LOGINDering ponsel yang tiada henti membuat Giselle mau tak mau membuka mata. Ia meraba-raba ke samping tempat tidur, dan menemukan ponselnya yang berdering di atas meja nakas.
Nama Erick terpampang di layar pipih itu sebagai identitas si pemanggil. Membuat Giselle buru-buru menjawab panggilannya. "Halo?" "Kau di mana, hah?! Di kamar tidak ada! Kau ini ke mana?! Kakek menghubungimu sejak tadi, tapi tidak bisa, jadi dia meneleponku. Aku mengatakan jika kau masih tidur," cecar Erick dari balik sambungan telepon. "Hmmh .... Maaf. Aku akan ke sana sekarang," jawab Giselle. "Kalau begitu cepat!" Panggilan berakhir saat itu juga. Giselle menghela napas seraya berusaha untuk bangun. Namun, lengan kokoh yang memeluk pinggangnya dari belakang itu seakan tak mengizinkannya untuk bangun. "Bisa kau lepaskan aku? Aku harus pergi," pinta Giselle yang benar-benar tak bisa bergerak. Akhirnya, pria itu melepaskan pelukannya. Membebaskan sang wanita untuk bangkit. Sementara, dirinya pun ikut duduk bersandar pada sandaran ranjang. Giselle terdiam sejenak saat menatap jelas wajah pria yang sudah menghabiskan malam panas bersamanya kemarin. "Kau?!" "Kau hanya sedikit mabuk. Tidak mungkin kau lupa dengan apa yang terjadi di antara kita semalam," kata pria itu dengan wajah tenang. Sang wanita langsung membekap mulut. "Aku bukan tidak ingat dengan yang semalam. Hanya saja, aku baru mengingatmu." "Hmph!" Pria itu mendengus geli. "Tidak perlu bersandiwara. Aku tahu, dari awal, kau sudah mengincarku. Kau sengaja bertukar tempat duduk dengan seseorang di pesawat. Kau sengaja pergi ke hotel ini. Dan juga yang semalam ...." "Kau salah paham," kata Giselle. Ia beranjak sambil berusaha memungut mantelnya yang teronggok di lantai. "Aku benar-benar tidak sadar jika itu kau." "Ck! Terserah," decak sang pria. "Oh iya. Berikan nomor rekeningmu. Aku akan mengirimkan upah untuk semalam. Dan untuk kamarnya, biar aku yang bayar sewanya," papar wanita tadi seraya mengenakan mantelnya dengan benar. Ia hendak berbalik, ketika tiba-tiba, pria itu menarik tangannya hingga tubuhnya terjatuh ke pangkuan sang pria. "Upahku sangat mahal, Nona." "Aku tahu. Kau sangat hebat," komentar Giselle dengan polosnya. Ia langsung meremang mengingat permainan mereka semalam. Namun, segera ia tepis pikiran itu. "Jadi ..., kau menyukainya?" Pria itu membelai sisi wajah sang wanita dengan sensual. Membuat si empunya memejamkan mata menikmati sentuhan tersebut. "Shh ...." Giselle langsung menahan tangan pria itu, ketika ibu jari sang pria membelai permukaan bibirnya. "Kau butuh pengakuan?" "Ya." "Baiklah. Aku menyukai permainanmu semalam. Bagaimana kalau kita mengulanginya malam nanti?" Sebuah seringai kecil terukir di sudut bibir sang pria. "Kenapa tidak sekarang saja?" Giselle menggeleng. "Tidak bisa. Aku harus pergi. Suamiku menunggu untuk sarapan bersama." "Suami?" Pria itu tampak terkejut. "Iya. Kenapa? Aku pikir, seorang pria penghibur tidak akan memandang status kliennya." Sang pria menggaruk pelipisnya sejenak. "Ya .... Maksudku .... Kupikir, kau wanita single karna ...." Giselle terkekeh pelan. "Aku masih perawan?" tebaknya. "Hm." "Gabriel .... Tidak semua wanita bersuami itu menikah, bukan?" "Maksudmu?" Cup! Sebuah kecupan mendarat di bibir tebal pria itu. Giselle tersenyum tipis setelahnya. "Sepertinya, kau lebih muda dariku. Bagaimana jika kau menjadi simpananku saja? Aku akan menjadi sugar mommy untukmu." Gabriel mendengus geli. "Biaya hidupku tidak murah. Kau yakin, mau menjadikanku simpanan?" "Tenang saja. Suamiku orang kaya." Bertambah geli Gabriel mendengarnya. "Menghidupi simpananmu dengan uang suamimu?" "Tidak masalah. Suamiku juga punya kekasih gelap." Sang pria mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi, kau ingin membalas perbuatan suamimu?" "Seperti itulah." Giselle mengedikkan bahu. "Sudahlah. Aku harus cepat kembali ke kamarku. Nanti suamiku marah." "Kau janji akan kembali?" Gabriel masih menahan wanita itu di pangkuannya. "Tentu saja. Aku sudah mengatakannya, bukan? Aku akan mendatangimu sore nanti dengan membawa uangnya. Kau tenang saja." *** Selesai mandi dan berganti pakaian, Giselle langsung keluar dari kamarnya menuju restoran. Erick bilang, pria itu sudah menunggunya di sana. Dengan sedikit tergesa, wanita itu menghampiri meja yang diduduki Erick, ketika ia tiba di restoran. Giselle langsung menarik kursi dan mendudukinya. "Lama sekali. Kau dari mana semalam?" tanya Erick dengan wajah tak senang. "Mencari pria." "Apa?!" Pria itu terkejut. Sejurus kemudian, ia terkekeh sinis. "Jadi, pria malang mana yang kaujebak untuk tidur denganmu?" "Aku tidak menjebaknya." Erick menatap sengit. "Seharusnya kau manfaatkan saja pria mabuk yang kukirim semalam. Awas saja jika terjadi masalah ke depannya nanti. Aku tidak akan tinggal diam." "Kamu tenang saja. Bukankah tugasku hanya hamil, melahirkan, lalu kita berpisah?" Sang pria menganguk-angguk. "Kau cukup tahu posisi." "Sudahlah. Aku ke sini untuk menagih janjimu." Sebelah alis Erick terangkat kala menatap wanita itu. "Uang yang kamu janjikan saat di pesawat karena aku mau bertukar tempat dengan Hana." "Ck! Kenapa kau tiba-tiba sangat mata duitan? Aku akan memberikannya nanti!" "Kapan?" "Saat kita pulang." "Tidak bisa! Aku mau sekarang!" desak Giselle. "Kau ini!" Erick melotot tajam. Berharap wanita itu akan takut dan patuh terhadapnya. Namun, dering ponsel menginterupsi. Giselle meraih ponselnya yang semula sempat ia letakkan di atas meja. "Kakek meneleponku. Aku akan katakan jika kita bertengkar dan menginginkan perceraian." "Apa kau tidak waras?!" Erick menyalak tak terima. "Uang, atau kita cerai sekarang?" Brak! Pria itu menggebrak pelan meja restoran. Untung saja pengunjung pagi ini belum terlalu ramai. Jadi, aksinya barusan tidak mengundang perhatian. Dengan amat terpaksa, Erick mengeluarkan ponsel di sakunya, kemudian mengutak-atik gawai tersebut. Berniat untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening sang istri. Sementara itu, Giselle mulai menjawab panggilan video dari Tuan Warsana. "Halo, Kakek," sapanya dengan senyum cerah. "Halo, Giselle. Bagaimana keadaan kalian di sana? Apa perjalanan kemarin lancar?" tanya Tuan Warsana yang wajahnya muncul di layar ponsel Giselle. "Lancar, Kek. Kami baik-baik saja di sini. Kami sedang sarapan di restoran. Bagaimana keadaan Kakek di sana? Kakek sehat, bukan?" "Kakek sehat. Di mana cucu nakal Kakek? Biar Kakek berbicara dengannya sebentar." Giselle segera menyerahkan ponselnya kepada sang suami, dan membiarkan pria itu berbincang dengan sang kakek. "Jaga istrimu dengan baik, Erick. Jangan sampai dia kesulitan selama kalian berbulan madu di sana!" pesan Tuan Warsana. "Aku tahu," jawab Erick datar. Giselle langsung menyerobot masuk ke dalam obrolan. "Kakek tenang saja. Erick di sini menjagaku dengan baik. Dia membiarkanku beristirahat sejak kemarin tiba di sini, dan tidak membangunkanku pagi-pagi karena tahu aku masih tidur lelap. Dia sangat baik kepadaku, Kek." Erick langsung melirik sang wanita yang tampak bersemangat. Terdengar kekehan Tuan Warsana di seberang sana. "Baiklah, kalau begitu. Jika Giselle yang mengatakannya, Kakek percaya." Erick tidak tahan untuk tidak merotasikan bola matanya dengan jemu. "Ya sudah, nanti lagi teleponnya. Aku dan Giselle sedang sarapan. Kakek jangan lupa sarapan dan minum obat!" "Baiklah. Selamat bersenang-senang." Panggilan berakhir. Giselle pun segera menarik diri untuk menjauh dari Erick. "Kau bahkan melakukannya melebihi ekspektasiku," komentar pria itu setengah mengejek. "Karena kamu sudah mengirim uangnya, bisakah aku pergi?" "Kau bercanda? Aku baru saja akan mengusirmu." Giselle memilih untuk tak menjawab. Ia menggenggam ponselnya, lalu beranjak bangkit dari kursi. "Honey~" Wanita itu menghela napas dengan bola mata merotasi jemu. Ia benar-benar muak dengan pemilik suara tersebut. Saat tiba di sana, Hana langsung memeluk Erick yang sudah berdiri seakan menyambut kedatangannya. "Honey, kita jadi 'kan, jalan-jalan ke pantai?" "Tentu saja, Honey. Kita akan bersenang-senang seharian nanti," balas Erick seraya mengusap pinggang ramping Hana. "Eum .... Tapi, bagaimana dengan wanita ini? Apa dia akan ikut bersama kita?" Hana melirik sinis ke arah Giselle yang masih belum beranjak pergi. "Untuk apa membawa wanita tidak berguna ini bersama kita?" "Honey .... Aku pikir, kita harus mengajaknya kali ini. Yah .... Untuk jaga-jaga saja, kalau kakekmu menelepon sewaktu-waktu. Seperti semalam, bukan?" Giselle mendengus pelan mendengar ucapan Hana. Apa gadis itu sengaja ingin membuatnya cemburu dengan mengusulkan kepada Erick agar membawa serta dirinya untuk pergi? "Kamu benar juga," kata Erick. "Tidak perlu mengajakku. Kakek tidak akan menelepon lagi nanti." "Honey!" desak Hana. "Giselle, kau ikut dengan kami. Kalau kau ingin uang, kau harus bisa bekerja sama." Giselle berdecak mendengar keputusan pria itu. Ia pun terpaksa patuh. Semoga saja mereka bisa kembali ke hotel sebelum senja."Kau dari mana, hah?!" Erick tampak marah saat melihat Giselle baru kembali ke kamarnya. Padahal, ini sudah pukul 9 malam, dan pria itu sudah menunggunya sejak petang tadi.Sang wanita melirik ke arah jam dinding. Ia lantas mengulum bibir dengan kepala sedikit tertunduk. Ini karena Gabriel yang memaksanya untuk tetap tinggal, dirinya jadi terlambat untuk menemui suaminya."Kau bisu?! Mulutmu terkunci rapat! Apa perlu aku merobek mulutmu agar bisa terbuka?!""Aku ada urusan," jawab Giselle cepat."Urusan?" Erick mendekat. Membuat wanita itu mundur satu langkah darinya. Kemudian, matanya memicing tajam mendapati sebuah tanda kemerahan di leher sang istri yang biasanya selalu tampak bersih.Srak!Giselle tercekat saat tiba-tiba, Erick menarik kasar kemejanya hingga membuat beberapa kancingnya terlepas secara paksa.Pria itu langsung terperangah begitu mendapati banyaknya kissmark di sekitar dada dan bahu sang istri. "I–ini–"Giselle buru-buru membenahi pakaiannya. Kancingnya rusak, jadi
Sudah Giselle duga sebelumnya. Tujuan Hana meminta Erick untuk membawa serta dirinya ikut jalan-jalan sebenarnya hanyalah alibi agar gadis itu bisa memamerkan kemesraan di hadapannya. Daripada menjadi obat nyamuk, Giselle memilih untuk duduk di kursi kafe tepi pantai sembari menikmati kelapa muda segar yang tersaji di hadapannya. Sementara di bibir pantai sana, terlihat Hana dan Erick yang tengah bermain air sambil tertawa bahagia seolah dunia milik mereka berdua saja. Sial! Andai Giselle tidak terlanjur berjanji untuk bisa diajak bekerja sama dengan Erick, wanita itu pastinya akan kekeuh menolak permintaan pria itu untuk ikut pergi. "Apa aku pergi saja? Toh, mereka tidak akan sadar, kalaupun aku menghilang. Kakek juga sudah menelepon pagi tadi. Pasti tidak akan jadi masalah besar," gumam Giselle pada dirinya sendiri. Wanita itu memeriksa ponselnya sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sebentar lagi, senja akan tiba. Dan ia sudah berjanji kepada Gabriel untuk menemui pria
Dering ponsel yang tiada henti membuat Giselle mau tak mau membuka mata. Ia meraba-raba ke samping tempat tidur, dan menemukan ponselnya yang berdering di atas meja nakas. Nama Erick terpampang di layar pipih itu sebagai identitas si pemanggil. Membuat Giselle buru-buru menjawab panggilannya. "Halo?" "Kau di mana, hah?! Di kamar tidak ada! Kau ini ke mana?! Kakek menghubungimu sejak tadi, tapi tidak bisa, jadi dia meneleponku. Aku mengatakan jika kau masih tidur," cecar Erick dari balik sambungan telepon. "Hmmh .... Maaf. Aku akan ke sana sekarang," jawab Giselle. "Kalau begitu cepat!" Panggilan berakhir saat itu juga. Giselle menghela napas seraya berusaha untuk bangun. Namun, lengan kokoh yang memeluk pinggangnya dari belakang itu seakan tak mengizinkannya untuk bangun. "Bisa kau lepaskan aku? Aku harus pergi," pinta Giselle yang benar-benar tak bisa bergerak. Akhirnya, pria itu melepaskan pelukannya. Membebaskan sang wanita untuk bangkit. Sementara, dirinya pun ikut duduk
Giselle memilih untuk keluar dari kamar malam itu. Ia juga sudah meminta petugas hotel agar membawa pria mabuk yang dibawa oleh Erick tadi keluar. Dengan sebuah mantel panjang berbahan bulu yang tebal, wanita itu menyusuri lorong hotel. Menoleh ke sana-kemari seperti seseorang yang kehilangan arah. Hingga akhirnya, indra pendengarannya menangkap sebuah suara riuh dari lorong yang tadinya hendak ia lewatkan. Penasaran, Giselle pun memutuskan untuk menyusuri lorong tersebut. Tiba di ujung lorong, dirinya menemukan sebuah pintu yang dijaga oleh 2 orang pria bertubuh tinggi besar. "Mau masuk, Nona?" tanya penjaga di sana. "Tempat apa ini?" "Tempat untuk bersenang-senang di hotel ini. Apa lagi?" "Bersenang-senang?" gumam wanita itu pelan. "Saya bisa masuk?" "Tentu saja, asal Anda menunjukkan kartu pengunjung." Giselle merogoh saku mantelnya untuk mengeluarkan kartu pengunjung miliknya. Untung saja ia membawa benda itu tadi. Ternyata, benda itu cukup berguna. "Anda boleh masuk," ka
Sambil mendorong troli berisi 3 koper besar, Giselle berusaha menyusul langkah Erick yang lebih dulu meninggalkannya bersama Hana. Ia sedikit kewalahan. Namun akhirnya, wanita itu bisa menjangkau kedua insan tersebut di lobi bandara. Seorang pria paruh baya tiba untuk menjemput mereka. Namun saat hendak masuk ke dalam mobil, Erick menahan sang istri. "Kau cari taksi yang lain. Yang ini untukku dan Hana," ujar Erick. Giselle hendak melayangkan protes. Namun, pria itu sudah mengangkat tangan dan mengisyaratkannya untuk diam. "Kalau kau ingin uang dariku, kau harus bisa bekerja sama." Sial! Pada akhirnya, Giselle hanya pasrah ketika taksi meninggalkan dirinya beserta koper miliknya di sana. Saat menoleh ke belakang, secara kebetulan sebuah mobil lain berhenti. Tidak terlihat seperti taksi. Namun, Giselle yakin jika itu mobil angkutan seperti taksi pada umumnya. Dengan penuh percaya diri, Giselle ikut mendekat ketika sang sopir membuka bagasi mobil. Ia mendorong kopernya hingga men
"Kemasi pakaianmu!" perintah Erick, begitu mereka tiba di rumah. Giselle terkejut. "Kamu mengusirku?" "Apa maksudmu? Kita akan berangkat ke pulau besok." Mendengar itu, bukannya lega, Giselle justru semakin terkejut. "Kita benar-benar akan melakukannya?" tanyanya lagi. "Jangan harap, Giselle! Memandangmu saja sudah membuatku ingin muntah, apalagi menyentuhmu!" hardik Erick kesal. "La–lalu, bagaimana kita akan memberikan cicit untuk Kakek?" "Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting, kita berangkat ke pulau dulu," kata Erick santai. "Aku akan mengajak Hana." Giselle terbelalak. Ia menatap kepergian Erick dalam diam sambil mendumal dalam hati. Erick ini bagaimana? Kakeknya menginginkan seorang cicit dari rahim Giselle, hingga rela mengirim mereka berdua ke pulau untuk berbulan madu. Akan tetapi, pria itu justru berniat membawa selingkuhannya untuk ikut serta. *** Esok hari pun tiba. Erick dan Giselle pergi ke bandara dengan diantarkan oleh Tuan Warsana. Pria tua itu berharap pe







