memandang ibu.Aku sengaja cuek agar ibu cepat pergi meninggalkan kamarku. Dan aku mau tidur sampai nanti sore saja dari pada mengingat hal menjengkelkan tadi.Rupanya ibu masuk ke dalam kamarku dan duduk di bibir ranjang tempatku berbaring. Apa sih maunya ibu ini?"Jangan kau teruskan sikapmu yang seperti itu, tidak baik. Kau sudah besar, kau harus bisa mengontrol emosimu.""Apaan sih, kan aku dah bilang, tidak sengaja tadi.""Terserah denganmu, Aruna. Tapi ibu tetap memintamu mengubah sikapmu yang kasar dan suka marah dengan sendirinya itu. Kamu sudah besar, nanti cowok yang mendekatimu akan takut menjalin hubungan dengan wanita sepertimu."Aduh, aduh! ceramah sudah dimulai ternyata. Kini malah sudah menyangkut masalah masa depanku. Memangnya ibu tahu apa ada cowok yang mendekatiku dan bakalan takut jika tahu sifat pemarahku.Ibu memang selalu sok tahu disegala hal."Siapa yang mau menjalin hubungan dengan cewek miskin sepertiku, Bu. Nggak ada yang diharapkan, nggak ada masa depannya."Rutukku tiba-tiba, ibu sepertinya terkejud."Kenapa bilang begitu, memangnya kamu tidak ingin menikah nanti. Seperti Alifia juga Alya?""Ya pingin, tapi siapa yang mau sama Aruna yang miskin ini.""Memangnya Alifia dan Alya kaya. Buktinya mereka mendapatkan jodoh yang tepat. Yang penting jadi perempuan itu harus sopan, tutur katanya lembut dan jangan suka bicara atau melakukan perbuatan yang kasar.""Jadi aku suka marah dan bicara kasar nantinya aku tidak bisa dapat jodoh yang tepat seperti mbak Alifia dan mbak Alya begitu, Bu?"Ibu menggeleng. Matanya menatapku lurus. Aku duduk di hadapan ibu dengan bersandar di dua bantalku."Kamu salah lagi, Aruna. Maksudnya rubah kebiasaan burukmu agar engkau dapat kebaikan untuk hidupmu. Kau cantik dan pandai bergaul, kau akan lebih banyak mendapatkan teman. Apa lagi kau bisa lebih sopan dan membawa dirimu menjadi lebih baik, kau akan mendapatkan jodoh terbaik kelak."Tidak usah kelak, Bu. Bahkan saat ini saja sudah terbukti jodohku sudah tertukar dengan jodohnya mbak Alya. Jodohku itu harusnya mas Bara, itu baru terbaik dan tepat. Tapi malah sudah keduluan mbak Alya. Terus aku bagaimana? Kelebihan yang aku miliki tidak akan ada gunanya kalau aku mendapatkan jodoh yang tidak bisa seperti mas Bara. Apa yang harus ku lakukan?"Heh, malah bengong!"Kibasan tangan ibu di depan mukaku membuatku tersadar dari lamunan."Hehehehe, kalau jodohku orang miskin gimana Bu?"Tanyaku sekonyong-konyong."Memangnya kenapa? mana tahu waktu mengubah seseorang yang semula miskin kemudian menjadi kaya raya.""Memangnya waktu bisa merubah, Bu. Lha kita sudah berabad-abad tetap saja miskin.""Bukan waktu yang mengubah tapi usaha dan takdir.""Bukannya ayah juga usaha terus, kita terus saja miskin.""Kan ibu bilang, takdir. Berarti itu takdir yang berlaku untuk kita.""Kita? nggak, ah. Aku nggak mau miskin terus."""Lah itu dia, berusaha selagi masih muda. Sisanya serahkan sama Yang Kuasa.""Usahanya seperti apa contohnya, Bu?""Sekolah yang bener, belajar rajin. Bersikap sopan sama orang tua, bukannya mbak Alya sudah menyanggupi biaya kuliahmu. Nah, kau harus sopan dan hormat pada Alya dan Bara supaya kamu nanti kesampaian untuk kuliah dan mendapat gelar. Kau nanti bisa mendapatkan pekerjaan bagus karenanya. Kau bis .....""Ah, kelamaan. Nikah saja sama orang kaya seperti mbak Alya, sudah. Jadilah kita orang kaya juga."Kataku memotong uraian ibu yang kurasa berbelit-belit, aku sampai capek mendengarnya."Aruna."Ibu melotot, aku cengengesan."Alya juga rajin bekerja, sikapnya juga sopan. Tidak salah kalau Allah memberikan Bara sebagai jodohnya. Mereka juga pada dasarnya saling mencintai. Tidak ada maksud Alya menikah dengan Bara karena ingin jadi orang kaya."Ibu terus saja membaik-baikkan mbak Alya, muak aku mendengarnya. Sepertinya mbak Alya itu orang yang paling sempurna menurut ibu. Tidak ada kesalahan mbak Alya yang disebutkan ibu barang sedikit pun."Sudahlah, Bu. Aku mau tidur, aku ini capek dan ngantuk.""Memangnya kamu tidak tidur di rumah Alya? Bukannya kau suka sekali menginap di sana?""Ya tidur tapi cuma sebentar. Mbak Alya ngajakin beberes sampai larut malam. Udah ah Bu, jangan lupa tutup pintunya."Aku membalikkan badan dan memunggungi ibu, kemudian menutup telingaku dengan bantal supaya tidak bisa mendengar suara ibu lagi.Sudah capek, ngantuk malah diceramahi lagi. Bukan ceramah yang berguna malah membuat aku nggak suka saja. Ibu itu sukanya memuji mbak Alya terus, mentang-mentang sekarang sudah menjadi orang kaya mungkin.Dasar para orang tua. Anak-anak yang kaya selalu di puji dan dianggap baik, nanti kalau punya anak yang hidupnya miskin pasti di kucilkan dan akan dianggap buruk.Aku tidak bisa membayangkan kelak kalau aku tidak bisa menyeimbangkan kehidupanku dengan kedua kakakku, bisa jadi aku akan dikucilkan di keluarga ini.Kalau sedang seperti ini aku terus ingat pada mbak Alya yang benar-benar mendapatkan nasib yang baik. Apa yang sudah dilakukannya sehingga Allah begitu menyayangi mbak Alya. Suami yang baik dan kaya, pujian dari ibu dan ayah. Sekarang mbak Alya pun dihormati oleh banyak orang.Coba saja kemarin yang dilamar mas Bara itu aku, aku tidak pusing seperti ini. Dan mbak Alya biar saja seperti dulu. Bekerja dengan baik dan tekun. Tidak usah mengenal mas Bara dan menikah. Hidupku jadi terasa kacau karenanya.Sudah sepuluh hari aku tidak bertemu mas Bara, aku merindukannya. Di rumah aku selalu terbayang wajah tampannya. Apa lagi mengingat kenangan bertabrakan malam itu, dalam hatiku kembali berdesir. Aku ingin sekali memeluk mas Bara, pasti akan terasa nyaman dan hangat. Hah, mas Bara kan suami mbak Alya. Dia pasti sudah damai di dalam pelukan istri tercintanya. Aku saja yang konyol.Semakin aku menepiskan rasa itu dan berusaha berpikir rasional, semakin rasa hatiku bergejolak. Hatiku mengatakan kalau yang sedang kurasakan ini sangat manusiawi. Aku perempuan yang menginjak dewasa, normal kan kalau aku mempunyai perasaan tertarik dengan lawan jenis.Terlebih lagi mas Bara memang lelaki idamanku. Yang ada dalam diri mas Bara semua adalah yang kusuka dari seorang lelaki. Jangan salahkan aku, aku sudah mempunyai poin-poin tersendiri untuk lelaki yang mendekatiku dan itu sudah kutetapkan dari dulu sebelum mengenal mas Bara.Aku juga tidak habis pikir, kriteria lelaki idamanku kok bisa semuanya a
Aku semakin ingin selalu dekat dengan mas Bara. Aku ingin merebut perhatiannya yang selalu saja hanya diberikan pada mbak Alya. Apa kurangnya aku hingga aku tidak mendapatkan perhatian dari mas Bara. Mas Bara saja yang belum menyadari kelebihan yang kumiliki dibandingkan dengan mbak Alya.Hari ini aku mendapatkan kesempatan untuk menginap di rumah mbak Alya dengan alasan aku takut terlambat karena mulai hari ini aku menjadi peserta ujian nasional. Selama tiga hari aku diizinkan oleh ayah dan ibu untuk tinggal dirumah mbak Alya.Otakku tak lagi tertuju pada soal ujian yang akan kuhadapi mulai besok tapi aku berpikir bagaimana caranya mencuri perhatian mas Bara. takkan ku sia-siakan kesempatan ini. Aku harus berhasil mendapatkan sesuatu dalam waktu tiga hari ini."Kamu harus jaga dirimu selama di sana, Aruna. Jangan lupa pakai pakaian tertutup dan sopan. Dan belajarlah yang giat agar nilai ujianmu bagus. Jangan kecewakan kakakmu yang akan membiayai kuliahmu nanti.""Iya, Bu. Aku memang h
Sungguh aku tidak bisa lagi melawan rasa yang ada dalam hatiku. Gejolak cintaku pada mas Bara semakin menyala, akan sulit untuk dipadamkan. Bahkan mungkin tidak akan bisa. Aku tahu rasa ini salah, tapi hatiku selalu ingin dan ingin .... dan saat ini semakin ingin. Berawal dari sentuhan-sentuhan kecil yang tidak sengaja, aku semakin dimabukkan oleh perasaan cintaku kepada mas Bara.Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan cinta kakak iparku ini? Tidak mungkin aku memintanya secara baik-baik pada si pemilik. "Ada apa melamun, Aruna?"Tanya mbak Alya yang tiba-tiba datang ke kamarku."Tidak apa-apa, Mbak. Mbak apa perlu bantuan ku?"Tanyaku seolah-olah aku ini adik yang sangat baik kepada kakaknya."Ah, tidak. Sudah selesai pekerjaanku. Malahan aku bingung mau ngapain makanya ke sini. Bagaimana ujianmu, ada kesulitan?""Tidak Mbak, sebelumnya sudah dipelajari semua kok.""Kamu tidak belajar sekarang?""Nanti saja, Mbak. Masih panas otakku ini, nanti terjadi korsleting di kepalaku, Mba
Nasib baik memang sedang berpihak padaku. Di malam terakhir aku menginap di rumah mbak Alya, terjadi sebuah insiden yang tiba-tiba saja terjadi tanpa aku merencanakannya. Ceritanya begini.Sore itu mbak Alya dijemput oleh teman kerjanya dulu untuk acara reuni. Katanya mbak Alya sudah berpamitan pada mas Bara dan mas Bara sepulang kerja akan langsung menjemputnya. Aku di rumah sendirian, awalnya mbak Alya akan meminta anak tetangga untuk menemaniku tapi aku bilang kalau aku tidak takut. Jadilah aku tinggal sendirian di rumah besar ini.Sehabis Maghrib aku langsung membaca buku dan mempelajari mata pelajaran untuk besok. Besok adalah hari terakhir, dan aku akan pulang ke rumahku sendiri. Sepulang dari sekolah aku harus segera bersiap untuk pulang dan mbak Alya sudah berjanji akan mengantarku.Pintu depan di ketuk dan terdengar suara mas Bara memanggil namaku. Kok mas Bara pulang secepat ini, bukannya tadi bilang akan langsung menjemput mbak Alya?Terserahlah, mungkin ini kesempatanku un
Aku tidak tahan lagi untuk tidak bertemu mas Bara, apa lagi sejak ujian nasional berakhir. Aku tidak punya kesempatan lagi untuk berkunjung ke rumah mbak Alya.Kepalaku menjadi sering sakit, dan aku selalu saja marah-marah. Marah kepada siapa pun bahkan tanpa alasan. Ibu jadi sering menghindar dariku, mungkin malas dengan sikap anehku."Benarkah Alya? Selamat kalau begitu. Jaga kesehatanmu, banyak makan dan minum vitaminmu."Aku tak sengaja mendengarkan ibu yang bercakap dengan seseorang di hpnya.Aku tadi kurang jelas mendengarnya, siapa yang disuruh ibu minum vitamin ya? Mungkinkah Bahir? Mereka jarang menelepon, biasanya kalau mbak Alifia melakukan panggilan video call agar bisa melihat semua orang."Kata dokter bayimu sehatkan, Alya?"Apa? Apa aku tidak salah dengar ini, mbak Alya hamil? Bagaimana ini bisa terjadi? Mbak Alya baru saja membangun toko alat kecantikan dan alat sekolah di depan rumahnya, itu pun aku mendengarnya dari ibu. Dan kami semua belum sempat ke sana untuk meli
Sayangnya aku tidak bisa meneruskan misiku pada kesempatan ini, aku harus mengikuti serentetan tes untukku bisa masuk ke universitas pilihanku.Tak mengapa, ini juga salah satu jalanku untuk bisa tinggal abadi di rumah impianku ini.Untuk sementara aku redupkan api yang menyala dalam dadaku. Aku yakin mas Bara sudah mulai mengerti akan diriku. Tergantung dirinya saja bagaimana. Apa dia akan menyambutku atau menolakku. Dan aku janji padamu mas, saat aku kembali akan kuberikan yang lebih hot lagi padamu. Agar kau tahu aku lebih menantang dan lebih menggoda dari saudara tuaku itu.Aku pulang dari kampus dengan rasa yang sangat lelah sekali."Mbak, aku tidak bisa bantu mbak ya. Aku lelah sekali hari ini. Maaf ya Mbak."Terlebih dulu aku akan bilang pada mbak Alya, jadi sebelum pulang ke rumah aku menemui mbak Alya di toko. Mbak Alya merespon dengan sangat santai padahal aku sudah merasa tak enak hati tadi."Tidak apa-apa, aku tahu kau lelah. Istirahatlah. Nanti malam mas Bara akan pulang d
Aku mengelus rambut mbak Alya yang basah oleh keringat, wajahnya pucat pasi dan keadaannya lemah sekali."Yang sabar, Mbak. Aku ikut sedih Mbak. Ini kecelakaan, jangan menyalahkan diri sendiri."Mbak Alya menyesali diri, merasa tidak bisa menjaga calon bayinya. Merasa ceroboh dan tidak hati-hati. Mbak Alya sudah tahu kalau mbak Siti baru saja mengepel lantai tapi dia lewat dengan santai seperti biasanya saja. Tapi tetap saja semua itu kecelakaan bukan? Tidak mungkin mbak Siti ingin membuat mbak Alya celaka atau Mbak Alya sengaja membiarkan dirinya dalam bahaya.Mas Bara masih saja meneteskan air matanya meski berulang kali aku sudah menghiburnya. Tampak sekali ia juga menyesali yang telah terjadi. Ia terlalu berharap banyak pada mbak Alya, ia sangat mendamba kehadiran bayi buah cinta mereka. Dia merasa tidak bisa menjaga istrinya yang sedang mengandung.Ternyata hanya satu hari saja mbak Alya memerlukan pengobatan dan perawatan selanjutnya ia bisa dibawa pulang dengan syarat istirahat
Akhirnya aku merasakan juga hangatnya bibir mas Bara. Dadaku kian bergolak, begitu pun tubuh mas Bara yang menegang. Aku begitu menikmati sentuhannya dan dia begitu juga.Tiba-tiba saja mas Bara mendorong tubuhku, tidak kasar tapi aku merasa sangat tersinggung. Mas Bara munafik, aku tahu dia juga menikmatinya tapi sekarang ia menjauhkan tubuhku dari rengkuhannya tadi. Mas Bara terduduk di lantai. Kulihat diremasnya rambutnya hingga acak-acakan, kudengar juga suara yang keluar dari mulutnya seperti geraman.Marahkah mas Bara padaku? "Pulanglah, Aruna. Alya menunggumu."Ternyata dia masih mau bicara dengan nada lembut padaku, syukurlah mas Bara tidak marah.Aku berlalu meninggalkannya. Pusing, pusinglah situ! Aku tidak peduli. Yang aku tahu, mas Bara tidak menolakku dan aku suka itu.Aku berjalan menuju kamar mbak Alya. Tampaknya dia sudah mandi, penampilannya sudah sedikit segar. Tapi matanya tetap saja sembab. Teruslah begitu, Mbak. Dan mas Bara akan semakin menyadari kalau istrinya