LOGINSuara itu bak petir di siang bolong, jantung berdegup kencang, napasnya tersengal-sengal. Tangan Arumi bergetar hebat, ia memegang pipinya yang terasa panas. Tamparan itu, adalah tamparan pertama kalinya ia rasakan. Selama ini Leonard tak pernah bermain tangan dengannya, namun kali ini ia sepertinya sudah benar-benar emosi.
Mata itu berkaca-kaca, perlahan bulir bening mengalir membasahi pipi Arumi. "Mas..." ucapnya bergetar. "Kamu keterlaluan Arumi, kesabaran ku sudah benar-benar habis. Akhir-akhir ini kamu buat aku emosi." "Di mana salahku, Mas?" "Di mana? Kamu seharusnya berpikir Arumi, kamu tadi mau buka handphone aku kan? Itu privasi, aku juga mau dihargai. Jangan asal-asalan." Leonard berkata dengan tegas. Arumi mencoba menenangkan dirinya, ia kembali menarik napasnya dalam-dalam. "Mas aku cuma mau pinjam sebentar, apa salahnya? Aku cuma mau minta hotspot." "Kenapa nggak bilang? Kenapa lancang banget, tiba-tiba mau buka handphone aku?" "Bukannya kamu yang selalu bilang Mas, kamu paling nggak suka diganggu pas tidur." Jelas Arumi, "justru akhir-akhir ini kamu yang paling sensi." "Membantah aja kamu, Arumi!" cetus Leonard. "Kamu akhir-akhir ini selalu curiga sama aku, bahkan aku ngobrol sama Indah aja kamu udah mau marah." "Siapa yang nggak marah lihat suaminya akrab sama perempuan lain? Siapa yang nggak marah lihat suaminya dilayani sama wanita lain waktu mau makan? Siapa yang nggak marah lihat suaminya muji masakan perempuan lain enak, di depan istrinya. Hargai aku!" Arumi benar-benar tak tahan, ia ingin mengeluarkan semua emosi yang selama ini dipendamnya. "Semakin berani ya kamu sama aku, Arumi!" Leonard mengambil kunci mobilnya, "jangan tunggu aku, aku tidur di rumah ibu." "Mas!" Arumi mengejar langkah Leonard, "selesaikan masalahnya dengan baik-baik, bukan pergi begitu saja." "Kamu selalu curiga sama aku, aku capek." "Kenapa harus capek? Biarpun aku curiga kalau itu sebenarnya nggak benar, seharusnya kamu nggak perlu capek." Leonard berhenti seketika, ia menatap wajah Arumi tajam. "Arumi, redakan amarah kamu. Diam atau aku nggak akan kembali ke rumah!" Tak ada pilihan lain, Arumi memilih untuk diam. Mobil hitam itu perlahan-lahan menjauh dari halaman rumah, suara mesinnya perlahan juga tak terdengar. Arumi berdiri di ambang pintu, kini ia terduduk lemas. Semua terasa hancur. ______ Sore itu Arumi mencoba untuk menemui sahabatnya, Abel. Hanya dia satu-satunya sahabat yang benar-benar ada untuk Arumi, bagaimana keadaannya ia tetap berada di sisi Arumi. "Kenapa? Keluarga? Atau Leo buat ulah?" tanya Abel pelan. Arumi mengangguk, "Entah itu perasaan aku yang nggak benar atau gimana, tapi aku ngerasa ada yang salah. Terlebih sekarang ada tetangga baru di samping rumahku, mas Leo berubah." Abel mengerutkan keningnya, "Tetangga baru? Siapa dia, coba cerita. Memangnya dia ngelakuin hal apa sama Leo?" Arumi mulai menceritakan semuanya kepada Abel, mulai dari awal bertemu dengan Indah sampai detik ini juga. Sahabatnya itu tampak mendengarkan dengan baik, ia akan selalu menjadi pendengar yang baik untuk Arumi. "Arumi..." Abel menggenggam erat pergelangan tangan Arumi. "Aku tau, pasti kamu curiga sama Leo. Menurut aku itu wajar, karena kalau dipikir-pikir Leo sama Indah juga baru ketemu. Mereka bisa langsung akrab seperti itu, mana lawan jenis. Kamu patut curiga." "Lalu sekarang apa yang aku lakuin, Bel? Apa aku diam aja, supaya rumah tangga aku tetap aman." Abel menggeleng, "Nggak, itu bukan pilihan yang baik buat hati kamu. Mungkin rumah tangga kamu dengan diam dan pura-pura tidak tau apa-apa bisa bertahan, aman. Namun gimana sama perasaan kamu, Arumi? Kamu nggak bisa memaksakan diri buat selalu menerima. Lakuin hal-hal yang buat kamu bahagia dan tenang, bukan yang tenang namun menyakitkan." Arumi mengangguk-angguk sambil tersenyum, "Hmm iya ya Bel, sepertinya aku harus seperti itu. Sekarang aku harus gimana?" "Sudah coba cek handphone Leo? Ada yang mencurigakan nggak?" tanya Abel. "Belum Bel, baru aja tadi aku mau ambil handphonenya tapi mas Leo sudah bangun lebih dulu." Arumi mengambil tisu basah dari dalam tasnya, mengusapkan pada wajahnya. Merah. Bekas tamparan itu terlihat. "Arumi! Dia berani banget main tangan sama kamu!" ucap Abel kaget sekaligus kesal. "Tadi aku sengaja tutupin pakai cushion yang sedikit tebal supaya kamu nggak tau, tapi aku rasa kamu harus tau." Arumi menghela napas panjang. "Baru kali ini mas Leo berani begini sama aku Bel, perkara aku mau ambil handphonenya." "Gila emang, aku nggak terima lihat sahabat aku diginiin. Aku ada rencana, dengarkan aku Arumi." "Kita sadap saja handphonenya Leo, gimana?" Arumi mengerutkan keningnya, "Gimana caranya? Aku nggak tau Bel, sebenarnya aku juga penasaran banget." "Gampang masalah itu, aku ada teman yang bisa. Kamu nggak perlu khawatir lagi," Abel berusaha untuk meyakinkan. "Kalau gitu kamu nanti coba bilang ke teman kamu ya, soalnya semakin cepat semakin baik." Abel mengangguk-anggukkan kepalanya, "Iya Arumi, kamu yang kuat-kuat ya. Aku selalu ada di sini, ceritakan semua masalah kamu ke aku." "Terima kasih, Bel." **** Dua hari Leonard tak pulang ke rumah, hingga hari ini laki-laki itu akhirnya pulang. Tak bohong, sebenarnya Arumi benar-benar merindukan Leonard. Hampir setiap malam ia tak bisa tidur, selalu memikirkannya. "Pa.. Papa!" Cella berjalan dengan pelan menuju Leonard, ia merangkul kakinya. Lihatlah senyuman manis itu terukir di wajah mungilnya, jari-jemarinya erat memegang kaki Leonard. Ia tertawa senang melihat cinta pertamanya kembali di hadapannya. Leonard tersenyum kecil, ia perlahan melepaskan tangan Cella dari kakinya. "Nanti ya, Papa capek." Begitu ucapnya lalu pergi. Deg! Arumi segera menghampiri Cella, mendekap erat tubuh mungilnya. "Maafkan papa kamu ya Nak, mungkin papa benar-benar lelah." Cella mana mungkin mengerti maksud ucapan Arumi, gadis kecil itu terus merengek. Ia rindu berada dalam dekapan Leonard, ia rindu bermain dengan Leonard. Tangan Arumi mengusap pelan rambut Cella. "Shut... udah ya, Nak? Nanti main aja sama Mama. Jangan menangis.." Arumi benar-benar tak habis pikir, suaminya begitu berubah kali ini. Bahkan ia bisa mengabaikan darah dagingnya sendiri, tak mempedulikannya sama sekali. ____ Malam tiba, Arumi lagi-lagi terbangun saat tengah malam. Ia melirik ke samping, tak mendapati Leonard tidur. Hendak Arumi menuju ke ruang tamu, namun matanya tertuju pada handphone milik Leonard. Ini kesempatan emas. Buru-buru Arumi membuka handphonenya, untung saja layar handphone itu belum mati. Jika mati tak bisa lagi Arumi membukanya, karena menggunakan kata sandi. Jari-jemarinya bergerak cepat menggulir layar, membaca satu persatu chat yang tertera di aplikasi W******p. Arumi melihat catatan panggilan, yang terbanyak bukan dirinya, namun kontak dengan nama "Tetangga" "Hah?!"Dada Arumi terasa sesak, matanya panas hingga perih. Ia tak lagi mampu menahan air mata yang luruh begitu saja. Dunianya hancur hari ini, detik ini, pada waktu yang bahkan tak sempat ia siapkan. Semua yang selama ini ia pertahankan runtuh dalam satu kenyataan pahit yang menghantam tanpa ampun. Dua insan itu masih belum menyadari kehadiran Arumi. Mereka bercumbu mesra, seolah tak ada batas, seolah tak ada dosa yang sedang mereka lakukan. Tanpa memikirkan dengan siapa mereka berbuat, dan tanpa peduli akibat yang akan mereka tinggalkan. Tangan Arumi bergetar hebat. Ia menutup mulutnya dengan sekuat tenaga, menahan isak yang hampir lolos dari bibirnya. Tangan itu, yang dulu mengusap lembut air mata Arumi kini mengusap perempuan lain. Tawa itu, yang selama ini akrab di telinga Arumi kini menjadi milik orang lain. Semua itu seharusnya milik Arumi. Hanya miliknya. "MAS LEONARD!" Dengan langkah penuh amarah, Arumi maju sambil menggenggam segelas air di tangannya. Byurr! Air itu
Arumi buru-buru mencari kontak dengan nama "Tetangga" ia membuka semua pesan-pesannya.Dada Arumi bergemuruh, emosinya naik-turun. Napasnya tersengal-sengal, ia tak tahan lagi menahan ini semua. Pesan yang Arumi baca membuatnya tak bisa menahan tangis, ternyata dugaannya benar. Leo berselingkuh dengan Indah.Arumi buru-buru meletakkan handphone Leonard kembali, setelah itu ia kembali tidur. Tak mau ia ketahuan jika sedang membuka handphonenya."Arumi, bisa kamu masakan aku sup ayam?" Sapu lantai yang dipegang Arumi hampir lepas dari genggamannya, setelah sekian lama akhirnya Leonard kembali meminta menu makanan. "Eh, sup ayam?"Leonard mengangguk, "Iya sup ayam, tapi buatkan yang sama persis seperti masakan Indah ya."Hampir saja Arumi senang, kini ia kembali merasa kesal. "Memangnya harus banget Mas, kan beda orang beda rasa. Walau resepnya sama.""Makanya itu kamu belajar sama Indah, buat sup ayam yang enak!" seru Leonard.Arumi terdiam, ia sebenarnya ingin membantah suaminya itu s
Suara itu bak petir di siang bolong, jantung berdegup kencang, napasnya tersengal-sengal. Tangan Arumi bergetar hebat, ia memegang pipinya yang terasa panas. Tamparan itu, adalah tamparan pertama kalinya ia rasakan. Selama ini Leonard tak pernah bermain tangan dengannya, namun kali ini ia sepertinya sudah benar-benar emosi. Mata itu berkaca-kaca, perlahan bulir bening mengalir membasahi pipi Arumi. "Mas..." ucapnya bergetar. "Kamu keterlaluan Arumi, kesabaran ku sudah benar-benar habis. Akhir-akhir ini kamu buat aku emosi." "Di mana salahku, Mas?" "Di mana? Kamu seharusnya berpikir Arumi, kamu tadi mau buka handphone aku kan? Itu privasi, aku juga mau dihargai. Jangan asal-asalan." Leonard berkata dengan tegas. Arumi mencoba menenangkan dirinya, ia kembali menarik napasnya dalam-dalam. "Mas aku cuma mau pinjam sebentar, apa salahnya? Aku cuma mau minta hotspot." "Kenapa nggak bilang? Kenapa lancang banget, tiba-tiba mau buka handphone aku?" "Bukannya kamu yang selalu bilang Mas
Sama seperti yang telah direncanakan Arumi, kali ini ia sengaja meminta bantuan Indah untuk memasak di rumahnya. Sebenarnya Arumi bisa saja menyelesaikan semua masakan sendiri, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun kali ini Arumi ingin lebih dekat dengan Indah, bukan untuk lebih akrab, tapi ingin membuka perlahan-lahan apa yang sebenarnya terjadi."Arumi, anak kamu lucu banget sih!" Indah berjongkok, ia mencubit pelan pipi Cella. "Dia gemas, mirip kayak kamu."Arumi terkekeh, "Hahah bisa saja, oh ya anak kamu mana? Kenapa nggak diajak ke sini?""Kay sama neneknya, dia lebih nyaman tinggal di sana. Jadi di rumah aku sendiri.""Oh kamu sendirian? Suamimu memangnya ke mana Ndah, kok aku nggak pernah lihat." Ini adalah kesempatan bagi Arumi, ia benar-benar penasaran dengan kehidupan Indah sebenarnya."Dia.. pergi merantau, suamiku jarang banget pulang. Dia mungkin pulang dua tahun sekali."Arumi manggut-manggut mendengar ucapan Indah, namun ia baru teringat kembali. Postingan Indah d
Setelah semalam tak pulang, akhirnya Arumi dapat kembali melihat Leonard. Leonard pulang dengan sempoyongan, bajunya tampak berantakan dengan rambut kusut. "Mas, kamu abis dari mana sih?" Arumi menghampiri dengan penuh khawatir. "Berantakan banget."Leonard menepis tangan Arumi yang hendak menyentuh keningnya, "Diam, Arumi! Aku capek, biarkan aku istirahat." Arumi perlahan mundur, ia takut mengganggu Leonard. Tugasnya sekarang hanyalah menyiapkan makan untuk suaminya itu. Tok.. tok... Arumi berjalan ke depan saat mendengar pintu diketuk. "Loh, Indah? Ada apa?" tanya Arum. Di depan pintu Indah tersenyum, di tangannya tampak ia membawa sebuah mangkuk berisi sup ayam. "Arumi, aku masak banyak hari ini. Ini sup dari aku!" Dengan senang hati Arumi menerimanya, "Wah makasih banyak ya, masih anget lagi.." "Haha iya, soalnya belum lama juga matangnya. Arumi, bisa tolong sekalian di ganti wadahnya? Mau saya bawa pulang sekalian." Arumi mengangguk-anggukkan kepalanya, ia kemudian buru
Aroma masakan perlahan memenuhi dapur, bercampur dengan uap hangat yang mengepul dari panci di atas kompor. Arumi bergerak cekatan, tangannya terampil mengolah bahan-bahan yang telah ia siapkan sejak tadi. Di luar, langit tampak kelabu, awan menggantung rendah seolah menahan hujan agar tak jatuh. Hari itu terasa lebih tenang dari biasanya, terlebih karena suaminya sedang tidak bekerja. Leonard memang memutuskan untuk tinggal di rumah. Tidak ada jadwal kantor, tidak pula panggilan mendadak. Hari itu, mereka sepakat menghabiskan waktu bersama, seperti pasangan rumah tangga pada umumnya. Arumi menjalani perannya, membereskan rumah sambil sesekali melirik jam dinding, memastikan semuanya berjalan seperti biasa. Ia melangkah ke ruang tengah, meletakkan segelas kopi hangat di atas meja. "Mas, hari ini ada rencana mau keluar nggak?" tanyanya pelan. Leonard menggeleng sambil menyandarkan punggungnya. "Nggak deh. Kayaknya mau di rumah aja." Arumi mengangguk kecil, lalu bertanya lagi,







