LOGIN"Lain kali jangan mabuk-mabukan tengah malam. Aku kerepotan membawamu pulang," omel Lidya.Azzam terdiam, pagi ini dia tidur di apartemen Lidya. Semalam dia mabuk berat memikirkan kepergian Airin yang entah kemana. Kebodohannya membuatnya bercerai dari orang yang di cintainya. "Memangnya kamu kenapa sih mabuk-mabukan?" tanya Lidya sembari menyodorkan roti sandwich."Airin menceraikanku," jawabnya datar."A .. apa? Tapi baguslah ... jadi aku bisa memilikimu seutuhnya," kata Lidya memeluk Azzam erat.Tidak dengan Azzam dia justru merasa sangat kehilangan. Dan ia belum siap karena semua ini terlalu cepat baginya. Dan Varo ... ia rindu celotehan anak itu. Lidya hanya jadi bumbu dalam rumah tangganya. Tapi fokus utama ada pada Airin. Istri sahnya, dan sekarang ikatan itu terlepas begitu saja tanpa di sadarinya."Aku tidak ingin bercerai darinya," jawab Azzam. Lidya menghentikan makannya. Ucapan Azzam sempat membuatnya merasa di abaikan. Ia di sini, duduk di sebelah Azzam namun kenapa lel
Malam pertama Fikar dan aku. Meski aku sudah berstatus janda dan Fikar pun pernah menyentuhku sebelumnya, entah mengapa malam ini tetap terasa berbeda. Ada rasa canggung yang menyelimuti hatiku.Di kamar yang remang, hanya lampu meja yang menyala redup. Aku duduk di tepi ranjang, menunduk memandangi jemariku sendiri. Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut… lebih kepada perasaan tak menentu antara bahagia, haru, dan was-was.Fikar mendekat tanpa suara. Langkahnya pelan, seolah takut membuatku semakin gugup. “Sayang…” panggilnya lembut.Ia meraih tanganku dan menatapku lama, seakan sebentar lagi akan membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat.“Aku pernah cerita sedikit soal masa laluku,” ucapnya pelan. “Tapi ada satu hal yang belum pernah aku katakan… tentang pertama kali kita bertemu di hotel dulu.”Dadaku ikut menegang. Kenangan itu memang sulit dilupakan saat dia menjadi pria sewaan. Yang di tugaskan menghamiliku.“Aku sebenarnya masih amatir waktu itu,”
Aku benar-benar bingung. Aku belum menyetujui lamaran ini tapi Fikar sudah lebih dulu ke orang tuaku. Ini terlalu mendadak, dan aku paham mengapa orang tuaku tidak langsung menyetujuinya. Apalagi melihat usia Fikar yang masih sangat muda."Nak Fikar ... benar kata Ayahnya Airin. Kami belum begitu kenal sama kamu. Bagaimana mungkin bisa mempercayakan putriku ini dengan orang yang tidak kami kenal?" ucap Bu Siti.Fikar menghela nafas pelan. "Saya tahu mungkin ini terlalu terburu-buru. Tapi saya tidak ingin Varo terlalu lama kehilangan sosok Ayah. Lagi pula saya ingin melindungi Airin dari Azzam, Pak ... Bu.""Kita serahkan saja pada Airin, Pak. Kalau ibu ... jelas tidak setuju putri kita kembali pada suaminya. Karena sudah selama itu dia membohongi Airin."Ayah Airin menghela nafas sebentar san menghembuskannya."Gimana Rin, kami selaku orang tua ikut keputusanmu."Aku tertunduk, ini terlalu cepat buatku. Tapi kalau aku menolak maka aku mengecewakan Fikar untuk selamanya. Sementara, aku
"Ma, aku kangen Papa Azzam? Sudah seminggu kita di rumah Om Fikar. Tapi Papa tidak pernah telepon kita," ucap Alvaro suatu hari.Mendengar pertanyaan putraku hatiku pun resah. Aku bingung harus memberi jawaban apa. Anak sekecil ini harus merasakan kegagalan rumah tangga kami."Sayang ... mungkin Papa sibuk. Varo yang sabar ya ..." ucapku berusaha nenghiburnya sembari mengelus rambut."Kalau Papa yang sibuk kenapa kita tidak yang telepon saja, Ma?" tanya Varo . Aku bertambah bingung menghadapi sikap kritis putraku. Tidak mungkin aku menelepon Mas Azzam, hubunhan kami sudah selesai."Ma ... mama kok diam," kata Varo menyentuh jemariku."Hape mama belum mama cas Sayang ...nanti ya kalau hape mama udah penuh lagi batereinya," ucapku beralasan. "Iya Ma, tapi janji nanti setelah baterai hape mama udah full. Kasih tau aku ya ..." kata Varo menatapku penuh permohonan.Sorot matanya yang bening rasanya membuatku tidak tega untuk membohonginya.Aku pun mengangguk pelan meski hati ini menolak
"Sial ... aku ingat sekarang kapan dia minta tanda tangan ini," gumam Azzan berbicara pada dirinya sendiri.Bayangan ketika Airin menumpuk berkas Alvaro yang katanya sekolah butuh tanda tangan dari orang tua kembali menyeruak dalam ingatannya. Azzam berdiri terpaku menyesali kebodohannya yang tidak teliti membaca berkas tersebut. Karena Airin menumpuk di atasnya bersama berkas yang lain sehingga tidak jelas kalau itu adalah surat perceraian.Tangan Azzam gemetar memegang surat perceraian itu. Tulang-tulangnya seakan lemas seketika. Semua yang terjadi hari ini seakan seperti mimpi. Ia memegang erat flasdisk yang di temukannya bersama berkas surat perceraiannya. Dengan gugup dia masukkan flasdisk itu ke dalam laptopnya. Tampilan pertama saat video berputar adalah pernikahan bahagia dirinya dan Airin ketika itu. Janji pernikahan yang pernah di ucapkannya di depan penghulu. Untuk saling setia baik dalam suka dan duka.Tayangan berikutnya adalah ketika bersama-sama dengan Alvaro yang ber
"Rin, tolong buatin aku teh!" seru Azzam sembari mengundurkan dasinya. Dua hari ini dia pergi ke luar kota bersama Lidya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Airin.Tak ada jawaban.Azzam pun bangkit dari tempat duduknya. Bukannya mencari Airin dia justru ke kamar Alvaro. Ia sudah rindu sekali pada putra semata wayangnya."Varo Sayang ... kamu sudah tidur belum?" tanya Azzam dari balik pintu. Tak ada sahutan juga, akhirnya dia putuskan untuk membuka pintunya. CeklekMatanya menyapu ke seluruh ruangan. Tak ada siapapun di sana. Kamar masih tertata rapi, baik seprei maupun mainan Varo masih berada di tempatnya.'Mungkin dia bersama Airin di kamar,' batin Azzam.Ia beralih ke kamarnya, dan saat membuka pintu tak ada siapapun di sana. Sama seperti di kamar Alvaro. Perasaan Azzam tak enak. Jantungnya berdetak tak menentu. Ia berganti membuka pintu kamar mandi tak ada siapapun juga. Lantai kamar mandi masih kering. Seolah sudah beberapa hari tidak di pakai.Azzam segera keluar kamar mandi. Hal







