Kudaku lari tak terkendali, menyusup jauh ke jantung hutan. Beberapa kali kucoba untuk menarik tali kekang, namun nihil. Kini aku pasrah, berusaha meraih pegangan yang cukup erat agar aku tidak jatuh dan mendapat cidera yang lebih parah. Aku hanya bisa berharap kuda ini akan menghentikan lajunya, karena jika aku terjatuh dengan kecepatan ini, aku mungkin saja akan patah tulang atau kemungkinan terburuknya aku mungkin akan terbunuh.
Hingga saat kaki belakang kuda itu terperosok di lereng bukit. Guncangan hebat yang diakibatkannya mampu membuat genggamanku terlepas. Aku terlempar jatuh dari pelana sementara kuda itu terperosok jatuh ke dasar jurang. Sayup kudengar ringkikan terakhirnya sebelum bunyi gedebuk keras di kejauhan. "Choco!" panggilku histeris. Kuda itu terperosok ke jurang dan membentur bebatuan di lereng yang curam. Tampak di kejauhan siluetnya tak lagi bergerak. Aku meratapi kepergian choco, kuda pertamaku. Sebelum akhirnya tersadar bahwa aku nyaris saja terperosok bersamanya dan mati. Apa yang akan terjadi jika aku mati? Apa semua perjuanganku mengulang waktu akan sia-sia? jika aku mati sekarang, apa aku akan kembali ke kehidupan modernku atau berakhir di sini? Aku berjalan menjauh dari tebing untuk menenangkan diri. Hutan ini cukup lebat, jarak antara pohon satu dengan yang lainnya juga begitu dekat sehingga membuat intensitas cahaya berkurang. "Apa yang baru saja terjadi?" bisikku lirih di tengah kesunyian. Seluruh tubuhku bergetar karena takut. Kucari tempat yang nyaman untuk berlindung. Tak jauh dari sana, aku melihat akar dari sebuah pohon yang begitu besar. Aku berlindung di sana untuk sementara waktu. Awalnya aku bersyukur karena tidak merasakan sakit sama sekali, namun Setelah tubuhku merasa lebih tenang, barulah kurasakan beberapa bagian tubuhku sakit. Adrenalin sialan! makiku dalam hati. Kuputuskan untuk tidur siang di bawah akar pohon itu, berharap rasa sakitku akan mereda di saat aku bagun nanti. Baru sejenak terlelap, aku kembali terbangun dan mendapati langit telah merona merah. Astaga! Apa malam ini aku akan bermalam di hutan? Apa tidak ada seseorang pun yang bersedia mencari keberadaanku? Aku memperhatikan keadaan sekitar, waspada dengan mahluk buas yang mungkin mengintai. Bagaimana jika ada harimau di sini? Ah tidak mungkin! Aku mungkin memang sial, peruntunganku buruk, tapi tidak mungkin aku akan lebih sial dari ini, ini adalah batasku. Jika tahu ini akan terjadi, seharusnya aku membawa korek api. Bagaimana aku akan bertahan di tengah hutan sendirian tanpa api? Aku bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya. Tapi aku tidak bisa diam saja, aku harus melakukan sesuatu. Jika benar tidak ada yang sudi menolong, aku harus menolong diriku sendiri! Sebelum langit benar-benar gelap, aku mengumpulkan ranting-ranting dan daun kering di sekitarku. Dengan pengetahuan seadanya, aku mencoba membuat api dengan menggesekkan dua buah ranting dengan daun kering diatasnya. Aku melakukan itu hingga tanganku terasa perih, tetapi tidak kunjung berhasil. Aku bahkan mulai sangsi jika teori ini bisa berhasil jika dilakukan oleh orang lain. Mungkinkah itu hanya tipuan internet? Aku juga belum pernah membuktikan teori itu. Namun aku terus mencoba, tak ada harapan lain, udara mulai terasa dingin dan hanya inilah harapan hidupku yang terakhir. Samar aku menghirup bau gosong dan aku mulai bersemangat. Benar saja, dari gesekan-gesekan kecil yang ku buat, keluar nyala api. Kecil, sangat kecil hingga beberapa detik kemudian kembali padam. Nyala padam nyala padam begitulah yang terjadi dan terus berulang. Hingga akhirnya mahakaryaku di abad ini tercipta! Aku berhasil membuat api dengan kedua tangan kecilku! Keadaan membaik, meski aku tidak punya makanan, setidaknya dengan api ini, aku tidak akan kedinginan. Aku meringkuk dan mendekatkan diri ke api dan rasa kantuk kembali hinggap. Bukankah aku baru saja tidur tadi siang? Apa ini cara tubuhku melindungi diri dari kelelahan ekstrim? Samar aku mendengar suara langkah kuda, mataku yang semula hampir terpejam seketika kembali terbuka. Apa itu orang suruhan patih? Seto? Atau Kumitir? Bagaimana jika itu bukan salah satu dari mereka? Bagaimana jika itu adalah penyamun yang menghuni hutan ini? Pikirku khawatir. Suara langkah kuda terdengar semakin dekat dan dekat, dalam kepanikan, kuputuskan untuk bersembunyi di balik batang pohon. Aku berharap itu adalah orang dari kediaman patih, tapi jika tidak benar begitu, aku harap itu hanyalah kuda liar. "Anjasmara kaukah itu?" tanya sebuah suara yang amat sangat kukenal. Brian! Maksudku Damarwulan! Damarwulan mencariku! Segera aku keluar dari persembunyianku. "Damar Wulan!" apa kau datang mencariku?" tanyaku antusias. "Tentu saja! Semua orang datang kemari mencarimu! Syukurlah kau selamat!" ujarnya sambil turun dari kuda. "Apa ada yang terluka?" tanyanya lembut. Aku berlari kearahnya untuk memastikan bahwa orang itu benar Damar wulan dan bukan hanya imajinasiku. Semakin dekat jarakku darinya, semakin aku yakin bahwa keberadaannya nyata. Wajah khawatirnya nampak jelas karena cahaya obor yang dibawanya. Padahal aku harus menghindari orang ini, tapi seakan sudah takdir dia terus saja menempel kepadaku. Apa yang harus aku lakukan agar terlepas darinya? Aku menghentikan langkahku untuk menjaga jarak. "Aku baik-baik saja! Hanya beberapa luka kecil" jawabku kaku. sebisa mungkin Aku menghindari kontak mata dengannya. Aku tidak ingin hatiku goyah. Tujuanku datang kemari adalah membuat akhir yang berbeda. Dan semua itu akan sia-sia jika aku jatuh lagi ke dalam pelukan pria ini. Pria yang lebih dari mampu mengguncang hatiku. "Anjasmaraaaaaa.....! Anjasmaraaaaa......!" terdengar sebuah suara yang memanggil namaku. Aku yakin sekali itu adalah suara Kumitir! "Kakang.....! Aku di siniii.....!" teriakku dengan keras agar ia mendengarnya. "Anjasmara! Kaukah itu? Kau masih hidup? Kau ada di mana?" kali ini suara yang berbeda. Suara yang lebih nge bass dan manly. Itu pasti Seto. "Tentu saja aku masih hidup! Aku di sini...!" teriakku lagi lebih kuat. "Di mana?" tanya suara itu lagi. "Di bawah pohon!" "Hei bodoh! Di tempat ini semuanya adalah pohon!" sewot Kumitir kesal. "Kaulah yang bodoh! Ikuti saja arah suaraku! Dasar tak berguna!" sahutku kesal. "Kau bilang apa! Awas saja kalau aku sampai menemukanmu!" teriaknya penuh amarah. "Terserah saja! Dasar bodoh! Lagipula dengan kepala bodohmu itu kau tidak akan menemukanku!" jawabku berani. Damarwulan yang mungkin asing dengan pemandangan ini menatapku penuh curiga. "Sejak kapan kau dekat dengan kakakmu?" tanya Damar wulan penasaran. "Dekat? Kau sebut itu dekat? Yang benar saja!" jawabku kesal. Dia tertawa kecil mendengar ucapanku. Tawa yang begitu sering kudengar, tawa yang begitu sering kurindukan. Aku mengambil langkah mundur agar memperbesar jarak kami. "Kau sedikit berubah" ujarnya lirih kemudian kembali terkekeh geli. Seketika aku panik. Berubah? Apa berubahanku begitu mencolok? bagaimana dia bisa mengetahui itu? Apa Anjasmara dan Damar Wulan memang sedekat itu? "Berubah? Berubah bagaimana? Apa aku tampak aneh?" "Tidak kau tampak lebih cantik!" jawabnya sambil tersenyum. Ia berjalan ke arahku dan mengelus puncak kepalaku. Playboy ini! Jadi dia hanya menyukai make up ku? Apa kondisi kulit Anjasmara begitu buruk?Padahal aku cuma pakai sunscreen dia langsung tergoda! Dan senyuman itu, apa dia berusaha menggodaku? "Kau juga menjadi lebih percaya diri dan terkesan..... menjauhiku" tambahnya lagi dengan ekspresi sedih. Menjauhi dia? Apa Damar wulan sudah mengetahui fakta bahwa Anjasmara menyukainya? Apa dia melakukannya dengan semencolok itu? Yah pria ini tampan sih! Jadi masuk akal jika itu terjadi. "Itu hanya perasanmu saja!" jawabku sekenanya. "Saat awal kita bertemu kau memanggilku dengan sebutan Kakang" jawabnya lagi sambil menatap lurus ke arah mataku. Matanya yang teduh itu memantulkan cahaya api unggun, membuatnya seakan tengah bersinar terang. "Kakang!" ujarku antusias. Bukan karena aku ingin kembali memanggil Playboy itu dengan sebutan kakang, tapi karena Layang Seto dan Kumitir telah muncul dari balik semak. "Ah! Rupanya adik nakalku sedang bersembunyi di sini bersama penjaga kuda!" ujar Seto kesal. Ia melompat turun dari Kudanya dan mengikatkan tali kekang ke sebuah batang kayu. "Apa yang kau bilang tadi?" ucapnya sambil menatapku dengan penuh amarah. "Kakang! Syukurlah kau datang! Aku takut sekali!" aktingku sambil menghambur ke dalam pelukannya. Seto yang sama sekali tidak menyangka tindakanku itu, membeku di tempatnya berdiri sedang Kumitir yang masih berada di atas kudanya, melotot tak percaya. Namun aku mengabaikannya, dengan begini mereka tidak akan memarahiku karena ucapanku tadi kan? Aku melanjutkan aktingku dan mulai menangis sesenggukan di dalam pelukannya. Seto yang kebingungan menatap ke arah kumitir yang masih mematung. Ia melupakan amarah yang tadi sempat menguasainya dan membalas pelukanku dengan lembut. siapa sangka pria ini berhati lembut, lantas kenapa dia sangat membenciku saat pertama kali datang kemari? Kumitir yang sudah turun dari kudanya berdiri dengan kikuk di sebelahku. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dengan canggung. Bingung harus mengucapkan apa pada saat seperti ini. "Baguslah kau selamat. Jadi aku bisa dapatkan batu ajaib itu!" ujarnya kaku. Sepertinya dia benar-benar tidak tahu apa yang harus diucapkan pada adiknya yang barusan hilang di hutan. Ini mengonfirmasi sesuatu. Sikapnya yang canggung dan malu-malu membuktikan bahwa mereka tidak membenci anjasmara. Mungkin satu-satunya orang yang membenciku di kediaman Lohgender adalah Patih Lohgender itu sendiri. Tak lain tak bukan karena dia berpikir bahwa Anjasmara bukanlah putrinya. "Ayo kita pulang! Ibu sangat menghawatirkanmu!" ujar Seto setelah aku melepaskan pelukanku. "Tapi kakang, bukankah hari sudah malam? Apa tidak lebih baik kita kembali besok saja?" saranku padanya. "Tidak bisa, hutan ini tidak aman! Banyak perampok dan pembunuh bersembunyi di dalamnya. Kau tahu Anjasmara, manusia itu lebih mengerikan dari binatang buas!" bentak Seto kesal. "Aku kan hanya bertanya, tidak perlu marah begitu. Apa kau tahu caranya kembali?" tanyaku memastikan. "Tentu saja!" jawab Kumitir yakin. "Kami kan tidak bodoh seperti kau!" timpal Seto. "Baiklah ayo kita pulang!" jawabku sambil tersenyum. Aku mematikan api unggun yang kubuat dengan susah payah, sementara para pria mempersiapkan kuda mereka. "Selamat tinggal apiku!" ujarku sedih. Padahal aku membuat api ini dengan susah payah. "Di mana kudamu? siapa itu namanya? koko?" tanya Kumitir tiba-tiba. "Choco, dia terperosok ke dalam jurang" jawabku sedih. Mereka terdiam dan saling berpandangan satu sama lain. Tampak di wajahnya guratan penyesalan. "Maaf!" ujar Kumitir lirih. Mataku membulat saat aku mendengar permintaan maafnya. "Barusan tadi, apa yang kau katakan?" tanyaku menggodanya. Wajahnya yang semula merasa bersalah berubah kesal. Ini baru kakakku. jujur saja mendengarnya meminta maaf membuatku merinding. "Lupakan saja! aku tidak mengatakan apa pun!" sewotnya kemudian naik ke atas kudanya. Aku berjalan menuju kuda saat itu aku menyadari tiga tangan terulur padaku. Masing-masing dari mereka ingin aku menyambutnya. Mereka saling pandang satu sama lain sebelum akhirnya Seto dan Kumitir menurunkan tangan mereka secara bersamaan. "Terserahlah! Kau bisa naik kuda dengan kakang Damarmu!" ujar Kumitir kesal. Seto juga tampak membuang muka seakan setuju dengan ucapan Kumitir. Sepertinya aku mengerti. Mengapa mereka begitu membenciku. Itu adalah kecemburuan sosial. Jelas saja, siapa yang tidak akan kesal jika adik yang paling mereka sayangi lebih dekat dengan orang asing dan juga menyebutnya dengan sebutan kakang? Hubungan kami menjadi renggang karena kedatangan Damarwulan. "Aku akan naik dengan kakang Kumitir!" ujarku sambil tersenyum. Tak peduli seberapa menyebalkannya dia, dia mengucapkan permintaan maafnya padaku, dan itu sangat luar biasa. Aku juga ingin mereka berhenti berpikir aku tergila-gila pada Damarwulan. Kumitir hanya menatapku untuk beberapa waktu. Ia tampaknya tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Kemarikan tanganmu dasar bodoh!" ujarku kesal. Biasanya dia akan sangat marah saat aku memanggilnya bodoh, tapi tidak dengan kali ini. Dia menurunkan egonya dan bahkan mengulurkan tangannya untuk meraihku. Begitulah akhir dari malam panjang itu. Aku berkuda bersama Kakang Kumitir dibelakang kakang Seto yang memimpin jalan dan Damarwulan berada di belakang kami untuk mengawal. "Kau tahu Anjasmara, Damar Wulan selalu menggoda para dayang dengan wajah tampannya itu!" ucap Kumitir tiba-tiba di tengah perjalanan. Aku tidak tahu mengapa dia mengatakan itu padaku, aku juga tak tahu kata-katanya benar atau tidak, tapi kali ini aku hanya ingin setuju dengannya saja. "Benarkah?" tanyaku pura-pura terkejut. "Benar! Dia bukan lelaki yang baik untukmu! Kau jangan tertipu karena wajah tampannya saja!" tambahnya lagi. "Lalu pria seperti apa yang baik untukku kakang?" tanyaku memancingnya. "Entahlah. Tapi pria yang gila wanita itu tidak baik Anjasmara. Carilah pria yang akan setia padamu seperti Romo pada ibu!" jawabnya yakin. Sebuah jawaban yang sama sekali tidak terduga. "Tapi Romo sangat kasar dan galak!" bantahku mentah-mentah. "Kan aku bilang setianya saja Anjasmara! Kalau begitu carilah yang sepertiku! Aku baik kan? Aku juga setia! Aku punya banyak teman di kota, kau mau diperkenalkan?" bisik Kumitir lirih. "Entahlah kakang, aku sedang tidak ingin mencari suami. Tapi untuk teman boleh juga!" jawabku tegas. Dia diam saja tak mengomentari keputusanku. Kami berhasil keluar dari hutan. Tampak kediaman Lohgender semakin dekat dan dekat, hinga tampak jelas wajah cemas Ibu yang berdiri sambil menangis di depan pintu. "Kita sudah pulang ke rumah!" ujar Kumitir lirih. "Kakang benar! kita sudah sampai Rumah!" ujarku membenarkannya. Air mataku mengalir deras saat tahu orang-orang menghawatirkanku. Suatu hal yang tidak pernah kurasakan di kehidupan moderenku karena aku seorang yatim piatu. Mereka menyambutku dengan tangis bahagia. Sebuah rumah..... Sesuatu yang kumiliki di masa modern, namun tidak dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Tampak Romo hanya memandangku dari kejauhan lalu masuk ke dalam rumah. Yah... Meski tidak begitu sempurna, kupikir aku mulai menyukai tempat ini."Kanjeng Ratu!" teriakku terkejut. "Tenang saja Anjasmara, ini tidak akan sakit" ujarnya sambil menyeringai. Dia terus melangkah ke arahku dengan bongkahan besi panas di tangannya. "Tolong bijaklah Kanjeng Ratu! Saya adalah putri dari Patih anda!" aku berusaha menyadarkannya. "Patih Lohgender tidak menyayangimu, jelas sekali aku melihat perbedaan perlakuannya terhadap kau dan dua saudara laki-lakimu! Dia pasti tidak keberatan dengan ini. Terlebih ini adalah keinginanku. kau tau? Patih selalu memberikan apa pun yang kumau!" ujarnya tenang. tidak diragukan lagi, ucapannya memang benar adanya. Patih Lohgender selalu melihat Kanjeng Ratu sebagai putrinya, jadi ia selalu menjunjungnya dan memanjakannya. Astaga aku memang sempat berpikir ini akan buruk, tapi tak pernah kusangka jika akan seburuk ini. "Dayang! Ambilkan besi panas dari dapur!" titahnya yakin. Para Dayang memang tampak ragu, tapi mereka tetap menuruti permintaan gila dari Ratu mereka. Habislah riwayatku, di dunia tanpa
Bisnis penjualan batu ajaib sukses besar. Meski terdengar agak klenik, namun fenomena ini lebih tepat disebut dengan fomo. Berkat dua orang salesman yang berbakat, aku meraup banyak keuntungan. Yah meski para salesman itu juga meminta beberapa bongkah batu lagi sebagai bonus, tapi kupikir itu sepadan dengan kinerja mereka.Hubunganku dengan Seto dan Kumitir menjadi lebih dekat dan harmonis, mereka tidak lagi segan menunjukkan kasih sayangnya padaku. Kedekatan itu mampu memulihkan pamorku di antara para Dayang. Kini tidak ada lagi Dayang yang berani membantah permintaanku. Sekali lagi aku bersyukur, kehidupanku di kediaman lohgender kini terasa seperti di surga.DamarWulan? Terakhir aku melihat batang hidungnya adalah saat aku tersesat di hutan, sejak saat itu aku tidak lagi bertemu dengannya. Mungkin karena aku yang terlalu fokus pada bisnisku, atau dia memang tengah menghindariku. Peduli apa? Keadaan ini justru bagus buatku. Dengan begini, kemungkinan kami bersama semakin kecil.Aku
Aku memang sempat berpikir bahwa tempat ini akan ramai, tapi tak kusangka akan seramai ini. Terlebih lagi semua orang menatap ke arahku, apa ada sesuatu yang salah dengan penampilanku? Aku sudah mengeceknya beberapa kali sebelum berangkat dan semuanya tampak baik-baik saja. Awalnya aku sempat merasa gugup, tapi aku yakin dengan keberadaan Seto dan Kumitir bersamaku, aku akan aman. Meski kemampuannya tidak begitu mumpuni, tapi aku yakin mereka akan melakukan apa pun untuk menjagaku.Semua orang yang hadir di tempat ini bukan orang biasa, bisa dibilang ini adalah perkumpulan elit. Sebuah perkumpulan anak-anak manja dari para petinggi Majapahit. Tempat yang buruk untuk mencari jodoh, tapi tempat yang sangat tepat untuk berbisnis.Mereka semua berkumpul di pusat kesenian untuk menonton pertunjukan tari. Puluhan penari muda didandani begitu menggoda dan ditampilkan di hadapan para tuan dan nona muda dari keluarga terpandang. Mungkin tempat ini lebih tepat desebut dengan diskotik zaman kera
"Anjasmara! Bukalah matamu! Dia hanya seorang tukang kebun! Meski dia tampan, tidakkah kau lihat sikapnya yang mengesalkan?" ujar Seto naik pitam."Aku tidak peduli Kakang! Aku mencintai Damar Wulan! Aku tidak ingin kehilangan dia! Tidak peduli apa katamu, aku tetap ingin menikah dengannya!" ucapku dengan napas membara."Apa dia juga mencintaimu seperti kau mencintainya?" tanya Kumitir dengan sinis."Tentu saja!" jawabku yakin."Oh adikku yang bodoh, kau pikir dia akan ikut sayembara ini jika dia mencintaimu? Apa kau sudah tahu hadiah apa yang Kanjeng Ratu tawarkan sebagai imbalan?" seru Seto memojokkanku.Aku tahu ucapannya terdengar rasional, aku bahkan tak mampu menjawab pertanyaannya, tapi hatiku berkata lain. Aku benar-benar mencintai Kakang Damarwulan, hatiku bahkan sampai sakit rasanya. Aku harus menikahinya sekarang agar tidak kehilangan dia."Dia menginginkan sesuatu Anjasmara, dan kau tak memiliki itu! kau melihat bahwa dia menginginkan negeri ini? sesuatu yang hanya mampu d
Kudaku lari tak terkendali, menyusup jauh ke jantung hutan. Beberapa kali kucoba untuk menarik tali kekang, namun nihil. Kini aku pasrah, berusaha meraih pegangan yang cukup erat agar aku tidak jatuh dan mendapat cidera yang lebih parah. Aku hanya bisa berharap kuda ini akan menghentikan lajunya, karena jika aku terjatuh dengan kecepatan ini, aku mungkin saja akan patah tulang atau kemungkinan terburuknya aku mungkin akan terbunuh.Hingga saat kaki belakang kuda itu terperosok di lereng bukit. Guncangan hebat yang diakibatkannya mampu membuat genggamanku terlepas. Aku terlempar jatuh dari pelana sementara kuda itu terperosok jatuh ke dasar jurang.Sayup kudengar ringkikan terakhirnya sebelum bunyi gedebuk keras di kejauhan."Choco!" panggilku histeris. Kuda itu terperosok ke jurang dan membentur bebatuan di lereng yang curam. Tampak di kejauhan siluetnya tak lagi bergerak. Aku meratapi kepergian choco, kuda pertamaku. Sebelum akhirnya tersadar bahwa aku nyaris saja terperosok bersama
Aku kembali ke kediaman dengan pakaian basah. Damarwulan si playboy itu memang seorang penggoda! Tidak heran kalau di masa depan ia akan memiliki empat orang istri! Terserah sih mau berapa pun, yang pasti aku tidak akan menjadi salah satunya!Seseorang mengetuk pintu kamarku."Masuklah!""Ndoro Ayu, sudah waktunya sarapan, semua orang sudah menunggu di ruang makan!" ujar Tiwi saat masuk ke dalam kamarku."Oh dewa! Kenapa pakaian Ndoro Ayu basah kuyup begini?" serunya terkejut begitu melihat keadaanku."Ah iya tadi aku pergi mandi!" jawabku kikuk."Ndoro kembali ke rumah dengan keadaan seperti ini? Ndoro, kalau Yang Mulia Patih melihatnya, Ndoro ayu bisa dimarahi habis-habisan!" omelnya panjang lebar."Karena itu kau jangan bilang ya!" pintaku dengan wajah memelas."Sekarang bantu aku ganti baju! Oh iya!" aku mengambil sebuah kain dan memberikannya pada Tiwi."Aku menyimpan kudapan ini untukmu!""Ndoro ayu! Terima kasih!" ujar Tiwi tersentuh. Ia berhenti sejenak kemudian kembali tersad