Share

8. Cemburu

Sebenarnya tadi aku mau langsung pulang ke rumah dengan menumpang sepeda motor Arum tetapi aku teringat baju kotorku yang masih kutinggal di dalam kamar rumah mbak Alya. Aku harus mengambilnya.

Cuaca terik membuatku sedikit pusing, mungkin juga karena semalam aku kurang tidur.

Aku memasuki halaman rumah, sepi. Sedang apa mbak Alya di dalam? Aku memanggilnya tapi tidak ada sahutan. Mungkin mbak Alya sedang di belakang atau sedang tidur siang.

Bahkan di dalam rumah pun sepi juga, suara televisi juga tidak terdengar.

Langkahku pelan menuju kamar yang kupakai. Belum sampai tujuan, aku mendengar suara dari arah kamar mbak Alya yang memang harus kulewati untuk mencapai kamarku yang terletak agak di belakang.

Suara-suara yang membuat telingaku memanas. Memang dasar keterlaluan, ini kan siang hari, mana panas lagi. Mbak Alya pasti sedang bersama mas Bara, tut ... kena sensor. Aku sudah dewasa, aku sudah tau apa arti suara-suara itu.

Kuhentakkan kaki ke lantai dengan kesal. Mas Bara begitu sayang kepada mbak Alya, siang hari yang panas juga menyempatkan pulang hanya untuk bermesraan.

Apa sih yang menarik dalam diri mbak Alya itu? tidak ada sama sekali menurutku. Aku jauh lebih cantik dan seksi. Aku juga lebih muda dan bisa menjadi semangat untuk mas Bara, coba aku saja yang menjadi istrinya mas Bara

Aku melanjutkan niatku mengambil baju dan pergi begitu saja. Dadaku terasa sesak, aku benci hari ini.

"Kenapa kau marah-marah, Aruna? Apa masalahmu di sekolahan?"

Mungkin ibu mendengar aku membanting pintu kamar dengan kasar dan melemparkan tasku. Rak sepatuku berantakan karena tasku kulempar ke sana. Dan semua menimbulkan suara berisik yang menarik perhatian ibu.

"Tidak ada masalah, Bu."

Jawabku dengan singkat sambil menghempaskan diri ke kasur.

"Lalu kenapa pintu kau banting dan sepatumu berantakan, terlempar ke mana-mana seperti itu?"

"Aku nggak sengaja tadi."

Jawabku tanpa memandang ibu.

Aku sengaja cuek agar ibu cepat pergi meninggalkan kamarku. Dan aku mau tidur sampai nanti sore saja dari pada mengingat hal menjengkelkan tadi.

Rupanya ibu masuk ke dalam kamarku dan duduk di bibir ranjang tempatku berbaring. Apa sih maunya ibu ini?

"Jangan kau teruskan sikapmu yang seperti itu, tidak baik. Kau sudah besar, kau harus bisa mengontrol emosimu."

"Apaan sih, kan aku dah bilang, tidak sengaja tadi."

"Terserah denganmu, Aruna. Tapi ibu tetap memintamu mengubah sikapmu yang kasar dan suka marah dengan sendirinya itu. Kamu sudah besar, nanti cowok yang mendekatimu akan takut menjalin hubungan dengan wanita sepertimu."

Aduh, aduh! ceramah sudah dimulai ternyata. Kini malah sudah menyangkut masalah masa depanku. Memangnya ibu tahu apa ada cowok yang mendekatiku dan bakalan takut jika tahu sifat pemarahku.

Ibu memang selalu sok tahu disegala hal.

"Siapa yang mau menjalin hubungan dengan cewek miskin sepertiku, Bu. Nggak ada yang diharapkan, nggak ada masa depannya."

Rutukku tiba-tiba, ibu sepertinya terkejud.

"Kenapa bilang begitu, memangnya kamu tidak ingin menikah nanti. Seperti Alifia juga Alya?"

"Ya pingin, tapi siapa yang mau sama Aruna yang miskin ini."

"Memangnya Alifia dan Alya kaya. Buktinya mereka mendapatkan jodoh yang tepat. Yang penting jadi perempuan itu harus sopan, tutur katanya lembut dan jangan suka bicara atau melakukan perbuatan yang kasar."

"Jadi aku suka marah dan bicara kasar nantinya aku tidak bisa dapat jodoh yang tepat seperti mbak Alifia dan mbak Alya begitu, Bu?"

Ibu menggeleng. Matanya menatapku lurus. Aku duduk di hadapan ibu dengan bersandar di dua bantalku.

"Kamu salah lagi, Aruna. Maksudnya rubah kebiasaan burukmu agar engkau dapat kebaikan untuk hidupmu. Kau cantik dan pandai bergaul, kau akan lebih banyak mendapatkan teman. Apa lagi kau bisa lebih sopan dan membawa dirimu menjadi lebih baik, kau akan mendapatkan jodoh terbaik kelak."

Tidak usah kelak, Bu. Bahkan saat ini saja sudah terbukti jodohku sudah tertukar dengan jodohnya mbak Alya. Jodohku itu harusnya mas Bara, itu baru terbaik dan tepat. Tapi malah sudah keduluan mbak Alya. Terus aku bagaimana? Kelebihan yang aku miliki tidak akan ada gunanya kalau aku mendapatkan jodoh yang tidak bisa seperti mas Bara. Apa yang harus ku lakukan?

"Heh, malah bengong!"

Kibasan tangan ibu di depan mukaku membuatku tersadar dari lamunan.

"Hehehehe, kalau jodohku orang miskin gimana Bu?"

Tanyaku sekonyong-konyong.

"Memangnya kenapa? mana tahu waktu mengubah seseorang yang semula miskin kemudian menjadi kaya raya."

"Memangnya waktu bisa merubah, Bu. Lha kita sudah berabad-abad tetap saja miskin."

"Bukan waktu yang mengubah tapi usaha dan takdir."

"Bukannya ayah juga usaha terus, kita terus saja miskin."

"Kan ibu bilang, takdir. Berarti itu takdir yang berlaku untuk kita."

"Kita? nggak, ah. Aku nggak mau miskin terus."

""Lah itu dia, berusaha selagi masih muda. Sisanya serahkan sama Yang Kuasa."

"Usahanya seperti apa contohnya, Bu?"

"Sekolah yang bener, belajar rajin. Bersikap sopan sama orang tua, bukannya mbak Alya sudah menyanggupi biaya kuliahmu. Nah, kau harus sopan dan hormat pada Alya dan Bara supaya kamu nanti kesampaian untuk kuliah dan mendapat gelar. Kau nanti bisa mendapatkan pekerjaan bagus karenanya. Kau bis ....."

"Ah, kelamaan. Nikah saja sama orang kaya seperti mbak Alya, sudah. Jadilah kita orang kaya juga."

Kataku memotong uraian ibu yang kurasa berbelit-belit, aku sampai capek mendengarnya.

"Aruna."

Ibu melotot, aku cengengesan.

"Alya juga rajin bekerja, sikapnya juga sopan. Tidak salah kalau Allah memberikan Bara sebagai jodohnya. Mereka juga pada dasarnya saling mencintai. Tidak ada maksud Alya menikah dengan Bara karena ingin jadi orang kaya."

Ibu terus saja membaik-baikkan mbak Alya, muak aku mendengarnya. Sepertinya mbak Alya itu orang yang paling sempurna menurut ibu. Tidak ada kesalahan mbak Alya yang disebutkan ibu barang sedikit pun.

"Sudahlah, Bu. Aku mau tidur, aku ini capek dan ngantuk."

"Memangnya kamu tidak tidur di rumah Alya? Bukannya kau suka sekali menginap di sana?"

"Ya tidur tapi cuma sebentar. Mbak Alya ngajakin beberes sampai larut malam. Udah ah Bu, jangan lupa tutup pintunya."

Aku membalikkan badan dan memunggungi ibu, kemudian menutup telingaku dengan bantal supaya tidak bisa mendengar suara ibu lagi.

Sudah capek, ngantuk malah diceramahi lagi. Bukan ceramah yang berguna malah membuat aku nggak suka saja. Ibu itu sukanya memuji mbak Alya terus, mentang-mentang sekarang sudah menjadi orang kaya mungkin.

Dasar para orang tua. Anak-anak yang kaya selalu di puji dan dianggap baik, nanti kalau punya anak yang hidupnya miskin pasti di kucilkan dan akan dianggap buruk.

Aku tidak bisa membayangkan kelak kalau aku tidak bisa menyeimbangkan kehidupanku dengan kedua kakakku, bisa jadi aku akan dikucilkan di keluarga ini.

Kalau sedang seperti ini aku terus ingat pada mbak Alya yang benar-benar mendapatkan nasib yang baik. Apa yang sudah dilakukannya sehingga Allah begitu menyayangi mbak Alya. Suami yang baik dan kaya, pujian dari ibu dan ayah. Sekarang mbak Alya pun dihormati oleh banyak orang.

Coba saja kemarin yang dilamar mas Bara itu aku, aku tidak pusing seperti ini. Dan mbak Alya biar saja seperti dulu. Bekerja dengan baik dan tekun. Tidak usah mengenal mas Bara dan menikah. Hidupku jadi terasa kacau karenanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status