Share

bab 3

Author: Tikha
last update Last Updated: 2025-01-12 14:17:45

Adi menyunggingkan senyumnya kala membaca pesan absurd dari istrinya itu. Ah, rasanya ia ingin pulang karena sudah merindukan istrinya itu.

"Dia begitu lucu," gumamnya.

"Mari, Pak." ajak Putra yang membuat Adi terperanjat kaget.

Adi mengangguk dan mengikuti sekretarisnya itu. Mereka baru saja tiba di bandara dan sekarang sedang mencari taksi untuk ke penginapan.

"Pak, kita menginap di hotel atau di desa itu?" tanya Putra.

"Kita menginap di hotel aja, Put." jawab Adi.

"Kita pesan online saja hotelnya, Pak. Soalnya, rekan bisnis Bapak ingin kita langsung ke desa untuk melihat tanah yang dijual warga desa itu," jelas Putra.

"Tidak ada waktu istirahat sebentar?" tanya Adi yang ingin istirahat setelah penerbangan mereka.

Putra menggeleng sebagai jawaban. "Pak Wibowo ingin langsung survei sekarang juga, Pak,"

Perusahaan Adi bekerjasama dengan perusahaan Wibowo untuk pembangunan klinik kesehatan di desa terpencil itu. Walaupun klinik tersebut untuk membantu warga desa, tetap saja mereka membeli tanah itu.

Adi menarik napas pasrah. "Baiklah, pesan hotel untuk 2 kamar."

Beruntung jarak desa dan kota tidak terlalu jauh. Jadi, ia dan sang sekretaris bisa menginap di hotel dan tidak perlu merepotkan warga desa untuk menginap.

"Baik, Pak."

Tak lama mereka menunggu, taksi yang mereka pesan sudah tiba. Adi dan sekretarisnya langsung masuk dan menuju perjalanan ke desa tujuan mereka.

***

Hafizah sedang duduk sendirian di halte guna menunggu taksi online yang ia pesan.

"Kok belum nyampe juga? Aku sudah pusing ini," keluh Hafizah karena taksi tersebut tak kunjung tiba. Kepalanya benar-benar terasa pusing dan ia ingin segera pulang untuk mengistirahatkan diri.

"Nunggu suaminya?"

Hafizah mendongak saat mendengar suara seseorang menyapanya. "Taksi, Pak Hafidz," jawabnya setelah sekilas melihat seseorang yang menyapa nya itu. Tidak mungkin ia berlama-lama menatap lawan jenisnya, bukan?

Hafidz mengangguk pelan. "Kamu sakit?" tanyanya karena wajah Hafizah terlihat lesu.

Hafizah menggeleng sebagai jawaban. "Tidak, Pak. Hanya sedikit pusing,"

"Bagaimana saya anterin pulang? Sepertinya kamu harus segera istirahat,"

Hafizah lantas menggeleng, ia tersenyum manis. "Tidak perlu, Pak. Bentar lagi taksinya datang kok, terimakasih tawarannya." tolak nya halus.

Hafidz mengangguk pelan. Ia mengerti kalau wanita itu pasti menjaga perasaan suaminya. "Kalau begitu, saya duluan, Bu Fizah."

"Iya, Pak, Assalamu'alaikum."

"Walaikumsalam."

Setelah kepergian Hafidz, Hafizah memejamkan matanya sambil menarik napas. Tak lama taksi yang ia pesan akhirnya tiba.

"Pak, ke rumah sakit dulu, ya? Saya benar-benar pusing ini,"

"Baik, Bu."

Rasanya ia tak tahan untuk pulang, karena jarak rumahnya cukup jauh dibanding ke rumah sakit. Untuk itu ia ke rumah sakit terlebih dahulu.

"Rindu Mas Adi," gumam Hafizah tiba-tiba.

Skip

Setibanya di rumah sakit, Hafizah langsung diperiksa karena wanita itu pingsan saat diperjalanan menuju rumah sakit. Sopir taksi itu panik bukan kepalang, ia takut nantinya disalahkan karena penumpang itu pingsan di tempatnya.

"Bagaimana, Dok?" tanya pria paruh baya, atau sopir taksi yang membawa Hafizah itu.

"Anda ayahnya, Pak?" tanya Dokter perempuan itu.

Bapak itu lantas menggeleng. "Dok, anda lihat saya pakai baju apa? Saya sopir taksi," celetuknya.

Si dokter terkekeh karena mendengar perkataan dari pria paruh baya di depannya itu. Ia kan hanya bertanya, karena si sopir terlihat benar-benar panik.

"Bapak tenang saja, dia baik kok."

"Kalau baik, kenapa bisa pingsan, Dok?"

"Sebentar ya, Pak. Saya mau panggil teman saya dulu untuk memeriksa ulang keadaan wanita itu,"

Bapak tersebut mengangguk cepat. Dokter itu pun pamit untuk memanggil temannya didalam bidang kandungan.

Tak lama dokter tadi kembali dengan membawa satu temannya. Mereka bertiga pun masuk ke ruangan tempat Hafizah diletakkan.

Hafizah yang sudah sadar sedari tadi pun mengernyit heran karena melihat mereka masuk.

"Sudah sadar, Bu? Masih pusing?" tanya dokter perempuan itu ramah.

Hafizah tersenyum hangat dan mengangguk. "Masih sedikit pusing, Dok. Saya sakit apa?" tanyanya waspada.

"Tidak sakit kok," sahut dokter itu terkekeh. Ia mempersiapkan alat untuk memeriksa kandungan.

Dokter spesialis kandungan itu mendekat. "Bu, bajunya kita buka sedikit, ya?" izinnya.

Hafizah melirik sopir taksi yang ada di sana itu. Ia tidak mungkin membiarkan laki-laki lain melihat auratnya.

"Pak, bisa balik badan dulu?" pinta dokter menyuruh sopir taksi itu.

Seakan paham, si bapak langsung membalikkan badannya.

"Buka, ya?"

Hafizah mengangguk setuju. Ia mengajar tidak menggunakan gamis, melainkan baju dinas yang menggunakan rok. Jadi, sedikit mudah untuk dokter menyingkap baju Hafizah.

"Perhatikan layar monitor itu, Bu."

Hafizah menurut, ia memperhatikan layar yang seperti TV itu. Perutnya sedikit menyusut karena merasakan gel yang dioleskan ke perutnya.

"Liat itu, kamu hamil dan usia kandunganmu sudah 3 minggu." ujar sang dokter.

Hafizah tertegun melihat gumpalan darah yang terlihat seperti kacang itu. Ia tidak menduga kalau ia hamil setelah satu bulan tidak meminum pil KB.

"Dimana suaminya, Bu?" tanya dokter itu.

Hafizah yang memperhatikan buah hatinya itu, tersentak karena pertanyaan dari dokter tersebut.

"Suami saya pergi dinas keluar kota, Dok."

Dokter tersebut manggut-manggut. "Pulang nanti, beri kabar gembira ini, Bu."

Hafizah tersenyum saat membayangkan itu. "Pasti Mas Adi senang," ujarnya.

***

"Bagaimana?"

Adi mengangguk tanda setuju. "Tanah ini cocok untuk dijadikan klinik karena sangat dekat dengan kampung warga." jelasnya.

Beberapa jam mereka menyurvei beberapa tanah untuk mencari yang pas, akhirnya mereka dapat juga. Adi benar-benar kelelahan karena ia dari tadi berjalan kesana-kemari.

"Jadi deal, ya?" Pak Wibowo menyodorkan tangannya pada Adi.

Adi menerimanya dan mereka saling bersalaman tanda kerjasama mereka akan terlaksanakan.

"Berarti besok udah bisa pulang, 'kan?" tanya Adi tersenyum.

Pak Wibowo mengangguk. "Iya, beruntung hanya satu hari saja kita melakukan survei,"

"Alhamdulillah,"

"Pak, Pak.."

Adi dan Wibowo menoleh saat mereka dipanggil. Salah satu warga menghampiri mereka.

"Kalian mau pulang?"

Adi mengangguk mengiyakan. Ia ingin segera merebahkan dirinya di kasur.

"Sebelum pulang, mari mampir dulu ke rumah saya, Pak. Saya sudah menyiapkan jamuan untuk kalian,"

Wibowo melirik ke arah Adi untuk meminta pendapat. Karena tidak enak, Adi mengangguk pertanda setuju.

"Baiklah,"

Bapak itu pun tersenyum dan menuntun kedua pengusaha itu menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah warga tersebut, mereka langsung makan bersama dan berbincang-bincang hingga malam tiba.

"Sudah malam, tidak terasa kita sudah berbicara dua jam. Saya pulang dulu, Pak, Bu, Adi." pamit Wibowo.

"Iya, Pak. Terimakasih sudah mampir,"

"Pak, kita pulang juga?" tanya Putra berbisik pada Adi.

Adi yang sedari tadi diam itu lantas menggeleng pelan. "Kita menginap disini bisa? Saya benar-benar pusing karena kelelahan," lirihnya. Padahal ia tadi ia tidak se pusing sekarang.

Putra mengangguk dan meminta izin pada bapak pemilik rumah itu untuk menginap satu malam.

"Pak, bisa kami menginap? Sepertinya bos saya sedang sakit," izin Putra.

Bapak tersebut lantas mengangguk setuju. "Boleh, mari bawa bos mu ke kamar." ujarnya.

Dengan cepat Putra menghampiri bos nya dan membantu sang bos berdiri. Putra dan pemilik rumah itu memapah Adi ke salah satu kamar yang ada di rumah itu.

Setelah memastikan Adi berbaring dengan nyaman, mereka berdua keluar. "Badannya panas," celetuk bapak itu.

Putra mengangguk. "Benar, mungkin bos saya kecapekan."

"Iya, kamu istirahat lah juga. Entar istri atau anak saya yang akan mengompres dia,"

Putra menatap bapak itu tidak enak. "Tidak perlu, Pak. Biar saya aja yang urus sendiri,"

"Tidak apa-apa. Kamu juga pasti capek, 'kan?"

Tidak munafik, Putra mengangguk mengiyakan. Ia juga kelelahan karena menemani bos nya itu.

"Istirahatlah,"

"Baik. Maaf merepotkan, Pak."

"Sudah tugas kami melayani tamu," bapak itu tersenyum menatap Putra.

Putra pun ikut tersenyum, bapak tersebut menunjukkan kamar untuk Putra tidur. Yang menjamu itu, termasuk orang yang memiliki uang dibanding warga lainnya. Untuk itu, di rumah beliau ada beberapa kamar karena memang rumahnya luas.

Setelah mengantarkan Putra di kamarnya, beliau ke kamar sang putri untuk meminta bantuan.

"Lia...."

"Masuk aja,"

Beliau masuk dan tersenyum mendapati putrinya yang tengah membaca buku itu.

"Ada apa, Pak?" tanya Lia menatap ayahnya itu.

"Kamu ini, betah sekali seharian dikamar."

"Buat apa Lia keluar? Itu itu aja kok yang dilihat, bosen." sahut Lia malas.

Mendengar perkataan putrinya, ia tersenyum kecut. "Kalau kamu begini terus, bagaimana ada laki-laki yang melirik mu? Umur udah 26 masa belum menikah?"

Lia memutar bola matanya malas. "Bapak kebiasaan deh! Gak usah bahas nikah mulu. Kalau jodoh Lia sudah tiba, ada saatnya nanti Lia menikah." kesalnya karena bapaknya itu selalu meminta dirinya untuk menikah. Padahal jodoh sudah di tangan Tuhan, bukan? Kita nunggu saja.

Beliau menghela napas. "Maaf, ya? Mau bantu bapak?"

"Bantu apa?"

"Ada tamu yang menginap, dan dia sakit."

"Lalu?"

"Bisa kamu rawat dia? Bapak mau rawat ibumu yang sedang sakit itu juga,"

Lia mendengus kesal mendengar permintaan ayahnya itu. "Itu tamu bapak, kok malah Lia yang urus?" kesal.

"Please, kompres sebentar doang," mohon nya.

Lia menarik napas panjang. "Hm," deham nya.

Beliau pun tersenyum dan menyuruh putrinya untuk menyiapkan kompresan. Walaupun kesal, Lia menurut dan pergi ke dapur untuk menyiapkan semuanya.

Lia masuk ke kamar dimana Adi beristirahat. Ia melangkah malas menghampiri pria tersebut.

Mata Lia menatap kagum saat melihat wajah Adi. "Tampan sekali," pujinya.

Lia duduk di tepi ranjang dan memegang jidat Adi. "Panas sekali," gumamnya. Ia pun mengambil kain yang ada di ember kecil itu dan memerahnya. Ia letakkan diatas jidat Adi.

Sambil menunggu, Lia tak henti-henti menatap kagum wajah tampan Adi dengan jarak dekat. "Ada pria setampan ini?" gumamnya terus menatap Adi.

Merasa keningnya agak basah, Adi perlahan sadar dan samar-samar melihat Lia. Lia tersentak karena tiba-tiba pria itu terbangun dan reflek menjauhkan wajahnya.

Adi menyinggungkan senyumnya. "De," ujarnya lirih. Adi memegang lengan Lia dan menariknya hingga tubuh Lia menubruk tubuhnya.

"Peluk, De. Mas kedinginan," racau Adi yang meminta untuk dipeluk.

Lia tidak membuka suara dan juga tidak menolak saat Adi memeluknya. Ia tersenyum miring dan mengambil kesempatan itu.

"Selamat tidur, Mas." bisiknya.

Adi tersenyum dalam tidurnya dan mengeratkan pelukannya pada Lia yang ia kira itu istrinya.

***

Paginya, suhu tubuh Adi sudah menurun. Ia masih belum sadar kalau ada orang lain yang di sana.

"Astagfirullah, kalian!!" tiba-tiba Pak Ahmad, ayah dari Lia itu berteriak saat masuk ke dalam kamar.

Adi menggeliat dalam tidurnya kala mendengar suara seseorang yang berteriak. Ia membuka matanya dan menatap ke arah pintu kamar.

"Ada apa, Pak?" tanya Adi heran.

"Liat, apa yang kamu lakukan pada putri saya?!" marah Pak Ahmad.

"Putri, Bapak?" bingung Adi. Ia melirik sekretarisnya yang baru datang itu.

Putra terbelalak kala melihat bosnya itu tengah tidur berdua dengan seorang perempuan. Putra memberikan isyarat bahwa ada seseorang disamping bosnya itu.

Adi yang mengerti isyarat mata dari Putra itu pun lantas menoleh ke samping. "Astagfirullahalazim." ucapnya yang bergegas turun dari ranjang.

Adi menatap pak Ahmad sambil menggeleng pertanda tidak tahu kenapa ia bisa tidur dengan perempuan itu.

"Pak, saya...."

"Lia!!!" teriak Pak Ahmad.

Lia menggeliat mendengar suara ayahnya itu. Ia menarik selimut guna menutupi seluruh tubuhnya. "Apasih, Pak? Lia gak sholat subuh, masih halangan." sahutnya.

"Bangun Lia!!"

Dengan kesal Lia bangun. "Apasih, Pa...." Lia langsung membungkam mulutnya kala menyadari apa yang telah terjadi.

"Bisa kamu jelaskan ini, Lia?" tanya Pak Ahmad menatap tajam Adi dan Lia.

"Pak, saya tidak tahu kalau pu..."

"Saya bicara dengan Lia, Tuan!" sela Pak Ahmad.

Adi lantas terdiam. Ia melirik Lia guna hendak mendengarkan penjelasan dari gadis itu.

"Bapak, tadi malam 'kan Lia rawat pria ini. Terus, dia meluk Lia dan mengatakan kalau dia kedinginan. Karena pelukannya cukup kuat, Lia pasrah dan ikut tidur bersama. Tapi, jujur, Lia sama pria ini gak ngapa-ngapain kok, Pak." jelas Lia apa adanya yang terjadi kemarin.

Adi yang mendengar itu lantas mengingat-ingat kejadian tadi malam. Ia hanya mengingat kalau istrinya tengah merawatnya yang sedang sakit dan meminta istrinya untuk memeluk dirinya.

"Astagfirullahalazim," istighfar Adi karena ia sudah menganggap orang lain adalah istrinya.

"Kalian harus menikah!" putus Pak Ahmad yang membuat Adi menggeleng keras.

"Pak, saya tidak apa-apain putri anda." protes Adi tak terima.

"Tetap saja kamu sudah tidur dengan putrinya saya yang jelas-jelas bukan mahrammu," ujar Pak Ahmad benar adanya.

"Pak, saya tidak bisa menikahi putri anda,"

"Kenapa?"

"Saya sudah memiliki istri,"

Pak Ahmad menghela napas. Ia menatap putrinya yang menunduk itu. "Lia, apa kamu ikhlas tubuhmu disentuh orang tanpa dinikahi?" tanyanya pada sang putri.

Lia menggeleng sebagai jawaban. "Dia harus bertanggungjawab, Pak. Lia tidak masalah meskipun jadi istri kedua," pungkasnya.

"Jangan seperti itu. Saya tidak ingin melukai hati istri tercinta saya!" sentak Adi menatap marah pada perempuan yang berambut panjang itu.

"Tapi anda sudah memeluk saja, Tuan." kata Lia lirih.

"Kenapa kamu tidak menampar saya? Saya sedang tidak sadar tadi malam." marah Adi.

Pak Ahmad menghela napas panjang. "Keputusan tidak bisa diganggu gugat. Kalian akan menikah pagi ini juga!" putusnya. "Lia, ayo keluar!" lanjutnya menyuruh putrinya untuk keluar.

Setelah ayah dan anak itu keluar, Adi terduduk lemas di tepi ranjang. Putra yang sedari tadi hanya diam itu lantas mendekati tuannya itu.

"Pak," Putra ikut duduk disamping tuannya itu.

Adi mengusap wajah gusar. "Bagaimana dengan perasaan istriku, Putra? Dia pasti sakit hati," lirihnya.

Mendengar perkataan dari Adi, Putra merasa bersalah karena tadi malam ia lah yang sudah meninggalkan tuannya itu tidur.

"Maafkan saya, Pak. Gara-gara saya meninggalkan anda tidur, anda harus mengalami ini," kata Putra sesal.

Adi tidak menjawab, ia memikirkan perasaan istrinya nanti. Mustahil ia menutupi pernikahan keduanya dari sang istri, bukan? Dosa akan terus menghampirinya.

"Bagaimana dikasih uang saja sebagai syarat tidak usah menikah, Pak?" usul Putra yang membuat Adi menatap sekretaris nya itu.

"Kamu benar,"

***

"Astagfirullahalazim," Hafizah mengatur napasnya kala terbangun akibat mimpi buruk. Ia bangkit dari tidurnya dan langsung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Hafizah melaksanakan sholat subuhnya, dan berdoa.

"YaAllah, kenapa perasaan hamba gelisah? Apa ini ada kaitannya dengan mimpi hamba tentang pernikahan kedua dari suami hamba. YaAllah, jika itu terjadi, hamba meminta maaf jika hamba akan menunjukkan sifat asli hamba. Tetap lindungi suami hamba di manapun dia berada, dan luaskan rezeki kami, Aamiin..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 30

    "Pa! Bisa jangan desak Hafidz untuk menikah?" protes Hafidz menatap kesal ayahnya."Sampai kapan, hah?! Usiamu sebentar lagi memasuki kepala tiga dan kamu belum menikah juga?" ketus Pak Harmoko menatap Hafidz datar.Hafidz menggulirkan bola matanya malas. Beginilah sosok ayahnya, pemaksa dan keinginannya harus selalu dituruti. Untuk itu Hafidz lebih memilih untuk membeli rumah dan tinggal sendiri dari pada bersama kedua orang tuanya."Aku belum menemukan pasangan yang pas, Pa," jawab Hafidz berusaha santai."Bagaimana kamu bisa menemukan yang pas kalau kamu menginginkan Hafizah! Ingat, Hafidz! Hafizah itu istri dari Adi, dan mereka saling mencintai.." ocehan dari ayahnya itu sering kali ia dengar, hingga sudah membuatnya muak.Pak Harmoko tau kalau anaknya itu menyukai Hafizah. Karena memang Hafidz sendiri mengatakan padanya. Ia sebagai ayah selalu memperingati sang anak bahwa wanita yang disukai itu sudah bersuami."Pulang aja kalau Papa kesini hanya mau marahin Hafidz, bukan mau jen

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 29

    Merasa di panggil, Pak Harmoko menghentikan langkahnya dan membalik badannya. Ia mengerutkan keningnya kala melihat sepasang suami-istri menghampiri dirinya."Assalamu'alaikum, Pak," ucap Hafizah saat sudah berada didepan Pak Harmoko."Walaikumsalam, Fizah. Ada apa?" tanya beliau to the point.Hafizah menggeleng kecil dan tersenyum. "Tidak ada, Pak. Apa anda pindah rumah?" tanyanya.Pak Harmoko menatap bangunan disamping nya itu dan menggeleng. "Ini rumah anak saya. Katanya dia sakit dan saya kesini untuk menjenguknya," pungkasnya.Hafizah menatap suaminya dan mereka saling pandang."Oh iya, Pak. Kalau begitu kami pamit pulang dulu," kata Hafizah sopan.Dengan kebingungan pak Harmoko mengangguk. "Iya, silakan."Hafizah dan Adi tersenyum. Mereka lantas pergi dari hadapan pak Harmoko yang masih menatap bingung kearah mereka.Di dalam mobil, Adi dan Hafizah saling berbicara. "Lumayan mengejutkan," ujar Hafizah pada suaminya itu.Adi tersenyum tipis. "Ini belum pasti, Sayang," Adi yang se

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 28

    "Pak?" Putra kebingungan melihat atasannya itu datang dengan Lia."Urus dia, Put," pinta Adi dan langsung pergi menuju ruangannya.Putra yang kebingungan menurut saja. Ia bertanya lebih dulu pada Lia."Mau apa, Bu?" tanya Putra yang tetap hormat.Lia tersenyum dan memberikan map yang berisi kertas-kertas penting untuk melamar pekerjaan.Putra mengambil itu dan memeriksa sebentar. "Mari ke resepsionis dulu, Bu," ajaknya."Untuk apa? Langsung berikan id card saja, soalnya Mas Adi sudah setuju." kata Lia yang tidak ingin berlama-lama dengan menunggu konfirmasi dulu.Putra mengangguk patuh, namun tetap ke meja resepsionis untuk minta buatkan id card di divisi administrasi.Lia tersenyum senang. Sambil menunggu id card nya siap, Lia ingin ke ruangan suaminya dulu."Kantor Mas Adi mewah," batinnya menatap bangunan besar nan mewah itu. "Put, dimana ruangan Mas Adi?" tanyanya."Di lantai 15, Bu." jawab Putra jujur."Aku akan kesana, terimakasih," Lia langsung meninggalkan Putra yang tengah me

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 27

    Hafizah menatap mata suaminya dengan penuh kelembutan dan kepercayaan, tersenyum menguatkan ikatan cinta yang telah terjalin antara mereka berdua. "Kamu gak masalah Lia kerja di kantorku, De?" tanya Adi dengan nada gugup namun penuh harap."Aku percaya sama kamu, Mas," jawab Hafizah dengan lembut, meyakinkan suaminya bahwa kepercayaan itu adalah pondasi kuat dalam pernikahan mereka.Adi merasa lega, senyumnya semakin lebar seiring rasa syukurnya yang meluap. Ia meraih lengan istrinya, mengajaknya duduk di pangkuannya, dan memeluknya erat. "Terimakasih karena selalu percaya sama Mas, De," bisik Adi dengan penuh kasih sayang.Mereka berada di kamar mereka, menikmati kehangatan dan kedekatan setelah makan malam yang lezat. Hafizah membelai pipi suaminya, merasa bersyukur memiliki pasangan yang setia dan penyayang seperti Adi. "Dalam hubungan kuat, harus saling percaya, Mas," ucap Hafizah dengan tegas namun lembut."Iya, De," sahut Adi, menggenggam tangan istrinya dan mencium punggung tan

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 26

    "Nunggu suamimu, Fizah?""Eh iya, Pak." sahut Hafizah yang sempat kaget karena tiba-tiba Hafidz sudah ada disampingnya.Hafidz tersenyum tipis saat melihat Hafizah menjauhkan diri darinya. Semenjak ia jujur akan perasaannya bulan lalu, wanita cantik berhijab itu sering menghindarinya."Kamu wanita kuat, Fizah," puji Hafidz.Hafizah tersenyum dalam tunduk nya. "Apa yang membuat saya lemah, Pak?""Madumu,"Hafizah terkekeh mendengar perkataan dari Hafidz. "Selagi cinta suami saya masih full, saya tidak akan lemah,""Laki-laki bisa memberikan cinta pada dua orang yang berbeda, Fizah,""Begitukah? Contohnya seperti anda, Pak?" tanya Hafizah bercanda."Hanya kamu,"Hafizah geleng-geleng kepala mendengar jawaban dari Hafidz. Ia hanya berharap suaminya lekas datang dan ia bisa menghindari Hafidz.Hafidz menatap lekat Hafizah yang terus menundukkan kepala itu. Tidak pernah ia lihat Hafizah menatapnya jika sedang berbicara berdua. Dikatakan tidak sopan, tapi tutur kata Hafizah begitu lembut."

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 25

    "Jangan capek-capek, ya, Sayang? Mas gak mau kamu sakit," kata Adi pengertian.Hafizah menghela napas dan menatap suaminya itu. Ia tersenyum dan mengusap lembut punggung tangan suaminya. Semenjak hamil, Adi selalu mengatakan hal serupa jika ia hendak ke sekolah."Iya, Mas, iya. Cerewet banget sih suaminya Fizah ini, eh sama suami Mbak Lia juga." Hafizah terkekeh saat melihat perubahan raut wajah Adi."Jangan sebut-sebut Lia, Sayang. Mas hanya cinta kamu,""Fizah juga cinta sama Mas."Adi tersenyum senang, ia membawa Hafizah dalam dekapannya. Dicium nya puncak kepala Hafizah.Hafizah menikmati pelukan dari suaminya itu. "Mas," panggilnya tiba-tiba."Iya?""Apa kamu tidak ingin mencaritahu siapa ayah dari anak yang Mbak Lia kandung?" tanya Hafizah yang penasaran.Adi melepaskan pelukannya dan menatap Hafizah lekat. "Jangan berpikiran aku diam karena membiarkan Lia terus menjadi istriku, ya, Sayang? Sejak awal, aku sudah memerintahkan Putra untuk memantau Lia. Aku harap secepatnya dapat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status