Mojokerto, 15 juni 2025.
Hari kerja memang terasa berat, tapi kali ini rasanya jauh berbeda, kakiku begitu kaku seakan terpasak di bumi, enggan untuk mengayun.
"Seperti orang bodoh aku kembali kemari" gumanku lirih.
Mataku menjelajah ke sekeliling, hiruk pikuk manusia yang berlalu-lalang merusak suasana pedesaan yang seharusnya asri. Mereka saling berteriak satu sama lain dengan oktaf tinggi layaknya suku barbar.
"Kenapa aku bersikeras bersikap profesional sedangkan mereka tidak?" aku melanjutkn keluh kesahku pada angin lalu sembari menyelidik semua orang yang ada di tempat ini.
Aku masih ingat kali pertama aku menginjakkan kakiku di tempat ini, saat itu semuanya tampak begitu asing. Enam bulan berlalu, hal yang sebelumnya tampak asing berubah karib. Di titik ini, aku bahkan dapat mengucap nama mereka hanya dengan melihat siluet dari kejauhan.
Aku kembali menghela napas dalam. Setengah mati aku beradaptasi, siapa sangka tempat ini dapat berubah menjadi neraka dalam semalam. Aku berbalik dan mengubah haluan, membelakangi hiruk pikuk manusia yang tengah beradu argumen. Langkahku berubah ringan ketika aku melakukannya. Itulah mengapa aku terus berjalan meniti jalan setapak yang tak kuketahui ujungnya.
Aku paham betul bahwa jalan yang biasa kutempuh selalu membawaku padanya, jadi kali ini aku memilih jalan lain, jalan yang belum pernah kutempuh. Sebuah keputusan baru yang kuharap mampu membawa variabel baru pula di hidupku.
Langkahku terhenti di suatu padang rumput yang luas. Hamparan rumput yang bertumpuk dan tebal tampak seperti kasur yang di depan mataku. Bunga liar yang tumbuh diantaranya menambahkn corak yang indah. Aku tahu tubuhku lelah dan jiwaku juga haus akan ketenangan. Jadi kali ini, aku memutuskan untuk mengabaikan dunia.
"Persetan dengan profesionalitas! Aku mau tidur saja!" teriakku frustasi.
Kuletakkan kotak perlengkapan make up ku dan merebahkan diri di atas rerumputan yang empuk sembari memandang langit yang bersembunyi di balik mendung.
Aku merasakan kedamaian membelaiku bersamaan dengan angin yang bertiup semilir. Aku tahu betul bahwa kedamaian ini tidak akan bertahan lama. Segera setelah aku bangkit dari tidurku, aku harus kembali berkutat dengan kejamnya kehidupan. Menyedihkan bukan?
"Kenapa aku sesial ini?" teriakku tiba-tiba sambil mengacungkan jari tengah ke udara. Sebuah teriakan spontan yang terasa sangat melegakan.
hening.
"Sial sepertinya aku butuh psikiater. Jika aku terus bicara sendiri begini, lama-lama aku bisa gila" gumamku lagi sambil tersenyum pahit.
Setitik air meluncur jatuh dari mataku. Cairan hangat itu akhirnya lolos juga setelah sekian lama aku menahannya. Tapi tak apa, tak ada orang lain di tempat ini, aku boleh menangis sepuas hatiku. Sekali saja, hanya sebentar dan aku akan kembali menghadapi dunia ini sambil mengangkat kepalaku dengan bangga setelahnya.
Kemarin malam aku mendapati pacarku tidur dengan wanita lain. Rupanya enam tahun kebersamaan kami sama sekali tidak berarti baginya. Orang bilang cinta pertama seorang pria akan selalu abadi? Siapa sih yang sembarangan menyampaikan pernyataan itu? Nyatanya setelah semua hal yang kami lalui bersama, dia berani memeluk wanita lain di belakangku! Dia menghianati cinta pertamanya tanpa rasa bersalah.
Aku bahkan tak tahu kenapa? Apa aku tidak lagi cantik di matanya? Sebenarnya kenapa dia melakukan itu? Dia bahkan sudah melamarku bulan lalu. Sambil berlutut dia bilang ingin hidup bersamaku dan bersedia mencintaiku selamanya!
"Cinta cinta tai kucing!" rutukku penuh semangat.
Kuhapus air mataku gusar. Tak sudi aku membuang air mataku yang berharga haya untuk menangisinya.
"Setelah semua yang aku lakukan untukmu, inikah balasannya? Aku bahkan rela kerja rodi nulis skrip supaya filmmu sukses! Tapi setelah sukses kau malah selingkuh sama artismu dasar brengsek!" makiku sambil mengacungkan kedua jari tengah ke langit seakan dia ada di sana.
Langit mendung itu, mirip dengannya. Dia yang menyembunyikan sifat aslinya di balik kepalsuan.
"Aku bahkan rela belajar nulis dari nol! Sesuatu yang sama sekali bukan passionku! Kupikir kalau suatu hari kau sukses aku juga akan hidup enak!" ujarku lagi kesal.
"Memang aku sih yang bodoh, aku terlalu naif, aku dengan polosnya meyakini bahwa posisiku sebagai kekasihmu tak akan pernah tergantikan. Tapi please laaaah....! kenapa sih harus Kana? Kamu kan tau aku benci banget sama dia! Bukan soal apa-apa tapi malunya itu loooo! Astaga Tuhaaaaan!" omelku lagi pada angin lalu.
"Aku bahkan sempat pamer di depannya tentang betapa kau mencintaiku! Demi tuhan aku malu sekali! Saat itu, Kana pasti diam-diam menertawakan kepolosanku! Aaaarghhhhh sialan!" makiku penuh semangat.
Setelah dia menjadi sutradara kenamaan, aku memang mulai beruntung. Dia menjadikanku make up artist di semua filmnya dengan bayaran fantastis.
Tapi semua itu tidak akan pernah cukup untuk membayar penghinaan ini. Tidak sedikitpun! Terlebih lagi pengorbananku. Aku tidak akan pernah lupa malam-malam yang kulalui tanpa tidur hanya untuk membantunya menyelesaikan naskah tepat waktu.
Kalau sudah begini lalu bagaimana? bagaimana aku bisa menatap wajah Kana? Aku bahkan begidik geli hanya dengan membayangkannya! Apa aku bisa bersikap profesional dengan mereka yang terus berkeliaran di sekitarku? bagaimana mungkin! Pelakor gatel itu, Apa semua akan baik-baik saja? Aku kan njambak lonte itu kemarin?
"Aaaarrrgggghh!" teriakku kesal.
Tanpa sadar aku mencabut beberapa helai rumput di genggamanku. Helaian Rumput yang tercerabut di mengingatkan pada rambut Kana yang rontok di tanganku kemarin. Kuakui dia memang begitu cantik dan sedang naik daun. Apa lagi setelah dia main peran di sinetron Damar wulan sebagai Ratu kencono wungu! Beuh.... Mantap betul. Semua orang memujanya. Andai saja orang-orang itu mengetahui bagaimana Kana bersikap pada kami yang notabene cuma kru film.
Meski aku hanya seorang kru film, tapi kalau diperhatikan dengan seksama, aku masih lebih cantik dari dia. Wajah tanpa make up juga masih bagusan aku! bagaimana Brian bisa tergoda olehnya dan berpaling dariku? Apa karena aku enggan memberikan kesucianku padanya? Apa dia hanya melihat cintaku sebatas itu? Dangkal sekali!
"Persetan dengan sinetron ini! Damar wulan kek! Dimir wilin kek! Aku mau keluar aja! Gak sudi aku berurusan lagi sama mereka! Harga diriku lebih penting! Sekarang Aku mau tidur!"
Siang itu aku merasa begitu lelah dan benar-benar memejamkan mataku dan jatuh tertidur di padang rumput yang sama sekali asing bagiku.
***
Aku membuka mata saat hari mulai gelap, cahaya kemerahan senja tergurat di langit. Ah iya, aku tidur di dekat tempat syuting. Sebaiknya aku segera pulang sebelum ada yang melihat keberadaanku. Terlebih pria sialan itu dan lakornya! Najis banget!
Segera aku mengangkat tas make up dan mencari jalan pulang. Karena pekerjaanku sudah kacau, aku harus cari pekerjaan baru. Aku akan tagih biaya kerjaku kemarin ke Brian. mantan memanglah mantan, tapi bagaimanapun juga uang tetaplah uang. Pikirku sambil menyusuri jalan setapak.
"Ada yang aneh! Bukannya harusnya di sini ada jalan?" ujarku bingung sambil memperhatikan sekitar.
Berapa kalipun aku memeriksa, jalan itu semakin menyempit dan menghilang. seakan tidak pernah ada di sana.
"Lah! Harusnya kan di sini? Kok nggak ada?" ujarku panik.
"Masa aku harus ke tempat syuting? Ogah banget!" ujarku gengsi.
Aku terus mencari jalan yang semula aku lewati, namun nihil. Perlahan langit yang semburat semakin tampak gelap dan aku mulai khawatir. Tidak ada pilihan lain, aku harus ke lokasi syuting dan meminta pertolongan!
"Lagian siapa si yang punya ide syuting di sini? Iya emang bener deket di lokasi istana asli majapahit, tapi di sini kan sepi banget, jauh pula dari kota. Yah siapa lagi kalo bukan Brian bodoh itu! Sudah bikin aku jauh-jauh datang ke sini, malah selingkuh! Geblek emang!" omelku panjang lebar sambil terus berjalan ke arah yang kuyakini sebagai lokasi syuting.
Dari kejauhan aku melihat gerbang batu. Itu adalah gerbang asli Majapahit yang digunakan untuk lokasi syuting. Segera aku berlari mendekat, berharap bertemu seorang yang kukenal.
"Aku selamat!" ujarku lega.
Ku perhatikan sekeliling, tidak ada satu pun alat-alat syuting yang terlihat. Yang ada malah sebuah pasar malam sederhana yang dibentuk begitu apik dan ramai akan pengunjung.
"Apa syutingnya sudah selesai ya? Tapi kok masih rame?" ucapku heran.
Tidak seperti biasanya, tempat ini begitu ramai dan dipadati begitu banyak manusia yang lalu lalang. Tapi anehnya, dari semua wajah yang tampak, tidak ada satupun yang ku kenal. apa mereka adalah penduduk yang datang untuk nonton syuting? tapi kenapa orang-orang ini memakai kostum?
Para pria hanya mengenakan jarik tanpa atasan, sedang para wanita hanya menggunakan kemben kain yang dililtkan menutupi dada dan tubuhnya. apa semua orang di sini adalah aktor figuran? Tapi dengan pemeran sebanyak ini, apa Brian mampu membayarnya?
Kuputuskan untuk bertanya pada seorang yang tengah berlalu lalang.
"Mang! Syutingnya sudah selesai ya?" tanyaku pada seorang pria yang tengah mengangkat properti.
Pria itu tampak bingung dan dan menaruh kayu yang tengah diangkatnya. Suara gedebug itu amat kencang hingga mengagetkanku.
"Lah kayunya asli mang? Apa nggak berat itu? Bukannya biasanya pake gabus ya?" tanyaku lagi heran.
Pria itu semakin kebingungan.
"Cah ayu ini ngomong apa? Silahkan tanya orang lain" jawab pria itu dan kembali mengangkat gelondongan kayu itu dan beranjak pergi.
Hah? Kok nggak ngerti? Masa dia bukan staf? Emang warga lokal boleh masuk ke sini ya?
Tempat ini juga aneh, sejak kapan Brian masang properti pasar begini? Seingatku kemarin belum ada deh. Apa ada perkembangan cerita yang tidak kutahu? Ku ketok-ketok properti itu dengan kuku untuk memeriksa bahannya karena tampak begitu nyata.
"Gila! Bambu asli! Pantesan kelihatan nyata banget! Obornya juga asli! Wah mantap sih ini. Karena seriesnya sukses jadi diperhatikan bener-bener propertinya! sayang banget deh aku harus keluar" sesalku lirih.
Aku celingukan karena kebingungan mencari arah, ke mana aku harus menuju agar bisa berjumpa dengan seseorang yang aku kenal? Aku berjalan menyusuri pasar itu, hal yang kubingungkan adalah semua orang yang sibuk berakting meskipun tidak ada kamera.
Dari mana semua orang ini? Apa dari teater? Pikirku heran. Karena tampak sangat jelas kepiawaian mereka dalam menjalani peran. Meski tidak disorot kamera, mereka terus menjalankan peran mereka dengan baik.
Sampailah aku di ujung jalan, kudapati sebuah gerbang yang di jaga oleh dua orang pria.
"Gerbang istananya juga diperbaiki ya?" ucapku heran saat mendapati perbedaan yang signifikan dengan gerbang yang lama.
Para aktor yang bertugas sebagai penjaga gerbang hanya menatapku tanpa menjawab. Mereka diam saja dan saling memandang satu sama lain. Aku melangkah masuk karena tidak mendapat respon yang ku inginkan. Apa orang-orang ini sudah mendengar beritanya? tentang skandalku yang menjadi korban dalam cinta segitiga?
"Aduh malu banget! seharusnya aku gak ngajak mereka ngobrol!" sesalku dalam.
Saat itulah aku menyaksikan sebuah kediaman megah yang berdiri di hadapanku. apa bangunan yang kusaksikan saat ini juga adalah properti baru?
"Yang ini gila sih! Asli banget! Jadi ragu aku keluar kalo kayak gini" pikirku bimbang sambil masuk ke dalam istana dengan dekor baru.
Dari kejauhan aku melihat Kana si lakor, tengah berjalan dengan beberapa orang wanita. dengan centilnya ia berjalan di taman. Tapi ada yang aneh dengan penampilannya. Make up nya norak banget! meski aku telah memutuskan untuk keluar dari drama ini, sebagai make up artist yang kompeten aku merasa terusik. segera aku mendekat kearahnya.
"Heh Kana! Kamu gila ya? Bisa-bisanya make up kayak gini dipake? Baru sadar ya kalau aku itu penting? Iya, aku tau kamu gak suka sama aku, tapi masa iya pake make up artis ecek-ecek kayak gini? itu yang di muka apaan? bedak bayi? Lipstik apa itu merah banget kayak abis makan orang aja? Biasanya aku yang make up in protes terus, la ini, jelek kayak gini terima aja! Emang bener-bener lo ya!" protesku padanya.
Kana yang biasanya langsung sinis saat melihatku, tampak bingung.
"Sini kubenerin make up mu! Kalo kayak gini bisa-bisa reputasi sinetron ini langsung anjlok! Sini hapus dulu pake micelar water. Aku tau kamu itu emang cantik dari sononya, tapi ya liat2 lah. Itu pori-pori keliatan semua entar di kamera!" ujarku sambil mendudukkan kana di sebuah kursi taman.
"Lancang kau!" teriaknya marah.
"Soal kejadian kemaren? Udah lah lupain aja dulu! Ini lebih penting! Jangan bilang lo dari tadi syuting make upnya kek gini?" omelku padanya.
Aku membuang semua sisa harga diriku demi nama baik sinetron ini. Aku tidak terima jika sinetron yang sudah kami perjuangkan bersama hancur hanya karena make up norak dalam satu episode.
Segera aku membuka kotak make up lalu mengeluarkan micellar water dan kapas. Aku mulai menghapus make up asal itu dengan hati-hati.
Plakkk.....
Kana menamparku dengan sekuat tenaga dan pelayannya mendorong tubuhku agar menjauh darinya.
"Really Kana? Kamu lebih suka make up jelek itu dari pada hasil make up aku? Pliss deh jangan kekanak-kanakan Kana! be professional!" ujarku sambil masih terus berusaha menghapus make up jelek itu dari wajahnya.
"Pengawal! Pengawal!" teriak Kana garang.
Astaga dia bahkan menyewa pengawal untuk melindungi diri dariku. Apa dia se trauma itu? Bukannya dia yang salah ngapain dia yang lebih galak? Terserah lah kalau dia suka banget sama make up itu ya terserah. Aku gak peduli lagi.
"Iya udah iya! Di mana Brian? Aku mau minta anterin sampek depan aja. Aku nyasar tadi. Ga mau macem-macem! Ga bakal minta balikan juga" ujarku mengalah lalu memasukkan micellar water ke dalam box.
Para pengawal Kana datang dengan dandanan pengawal kerajaan.
"Pffftt..."
Tawaku pecah saat melihat bodyguard kana mengenakan pakaian tradisional.
"Ini serius Kan? Pengawal kamu ikutan syuting juga? Kekurangan orang ya? Perasaan di depan banyak deh?" tanyaku heran sambil mengangkat box make up ku.
Saat aku berbalik, para pengawal itu menodongkan tombaknya ke arahku, membuat jantungku seakan berhenti berdetak.
"Kan! ini lo serius? lo mau balas dendam Kan? Kalo mau balas dendam mah harus apple to apple Kan. Ini Rambut gue jambak aja, ga usah main tombak-tombakan ya!" ucapku gugup karena tombak tajam itu begitu dekat dengan wajah cantikku.
"Kanjeng Ratu!" terdengar sebuah teriakan dari kejauhan. Seorang wanita paruh baya berlari ke arah kami dan bersujud di hadapan Kana.
"Kanjeng Ratu, ampuni putri hamba! Dia memang lancang, saya akan mendidiknya dengan baik agar semua ini tidak terulang lagi. Hamba mohon atas nama suami hamba Kanjeng Ratu" teriaknya histeris.
Aku benar-benar bingung dengan situasi ini? Apa kami sedang syuting? Kenapa wanita ini memohon pada Kana seakan dia adalah Ratu sungguhan?
"Kanjeng Ratu!" teriak seorang pria paruh baya sambil berlari ke arah kami. Di ikuti dua orang pria muda di belakangnya.
"Apa yang terjadi?" tambah pria tua itu.
"Patih Lohgender, putrimu ini telah berbuat tidak sopan kepadaku!" ujar Kana murka.
Patih Lohgender? Bukannya pemain patih Loh gender bukan bapak ini? Memang boleh ya mengganti pemain di tengah-tengah begini? Tapi akting bapak ini memang lebih bagus si.
"Mohon maafkan hamba Kanjeng Ratu. Putriku ini memang Bodoh! Saya akan menghukumnya nanti, harap Ratu berlapang dada" jawab pria itu lagi sambil menatapku dengan tatapan mengerikan.
Entah mengapa aku merasakan seluruh tubuhku bergetar saat menatapnya. Apa aku mengenal pria ini? Kenapa aku begitu khawatir hanya dengan menatap matanya?
"Anjasmara! Apa yang kau lakukan? Cepat berlutut dan mohon ampun!" teriaknya padaku.
Aku berlutut? Tidak akan! Terlebih di depan Kana! Aku menatap Kana dengan tatapan kesal. Namun dua pemuda yang berada di belakang bapak itu segera berjalan ke arahku dan memaksaku untuk berlutut. Mereka bahkan menendang kakiku agar menurut.
"Apa-apa an sih ini? Kalian nge prank ya? Ini lebih ke bullying sih! Aku akan lapor polisi!" teriakku tidak terima.
Plakk....
Sebuah tamparan dilayangkan oleh salah satu pemuda itu. Kali ini terasa sakit sekali. Aku tahu ini tidak adil tapi aku tidak bisa apa-apa. Jika aku berontak, mereka mungkin akan menyakitiku lebih dari ini.
"Minta maaf pada kanjeng Ratu!" teriak pemuda satunya lagi sambil memasang wajah kesal.
Karena takut dia akan menamparku lagi, aku menuruti permintaan pria asing itu. Soal harga diri nanti saja dulu, yang terpenting sekarang adalah terus hidup. Aku takut mereka akan melakukan hal berbahaya jika aku terus melawan.
"Saya minta maaf!" ujarku terpaksa.
Hatiku mencelos saat mengucapkannya. Aku tertunduk malu karena menyerah begitu cepat. Kurasakan wajahku begitu panas karena rasa malu. Sejak dahulu beginilah aku, aku terbiasa merendah untuk bertahan hidup karena aku tahu tak ada siapapun yang akan mendukungku.
"Baiklah, Aku akan memaafkannya kali ini. Tapi tidak untuk lain kali. Dan patih sebaiknya kau didik putrimu ini bagaimana adab berpakaian di kerajaan!" ujar Kana lagi sinis kemudian pergi.
Setelah Kana pergi menjauh, wanita paruh baya di sebelahku menatapku dengan wajah khawatir.
"Layang seto, Layang kumitir, lepaskan adikmu!" ujarnya memohon.
"Itu karena ibu terlalu memanjanya, makannya dia jadi bodoh!" ujar salah seorang dari mereka.
Mereka melepaskan cengkeramannya hingga membuatku jatuh lemas. Aku masih kesulitan mencerna apa yang tengah terjadi.
Para pria berjalan pergi lebih dulu meninggalkan aku wanita paruh baya itu.
"Jika kau lambat, kami akan meninggalkanmu Anjasmara!" ujar pemuda satunya lagi sambil menatap sinis kearahku.
"Apaan sih?" ucapku bingung.
"Anjasmara, ayo kita pulang. Cepat sebelum mereka meninggalkan kita!" ujar wanita itu khawatir.
"Pulang?" tanyaku bingung.
"Iya ayo pulang!" jawab wanita itu lalu memapahku.
Aku mengambil tas make up ku dan berjalan pergi bersamanya. Kurasakan lututku sakit karena tendangan salah satu dari pemuda itu tadi.
"Siapa sih mereka? Awas saja kalau ketemu lagi. Pemeran pembantu aja sombong!" makiku lirih dari belakang.
Trowulan, 1430.
Comments