Share

bab 3

Author: Tikha
last update Huling Na-update: 2025-01-12 14:17:45

Adi menyunggingkan senyumnya kala membaca pesan absurd dari istrinya itu. Ah, rasanya ia ingin pulang karena sudah merindukan istrinya itu.

"Dia begitu lucu," gumamnya.

"Mari, Pak." ajak Putra yang membuat Adi terperanjat kaget.

Adi mengangguk dan mengikuti sekretarisnya itu. Mereka baru saja tiba di bandara dan sekarang sedang mencari taksi untuk ke penginapan.

"Pak, kita menginap di hotel atau di desa itu?" tanya Putra.

"Kita menginap di hotel aja, Put." jawab Adi.

"Kita pesan online saja hotelnya, Pak. Soalnya, rekan bisnis Bapak ingin kita langsung ke desa untuk melihat tanah yang dijual warga desa itu," jelas Putra.

"Tidak ada waktu istirahat sebentar?" tanya Adi yang ingin istirahat setelah penerbangan mereka.

Putra menggeleng sebagai jawaban. "Pak Wibowo ingin langsung survei sekarang juga, Pak,"

Perusahaan Adi bekerjasama dengan perusahaan Wibowo untuk pembangunan klinik kesehatan di desa terpencil itu. Walaupun klinik tersebut untuk membantu warga desa, tetap saja mereka membeli tanah itu.

Adi menarik napas pasrah. "Baiklah, pesan hotel untuk 2 kamar."

Beruntung jarak desa dan kota tidak terlalu jauh. Jadi, ia dan sang sekretaris bisa menginap di hotel dan tidak perlu merepotkan warga desa untuk menginap.

"Baik, Pak."

Tak lama mereka menunggu, taksi yang mereka pesan sudah tiba. Adi dan sekretarisnya langsung masuk dan menuju perjalanan ke desa tujuan mereka.

***

Hafizah sedang duduk sendirian di halte guna menunggu taksi online yang ia pesan.

"Kok belum nyampe juga? Aku sudah pusing ini," keluh Hafizah karena taksi tersebut tak kunjung tiba. Kepalanya benar-benar terasa pusing dan ia ingin segera pulang untuk mengistirahatkan diri.

"Nunggu suaminya?"

Hafizah mendongak saat mendengar suara seseorang menyapanya. "Taksi, Pak Hafidz," jawabnya setelah sekilas melihat seseorang yang menyapa nya itu. Tidak mungkin ia berlama-lama menatap lawan jenisnya, bukan?

Hafidz mengangguk pelan. "Kamu sakit?" tanyanya karena wajah Hafizah terlihat lesu.

Hafizah menggeleng sebagai jawaban. "Tidak, Pak. Hanya sedikit pusing,"

"Bagaimana saya anterin pulang? Sepertinya kamu harus segera istirahat,"

Hafizah lantas menggeleng, ia tersenyum manis. "Tidak perlu, Pak. Bentar lagi taksinya datang kok, terimakasih tawarannya." tolak nya halus.

Hafidz mengangguk pelan. Ia mengerti kalau wanita itu pasti menjaga perasaan suaminya. "Kalau begitu, saya duluan, Bu Fizah."

"Iya, Pak, Assalamu'alaikum."

"Walaikumsalam."

Setelah kepergian Hafidz, Hafizah memejamkan matanya sambil menarik napas. Tak lama taksi yang ia pesan akhirnya tiba.

"Pak, ke rumah sakit dulu, ya? Saya benar-benar pusing ini,"

"Baik, Bu."

Rasanya ia tak tahan untuk pulang, karena jarak rumahnya cukup jauh dibanding ke rumah sakit. Untuk itu ia ke rumah sakit terlebih dahulu.

"Rindu Mas Adi," gumam Hafizah tiba-tiba.

Skip

Setibanya di rumah sakit, Hafizah langsung diperiksa karena wanita itu pingsan saat diperjalanan menuju rumah sakit. Sopir taksi itu panik bukan kepalang, ia takut nantinya disalahkan karena penumpang itu pingsan di tempatnya.

"Bagaimana, Dok?" tanya pria paruh baya, atau sopir taksi yang membawa Hafizah itu.

"Anda ayahnya, Pak?" tanya Dokter perempuan itu.

Bapak itu lantas menggeleng. "Dok, anda lihat saya pakai baju apa? Saya sopir taksi," celetuknya.

Si dokter terkekeh karena mendengar perkataan dari pria paruh baya di depannya itu. Ia kan hanya bertanya, karena si sopir terlihat benar-benar panik.

"Bapak tenang saja, dia baik kok."

"Kalau baik, kenapa bisa pingsan, Dok?"

"Sebentar ya, Pak. Saya mau panggil teman saya dulu untuk memeriksa ulang keadaan wanita itu,"

Bapak tersebut mengangguk cepat. Dokter itu pun pamit untuk memanggil temannya didalam bidang kandungan.

Tak lama dokter tadi kembali dengan membawa satu temannya. Mereka bertiga pun masuk ke ruangan tempat Hafizah diletakkan.

Hafizah yang sudah sadar sedari tadi pun mengernyit heran karena melihat mereka masuk.

"Sudah sadar, Bu? Masih pusing?" tanya dokter perempuan itu ramah.

Hafizah tersenyum hangat dan mengangguk. "Masih sedikit pusing, Dok. Saya sakit apa?" tanyanya waspada.

"Tidak sakit kok," sahut dokter itu terkekeh. Ia mempersiapkan alat untuk memeriksa kandungan.

Dokter spesialis kandungan itu mendekat. "Bu, bajunya kita buka sedikit, ya?" izinnya.

Hafizah melirik sopir taksi yang ada di sana itu. Ia tidak mungkin membiarkan laki-laki lain melihat auratnya.

"Pak, bisa balik badan dulu?" pinta dokter menyuruh sopir taksi itu.

Seakan paham, si bapak langsung membalikkan badannya.

"Buka, ya?"

Hafizah mengangguk setuju. Ia mengajar tidak menggunakan gamis, melainkan baju dinas yang menggunakan rok. Jadi, sedikit mudah untuk dokter menyingkap baju Hafizah.

"Perhatikan layar monitor itu, Bu."

Hafizah menurut, ia memperhatikan layar yang seperti TV itu. Perutnya sedikit menyusut karena merasakan gel yang dioleskan ke perutnya.

"Liat itu, kamu hamil dan usia kandunganmu sudah 3 minggu." ujar sang dokter.

Hafizah tertegun melihat gumpalan darah yang terlihat seperti kacang itu. Ia tidak menduga kalau ia hamil setelah satu bulan tidak meminum pil KB.

"Dimana suaminya, Bu?" tanya dokter itu.

Hafizah yang memperhatikan buah hatinya itu, tersentak karena pertanyaan dari dokter tersebut.

"Suami saya pergi dinas keluar kota, Dok."

Dokter tersebut manggut-manggut. "Pulang nanti, beri kabar gembira ini, Bu."

Hafizah tersenyum saat membayangkan itu. "Pasti Mas Adi senang," ujarnya.

***

"Bagaimana?"

Adi mengangguk tanda setuju. "Tanah ini cocok untuk dijadikan klinik karena sangat dekat dengan kampung warga." jelasnya.

Beberapa jam mereka menyurvei beberapa tanah untuk mencari yang pas, akhirnya mereka dapat juga. Adi benar-benar kelelahan karena ia dari tadi berjalan kesana-kemari.

"Jadi deal, ya?" Pak Wibowo menyodorkan tangannya pada Adi.

Adi menerimanya dan mereka saling bersalaman tanda kerjasama mereka akan terlaksanakan.

"Berarti besok udah bisa pulang, 'kan?" tanya Adi tersenyum.

Pak Wibowo mengangguk. "Iya, beruntung hanya satu hari saja kita melakukan survei,"

"Alhamdulillah,"

"Pak, Pak.."

Adi dan Wibowo menoleh saat mereka dipanggil. Salah satu warga menghampiri mereka.

"Kalian mau pulang?"

Adi mengangguk mengiyakan. Ia ingin segera merebahkan dirinya di kasur.

"Sebelum pulang, mari mampir dulu ke rumah saya, Pak. Saya sudah menyiapkan jamuan untuk kalian,"

Wibowo melirik ke arah Adi untuk meminta pendapat. Karena tidak enak, Adi mengangguk pertanda setuju.

"Baiklah,"

Bapak itu pun tersenyum dan menuntun kedua pengusaha itu menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah warga tersebut, mereka langsung makan bersama dan berbincang-bincang hingga malam tiba.

"Sudah malam, tidak terasa kita sudah berbicara dua jam. Saya pulang dulu, Pak, Bu, Adi." pamit Wibowo.

"Iya, Pak. Terimakasih sudah mampir,"

"Pak, kita pulang juga?" tanya Putra berbisik pada Adi.

Adi yang sedari tadi diam itu lantas menggeleng pelan. "Kita menginap disini bisa? Saya benar-benar pusing karena kelelahan," lirihnya. Padahal ia tadi ia tidak se pusing sekarang.

Putra mengangguk dan meminta izin pada bapak pemilik rumah itu untuk menginap satu malam.

"Pak, bisa kami menginap? Sepertinya bos saya sedang sakit," izin Putra.

Bapak tersebut lantas mengangguk setuju. "Boleh, mari bawa bos mu ke kamar." ujarnya.

Dengan cepat Putra menghampiri bos nya dan membantu sang bos berdiri. Putra dan pemilik rumah itu memapah Adi ke salah satu kamar yang ada di rumah itu.

Setelah memastikan Adi berbaring dengan nyaman, mereka berdua keluar. "Badannya panas," celetuk bapak itu.

Putra mengangguk. "Benar, mungkin bos saya kecapekan."

"Iya, kamu istirahat lah juga. Entar istri atau anak saya yang akan mengompres dia,"

Putra menatap bapak itu tidak enak. "Tidak perlu, Pak. Biar saya aja yang urus sendiri,"

"Tidak apa-apa. Kamu juga pasti capek, 'kan?"

Tidak munafik, Putra mengangguk mengiyakan. Ia juga kelelahan karena menemani bos nya itu.

"Istirahatlah,"

"Baik. Maaf merepotkan, Pak."

"Sudah tugas kami melayani tamu," bapak itu tersenyum menatap Putra.

Putra pun ikut tersenyum, bapak tersebut menunjukkan kamar untuk Putra tidur. Yang menjamu itu, termasuk orang yang memiliki uang dibanding warga lainnya. Untuk itu, di rumah beliau ada beberapa kamar karena memang rumahnya luas.

Setelah mengantarkan Putra di kamarnya, beliau ke kamar sang putri untuk meminta bantuan.

"Lia...."

"Masuk aja,"

Beliau masuk dan tersenyum mendapati putrinya yang tengah membaca buku itu.

"Ada apa, Pak?" tanya Lia menatap ayahnya itu.

"Kamu ini, betah sekali seharian dikamar."

"Buat apa Lia keluar? Itu itu aja kok yang dilihat, bosen." sahut Lia malas.

Mendengar perkataan putrinya, ia tersenyum kecut. "Kalau kamu begini terus, bagaimana ada laki-laki yang melirik mu? Umur udah 26 masa belum menikah?"

Lia memutar bola matanya malas. "Bapak kebiasaan deh! Gak usah bahas nikah mulu. Kalau jodoh Lia sudah tiba, ada saatnya nanti Lia menikah." kesalnya karena bapaknya itu selalu meminta dirinya untuk menikah. Padahal jodoh sudah di tangan Tuhan, bukan? Kita nunggu saja.

Beliau menghela napas. "Maaf, ya? Mau bantu bapak?"

"Bantu apa?"

"Ada tamu yang menginap, dan dia sakit."

"Lalu?"

"Bisa kamu rawat dia? Bapak mau rawat ibumu yang sedang sakit itu juga,"

Lia mendengus kesal mendengar permintaan ayahnya itu. "Itu tamu bapak, kok malah Lia yang urus?" kesal.

"Please, kompres sebentar doang," mohon nya.

Lia menarik napas panjang. "Hm," deham nya.

Beliau pun tersenyum dan menyuruh putrinya untuk menyiapkan kompresan. Walaupun kesal, Lia menurut dan pergi ke dapur untuk menyiapkan semuanya.

Lia masuk ke kamar dimana Adi beristirahat. Ia melangkah malas menghampiri pria tersebut.

Mata Lia menatap kagum saat melihat wajah Adi. "Tampan sekali," pujinya.

Lia duduk di tepi ranjang dan memegang jidat Adi. "Panas sekali," gumamnya. Ia pun mengambil kain yang ada di ember kecil itu dan memerahnya. Ia letakkan diatas jidat Adi.

Sambil menunggu, Lia tak henti-henti menatap kagum wajah tampan Adi dengan jarak dekat. "Ada pria setampan ini?" gumamnya terus menatap Adi.

Merasa keningnya agak basah, Adi perlahan sadar dan samar-samar melihat Lia. Lia tersentak karena tiba-tiba pria itu terbangun dan reflek menjauhkan wajahnya.

Adi menyinggungkan senyumnya. "De," ujarnya lirih. Adi memegang lengan Lia dan menariknya hingga tubuh Lia menubruk tubuhnya.

"Peluk, De. Mas kedinginan," racau Adi yang meminta untuk dipeluk.

Lia tidak membuka suara dan juga tidak menolak saat Adi memeluknya. Ia tersenyum miring dan mengambil kesempatan itu.

"Selamat tidur, Mas." bisiknya.

Adi tersenyum dalam tidurnya dan mengeratkan pelukannya pada Lia yang ia kira itu istrinya.

***

Paginya, suhu tubuh Adi sudah menurun. Ia masih belum sadar kalau ada orang lain yang di sana.

"Astagfirullah, kalian!!" tiba-tiba Pak Ahmad, ayah dari Lia itu berteriak saat masuk ke dalam kamar.

Adi menggeliat dalam tidurnya kala mendengar suara seseorang yang berteriak. Ia membuka matanya dan menatap ke arah pintu kamar.

"Ada apa, Pak?" tanya Adi heran.

"Liat, apa yang kamu lakukan pada putri saya?!" marah Pak Ahmad.

"Putri, Bapak?" bingung Adi. Ia melirik sekretarisnya yang baru datang itu.

Putra terbelalak kala melihat bosnya itu tengah tidur berdua dengan seorang perempuan. Putra memberikan isyarat bahwa ada seseorang disamping bosnya itu.

Adi yang mengerti isyarat mata dari Putra itu pun lantas menoleh ke samping. "Astagfirullahalazim." ucapnya yang bergegas turun dari ranjang.

Adi menatap pak Ahmad sambil menggeleng pertanda tidak tahu kenapa ia bisa tidur dengan perempuan itu.

"Pak, saya...."

"Lia!!!" teriak Pak Ahmad.

Lia menggeliat mendengar suara ayahnya itu. Ia menarik selimut guna menutupi seluruh tubuhnya. "Apasih, Pak? Lia gak sholat subuh, masih halangan." sahutnya.

"Bangun Lia!!"

Dengan kesal Lia bangun. "Apasih, Pa...." Lia langsung membungkam mulutnya kala menyadari apa yang telah terjadi.

"Bisa kamu jelaskan ini, Lia?" tanya Pak Ahmad menatap tajam Adi dan Lia.

"Pak, saya tidak tahu kalau pu..."

"Saya bicara dengan Lia, Tuan!" sela Pak Ahmad.

Adi lantas terdiam. Ia melirik Lia guna hendak mendengarkan penjelasan dari gadis itu.

"Bapak, tadi malam 'kan Lia rawat pria ini. Terus, dia meluk Lia dan mengatakan kalau dia kedinginan. Karena pelukannya cukup kuat, Lia pasrah dan ikut tidur bersama. Tapi, jujur, Lia sama pria ini gak ngapa-ngapain kok, Pak." jelas Lia apa adanya yang terjadi kemarin.

Adi yang mendengar itu lantas mengingat-ingat kejadian tadi malam. Ia hanya mengingat kalau istrinya tengah merawatnya yang sedang sakit dan meminta istrinya untuk memeluk dirinya.

"Astagfirullahalazim," istighfar Adi karena ia sudah menganggap orang lain adalah istrinya.

"Kalian harus menikah!" putus Pak Ahmad yang membuat Adi menggeleng keras.

"Pak, saya tidak apa-apain putri anda." protes Adi tak terima.

"Tetap saja kamu sudah tidur dengan putrinya saya yang jelas-jelas bukan mahrammu," ujar Pak Ahmad benar adanya.

"Pak, saya tidak bisa menikahi putri anda,"

"Kenapa?"

"Saya sudah memiliki istri,"

Pak Ahmad menghela napas. Ia menatap putrinya yang menunduk itu. "Lia, apa kamu ikhlas tubuhmu disentuh orang tanpa dinikahi?" tanyanya pada sang putri.

Lia menggeleng sebagai jawaban. "Dia harus bertanggungjawab, Pak. Lia tidak masalah meskipun jadi istri kedua," pungkasnya.

"Jangan seperti itu. Saya tidak ingin melukai hati istri tercinta saya!" sentak Adi menatap marah pada perempuan yang berambut panjang itu.

"Tapi anda sudah memeluk saja, Tuan." kata Lia lirih.

"Kenapa kamu tidak menampar saya? Saya sedang tidak sadar tadi malam." marah Adi.

Pak Ahmad menghela napas panjang. "Keputusan tidak bisa diganggu gugat. Kalian akan menikah pagi ini juga!" putusnya. "Lia, ayo keluar!" lanjutnya menyuruh putrinya untuk keluar.

Setelah ayah dan anak itu keluar, Adi terduduk lemas di tepi ranjang. Putra yang sedari tadi hanya diam itu lantas mendekati tuannya itu.

"Pak," Putra ikut duduk disamping tuannya itu.

Adi mengusap wajah gusar. "Bagaimana dengan perasaan istriku, Putra? Dia pasti sakit hati," lirihnya.

Mendengar perkataan dari Adi, Putra merasa bersalah karena tadi malam ia lah yang sudah meninggalkan tuannya itu tidur.

"Maafkan saya, Pak. Gara-gara saya meninggalkan anda tidur, anda harus mengalami ini," kata Putra sesal.

Adi tidak menjawab, ia memikirkan perasaan istrinya nanti. Mustahil ia menutupi pernikahan keduanya dari sang istri, bukan? Dosa akan terus menghampirinya.

"Bagaimana dikasih uang saja sebagai syarat tidak usah menikah, Pak?" usul Putra yang membuat Adi menatap sekretaris nya itu.

"Kamu benar,"

***

"Astagfirullahalazim," Hafizah mengatur napasnya kala terbangun akibat mimpi buruk. Ia bangkit dari tidurnya dan langsung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Hafizah melaksanakan sholat subuhnya, dan berdoa.

"YaAllah, kenapa perasaan hamba gelisah? Apa ini ada kaitannya dengan mimpi hamba tentang pernikahan kedua dari suami hamba. YaAllah, jika itu terjadi, hamba meminta maaf jika hamba akan menunjukkan sifat asli hamba. Tetap lindungi suami hamba di manapun dia berada, dan luaskan rezeki kami, Aamiin..."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 20

    "Sayang, ke rumah sakit, ya?" tawar Adi begitu perhatian."Siapa yang sakit, Mas?" balas Hafizah bertanya.Hafizah yang tengah melamun karena memikirkan mertuanya yang ada di rumah, dibuat bingung karena tiba-tiba suaminya itu mengajaknya ke rumah sakit."Kita ke psikiater,""Kamu gila, Mas? Kenapa? Banyak pikiran?" cecar Hafizah bertanya.Adi menggeleng, sebelah tangannya menggenggam lengan Hafizah dan sebelahnya menyetir."Kamu, sayang. Apa mental kamu baik-baik saja setelah pulang?" tanya Adi menatap istrinya itu khawatir.Hafizah menatap suaminya itu dan ia terkekeh. "Fizah tau maksud Mas baik. Tapi, percuma bawa Fizah ke psikiater, Mas. Mental Fizah udah di serang sedari kecil dan sekarang udah terbiasa. Aman kok," sahutnya lembut."Kamu yakin, sayang?""Yakin, Mas. Fizah bukan wanita lemah. Fizah wanita strong..." ucap Hafizah mengangkat tangannya memperlihatkan ototnya. Ia tertawa pelan karena seolah ia wanita terkuat di bumi dan mengalahkan wonder woman.Adi tersenyum. "Mana o

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 19

    "Coba jelaskan kenapa kamu menikah lagi, Adi?" pinta Ibu Hafizah setelah mereka selesai makan.Adi menatap kedua mertuanya itu dan menceritakan kejadian sebenarnya dengan sejujur-jujurnya tanpa ada yang ditutupi.Kedua orang tua Hafizah menyimak dengan baik penjelasan dari Adi."Jadi, saat itu kamu mengira Lia itu Fizah?" tanya sang ibu."Iya, Bu. Adi benar-benar tidak menyadarinya sehingga memeluknya saat tidur." jelas Adi."Mungkin wanita itu sudah bisa menebak kalau dia hamil. Untuk itu, dia menjebak mu dengan mengambil kesempatan saat kamu tidur memeluknya." tebak sang ayah.Hafizah hanya diam tidak membuka suara. Bahkan ia hendak menjauh dari sana karena mendengar cerita suaminya ia merasa sesak.Adi menatap ayah mertuanya itu. "Adi kurang yakin kalau dia hamil, Yah. Pasalnya, saat kami menikah dia tengah halangan. Emang bisa setelah halangan langsung hamil?" bingungnya."Iya, itu bisa terjadi. Meskipun peluang hamil setelah haid biasanya lebih rendah, namun tidak mustahil. Beber

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 18

    "Bu, ayo kita keluar. Kita istirahat dan lanjut besok, ya?" bujuk sang Ayah pada istrinya itu.Sang ibu menatap putrinya kasihan, namun masih belum puas untuk berdebat dengan menantunya itu. Dengan kesal ia keluar dari kamar putrinya."Jaga dia, Adi." pinta sang ayah.Adi mengangguk pasti. "Terimakasih, Ayah," ucapnya sopan.Sang ayah mengangguk sekali dan mengajak yang lain keluar. Setelah mereka semua keluar, Adi merebahkan dirinya disamping sang istri dan memeluknya sayang."Begitu kuat dirimu, sayang. Sedari remaja sampai sekarang kamu tidak pernah melawan saat Ibu merendahkan mu,"Adi memperhatikan wajah cantik istrinya yang sedikit pucat itu. Dielus-elus nya perut istrinya itu lembut."Baik-baik anak Ayah,," harap Adi. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan istri dan calon anaknya sekarang. Mau cari dokter pun percuma karena memang di desa istrinya itu, dokter tidak melayani orang berobat lagi.Adi menarik selimut dan menutupi tubuh mereka berdua. Ia ikut memejamkan matanya dan

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 17

    Seorang pria tengah merokok di balkon apartemennya. Asap rokok berhamburan di udara begitu banyak.Tin!Pria itu mengernyit heran karena mendengar bel apartemennya berbunyi. Ia pun mematikan rokoknya dan keluar dari kamarnya sendiri."Siapa yang bertamu sore-sore begini?" gumamnya, yang terus berjalan menuju pintu utama.CeklekPria itu menatap orang yang ada di depannya dari atas sampai bawah. Ia menaikkan sudut bibirnya kala perempuan yang sudah tidak ia temui selama sebulan itu."Woww, Lia, kau datang? Mari masuk, Baby..," ia merangkul Lia dengan senang hati membawa wanita itu masuk.Lia memutar bola matanya malas. Sebenarnya ia malas untuk menemui pria yang sudah merenggut kesuciannya itu. Tapi, karena ia merasa sunyi sendirian di rumah, ia memutuskan untuk menemui pria itu. Lagian, ia juga menghibur diri karena merasa kesal saat membaca pesan dari Adi yang ingin pergi dengan Hafizah selama dua hari."Kenapa kamu cemberut? Jika tidak ingin menemui ku, sebaiknya tidak usah." kata p

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 16

    "Putra," Adi memanggil sekretarisnya itu.Putra yang tengah memperhatikan tablet itu menoleh pada atasannya itu. "Ada apa, Pak?""Bagaimana dengan jadwalku dua hari ke depan?"Putra yang baru saja memeriksa jadwal Adi pun langsung menjawab. "Dua hari ke depan jadwal anda aman, Pak. Tidak ada meeting dan pekerjaan di kantor bisa bapak kerjakan di rumah," jelasnya.Adi bernapas lega saat mendengar itu. Dua hari ia bisa menemani istrinya ke kampung. "Aku akan ke kampung istriku selama dua hari. Kamu urus kantor untuk sementara,"Putra menatap atasannya itu kasihan. "Bapak kesana pasti karena berita pagi tadi, 'kan? Saya minta maaf, Pak."Putra masih merasa bersalah atas menikahnya sang atasan."Tidak masalah, Put. Mungkin ini ujian dalam pernikahan kami," sahut Adi.Ya, setelah Adi pikirkan, mungkin orang ketiga lah untuk ujian rumah tangganya. Karena kalau soal perekonomian, ia dan sang istri sama-sama bekerja sehingga mereka tidak kekurangan harta. Tapi, kembali lagi pada yang di Atas.

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 15

    "Mas suka gayamu, De." puji Adi sambil menggenggam tangan Hafizah."Jadi selama ini gak suka?" tanya Hafizah menatap suaminya yang sedang menyetir itu.Adi menggeleng pelan. "Bukan begitu,"Hafizah terkekeh melihat wajah suaminya yang panik. "Iya, Mas. Fizah ngerti kok,"Drrrtt... Drrrtt...Hafizah membuka tasnya saat mendengar ponselnya berdering."Siapa, sayang?" tanya Adi."Mas," panggil Hafizah lirih."Siapa?" tanya Adi khawatir, karena nada bicara istrinya berbeda."Ibu,"Adi menatap istrinya itu dan mengangguk sekali sebagai pertanda agar istrinya tenang. "Angkat dan loudspeaker." titahnya.Hafizah menurut, ia mengangkat panggilan telepon dari ibunya dan menyalakan loudspeaker teleponnya."Assalamu'alaikum, Bu,""Walaikumsalam, Fizah.""Ada apa, Bu?" tanya Hafizah takut-takut."Ibu mau penjelasan darimu dan Adi tentang berita pagi ini, Fizah," sahut sang Ibu masih dengan suara tenangnya.Hafizah menatap suaminya itu. Adi yang paham, lantas membuka suara. "Berita kalau Adi memili

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status