LOGINSama seperti yang telah direncanakan Arumi, kali ini ia sengaja meminta bantuan Indah untuk memasak di rumahnya. Sebenarnya Arumi bisa saja menyelesaikan semua masakan sendiri, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun kali ini Arumi ingin lebih dekat dengan Indah, bukan untuk lebih akrab, tapi ingin membuka perlahan-lahan apa yang sebenarnya terjadi.
"Arumi, anak kamu lucu banget sih!" Indah berjongkok, ia mencubit pelan pipi Cella. "Dia gemas, mirip kayak kamu." Arumi terkekeh, "Hahah bisa saja, oh ya anak kamu mana? Kenapa nggak diajak ke sini?" "Kay sama neneknya, dia lebih nyaman tinggal di sana. Jadi di rumah aku sendiri." "Oh kamu sendirian? Suamimu memangnya ke mana Ndah, kok aku nggak pernah lihat." Ini adalah kesempatan bagi Arumi, ia benar-benar penasaran dengan kehidupan Indah sebenarnya. "Dia.. pergi merantau, suamiku jarang banget pulang. Dia mungkin pulang dua tahun sekali." Arumi manggut-manggut mendengar ucapan Indah, namun ia baru teringat kembali. Postingan Indah dengan seorang laki-laki. Jika itu bukan suaminya lalu siapa? "Eh, ini aku F******k kamu?" Arumi menunjukkan sebuah akun F******k pada Indah. Indah mengangguk, "Iya, kok kamu bisa tau?" "Lewat di berandaku, ini ada laki-laki bukan suamimu?" "I-iya itu suamiku," jawab Indah, kali ini terlihat agak gugup. "Tapi foto itu udah lama banget Arumi, aku baru post aja." Arumi mengangguk lagi, ia memilih untuk melanjutkan memasak. Ia takut Indah semakin curiga jika bertanya terus-terusan. ____ "Arumi, sudah matang?" Leonard datang sambil menggendong Cella. "Baunya sampai ke depan." Arumi mengangguk, "Sudah Mas, ini yang akan dibagikan ke panti asuhan. Sisanya nanti aku bagi-bagikan ke tetangga." "Lalu ini apa? Harum sekali," Leonard mendekat ke meja makan. "Oh itu sup ayam Mas, aku yang buat." Belum sempat Arumi menjawab, Indah lebih dahulu menyahut. "Iya Mas, itu Indah yang buat." "Aku mau makan, pasti enak banget. Masakan kamu kayaknya selalu enak ya, Ndah? Apa lagi sup ayam ini." Indah tersenyum kecil, lantas mengambilkan semangkuk sup ayam. "Ini Mas, kamu habiskan saja." Arumi tak tahan lagi, bisa-bisanya kedua orang itu berinteraksi begitu dekat di depan matanya. "Indah, dia suamiku." Tangan Indah terhenti seketika, sendok yang ia pegang hampir terjatuh. "Eh! I-iya aku tau kok, Arumi." "Lalu kenapa kamu siapin makan buat suamiku? Toh, aku ada di sini. Seharusnya kamu nggak lancang seperti itu." "Kenapa sih Arumi? Lagi-lagi kamu sensi banget, Indah cuma membantu aku." Leonard tampak tak terima, matanya menatap tajam Arumi. "Aneh kamu Mas," Arumi memilih untuk menggendong Cella, mengajaknya pergi ke depan. "Urus itu semua, aku capek." Kali ini Arumi benar-benar geram dengan tingkah laku Leonard, ia masih bisa membela wanita lain di depan istrinya sendiri. Tekad Arumi untuk menyelidiki kini semakin kuat. **** Ceklek. Pintu terbuka, Arumi menatap sekeliling dengan geram. Sampah plastik ada dimana-mana, bekas bubur berceceran di lantai. Cella terduduk tak jauh dari stopkontak, jari-jemari mungil itu hendak memegangnya. "Cella!" Arumi berlari, langsung menyahut Cella. "Sayang! Kamu nggak apa-apa kan, maafin Bunda ya..." Arumi berjalan menuju kamar, pintunya terbuka sedikit. Terlihat Leonard berbaring dengan santainya sambil bermain handphone, di wajahnya tersungging senyumannya. Lihat, disaat-saat seperti ini Leonard masih bisa bermain handphone. "Mas...." Leonard buru-buru meletakkan handphonenya, "Arumi sudah pulang?" "Di mana Cella?" "Di-" Leonard baru hendak menunjuk ke arah ranjang, namun ia langsung melotot. "Loh, tadi ada di sini!" Arumi terkekeh, "Mana? Lihat kan, kamu bahkan sama sekali tidak memperhatikan anakmu. Malah asik bermain handphone sendiri." "Kamu menyalahkan aku?" "Karena kamu memang salah Mas. Kalau kamu salah, berarti kamu harus mau disalahkan. Jangan menghindar!" cetus Arumi. "Memangnya tugas aku hanya menjaga Cella? Mengawasi? Gitu?" "Iya! Karena aku lagi pergi Mas, aku cuma nitip Cella sebentar. Tapi kamu bahkan nggak ada inisiatif buat jagain sama sekali." "Ya karena itu memang tugas kamu, Arumi! Kenapa harus aku, bikin capek saja." Arumi menghela napas panjang, ia berusaha semaksimal mungkin untuk mengatur emosinya. Tak ingin ia sampai mengeluarkan air mata karena sikap Leonard. ____ Malam tiba, Arumi terbangun tengah malam. Tenggorokannya terasa begitu kering, ia memutuskan untuk ke dapur. "Mas Leonard kenapa tidur di sofa depan tv?" Arumi menatap heran suaminya yang tertidur pulas. Padahal Leonard paling tak bisa jika tidur dengan suhu ruangan yang terlalu panas, terlebih sekarang AC rumahnya sedang rusak. Arumi berjalan mendekat, melihat handphone Leonard tergeletak di atas meja. Rasa penasarannya kini benar-benar memuncak. "Apa aku coba cek hp nya?" batin Arumi. Tangannya terulur hendak mengambil handphone Leonard, namun suara itu muncul mengejutkannya. "Arumi!" "Mas, ak-" Plakk!! "Kurang ajar kamu, Arumi!!"Dada Arumi terasa sesak, matanya panas hingga perih. Ia tak lagi mampu menahan air mata yang luruh begitu saja. Dunianya hancur hari ini, detik ini, pada waktu yang bahkan tak sempat ia siapkan. Semua yang selama ini ia pertahankan runtuh dalam satu kenyataan pahit yang menghantam tanpa ampun. Dua insan itu masih belum menyadari kehadiran Arumi. Mereka bercumbu mesra, seolah tak ada batas, seolah tak ada dosa yang sedang mereka lakukan. Tanpa memikirkan dengan siapa mereka berbuat, dan tanpa peduli akibat yang akan mereka tinggalkan. Tangan Arumi bergetar hebat. Ia menutup mulutnya dengan sekuat tenaga, menahan isak yang hampir lolos dari bibirnya. Tangan itu, yang dulu mengusap lembut air mata Arumi kini mengusap perempuan lain. Tawa itu, yang selama ini akrab di telinga Arumi kini menjadi milik orang lain. Semua itu seharusnya milik Arumi. Hanya miliknya. "MAS LEONARD!" Dengan langkah penuh amarah, Arumi maju sambil menggenggam segelas air di tangannya. Byurr! Air itu
Arumi buru-buru mencari kontak dengan nama "Tetangga" ia membuka semua pesan-pesannya.Dada Arumi bergemuruh, emosinya naik-turun. Napasnya tersengal-sengal, ia tak tahan lagi menahan ini semua. Pesan yang Arumi baca membuatnya tak bisa menahan tangis, ternyata dugaannya benar. Leo berselingkuh dengan Indah.Arumi buru-buru meletakkan handphone Leonard kembali, setelah itu ia kembali tidur. Tak mau ia ketahuan jika sedang membuka handphonenya."Arumi, bisa kamu masakan aku sup ayam?" Sapu lantai yang dipegang Arumi hampir lepas dari genggamannya, setelah sekian lama akhirnya Leonard kembali meminta menu makanan. "Eh, sup ayam?"Leonard mengangguk, "Iya sup ayam, tapi buatkan yang sama persis seperti masakan Indah ya."Hampir saja Arumi senang, kini ia kembali merasa kesal. "Memangnya harus banget Mas, kan beda orang beda rasa. Walau resepnya sama.""Makanya itu kamu belajar sama Indah, buat sup ayam yang enak!" seru Leonard.Arumi terdiam, ia sebenarnya ingin membantah suaminya itu s
Suara itu bak petir di siang bolong, jantung berdegup kencang, napasnya tersengal-sengal. Tangan Arumi bergetar hebat, ia memegang pipinya yang terasa panas. Tamparan itu, adalah tamparan pertama kalinya ia rasakan. Selama ini Leonard tak pernah bermain tangan dengannya, namun kali ini ia sepertinya sudah benar-benar emosi. Mata itu berkaca-kaca, perlahan bulir bening mengalir membasahi pipi Arumi. "Mas..." ucapnya bergetar. "Kamu keterlaluan Arumi, kesabaran ku sudah benar-benar habis. Akhir-akhir ini kamu buat aku emosi." "Di mana salahku, Mas?" "Di mana? Kamu seharusnya berpikir Arumi, kamu tadi mau buka handphone aku kan? Itu privasi, aku juga mau dihargai. Jangan asal-asalan." Leonard berkata dengan tegas. Arumi mencoba menenangkan dirinya, ia kembali menarik napasnya dalam-dalam. "Mas aku cuma mau pinjam sebentar, apa salahnya? Aku cuma mau minta hotspot." "Kenapa nggak bilang? Kenapa lancang banget, tiba-tiba mau buka handphone aku?" "Bukannya kamu yang selalu bilang Mas
Sama seperti yang telah direncanakan Arumi, kali ini ia sengaja meminta bantuan Indah untuk memasak di rumahnya. Sebenarnya Arumi bisa saja menyelesaikan semua masakan sendiri, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun kali ini Arumi ingin lebih dekat dengan Indah, bukan untuk lebih akrab, tapi ingin membuka perlahan-lahan apa yang sebenarnya terjadi."Arumi, anak kamu lucu banget sih!" Indah berjongkok, ia mencubit pelan pipi Cella. "Dia gemas, mirip kayak kamu."Arumi terkekeh, "Hahah bisa saja, oh ya anak kamu mana? Kenapa nggak diajak ke sini?""Kay sama neneknya, dia lebih nyaman tinggal di sana. Jadi di rumah aku sendiri.""Oh kamu sendirian? Suamimu memangnya ke mana Ndah, kok aku nggak pernah lihat." Ini adalah kesempatan bagi Arumi, ia benar-benar penasaran dengan kehidupan Indah sebenarnya."Dia.. pergi merantau, suamiku jarang banget pulang. Dia mungkin pulang dua tahun sekali."Arumi manggut-manggut mendengar ucapan Indah, namun ia baru teringat kembali. Postingan Indah d
Setelah semalam tak pulang, akhirnya Arumi dapat kembali melihat Leonard. Leonard pulang dengan sempoyongan, bajunya tampak berantakan dengan rambut kusut. "Mas, kamu abis dari mana sih?" Arumi menghampiri dengan penuh khawatir. "Berantakan banget."Leonard menepis tangan Arumi yang hendak menyentuh keningnya, "Diam, Arumi! Aku capek, biarkan aku istirahat." Arumi perlahan mundur, ia takut mengganggu Leonard. Tugasnya sekarang hanyalah menyiapkan makan untuk suaminya itu. Tok.. tok... Arumi berjalan ke depan saat mendengar pintu diketuk. "Loh, Indah? Ada apa?" tanya Arum. Di depan pintu Indah tersenyum, di tangannya tampak ia membawa sebuah mangkuk berisi sup ayam. "Arumi, aku masak banyak hari ini. Ini sup dari aku!" Dengan senang hati Arumi menerimanya, "Wah makasih banyak ya, masih anget lagi.." "Haha iya, soalnya belum lama juga matangnya. Arumi, bisa tolong sekalian di ganti wadahnya? Mau saya bawa pulang sekalian." Arumi mengangguk-anggukkan kepalanya, ia kemudian buru
Aroma masakan perlahan memenuhi dapur, bercampur dengan uap hangat yang mengepul dari panci di atas kompor. Arumi bergerak cekatan, tangannya terampil mengolah bahan-bahan yang telah ia siapkan sejak tadi. Di luar, langit tampak kelabu, awan menggantung rendah seolah menahan hujan agar tak jatuh. Hari itu terasa lebih tenang dari biasanya, terlebih karena suaminya sedang tidak bekerja. Leonard memang memutuskan untuk tinggal di rumah. Tidak ada jadwal kantor, tidak pula panggilan mendadak. Hari itu, mereka sepakat menghabiskan waktu bersama, seperti pasangan rumah tangga pada umumnya. Arumi menjalani perannya, membereskan rumah sambil sesekali melirik jam dinding, memastikan semuanya berjalan seperti biasa. Ia melangkah ke ruang tengah, meletakkan segelas kopi hangat di atas meja. "Mas, hari ini ada rencana mau keluar nggak?" tanyanya pelan. Leonard menggeleng sambil menyandarkan punggungnya. "Nggak deh. Kayaknya mau di rumah aja." Arumi mengangguk kecil, lalu bertanya lagi,







