Share

6. Selalu Ingin ke Sana

Rumah mbak Alya bagus sekali, terletak di tepi jalan besar lagi. Mas Bara memang paling jitu menentukan pilihan, kecuali memilih istri.

Aku semakin tidak percaya saja pada keadilan Tuhan, mengapa mbak Alya yang dikasih rezeki secara bertubi-tubi. Terus mana bagianku? Dari zaman dahulu kehidupan pahit ini yang kurasakan, tidak ada perubahan sama sekali.

"Wah, bagus sekali rumahmu, Mbak. Bolehkan aku menginap disini."

Aku tak bosan-bosannya melihat ke sana dan ke mari. Rumah yang bagus, interior yang cantik dan perabot yang semuanya baru membuatku betah di rumah ini.

"Boleh saja."

Jawab mbak Alya enteng.

"Kamu ini. Terus ayah sama ibu sama siapa?"

Ibu yang menjawabku dengan ketus.

"Ya ayah sama ibu, memangnya kenapa kalau nggak ada aku."

Ucapku tak kalah ketus.

"Kamu ini kalau dibilang sama orang tua, Mbakmu kan masih pengantin baru."

"Lah terus kenapa, Bu. Di sini ada banyak kamar, kan aku tidak mungkin tidur sekamar sama mbak Alya."

Ibu sepertinya benar-benar marah padaku, mukanya tampak memerah.

"Aruna!"

"Kenapa sih Bu, belum juga jadi menginap sudah marah-marah saja. Lagian kalau aku di sini, ibu lumayan tidak kasih jatah naik angkot. Sekolahku dekat sini, aku bisa jalan kaki."

Aku mengajukan banyak argumen, supaya ibu sadar aku ini tidak salah. Kenapa juga harus marah.

"Sudah, sudah .... jangan begitu sama ibu ya, Aruna. Kamu boleh menginap di sini kapan pun kamu mau."

"Horeeee!"

Pekikku gembira.

"Tapi bantu mbak dulu ya. Mbak mau bikin acara syukuran. Banyak yang diundang nanti. Tetangga dan teman-teman mas Bara. Kita akan menjamu mereka, banyak yang harus kita persiapkan."

Sebenarnya aku paling benci kalau disuruh-suruh, tapi mau bagaimana lagi. Itu syarat untukku bisa ikut menikmati indahnya dan mewahnya rumah ini.

"Siap, Mbak!"

Mbak Alya tertawa melihatku. Dia tidak tahu aku hanya berpura-pura saja.

Hari ini aku harus pulang dulu, besok kembali ke sini lagi bersama ibu untuk membantu mbak Alya mempersiapkan acara syukuran rumah barunya.

Kami bertiga menyusul ayah yang sedang melihat-lihat halaman belakang bersama mas Bara.

"Ayah ayo kita pulang."

Teriakku, ayah dan mas Bara menoleh dan kemudian menghampiri kami.

"Mas antarkan pulang dulu ya. Besok jemput lagi Ibu sama Aruna, ayah biar saja kalau mau kerja. Nanti kalau mau mulai acaranya baru jemput ayah."

Nyonya Alya sedang memerintah, aku melengos mendengarnya.

"Tidak usah dijemput, kalian pasti repot. Nanti ayah ke sini sendiri saja."

Ini lagi, dikasih enak tidak mau. Di pikir-pikir memang orang tuaku ini senangnya hidup susah terus. Coba kurang enak apa, ke sana ke mari dijemput mobil tanpa meminta. Malah menolak, mau ke sini sendiri, padahal harus cari angkot atau naik ojek.

"Baiklah."

Jawab mbak Alya.

Kami meninggalkan mbak Alya sendirian di rumah barunya, kami harus pulang kecuali mas Bara. Setelah mengantar kami sampai rumah pasti mas Bara akan kembali ke rumah barunya dan mereka ....

Mereka akan semakin mesra tanpa rasa segan pada siapa pun. Mendadak aku menjadi muak mengingat kebersamaan mbak Alya dan mas Bara.

Sesampainya di rumah, ayah masih terus mengobrol dengan mas Bara. Entah apa yang mereka obrolkan. Perasaan tadi di rumah mbak Alya pun mereka sudah mengobrol sangat lama. Akh, memang mungkin seperti itu kalau mendapatkan menantu yang kaya. Selalu diberikan perhatian dan sikap ramah tamah. Coba kalau menantunya miskin, mungkin akan cuek saja mertuanya.

"ini diminum Mas, tadi sekalian aku bikin juga."

Aku memberikan segelas es teh untuk mas Bara. Suasana mendadak terasa panas dan aku tidak tahan untuk tidak membuat minuman dingin.

"Terima kasih ya."

Mas Bara menerimanya dengan tersenyum manis.

Aku ingin sekali duduk bersama mereka, maksud sebenarnya duduk di dekat mas Bara. Belum juga aku menghempaskan pantatku di sofa, ayah sudah menyuruhku pergi. Menyebalkan sekali.

"Aruna bantu ibumu sana, tadi ayah lihat banyak pakaian yang belum diangkat dari jemuran."

Ada saja alasan ayah ini untuk membuatku menggerutu. Kenapa sih selalu saja menghalangi kemauanku untuk senang sedikit saja.

Aku pergi membawa rasa dongkol di hati. Merebahkan diri di kursi ruangan tengah dengan semauku sendiri.

"Masya Allah, Aruna!"

Ibu meneriakiku sambil menghempaskan sebelah kakiku yang naik ke sandaran kursi dengan sangat kasar.

"Ibu ini apa-apaan sih!"

Aku marah dengan perlakuan ibu, mataku

menatap nyalang ke arah ibu. Di ruang tamu aku diusir, di ruang tengah aku dimarahi. Sebenarnya aku ini suruh bagaimana sih, apa-apa salah!

"Belum juga sadar, sudah diingatkan berkali-kali. Ibu sudah bilang kalau ada Bara kau jangan pakai celana sependek itu. Ini lagi, kaki di taruh atas. Kalau Bara masuk dan melihatmu bagaimana?!"

Halah, ternyata cuma masalah celana pendek dan kaki yang cari tempat nyaman saja sudah seperti masalah perang dunia.

Ibu, ibu .... aku ini sudah seperti anak orang yang

menumpang di rumah ini saja. Apa-apa serba salah.

"Bilang baik-baik bisa kan Bu. Nggak harus pakai dorong kaki Aruna juga."

Protesku. Terlihat dada ibu tersengal seperti menahan amarah.Tensi naik baru menyesal nanti, cuma masalah kecil saja diambil hati.

"Sudah berapa kali ibu bil ...."

"Bu, Bu ... ini Bara mau pulang."

Kalimat ibu yang sudah tentu membosankan itu terpotong oleh teriakan ayah.

Ibu meninggalkanku dan bergegas ke ruang tamu, menemui menantu tersayang yang mau berpamitan.

Dengan tanpa rasa bersalah aku pun mengekor, takut nanti menyesal jika tidak melihat wajah tampan mas Bara yang baru bisa ketemui lagi besok siang.

Mas Bara berpamitan dengan sangat sopan.

"Bara pulang dulu ya Pak, Bu ..... Aruna. Sampai jumpa besok."

Namaku juga disebutkan juga, aku semakin pede untuk berdiri di depan ibu. Semula ibu menutupi tubuhku tapi sekarang mas Bara bisa melihatku dengan utuh.

Mas Bara tersenyum padaku, rasa hati sangat bahagia. Melupakan sejenak ucapan ibu yang pedas tadi.

Punggung mas Bara masih saja terlihat indah dipandang mata, aku terus saja melihatnya sampai mas Bara menghilang terhalang mobilnya.

"Aruna."

Ayah mengagetkanku. Apa lagi ini, apa mau memarahi aku seperti ibu?

"Kenapa, Yah?"

"Pakailah baju yang sopan Jika ada kakak iparmu. Berikan kesan yang baik padanya, bukankah dia juga kakakmu. Kamu harus sopan padanya, bukan hanya dalam bersikap tapi juga cara berpakaian."

"Iya, Yah."

Lebih baik aku mengalah dari pada berdebat, rasanya capek untuk hari ini.

Ayah tidak bicara lagi, berarti aku bisa pergi dari hadapannya. Aku masuk kamar dan menghempaskan tubuh lelah ini di kasur yang sudah lebih dari sepuluh tahun tidak diganti dengan yang baru. Rasanya bikin pegal di punggung saja, tidak seperti kasur yang ada di rumah mbak Alya tadi. Baru mencobanya semenit saja aku sudah tau kalau kasur itu bisa membuat nyaman orang yang tidur di atasnya.

Ah, rasa hatiku ingin selalu mengajak ke rumah mbak Alya terus. Kalau bisa tinggal di sana saja sekalian. Pasti lebih nyaman. Aku pun bisa merasa bangga jika ada teman-temanku yang datang berkunjung. Tidak seperti di sini. Bagian mana dari rumah ini yang patut kubanggakan? Semua yang ada hanya barang usang saja.

Mas Bara mungkin sudah sampai rumahnya. Seperti biasanya, anganku menerawang. Mbak Alya pasti menyambutnya dengan mesra. Begitu pun mas Bara yang sangat memanjakan istrinya, seketika aku merasa muak lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status