"Aku memang sedang mabuk, tapi aku tidak gila!" Mika berteriak marah, sambil melepaskan diri dari dekapan pria itu.
Gerakan tiba-tiba itu membuat kepalanya bertambah pusing karena efek alkohol. Mika pun bersandar pada meja bar untuk menopang tubuhnya sendiri.
"Aku hanya meminta hakku saja," jawab pria itu ringan, masih dengan senyuman yang membuat Mika bergidik.
"T-tapi tidak dengan tubuhku! Apa kamu pikir aku seorang pelacur?" Meski kesal, tapi Mika tidak bisa menelan rasa gugupnya karena terus ditatap oleh pria tampan itu.
"Kalau begitu, kamu bisa membayarku saja. Mudah, kan?"
"Aku tidak punya uang sebanyak itu!”
"Kamu tahu ada pilihan lain." Pria itu berjalan ke arah Mika dan menyeringai. Kedua tangannya ia letakkan di kedua sisi tubuh Mika, mengurungnya di meja bar hingga tidak bisa ke mana-mana.
"Kamu tidak perlu takut,” bisik Kai dengan suara rendah, membuat jantung Mika berdegup kencang. Gadis itu merasakan sesuatu yang aneh karena pria itu berbisik di telinganya.
"Aku tidak punya banyak waktu, kamu harus membuat keputusan sekarang." Kai kembali berbisik. Mika langsung mendorong tubuh Kai agar menjauh darinya. Ia berusaha mengingatkan diri bahwa mereka kini ada di tengah banyak orang.
“A-aku tidak tahu, bagaimana kalau kita membicarakannya di luar?” kata Mika berkelit. Rasanya ia akan lebih mudah untuk melarikan diri kalau berada di luar.
Tanpa menunggu respon dari pria itu, Mika berjalan sempoyongan karena masih mabuk. Kesadarannya kian menipis, masih belum bisa berpikir atau berjalan dengan benar.
“Hati-hati.” Kai berusaha memeganginya, tapi Mika selalu menepis tangannya. Sampai akhirnya gadis itu hampir terjatuh kalau saja Kai tidak sigap menarik tubuhnya mendekat.
“Aku bilang hati-hati.” Bisikan Kai membuat Mika mendongakkan kepalanya. Tubuh mereka sudah sangat dekat, Mika tanpa sadar sudah tersudut di tembok, terkurung tubuh kekar pria asing di hadapannya.
Mika menelan saliva ketika ia melihat Kai tersenyum miring kepadanya. Ia memegang lengan berotot pria itu yang dipenuhi dengan tato, mencari pegangan karena kakinya terasa lemas.
“Kamu tidak perlu takut. Aku akan memastikan kalau kamu tidak akan menyesal.”
Bulu kuduk Mika berdiri karena Kai berbisik dengan bibirnya yang menyentuh telinganya. Ia ingin menolak, tapi minuman sialan itu sudah membuat tubuhnya tidak bisa diajak kerja sama.
Dan anehnya lagi, Mika seketika lupa tentang pernikahannya. Entah karena efek alkohol atau karena ketampanan dan aura tak biasa Kai, atau mungkin keduanya, Mika tidak tahu pasti.
Yang jelas, Mika tidak dapat menolak pesona memabukkan dari pria yang menatapnya penuh damba. Tanpa sadar, jarak wajah keduanya sangat dekat hingga mereka bisa merasakan hangat napas masing-masing.
“Aku tahu kamu tidak bisa menolaknya,” kata Kai, sebelum mendaratkan bibirnya ke atas bibir Mika.
Gadis itu hendak mendorongnya, tapi semakin lama ciuman itu membuatnya larut. Sebut Mika gila karena ia malah mengalungkan lengannya di leher Kai.
“Aku anggap kamu sudah memilih,” bisik Kai setelah memberi jeda pada ciumannya.
Tatapan mereka bertemu, ada gelenyar aneh yang mereka rasakan. Meski asing, tapi entah kenapa keduanya merasa seperti magnet yang punya daya tarik tinggi.
“Bahkan dalam kegelapan pun kamu tetap terlihat cantik."
Jantung Mika seketika berdegup kencang mendengar pujian itu. Napasnya tercekat.
Kai kini menciumi leher dan dada Mika, membuat Mika mengerang. "Apa kamu menyukainya?"
Mika tidak menjawab. Lidahnya terasa kelu. Suara lenguhan dari bibir mungilnya sudah cukup memberi Kai jawaban.
"Panggil namaku. Namaku Kai."
"Kai ...." kata Mika dengan suara serak menahan gairah yang memuncak.
Mendengar itu, Kai benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Ini pertama kalinya ia merasakan perasaan aneh ini pada seorang wanita.
"A-apa kita akan melakukannya di sini?" Mika mulai merasa malu ketika tangan Kai masuk ke dalam gaun yang dikenakannya. Ia takut kalau-kalau ada orang lain yang melihat mereka.
"Ayo pindah ke tempat lain.”
Kai membawa Mika masuk ke dalam mobilnya yang berada tepat di samping gang yang gelap. Kai mengendarai mobilnya pergi ke hotel terdekat dan langsung memesan kamar hotel.
Sampai di kamar hotel, Mika dan Kai masih saling berciuman dan membuka pakaian mereka masing-masing sampai akhirnya Kai menghempaskan tubuh Mika ke atas kasur. Kai sudah berada di atas Mika, dengan ciuman mereka yang tidak berhenti.
"Apa ini pertama kalinya untukmu?" tanya Kai. Tadinya dia pikir Mika sudah sering melakukannya, tapi melihat betapa polos dan amatirnya gerakan Mika, Kai tahu dia salah mengira.
"Be-benar, ini pertama kalinya untukku...." jawab Mika dengan wajah merona.
"Aku akan melakukannya dengan lembut." Kai mulai memasuki area intinya, tapi Mika masih merasa kesakitan. Bahkan kesadaran Mika sepertinya sudah kembali sepenuhnya, seolah ia tidak mabuk berat sebelumnya.
"Ah, sakit! Apa memang biasanya sesakit ini?" Mata Mika yang berkaca-kaca membuat Kai merasa bersalah karena telah memaksa gadis itu. Kai akhirnya berhenti melakukannya.
"Kai, ke-kenapa berhenti?" tanya Mika dengan polosnya, tidak mengerti mengapa Kai tiba-tiba berhenti dan diam.
"Aku akan melepaskanmu."
Mika membelalakkan matanya karena terkejut. Kai melepaskannya? Tiba-tiba?
Mika benar-benar bingung. Tapi bukankah seharusnya ia senang? Kenapa ia malah merasakan yang sebaliknya?
"T-tapi, kenapa?" tanya Mika dengan suara setengah berbisik. Mereka sudah sejauh ini ….
"Tidak apa-apa, kamu tidak perlu membayar apa pun padaku," kata Kai, membuat Mika tidak bisa menampik rasa kecewa. Pikirannya benar-benar kacau. Gairah yang tertahan membuat perasaannya jadi campur aduk.
"Tidak, kamu bisa melakukannya lagi. Ini adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku melupakan masalahku!"
Kai terkejut ketika Mika menarik tangannya untuk menyentuh tubuhnya. "Sentuh aku, Kai."
Mika sepertinya sudah gila, tapi dia tidak peduli.
Keraguan yang sempat dirasakan Kai seketika sirna. Mana mungkin dia bisa menolak permintaan dari wanita yang sudah menarik perhatiannya sejak tadi?
"As you wish, Baby." Kai mulai melakukannya dengan sedikit lebih kasar. Mika yang sudah tenggelam dalam gairah, mulai menikmati perlakuan Kai. Pikirannya mendadak kosong.
Mereka bergumul hingga berjam-jam lamanya. Kamar itu dipenuhi suara desahan-desahan nikmat hingga keduanya terlelap karena kehabisan tenaga.
Saat itu sudah jam 7 pagi dan sinar matahari cukup terang untuk mengganggu tidur Mika. Ia membuka matanya dan menyadari bahwa ia berada di sebuah kamar yang asing.
"Di mana aku? Kamar siapa ini? Kenapa aku bisa tertidur di sini?" gumam Mika bingung, tidak mengingat apa yang terjadi semalam.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ternyata ibunya yang mengirim pesan, menanyakan keberadaannya.
Mika seketika ingat bahwa hari ini dia harus mencari gaun pengantin untuk pernikahannya. Saat meletakkan ponselnya, Mika teringat kejadian semalam dan menganga tak percaya.
"T-tadi malam aku melakukannya dengan orang asing?” Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Pria yang semalam tidur dengannya berjalan ke arahnya dengan senyuman menggoda, membuat Mika terdiam karena terpana akan ketampanannya.
"Kamu sudah bangun ternyata. Aku bawakan kamu secangkir kopi dan sandwich dari restoran." Mika menerimanya dan terus menatap pria itu.
"Kamu tidak lupa apa yang terjadi semalam, kan?" tanya Kai sambil terkekeh melihat wajah polos dan ingin tahu gadis itu.
"A-aku mengingatnya." Pipi Mika memerah saat ia mengingat apa yang terjadi semalam.
"Maafkan aku atas kecerobohanku," kata Mika, merujuk pada kejadian menumpahkan minuman ke baju Kai.
"Jangan khawatir, kamu sudah membayarku semalam." Tatapan Kai seakan menghipnotis Mika dan mereka saling menatap satu sama lain selama beberapa menit.
"Dan itu sangat menyenangkan,” sambung Kai dengan senyuman menggoda.
"Benar, itu sangat menyenangkan. Tapi maaf aku harus pergi sekarang." Mika cepat-cepat mengalihkan perhatiannya dari Kai. Setelah meletakkan nampan berisi sarapannya di atas nakas, ia segera memakai pakaiannya kembali, tidak peduli bahwa ia melakukannya di depan Kai yang masih terus menatapnya.
"Selamat tinggal!" Mika berlari dengan terburu-buru keluar dari sana tanpa menunggu reaksi dari Kai.
Saking gugupnya, Mika sampai lupa menanyakan identitas pria itu. Tapi Mika berusaha tidak memikirkannya. Toh mereka tidak akan bertemu lagi karena ia akan segera menikah dengan pria lain.
"Hei, tunggu! Siapa namamu? Berikan nomor teleponmu!” teriak Kai, ikut keluar dari kamar.
Tapi Mika tidak mendengarnya. Ia terus berlari melewati lorong hotel yang sepi tanpa menoleh ke belakang.
Kai mendenguskan tawa geli sambil menggeleng tidak habis pikir. "Aku pasti akan menemukanmu lagi…”
Ibunya tidak banyak bertanya saat Mika pulang ke rumah. Mereka segera pergi ke butik dan ibunya memilihkan gaun pengantin dengan penuh semangat. Berbeda dengan Mika justru terlihat murung."Bagaimana Mika, apa kamu menyukainya?" Mika selesai mencoba satu gaun. Mika menatap dirinya sendiri di cermin dan memaksakan senyumnya."Ibu yakin kamu akan bahagia. Ibu kenal calon suamimu dan dia orang yang baik. Pak Ergan memintamu untuk menikah dengan anaknya karena dia tahu kamu adalah gadis yang baik." Mika tersenyum kecut mendengar ucapan ibunya. Tatapannya terpaku pada dirinya lewat cermin."Ayo cepat keluar, kamu harus menemui calon suamimu sebelum kalian berdua menikah." Kejutan lain muncul, memaksa Mika untuk menemui calon suaminya. Ketika pintu terbuka, Mika dapat melihat ayahnya dan orang-orang yang tidak dikenalnya sedang berbicara."Lihat! Mika sudah selesai mencoba gaun pengantinnya." Ibunya menunjukkan penampilan Mika kepada seorang pria tua yang bernama Ergan, ayah dari Eros yan
Sebuah pesta setelah upacara pernikahan diadakan. Para tamu bergantian memberikan ucapan selamat kepada Eros."Mika, kemarilah! Aku akan memperkenalkanmu pada teman-temanku," Eros memanggilnya."Wah, istrimu cantik sekali ya?" Teman Eros menganga kagum ketika melihat kecantikan Mika. Eros tersenyum, tampak bangga."Tentu saja dia cantik, aku pandai memilih istri, kan?" Eros meraih pinggang Mika dan memeluknya dengan erat. Mika hanya bisa tersenyum dengan terpaksa. "Benar, kamu sangat pandai memilih istri. Tapi aku tidak pernah mendengar kamu menjalin hubungan serius dengan seorang wanita dan sekarang tiba-tiba kamu menikah." Mika melihat Eros yang terlihat gugup saat mendengar perkataan temannya. Ia menyadari bahwa Eros tidak memiliki jawaban atas perkataan temannya itu. "Kami berteman sejak kecil, dan kami bertemu lagi setahun yang lalu." Mika berbohong, dan Eros terkejut karena Mika yang menjawab pertanyaan tersebut."Benarkah? Tidak heran! Eros jarang sekali mau menjalin hubungan
"Apa kamu ingat, ketika kamu menarik tanganku dan meminta aku menyentuhmu?” ucap Kai masih dengan seringai menakutkannya. Kai juga terus berjalan mendekati Mika. Kedekatan ini membuat Mika teringat kejadian di malam itu."Berhenti..." Mika berusaha membuat Kai berhenti mendekatinya. "Tapi Mika, aku sangat menyukainya. 2 minggu ini, aku tidak bisa melupakanmu. Wajahmu ini.." Tangan Kai terulur untuk menyentuh wajah Mika dan mengusapnya dengan lembut."Selalu terbayang dipikiranku,” lanjut Kai. Mika bergerak dengan cepat dan menepis tangan Kai, berusaha menghindari sentuhan Kai. Tapi tangan Kai tiba-tiba saja menarik pinggangnya, hingga Mika tidak bisa bergerak."Lepaskan aku, a-aku tidak mengerti apa yang kamu katakan." Kai kembali tertawa karena Mika berpura-pura melupakan dirinya padahal ia tahu kalau Mika mengenalnya. "Ayolah, Mika. Aku tidak bodoh, aku tahu kamu mengingatku dari tatapanmu itu. Ekspresi wajahmu itu yang mengatakan segalanya padaku.""Aku kira, kamu dan aku berjodo
Kecupan Kai bergerak perlahan ke arah pipi Mika dan menciumnya dengan lembut membuat Mika menggigit bibir bagian bawahnya. Ia berusaha menahan dirinya yang hampir gila karena apa yang Kai lakukan kepadanya. Ia merasa seperti terperangkap dalam jebakan Kai dan ia tahu kalau pria itu tidak akan dengan mudah melepaskannya. "Aku akan dengan senang hati menjaga rahasiamu, asalkan kamu memberikan apa yang aku mau," bisik Kai lagi di telinga Mika. Mika membuka matanya perlahan dan kembali menatap Kai yang ternyata sudah sangat dekat dengannya. "T-tapi aku takut Eros mengetahuinya," balas Mika berusaha menolaknya. Kalau Eros mengetahuinya, tentu saja itu akan menjadi mimpi buruk untuknya dan keluarganya. "Tenang saja, aku pastikan dia tidak akan mencurigai kita.""Atau aku biarkan saja dia tahu, agar kamu bisa bersamaku?" Mata Mika terbelalak terkejut dan dia segera menggelengkan kepalanya dengan kencang. "Tidak, Kai. Aku mohon jangan lakukan
Setelah pulang dari pesta pernikahannya dengan Eros, akhirnya Mika sampai di rumah Eros. Rumah yang akan ia tinggali selama menikah dengan Eros dan mungkin Mika akan menghabiskan seumur hidupnya di rumah ini bersama pria yang sama sekali ia tidak cintai. "Apa ini rumahmu sendiri?" tanya Mika memecah keheningan diantara mereka karena sejak dari mobil tadi, Eros hanya diam dan sama sekali tidak mengajaknya berbicara. Mika juga mengira mereka akan tinggal bersama Tuan Ergan, jadi ia terkejut karena ternyata Eros tidak tinggal di rumah keluarganya. "Iya, aku sudah lama membelinya. Orang sepertimu tidak akan mampu membeli rumah sendiri, kan?" Eros membalas pertanyaannya tapi jawabannya membuat Mika langsung terdiam."Apa maksudmu?" tanya Mika berpura-pura tidak mengerti, ia hanya memastikan apa yang ia dengar tadi. "Orang sepertimu,” jawab Eros sembari menunjuk Mika dan tersenyum menghina. "Orang yang rela menjual dirinya sendiri demi uang
Setelah selesai sarapan, Eros beranjak bangun dari duduknya. Ia harus segera pergi ke kantor. "Aku sudah terlambat, aku harus pergi ke kantor sekarang." Mika ikut beranjak bangun dan segera membereskan piring di meja makan."Aku akan pulang malam karena ada makan malam dengan klien," lanjut Eros lagi. "Bukan karena ingin menikmati waktu dengan wanita lain?" timpal Kai, ia menopang dagunya dan menatap Eros dengan tatapan jahilnya yang membuat Eros mendengus. Ia tahu kalau temannya itu sedang membuat lelucon dan berusaha menggodanya. "Tentu saja bukan! Aku adalah suami yang baik," balas Eros. Ia berjalan melewati Kai lalu meninju pelan lengan Kai. "Berhenti mengatakan omong kosong seperti itu, Kai. Aku takut Mika akan mempercayainya." "Tenanglah, aku hanya bercanda.""Mika," panggil Eros tiba-tiba. Mika yang sedang merapikan meja makan segera menatap ke arah Eros. "Pergilah berbelanja hari ini, aku akan mengirimkan uangnya.""Ba
"Ayo pergi sekarang, kamu harus berbelanja, kan? Biar aku temani." Kai dengan cepat beranjak bangun dan mengambil handuk yang ia pakai tadi. Dan Mika cukup terkejut karena Kai tidak lagi menyentuhnya. "Cepat ganti pakaianmu, aku tunggu di depan rumah." Setelah mengatakan itu, Kai melangkah pergi ke depan rumah. Meninggalkan Mika yang masih terduduk dan merasakan kalau jantungnya mulai berdebar.Tidak ingin membuat Kai menunggu, Mika segera mengganti pakaiannya dan menghampiri Kai yang sudah menunggunya di mobil. 20 menit perjalanan mereka sampai di pusat perbelanjaan. Mika sibuk memilih bahan makanan dan barang yang ia butuhkan karena Eros juga menyuruhnya untuk membeli sesuatu yang ia butuhkan. Kai yang menemaninya, terus mengikuti wanita itu sembari terus menatapnya. "Kalau kamu memilihku, mungkin kamu tidak harus bertahan dengan Eros,” ujar Kai tiba-tiba ketika Mika sibuk berbelanja. Ia menoleh pada Kai sebentar lalu mendengus karena merasa
Setelah melakukannya, mereka berdua terbaring di atas sofa. Entah kenapa berada di pelukan Kai membuat Mika melupakan semua kesedihan setelah menikahi Kai. Ia merasa aman dan nyaman berada di pelukan Kai dan Kai juga memeluk tubuh Mika erat seolah enggan melepaskannya. "Apa lehermu masih sakit, Mika?" tanya Kai, ia terus menatap lebam di tubuh Mika dengan perasaan khawatir dan mengelusnya dengan lembut."Tidak, sudah tidak apa-apa," jawab Mika. Ia tidak menyangka kalau Kai masih mengkhawatirkan lebam di tubuhnya dan sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari lebam itu. "Apa perlu aku belikan obat agar lebamnya hilang?" tawar Kai tapi Mika langsung menggelengkan kepalanya menolak. "Ayo kita makan malam. Makanannya sudah dingin." Mika tiba-tiba saja melepaskan pelukan Kai dan hendak melangkah pergi ke dapur. Namun, suara deringan telepon terdengar dari ponsel Kai yang tergeletak di atas lantai. Kai ikut beranjak bangun dan mengangkat telepon yang ternyata dari asistennya. Sedang