Aku kembali ke kediaman dengan pakaian basah. Damarwulan si playboy itu memang seorang penggoda! Tidak heran kalau di masa depan ia akan memiliki empat orang istri! Terserah sih mau berapa pun, yang pasti aku tidak akan menjadi salah satunya!
Seseorang mengetuk pintu kamarku. "Masuklah!" "Ndoro Ayu, sudah waktunya sarapan, semua orang sudah menunggu di ruang makan!" ujar Tiwi saat masuk ke dalam kamarku. "Oh dewa! Kenapa pakaian Ndoro Ayu basah kuyup begini?" serunya terkejut begitu melihat keadaanku. "Ah iya tadi aku pergi mandi!" jawabku kikuk. "Ndoro kembali ke rumah dengan keadaan seperti ini? Ndoro, kalau Yang Mulia Patih melihatnya, Ndoro ayu bisa dimarahi habis-habisan!" omelnya panjang lebar. "Karena itu kau jangan bilang ya!" pintaku dengan wajah memelas. "Sekarang bantu aku ganti baju! Oh iya!" aku mengambil sebuah kain dan memberikannya pada Tiwi. "Aku menyimpan kudapan ini untukmu!" "Ndoro ayu! Terima kasih!" ujar Tiwi tersentuh. Ia berhenti sejenak kemudian kembali tersadar dan segera membantuku berpakaian. Pakaian di jaman ini sangat sulit dan tidak nyaman, tapi dengan bantuan dari Tiwi semua kesulitan itu terasa mudah. "Antar aku ke ruang makan!" ujarku lagi karena aku tidak tahu di mana letak ruangan itu. Tiwi memasang wajah heran tapi masih mengikuti perintahku tanpa bertanya lebih lanjut. "Mari ikut saya!" Tiwi berjalan mendahului ku dan memimpin jalan. Ini pertama kalinya aku melihat seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Semua tampak tidak nyata. Seperti sebuah istana kayu yang sangat bersih dan rapi, kulihat beberapa ruangan yang tidak kuketahui fungsinya. "Silahkan Ndoro Ayu" ujar Tiwi sambil menunduk sopan. Setelah aku berjalan ke ruang makan, ia segera undur diri. Sesampainya aku di sana, semua anggota keluarga Lohgender telah menunggu. Mereka duduk di tepi meja sambil memandangku dengan tatapan tidak sabar. Tampak di tengah ruangan terdapat sebuah meja yang penuh dengan hidangan. Wajah sang Patih tampak tidak suka. Apa dia sudah menunggu lama? "Maaf atas keterlambatan saya Romo!" mulutku berucap tanpa aku sadari seakan itu telah menjadi kebiasaanku. Patih Lohgender tidak menjawab dan hanya membuang muka, sementara Ibu membimbingku untuk duduk di meja makan. Aku duduk di sebelah ibu, sedang di seberang meja duduklah para pria di rumah ini. Apa orang pada masa ini selalu membeda-bedakan sesuatu berdasarkan jenis kelamin? Tanpa ada pembicaraan kami mulai makan. Siapa sangka menu yang tersaji di atas meja terasa begitu enak. Aku makan banyak karena merasa sangat lapar. Bagaimana tidak, di pesta semalam aku tidak sempat makan karena orang-orang yang mengajakku berbicara soal batu ajaib yang kubawa. "Wah Anjasmara! Kau makan banyak sekali!" ujar Kumitir mengomentari caraku makan. Seto tampak menyenggol lengannya mengode agar dia diam. Kumitir yang menyadarinya kemudian menutup mulut. "Iya aku lapar sekali kakak!" jawabku agar pembicaraan ini tidak semakin panjang. "Jaga tingkah lakumu Anjasmara! Kau itu perempuan!" ujar Patih yang merupakan ayahku tiba-tiba. "Maaf Romo!" jawabku mencoba bersabar. Jika aku terlibat perdebatan dengan orang ini, aku hanya akan mendapatkan masalah yang lebih besar. "Ngomong-ngomong tentang perilaku, aku menyadari ada yang berbeda darimu Anjasmara. Kau yang sebelumnya tidak pernah mau tampil, malah berusaha mencuri panggung milik Kanjeng Ratu! Tampak sangat janggal. Dan juga, dari mana kau mendapatkan batu-batu berharga itu?" tanya Romo berusaha menginterogasiku. Sudah pasti dia tak terima, karena dia pikir wanita paling mulia di seantero majapahit dan duduk di atas singahsana itu adalah putrinya, bukan aku. "Saya menemukannya secara tidak sengaja Romo, saja juga tidak berniat untuk merebut panggung Kanjeng Ratu. Saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk beliau. Seperti yang selalu Romo ajarkan" ujarku sambil menunduk. Sampai aku bisa berdiri sendiri, aku harus terus menundukkan kepalaku seperti ini dihadapannya. Aku akan menahannya setidaknya sampai hari itu tiba. Hari dimana aku cukup kuat untuk berdiri dengan kedua kakiku. Patih Lohgender segera bangkit dari duduknya. Ditatapnya aku dengan pandangan dingin. Ada apa ini? Apa aku salah bicara? "Aku akan berangkat ke istana!" ujarnya dingin kemudian pergi meninggalkan meja makan. Aura mencekam yang tadinya menyelimuti ruang makan langsung terangkat setelah kepergiannya. "Kau membuat Romo marah" bisik Seto padaku. "Biar saja dia marah!" ujarku enteng. Ibu, Seto dan Kumitir melotot saat mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. "Maksudku, tidak ada yang bisa kulakukan jika Romo sudah marah kan? Penjelasan yang tidak penting hanya akan menambah amarahnya" ralatku gugup. "Kau memang berbeda Anjasmara. Seperti kata Romo. Memang ada sesuatu yang aneh!" ucap Kumitir sambil menatapku penuh selidik. "Apanya yang Aneh? Sifatku mungkin sedikit berubah, tapi aku tetaplah Anjasmara! Ngomong-ngomong, apa yang akan kakang lakukan pagi ini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Tidak banyak, kami akan latihan berkuda dan memanah!" jawab seto lirih kemudian menyendokkan nasi ke mulutnya. Aha! Ini adalh yang paling aku tunggu! "Aku ikut! Ajari aku berkuda dan memanah!" ujarku antusias. Bruuust.... Seketika Seto menyemburkan nasi yang ada di dalam mulutnya dan tersedak. Ibu yang panik segera mengambilkan segelas air. "Kau? Berkuda?" tanya Kumitir heran sambil menunjuk ke arahku. "Iya aku ingin mempelajarinya!" jawabku yakin. "Apa kau tidak ingat kejadian saat terakhir kau mencoba menunggang kuda? Bukankah semenjak jatuh kau enggan berlatih lagi?" tanyanya lagi tidak percaya. Ah.... Rupanya pernah terjadi kejadian seperti itu. Apa Anjasmara memiliki trauma terhadap kuda. Aku tidak pernah tau itu, apa ini tampak begitu mencurigakan jika aku tiba-tiba ingin kembali berlatih? "Aku sudah melupakan masa lalu kelam itu dan ingin memulai lembaran yang baru! Aku yakin jika kakang yang melatihku, aku akan bisa menguasainya dengan cepat" sahutku dengan nada mantap. "Tidak mau! Mengajari wanita bukanlah hal yang menyenangkan!" jawab Seto yang telah sembuh dari tersedaknya. Ah anak ini, rupanya tidak mudah membujuknya. Haruskah aku menggunakan kartu trufku untuk membuatnya setuju? "Kakang lupa perjanjian kita? Bukankah baru tadi pagi kita membuat kesepakatan itu? Jika kau bersedia mengajariku berkuda, aku akan memberimu bonus!" Ibu yang sejak tadi menyimak pembicaraan kami tampak bingung dan penasaran. "Perjanjian apa yang kau maksud Anjasmara?" tanya Ibu khawatir. "Bukan perjanjian penting ibu! Sepertinya kakang bahkan sudah lupa! Akulah yang bodoh karena menganggap itu begitu penting" ujarku dengan wajah sedih kemudian bangkit dari tempat dudukku. "Kami tidak lupa!" ujar mereka panik secara bersamaan. Setelah dilihat-lihat mereka memang terlihat sangat mirip. "Benarkah? Tapi aku tidak yakin. Bukankah kakang barusan menolak permintaanku, jadi kupikir kakang sudah lupa" tambahku lagi sambil memutar bola mataku. "Menyebalkan sekali......!" ujar kumitir sambil menggebrak meja. "Ikut kami!" tambahnya lagi lalu meninggalkan ruangan. Seto dan Kumitir berdiri dan berjalan meninggalkan meja makan. Aku yang masih tak percaya dengan apa yang terjadi, duduk mematung di kursiku. "Hei lamban! Cepat ikuti kami atau kau akan ketinggalan!" bentak Seto kesal. "Ah iya.....!" aku segera mengikuti langkah mereka dengan antusias. "Anjasmara, kau mau kemana?" tanya ibu khawatir. "Aku mau belajar menunggang kuda ibu!" "Tapi sejak kapan kau dekat dengan Seto dan Kumitir? bukankah mereka selalu mengganggumu?" "Entahlah, mungkin sejak tadi pagi?" ujarku sambil menggendikkan bahu. "Ibu tidak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku akan kembali saat tengah hari" ucapku berusaha menenangkannya. "Anjasmaraaaa!" teriak Seto lagi dengan garang. "Iyaa.... Aku dataaaang!" jawabku sambil berlari mengikuti langkah mereka. Kami keluar lewat pintu belakang menuju kandang kuda. Aku baru tahu jika bangunannya sangat sederhana, kukira para bangsawan sangat menghargai kuda-kuda mereka, namun rupanya aku keliru. Aku memperhatikan sekitar, tak jauh dari sana terdapat pondok kecil yang tampak terawat. Jika tebakanku benar, itu mungkin pondok milik DamarWulan. Benar saja, saat aku mendekat, aku melihat Damar Wulan yang keluar dari pondok itu, kemudian memberi makan kuda-kuda yang ada di kandang. "Ini kuda milikku, dan ini milik Seto, yang ini milik ibu, dan yang ada di ujung itu milikmu!" ujar Kumitir menjelaskan satu persatu. Aku berjalan mendekat ke arah kuda yang katanya milikku. Tampak kuda itu berwarna coklat terang dengan surai yang berwarna kemerahan. Kuda mulikku tampak lebih kecil dibanding yang lainnya. Kucoba untuk menyentuh kuda itu, awalnya aku ragu, siapa sangka dia tampak nyaman saat aku menyentuhnya. Apa ini adalah kuda yang menjatuhkanku saat masih kecil? kuda lucu ini? "Sepertinya dia masih mengenalmu!" seru Seto. Tampaknya perkataannya itu benar, dia tampak mengenalku dengan baik. tapi yang begitu mengejutkan adalah keluarga ini tetap menyimpan kuda milikku meski aku lama tidak menggunakannya. sungguh kebaikan tidak terduga pada putri yang diabaikan sepertiku. "Aku akan memanggilnya dengan nama Choco" ujarku lirih. "Kau menamai kudamu?" sambar Seto sambil tertawa. "Apa kau tidak ingat saat dia menjatuhkanmu dahulu?" tambahnya lagi. Ah rupanya benar, ini adalah kuda yang memberi trauma pada Anjasmara? apa aku akan baik-baik saja kali ini? bagaimana jika kejadian yang sama kembali terulang? "Apa kau mulai takut? Jika kau takut sebaiknya tidak usah saja!" ujar Seto mencoba menakutiku. "Aku tidak takut!" jawabku yakin. Aku menatapnya dengan tatapan garang, mencoba menunjukkan ketangguhanku. "Ya sudah kalau tidak takut! Hei Damar, keluarkan kuda milik adikku ini! Dia terus merengek minta diajari menunggang kuda!" ujar Seto pada Damar wulan. Damar wulan segera mengeluarkan kuda milikku dan memasang pelananya. "Apa Ndoro Ayu sudah yakin ingin belajar kuda?" tanyanya memastikan. "Iya, aku ingin mencobanya!" jawabku yakin. Tekadku sudah bulat. Jika aku ingin bertahan hidup di jaman ini, setidaknya aku harus mempelajari dasar-dasarnya. Dan transportasi adalah hal paling dasar dalam bertahan hidup. aku ingin terus hidup dan mencapai kebahagiaan yang diinginkan oleh Anjasmara, oleh diriku di masa lalu. Setelah semuanya terpasang, Damarwulan membantuku untuk naik. Dengan sekali angkat, aku berhasil duduk di punggung kuda itu. Sepertinya dia lebih kuat dibanding brian di masa depan. Apa itu karena Damar Wulan bekerja dengan ototnya di masa ini? "Keluarkan kuda milik kami juga!" perintah Kumitir pada Damar wulan. Dengan sigap dia mengeluarkan kedua kuda yang lainnya. Tampaknya dia cukup cekatan dengan pekerjaan ini. jujur saja aku takjub, melihat Brian yang dapat melakukan hal lain selain membuat film. "Jika kau ingin bisa mengendalikan kuda dengab baik, kau harus memahaminya" saran kumitir kepadaku. "Pegang tali kekangnya dengan benar. Jangan terlalu kuat, jangan terlalu longgar" tambahnya lagi sambil memperagakannya langsung padaku. Sepertinya kuda memiliki kemiripan dengan motor, tidak boleh terlalu keras atau terlalu longgar. Aku pasti bisa menaklukkan hewan besar ini jika benar dia mirip dengan rangka besi itu. Aku menarik tali kekang dengan hati-hati dan kuda itu mulai berjalan maju. "Sepertinya aku bisa!" ujarku antusias. "Terlalu dini untukmu menyebut kata bisa!" tegur Kumitir yang telah berada tepat di sampingku. Kami mulai berkuda di tanah lapang yang ada di belakang kediaman patih. "Kupikir dia memang bisa! Lihat dia sudah melakukannya dengan baik!" Sanggah Seto dengan sambil tertawa. "Bagaimana bisa kau menjadi lebih baik setelah tiga tahun tidak menunggang kuda?" tanya Kumitir heran. "Kupikir itu karena aku telah membuang rasa takutku!" jawabku riang. Kami terus berkuda hingga matahari mulai meninggi. Semakin jauh dan jauh dari kediaman. Jika kedua orang ini meninggalaknku di sini, apa aku bisa kembali dengan selamat? pikirku waspada. Mengingat sifat mereka, itu bukanlah sesuatu yang mustahil. "Kalau kemampuanmu memang sudah membaik, kupikir kau bisa ikut kami berburu!" ujar seto bersemangat sambil mengambil busurnya yang tergantung di punggung. Berburu? Belum sempat aku bertanya, dia sudah berkendara laju dan masuk ke dalam hutan yang ada di belakang bukit. Layang Kumitir menatapku dengan wajah menantang, kemudian mengejar kakaknya yang berkendara menuju hutan denga suara bersemangat. Aku yang tertinggal di belakang mulai ragu, haruskah aku mengikuti mereka atau tidak. Aku mungkin sudah bisa, tapi kemampuanku masih belum memadai untuk melakukan perburuan di hutan. Aku menengok ke belakang, kediaman Lohgender tampak sangat kecil, apa kami sudah berkuda terlalu jauh? Haruskah aku kembali sendirian tanpa Seto dan Kumitir? Apa benar yang ada di sana adalah rumah Lohgender dan bukan rumah lain, lagipula bentuknya mirip-mirip. Setelah pergolakan batin yang panjang, kuputuskan untuk ikut mereka. Bukankah mereka sudah berjanji akan bertingkah baik padaku? Mereka tidak akan berani macam-macam kepadaku. Aku masuk ke dalam hutan yang sunyi dan rimbun itu. Ke mana mereka pergi? Apa mereka meninggalkanku sendirian? "Kakang! Kakang ada di mana?" teriakku khawatir "Kakang! Jangan tinggalkan aku!" panggilku lagi namun tidak ada jawaban. Sial sepertinya mereka sudah masuk jauh ke hutan, aku harus kembali sebelum aku semakin tersesat ke dalam hutan. Aku naif sekali, tidak mungkin mereka akan baik padaku begitu saja. Aku berbalik arah menuju jalan keluar, seketika terdengarlah suara tawa dari dua orang lelaki. "Hahaha.... Kau dengar itu? Adik kecil kita menangis ketakutan!" ujar Kumitir yang rupanya bersembunyi di balik pohon. "Kakang..... Kakang..... Hahaha.... Sudah kuduga dia memang penakut" sahut Seto yang juga bersembunyi di balik pohon. Mereka semua tampak senang dan tertawa terpingkal hingga benar-benar puas. Tapi tidak denganku. Aku merasa kesal dan marah. Pria-pria bodoh ini menyebalkan sekali! Ingin rasanya aku memukul belakang kepala mereka. Grrr..... Terdengar auman dari arah hutan. Seketika mereka berhenti tertawa. Aku yang melihat gelagat aneh mereka mulai waswas. Mereka menjalankan kuda mereka ke arahku dengan wajah serius. "Jangan bercanda!" ujarku murka. "Aku tidak sedang bercanda, kupikir itu adalah macan" bisik Kumitir di telingaku. Seketika bulu kudukku merinding. Aku mulai takut akan apa yang akan terjadi. "Apa kau yakin? Lalu aku harus bagaimana?" tanyaku khawatir. mereka hanya diam saja, hanya memutar balik kudanya dengan perlahan. Aku menelan air liurku dengan susah payah, tenggoroknku tercekat. Dengan perlahan aku mengubah arah kudaku, seperti apa yang dilakukan Seto dan Kumitir. Siap sangka seekor harimau jawa muncul tepat di depan kudaku, mencegat perjalanan kami dan mengeram mengerikan. Aku mulai panik, terlebih setelah kusadari bahwa kuda yang kutunggangi begitu ketakutan saat melihat mahluk mengerikan itu. "Jangan takut, harimau tidak memangsa manusia. dia akan segera pergi setelah melihat yang dihadapinya melampaui kemampuannya. Lagipula kuda ini sudah dilatih untuk berburu" bisik Seto lirih. "Tenanglah dan jangan membuat gerakan yang tiba-tiba!" kali ini giliran Kumitir yang memberika arahan. Jujur aku merasa aman saat mereka mengatakan itu. Tapi samar kurasakan kuda ini begitu takut pada harimau jawa yang tengah menggeram di depan kami. "Kakang, kuda mana yang telah di latih untuk berburu?" tanyaku mencoba memastikan. "Kami sering menunggang kuda untuk berburu, jadi mereka sudah terbiasa meski bertemu macan atau beruang sekakipun!" jawab Seto mencoba menenangkanku. "Bagaimana dengan kudaku, apa seseorang pernah menggunakannya untuk berburu?" Seketika Seto dan Kumitir saling melempar pandang, mereka juga tampaknya baru menyadari sesuatu. Kurasakan darahku berdesir saat melihat ekspresi yang dipasang kedua kakak bodoh itu. "Sial!" ucap kami bertiga secara bersamaan. Macan itu menyergap kearahku dengan tiba-tiba seakan bisa membaca rasa takut yang dirasakan oleh Choco. Sialnya saat itu juga Choco berbalik arah dan berlari tunggang langgang menuju ke dalam hutan. Membawaku yang tengah duduk ketakutan di punggungnya.Seseorang meyiram wajahku dengan air. Aku mengerjap beberapa kali agar segera tersadar dari tidurku. Kurasakan kepalaku berputar hebat. Aku tahu arak ini telah tercampur dengan obat, tapi tidak pernah kusangka akan sekuat ini. Apa yang sebenarnya anak itu masukkan ke dalamnya."Dasar tidak berguna! Anjasmara pergi dan kau malah enak-enakan tidur!" seru sebuah suara menarikku ke dunia nyata."Tuan muda!" ujarku saat kesadaranku telah kembali."Katakan apa yang terjadi!" teriak Kumitir tepat di telingaku. Dia benar-benar berisik! Haruskah aku memukul wajahnya?"Kemarin sore, pengawal Ndoro ayu menawari saya arak ini. Setelah saya meminumnya, kesadaran saya menghilang. Apa maksud anda Ndoro ayu pergi?" ujarku berakting tidak tahu menahu atas pelarian Anjasmara."Gadis sialan! Aku menyuruhnya mengantar teh dan menghibur Anjasmara, tapi dia malah membawa adikku pergi!" ujar Seto murka."Ini salahku! Anjasmara pasti sangat ketakutan sampai memutuskan untuk pergi dari rumah. Seharusnya kita
Kami terus berkuda menembus malam tiga jam lamanya. Beberapa kali aku hampir kehilangan kesadaran karena kantuk yang mulai mengambil alih tubuhku."Ndoro! Sepertinya matahari akan segera terbit, sebaiknya kita istirahat sebentar di sini!" saran Tiwi karena khawatir dengan keadaanku."Apa Singasari sudah dekat?" tanyaku padanya dengan lemas.Awalnya kupikir perjalanan ini mudah, tapi begitu menjalaninya, aku tersadar bahwa perjalanan ini tidaklah mudah sama sekali. Berbeda dengan perjalanan menggunakan motor, menunggang kuda sangat menguras tenaga. Terlebih kekhawatiran akan keberadaan bandit. Karena wilayah ini, didominasi oleh pepohonan yang rindang. Tidak ada satupun rumah warga yang tampak di mataku.Jika di dunia moderen, seharusnya aku sudah sampai satu jam yang lalu, karena waktu yang dibutuhkan untuk berangkat dari Trowulan atau Mojokerto ke Singasari atau biasa disebut malang seharusnya hanya membutuhkan dua jam perjalanan."Kita sudah dekat Ndoro ayu, jika perkiraan saya bena
"Astaganaga!" teriakku tanpa sadar.Panik, takut dan khawatir menguasai diriku saat melihat Tiwi berdiri di depan pintu."Kenapa Ndoro ayu melompat keluar dari jendela? Kenapa barang-barang yang telah kita siapkan juga ada di luar?" tanya Tiwi dengan wajah curiga."Tiwi, ini tidak seperti yang kau pikirkan" ujarku asal. Kepalaku sibuk menyusun kata-kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan ini."Sudah saya duga!" ujarnya lirih."Tapi Ndoro Ayu, anda tidak bisa pergi dari kediaman ini!" ujarnya lagi.Seketika kepalaku terasa kosong saat ia menodongku seperti itu. Aku segera memikirkan siasat untuk membujuknya. Bagaimana caranya? Haruskah aku menyogoknya dengan uang? Apa itu akan berhasil?"Anda tidak bisa pergi tanpa bantuan saya! Sebagai imbalannya, saya ingin anda membawa serta saya turut serta dalam pelarian!" ucapnya lagi membuatku bingung."Ke Kenapa kau ingin ikut aku? Kau punya kehidupan yang nyaman di sini" tanyaku dengan terbata-bata."Kehidupan nyaman yang saya rasakan sekara
"Kanjeng Ratu!" teriakku terkejut. "Tenang saja Anjasmara, ini tidak akan sakit" ujarnya sambil menyeringai. Dia terus melangkah ke arahku dengan bongkahan besi panas di tangannya. "Tolong bijaklah Kanjeng Ratu! Saya adalah putri dari Patih anda!" aku berusaha menyadarkannya. "Patih Lohgender tidak menyayangimu, jelas sekali aku melihat perbedaan perlakuannya terhadap kau dan dua saudara laki-lakimu! Dia pasti tidak keberatan dengan ini. Terlebih ini adalah keinginanku. kau tau? Patih selalu memberikan apa pun yang kumau!" ujarnya tenang. tidak diragukan lagi, ucapannya memang benar adanya. Patih Lohgender selalu melihat Kanjeng Ratu sebagai putrinya, jadi ia selalu menjunjungnya dan memanjakannya. Astaga aku memang sempat berpikir ini akan buruk, tapi tak pernah kusangka jika akan seburuk ini. "Dayang! Ambilkan besi panas dari dapur!" titahnya yakin. Para Dayang memang tampak ragu, tapi mereka tetap menuruti permintaan gila dari Ratu mereka. Habislah riwayatku, di dunia tanpa
Bisnis penjualan batu ajaib sukses besar. Meski terdengar agak klenik, namun fenomena ini lebih tepat disebut dengan fomo. Berkat dua orang salesman yang berbakat, aku meraup banyak keuntungan. Yah meski para salesman itu juga meminta beberapa bongkah batu lagi sebagai bonus, tapi kupikir itu sepadan dengan kinerja mereka.Hubunganku dengan Seto dan Kumitir menjadi lebih dekat dan harmonis, mereka tidak lagi segan menunjukkan kasih sayangnya padaku. Kedekatan itu mampu memulihkan pamorku di antara para Dayang. Kini tidak ada lagi Dayang yang berani membantah permintaanku. Sekali lagi aku bersyukur, kehidupanku di kediaman lohgender kini terasa seperti di surga.DamarWulan? Terakhir aku melihat batang hidungnya adalah saat aku tersesat di hutan, sejak saat itu aku tidak lagi bertemu dengannya. Mungkin karena aku yang terlalu fokus pada bisnisku, atau dia memang tengah menghindariku. Peduli apa? Keadaan ini justru bagus buatku. Dengan begini, kemungkinan kami bersama semakin kecil.Aku
Aku memang sempat berpikir bahwa tempat ini akan ramai, tapi tak kusangka akan seramai ini. Terlebih lagi semua orang menatap ke arahku, apa ada sesuatu yang salah dengan penampilanku? Aku sudah mengeceknya beberapa kali sebelum berangkat dan semuanya tampak baik-baik saja. Awalnya aku sempat merasa gugup, tapi aku yakin dengan keberadaan Seto dan Kumitir bersamaku, aku akan aman. Meski kemampuannya tidak begitu mumpuni, tapi aku yakin mereka akan melakukan apa pun untuk menjagaku.Semua orang yang hadir di tempat ini bukan orang biasa, bisa dibilang ini adalah perkumpulan elit. Sebuah perkumpulan anak-anak manja dari para petinggi Majapahit. Tempat yang buruk untuk mencari jodoh, tapi tempat yang sangat tepat untuk berbisnis.Mereka semua berkumpul di pusat kesenian untuk menonton pertunjukan tari. Puluhan penari muda didandani begitu menggoda dan ditampilkan di hadapan para tuan dan nona muda dari keluarga terpandang. Mungkin tempat ini lebih tepat desebut dengan diskotik zaman kera