Share

8. Cemburu

Penulis: Tutyas
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-19 16:25:51

Sebenarnya tadi aku mau langsung pulang ke rumah dengan menumpang sepeda motor Arum tetapi aku teringat baju kotorku yang masih kutinggal di dalam kamar rumah mbak Alya. Aku harus mengambilnya.

Cuaca terik membuatku sedikit pusing, mungkin juga karena semalam aku kurang tidur.

Aku memasuki halaman rumah, sepi. Sedang apa mbak Alya di dalam? Aku memanggilnya tapi tidak ada sahutan. Mungkin mbak Alya sedang di belakang atau sedang tidur siang.

Bahkan di dalam rumah pun sepi juga, suara televisi juga tidak terdengar.

Langkahku pelan menuju kamar yang kupakai. Belum sampai tujuan, aku mendengar suara dari arah kamar mbak Alya yang memang harus kulewati untuk mencapai kamarku yang terletak agak di belakang.

Suara-suara yang membuat telingaku memanas. Memang dasar keterlaluan, ini kan siang hari, mana panas lagi. Mbak Alya pasti sedang bersama mas Bara, tut ... kena sensor. Aku sudah dewasa, aku sudah tau apa arti suara-suara itu.

Kuhentakkan kaki ke lantai dengan kesal. Mas Bara begitu sayang kepada mbak Alya, siang hari yang panas juga menyempatkan pulang hanya untuk bermesraan.

Apa sih yang menarik dalam diri mbak Alya itu? tidak ada sama sekali menurutku. Aku jauh lebih cantik dan seksi. Aku juga lebih muda dan bisa menjadi semangat untuk mas Bara, coba aku saja yang menjadi istrinya mas Bara

Aku melanjutkan niatku mengambil baju dan pergi begitu saja. Dadaku terasa sesak, aku benci hari ini.

"Kenapa kau marah-marah, Aruna? Apa masalahmu di sekolahan?"

Mungkin ibu mendengar aku membanting pintu kamar dengan kasar dan melemparkan tasku. Rak sepatuku berantakan karena tasku kulempar ke sana. Dan semua menimbulkan suara berisik yang menarik perhatian ibu.

"Tidak ada masalah, Bu."

Jawabku dengan singkat sambil menghempaskan diri ke kasur.

"Lalu kenapa pintu kau banting dan sepatumu berantakan, terlempar ke mana-mana seperti itu?"

"Aku nggak sengaja tadi."

Jawabku tanpa memandang ibu.

Aku sengaja cuek agar ibu cepat pergi meninggalkan kamarku. Dan aku mau tidur sampai nanti sore saja dari pada mengingat hal menjengkelkan tadi.

Rupanya ibu masuk ke dalam kamarku dan duduk di bibir ranjang tempatku berbaring. Apa sih maunya ibu ini?

"Jangan kau teruskan sikapmu yang seperti itu, tidak baik. Kau sudah besar, kau harus bisa mengontrol emosimu."

"Apaan sih, kan aku dah bilang, tidak sengaja tadi."

"Terserah denganmu, Aruna. Tapi ibu tetap memintamu mengubah sikapmu yang kasar dan suka marah dengan sendirinya itu. Kamu sudah besar, nanti cowok yang mendekatimu akan takut menjalin hubungan dengan wanita sepertimu."

Aduh, aduh! ceramah sudah dimulai ternyata. Kini malah sudah menyangkut masalah masa depanku. Memangnya ibu tahu apa ada cowok yang mendekatiku dan bakalan takut jika tahu sifat pemarahku.

Ibu memang selalu sok tahu disegala hal.

"Siapa yang mau menjalin hubungan dengan cewek miskin sepertiku, Bu. Nggak ada yang diharapkan, nggak ada masa depannya."

Rutukku tiba-tiba, ibu sepertinya terkejud.

"Kenapa bilang begitu, memangnya kamu tidak ingin menikah nanti. Seperti Alifia juga Alya?"

"Ya pingin, tapi siapa yang mau sama Aruna yang miskin ini."

"Memangnya Alifia dan Alya kaya. Buktinya mereka mendapatkan jodoh yang tepat. Yang penting jadi perempuan itu harus sopan, tutur katanya lembut dan jangan suka bicara atau melakukan perbuatan yang kasar."

"Jadi aku suka marah dan bicara kasar nantinya aku tidak bisa dapat jodoh yang tepat seperti mbak Alifia dan mbak Alya begitu, Bu?"

Ibu menggeleng. Matanya menatapku lurus. Aku duduk di hadapan ibu dengan bersandar di dua bantalku.

"Kamu salah lagi, Aruna. Maksudnya rubah kebiasaan burukmu agar engkau dapat kebaikan untuk hidupmu. Kau cantik dan pandai bergaul, kau akan lebih banyak mendapatkan teman. Apa lagi kau bisa lebih sopan dan membawa dirimu menjadi lebih baik, kau akan mendapatkan jodoh terbaik kelak."

Tidak usah kelak, Bu. Bahkan saat ini saja sudah terbukti jodohku sudah tertukar dengan jodohnya mbak Alya. Jodohku itu harusnya mas Bara, itu baru terbaik dan tepat. Tapi malah sudah keduluan mbak Alya. Terus aku bagaimana? Kelebihan yang aku miliki tidak akan ada gunanya kalau aku mendapatkan jodoh yang tidak bisa seperti mas Bara. Apa yang harus ku lakukan?

"Heh, malah bengong!"

Kibasan tangan ibu di depan mukaku membuatku tersadar dari lamunan.

"Hehehehe, kalau jodohku orang miskin gimana Bu?"

Tanyaku sekonyong-konyong.

"Memangnya kenapa? mana tahu waktu mengubah seseorang yang semula miskin kemudian menjadi kaya raya."

"Memangnya waktu bisa merubah, Bu. Lha kita sudah berabad-abad tetap saja miskin."

"Bukan waktu yang mengubah tapi usaha dan takdir."

"Bukannya ayah juga usaha terus, kita terus saja miskin."

"Kan ibu bilang, takdir. Berarti itu takdir yang berlaku untuk kita."

"Kita? nggak, ah. Aku nggak mau miskin terus."

""Lah itu dia, berusaha selagi masih muda. Sisanya serahkan sama Yang Kuasa."

"Usahanya seperti apa contohnya, Bu?"

"Sekolah yang bener, belajar rajin. Bersikap sopan sama orang tua, bukannya mbak Alya sudah menyanggupi biaya kuliahmu. Nah, kau harus sopan dan hormat pada Alya dan Bara supaya kamu nanti kesampaian untuk kuliah dan mendapat gelar. Kau nanti bisa mendapatkan pekerjaan bagus karenanya. Kau bis ....."

"Ah, kelamaan. Nikah saja sama orang kaya seperti mbak Alya, sudah. Jadilah kita orang kaya juga."

Kataku memotong uraian ibu yang kurasa berbelit-belit, aku sampai capek mendengarnya.

"Aruna."

Ibu melotot, aku cengengesan.

"Alya juga rajin bekerja, sikapnya juga sopan. Tidak salah kalau Allah memberikan Bara sebagai jodohnya. Mereka juga pada dasarnya saling mencintai. Tidak ada maksud Alya menikah dengan Bara karena ingin jadi orang kaya."

Ibu terus saja membaik-baikkan mbak Alya, muak aku mendengarnya. Sepertinya mbak Alya itu orang yang paling sempurna menurut ibu. Tidak ada kesalahan mbak Alya yang disebutkan ibu barang sedikit pun.

"Sudahlah, Bu. Aku mau tidur, aku ini capek dan ngantuk."

"Memangnya kamu tidak tidur di rumah Alya? Bukannya kau suka sekali menginap di sana?"

"Ya tidur tapi cuma sebentar. Mbak Alya ngajakin beberes sampai larut malam. Udah ah Bu, jangan lupa tutup pintunya."

Aku membalikkan badan dan memunggungi ibu, kemudian menutup telingaku dengan bantal supaya tidak bisa mendengar suara ibu lagi.

Sudah capek, ngantuk malah diceramahi lagi. Bukan ceramah yang berguna malah membuat aku nggak suka saja. Ibu itu sukanya memuji mbak Alya terus, mentang-mentang sekarang sudah menjadi orang kaya mungkin.

Dasar para orang tua. Anak-anak yang kaya selalu di puji dan dianggap baik, nanti kalau punya anak yang hidupnya miskin pasti di kucilkan dan akan dianggap buruk.

Aku tidak bisa membayangkan kelak kalau aku tidak bisa menyeimbangkan kehidupanku dengan kedua kakakku, bisa jadi aku akan dikucilkan di keluarga ini.

Kalau sedang seperti ini aku terus ingat pada mbak Alya yang benar-benar mendapatkan nasib yang baik. Apa yang sudah dilakukannya sehingga Allah begitu menyayangi mbak Alya. Suami yang baik dan kaya, pujian dari ibu dan ayah. Sekarang mbak Alya pun dihormati oleh banyak orang.

Coba saja kemarin yang dilamar mas Bara itu aku, aku tidak pusing seperti ini. Dan mbak Alya biar saja seperti dulu. Bekerja dengan baik dan tekun. Tidak usah mengenal mas Bara dan menikah. Hidupku jadi terasa kacau karenanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   131. Kau Putraku, Afnan.

    "Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   130. Tenangkan aku

    "Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   129. Kubawa Pada Siapa Luka ini

    "Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   128. Maafkan Ibu

    Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   127. Bersiap Untuk Berpisah

    Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   126. Permintaan yang Berat

    Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status