Share

Bab 2. 150 Ribu Rupiah

"Maksud kamu apa berkata seperti itu?" sentak Roni. Sangat murka. 

"Kamu datang ke rumahku,  kamu menawari untuk menikah denganmu tapi sekarang apa yang terjadi? Kamu bersikap seolah aku adalah orang yang tidak berguna," jawab Mosa. 

"Kamu sudah tahu aku tidak menyukaimu dari awal, aku hanya menikahimu karena kasihan, apa perlu aku ulang. Kalau bukan dipaksa ibu dan bapakku mana sudi aku juga menikahimu?" 

"Jadi sikapmu seperti ini adalah balasan dendam untukku? Apa kesalahanku sehingga kamu bisa bersikap seperti ini. Aku hanya menusia biasa," sahut Mosa. 

"Aku tahu kamu hanya manusia biasa, tidak ada yang spesial jadi untuk apa aku harus menyukaimu," ucap Roni, keras. 

Mendengar apa yang dikatakan Roni, hati Mosa begitu sakit. Dia enggan menjawab lagi. Karena setiap dia menjawab perkataan Roni semakin menyakitkan. 

Roni kemudian meninggalkan kamar dengan kesal. Mosa hanya terdiam dengan mengeluarkan air matanya yang begitu deras. 

Ingin dia berteriak tetapi tidak ada yang peduli dengannya saat ini. Bahkan suaminya sendiri hanya bisa berkata kasar dengannya. 

Hingga larut Roni meninggalkan rumah, Mosa masih membersihkan rumah. Dia bingung hendak melakukan apa, lalu dia membuka laptopnya untuk menyelesaikan tugas sekolah. 

Dia berusaha keras untuk membuat tugas, tetapi kegusaran hatinya menghalanginya sehingga dia pun tidak melakukan apa-apa di depan laptop. 

Lalu dia membuka folder lain, membaca sebuah judul drama korea lalu dia mengklik dan menonton. Dia hanya mengusir kesunyian, karena dia hanya sendiri tanpa Roni. Hingga hampir pukul 12 malam, terdengar suara pintu terbuka. 

Ceklek. 

Mosa buru-buru keluar untuk memastikan bahwa yang datang adalah Roni. 

"Kamu baru pulang?" tanya Mosa.

"Kamu tahu, masih nanya," jawab Roni, ketus. 

Roni kemudian ke kamar mandi, dan keluar menenguk air di dapur. 

"Mau aku buatkan minum?" tanya Mosa. 

"Nggak usah! Aku bisa mengurus hidupku sendiri, kamu nggak usah sok perhatian," dengus Roni. 

Hati istri mana yang kuat menghadapi suami yang kata-katanya selalu kasar. Mendengar apa yang dikatakan Roni, Mosa kembali meneteskan air mata. 

"Nangis lagi, kamu itu guru tapi cengeng!" sentak Roni. "Kalau kamu begitu terus aku dikira mukulin kamu," 

"Iya, kamu sudah mukul aku dengan kata-katamu. Mungkin kamu tidak memukul tubuhku. Tetapi kata-katamu yang kasar menyakiti hatiku," jawab Mosa dengan isak tangis. 

Perlahan dia mengusap air matanya, dia ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu dia ingin istirahat, dia melihat Roni membawa bantal dan selimut ke ruang tamu. 

"Kenapa kamu tidur di situ?" tanya Mosa. 

"Nggak usah cerewet, aku mau tidur. Besok aku mau kerja," jawab Roni, lalu memejamkan mata. 

Mosa pun kembali ke kamar, dia benar-benar ingin tidur. Hatinya lelah dibuat Roni seharian ini. 

Pagi hari Mosa sudah bangun, lalu mandi untuk menyegarkan badan. Ternyata Roni juga sudah bangun. Dia bersiap untuk ke masjid sholat subuh. 

Mosa juga bersiap, kunci di bawa Mosa karena pergi terakhir.

Dalam perjalanan menuju masjid ada tetangga yang menyapa Mosa, "Wah, pengantin baru, pagi-pagi sudah seger saja," ucapnya, hanya untuk basa-basi. Usianya kurang lebih seperti ibunya. 

"Iya, Bu. Memang kalau mau ke masjid harus segar kan sudah wudhu," jawab Mosa santai. Dia tidak ingin berlama-lama dia mempercepat jalannya untuk segera sampai di masjid. 

Sesampainya di masjid, iqomah sudah berkumandang. Terdengar Roni menjadi imam subuh ini. 

Mosa dengan meneteskan air mata mendengarkan lantunan ayat suci yang dibacakan Roni. 

Mosa begitu tersenyuh, di saat Roni bisa melantunkan ayat suci alquran dengan baik, tetapi dia tidak pernah berkata baik pada Mosa. Justru kebanyakan menyakiti hati Mosa. 

Setelah selesai sholat, Mosa meninggalkan masjid.  Sebelumnya sudah bersalaman dengan jamaah lainnya. 

Sesampainya di rumah dia membuka pintu dan mengucapkan salam. Tetapi karena memang tidak ada yang di rumah maka tidak ada yang menjawab salamnya, dia yakin yang menjawab salamnya adalah malaikat. 

Dia menuju ke dapur untuk membuat secangkir teh dan kopi untuk Roni. Meskipun dia tahu tidak akan diminun Roni, setidaknya dia masih memberikan perhatian pada Roni. 

Tidak lama kemudian Roni masuk ke rumah, "Assalamualaikum," ucapnya. 

"Walaikumsalam," jawab Mosa, sedang mengaduk kopi. "Mas, kopinya sudah siap," dia menyuguhkan secangkir kopi panas yang masih mengepul. 

"Nggak usah, aku kan sudah bilang. Kamu itu dengar apa pura-pura tuli. Aku bisa bikin sendiri. Nggak usah sok perhatian!" dengus Roni. 

Mosa sudah siap dengan kata-kata itu, lalu dia kembali ke dapur untuk meletakkan kopi yang dia bawa. Dia kemudian meraih teh yang dia buat sendiri. 

Roni keluar kamar, menuju dapur meracik kopinya sendiri. Dia tidak menyapa Mosa yang sedang duduk di sampingnya. 

Kemudian menyeruput kopinya. Dia merogoh sesuatu di sakunya. Dia mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan selembar uang lima puluh ribu. "Ini uang buat kamu. Aku kasih ini satu minggu. Buat kamu sendiri. Aku akan makan di luar. Kamu nggak usah repot-repot masak buat aku, aku bisa urus diriku sendiri." 

Mosa tidak menyangka bahwa suaminya yang menjadi distributor bawang merah se pulau jawa akan memberinya nafkah segitu. Tetapi Mosa tidak ingin protes, "Terima kasih, Mas."

Roni tidak menjawab hanya menghabiskan kopi saja. Setelah mencuci gelas, dia menuju kamar untuk bersiap bekerja kembali. 

Roni langsung meninggalkan rumah tanpa mengucapkan sesuatu kepada Mosa. 

Mosa yang memang masih cuti harus berdiam di rumah karena tidak tahu harus kemana. Dia mengira sisa cuti itu bisa dia pakai untuk menghabiskan waktu dengan Roni. Tetapi itu mustahil, bahkan Roni meninggalkan Mosa begitu saja. 

Mosa mencoba mengintip di jendela, dia melihat Roni menuju rumah orangtuanya. 

Mosa tidak ingin banyak mencari tahu. Dia kemudian membersihkan rumah. Setelah cukup pagi, Mosa berfikir ingin memasak sesuatu. Tetapi tiba-tiba terdengar panggilan telepon di ponselnya. Buru-buru dia membuka ponsel dan ternyata panggilan dari Mina, Ibunya. 

"Assalamualaikum," sapa Mosa. 

"Walaikumsalam, lagi ngapain nak?" tanya Mina di balik telepon. 

"Ini, barusan bersih-bersih, Bu. Mau masak, tapi bingung mau masak apa." 

"Yah, masak kesukaan suamimu lah, tanya dia sukanya makan apa. Kan kamu pinter masak, pasti suamimu suka sama masakanmu," pesan Mina, tanpa mengetahui apa yang terjadi dengan Mosa. 

Mosa bingung akan menjawab apa, kesukaan Roni tidak tahu. Mau masak juga nanti pasti tidak dimakan, "Iya sih, Bu. Cuma Mas Roni sudah berangkat kerja jadi nggak sempat masak. Katanya mau makan di luar saja." 

"Loh, kok sudah kerja saja. Nggak libur saja Roni itu. Ibu kira kalian mau menghabiskan waktu kemana?" tanya Mina, penasaran.

"Yah namanya pengusaha, Bu. Nanti kalau libur lama-lama pelanggannya pada pergi, hehe" jawab Mosa, tidak ingin memojokkan Roni. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
kisahnya sangat menarik sekali...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status