"Karena...." Samantha sedang menimbang bagaimana penyampaian yang tepat, yang bisa meminimalisir kerusakan.
"Karena dia hanya bualanmu saja?" "Anakmu itu nyata." "Bagaimana mungkin kita bisa bikin anak kalau kita bertemu di alam maya? Di mana kita bercinta? Market place?" Samantha mengabaikan ejekan sinis si pria, ia tidak tahu harus mengatakan apa, pria ini salah mengira bahwa Samantha adalah ibu bayi itu, akan tetapi kalau Samantha membantah sekarang sepertinya makin membuat dia mengira ini telepon iseng! Yah sudah salah dari awal, nanti dia akan memikirkan cara untuk mengklarifikasi seandainya bisa, kalau pria ini menolak tanggung jawab toh mereka hanya hidup bertiga, untuk apa harus repot-repot membenarkan semuanya? Bodo amat dengan pria ini. Mungkin karena tidak mendengar jawaban atau tanggapan dari pihak Samantha, maka si pria mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih mendesak. "Jawab aku! Dimana kita bercinta?" "Grand Hyatt Melbourne," jawab Samantha mengutip cerita Tina. Hening.... "Kapan?" "Sembilan bulan yang lalu." Kembali terjadi jeda...waktu berjalan tanpa percakapan. "Kapan kita bisa bertemu?" "Untuk apa?" "Untuk membuktikan bahwa dia bukan anakku! Hanya dengan melihatnya aku akan tahu dia 'navarell' atau bukan." "TIDAK BISA!" "Maksudmu?" "Maksudku kau belum bisa menemuinya." "Dari tadi kau bersusah payah untuk meyakinkan aku bahwa aku menelantarkan anakku di luar sana, sekarang giliran aku mau melihat dia, kau bilang tidak bisa. KAU MEMBINGUNGKAN! Pernah ada yang bilang itu padamu?" "Aku sudah menghentikan usahaku yang kau bilang bersusah payah itu, malah kau yang terus meneleponku, Sir. Makanya hentikan sekarang. Stop!" "Sudah terlanjur! Kita selesaikan sampai tuntas, katakan dimana aku bisa menemukan kalian dan jangan lagi menjawab TIDAK BISA, TIDAK PENTING." "Memang benar bahwa kau tidak bisa menemui kami sekarang karena_" "Karena apa?" "Karena anakmu belum lahir." Kembali pria itu tertawa lepas. Setelah selesai dia berkata dengan suara begitu ringan. "Thank you again." " Jangan meneleponku lagi, aku akan menghubungimu selesai persalinan." "Kapan dia lahir?" "Coming soon." Lalu Samantha menutup teleponnya. Di ujung yang lain, Chase Navarell memandang ponselnya masih dengan senyum samar yang tersisa di sudut bibirnya. Baru saja dia tertawa lepas, benar-benar lepas hingga sekretarisnya melongokkan kepala di pintu. Chase Navarell yang sekretarisnya tahu adalah Chase si pengusaha Midas yang luar biasa dingin dan tak tersentuh. Awalnya Chase Navarell sangat terganggu dengan ponselnya yang terus-menerus berdering, akhirnya dia memutuskan untuk mengangkat nomor asing yang terus muncul di ponsel pribadi yang sesungguhnya hanya dimiliki oleh keluarga saja, bahkan para teman wanitanya tak satu pun yang memiliki nomor itu, jadi saat ada nomor asing masuk di sana Chase Navarell sangat heran. Apalagi kemudian dia tahu bahwa itu bukan telepon nyasar, wanita itu memang mencarinya. Wanita berlidah tajam. Chase Navarell berusaha mengabaikan bayangan wanita berlidah tajam tapi cerdas itu dan memusatkan perhatian pada setumpuk dokumen yang ada di hadapannya. Banyak sekali wanita yang datang dan mengklaimnya sebagai ayah dari anak mereka, hanya saja biasanya mereka datang dengan wajah sedih, dengan tampilan sengsara, dengan kalimat menghiba-hiba memohon belas kasihan dari dirinya. Wanita ini berbeda. Bukannya memohon dia malah mencaci, bukannya memelas dia malah berteriak dan menyuruh Chase Navarell melupakan! Chase Navarell menekan nomor sekretarisnya "Yes, Sir?" "Tolong kau lihat catatanmu, sembilan bulan yang lalu aku sedang berada dimana, cek sekarang lalu beritahu aku." "Persis sembilan bulan, Mr Navarell?" "Satu minggu sebelum dan satu minggu sesudahnya, didalam rentang itu adakah aku melakukan perjalanan ke luar negeri." "Yes, Sir." Hanya 2 menit kemudian telepon di meja Chase Navarell sudah kembali berdering. "Sembilan bulan yang lalu ada jadwal pembukaan cabang perusahaan support tambang di Melbourne, Mr Navarell." "Jadi memang aku ada di Melbourne?" Chase seperti bergumam sendiri, karena kenapa tidak ada dalam memorinya? "Tidak Sir, rencananya memang Anda yang meresmikannya hanya saja Anda batal menghadirinya, Mr Navarell!" "Siapa yang kita utus berangkat? Orang kita dari kantor pusat Brisbane?" "Sepertinya tidak, karena di kantor pusat sendiri ada acara gathering, Mr Navarell. Jadi kemungkinan besar kirim orang dari Indonesia! Lalu, karena tidak ada dalam catatan saya maka saya berpikir ini pasti pihak keluarga, Sir. Kalau karyawan dan bukan keluarga, pasti saya catat untuk keperluan klaim biaya pesawat ." "Baiklah!" Chase bersandar di kursi, dengan tangan di dagu. Pihak keluarga? Jadi bisa jadi yang berangkat salah seorang dari adik-adiknya atau bisa siapa saja kan(?) "Ada lagi yang bisa saya bantu, Sir?" "Panggil Salim ke sini!" "Baik, Sir." Chase menerawang, fokus dan rutinitasnya yang biasa seputar pekerjaan jadi teralihkan, dibanding masalah 'anak' yang di bawa wanita bermulut tajam ada masalah yang jauh lebih mendesak : dia terpaksa harus menikah! Itu sangat mengganggunya, lebih baik punya anak daripada punya istri! Tak lama kemudian nampak Salim membuka pintu ruangan Chase. "Ada apa, Bos?" "Salim, masuklah. Ceritakan perkembangan penyelidikanmu dan tim legal sudah sampai mana?" Chase ingin tahu sampai di mana upaya mereka menggagalkan klausul tidak masuk akal di akta pendirian perusahaan milik kakeknya. "Cukup sulit, kami bahkan sudah minta tolong orang-orang dari KEMENKUMHAM akan tetapi mereka bilang klausul itu tidak bisa di ubah." Chase memandang Salim, sahabat sekaligus wakilnya, dengan pandangan gusar. "Apa tidak sebaiknya kau menemui kakekmu tersayang? Grandpa favorit?" "Sudah ku lakukan dan jawabannya, para pendiri perusahaan itu adalah orang-orang yang bahagia hidup berkeluarga, jadi klausula para pengendali haruslah berstatus menikah itu WAJIB dan tidak bisa di ganggu gugat!" "Jadi opsinya adalah merelakan perusahaan kakekmu atau kau menikah!" Kalimat Salim membuat Chase termenung. "Kakek pasti merana jika perusahaan itu jatuh ke tangan orang lain," gumamnya. "Off course, kalau begitu satu-satunya jalan jika ingin menyelamatkan kerajaan kakekmu, kau harus menikah!" "Pasti ada jalan lain, aku akan menemui kakekku begitu dia pulang dari perjalanan panjang bulan madunya yang entah ke berapa." Salim tertawa. "Aku heran, kau sangat menyayangi kakekmu yang begitu berbahagia hanya dengan satu wanita, tapi kau tidak tertarik mengikuti jejaknya, aneh!" "Karena lingkungan ku orang-orang kawin cerai seperti domba, salah satunya kau!" Tawa Salim kembali terdengar. "Sorry Bro, aku 'turun naik' tapi bukan kawin cerai." "Oleng kau!"Chase terkejut.Dalam bayangannya dia melihat istrinya terbaring lemah tak berdaya bahkan mungkin masih belum siuman.Akan tetapi yang ada di depan matanya sungguh luar biasa, membuatnya terkejut karena ternyata Samantha sedang duduk bersandar dengan baju hamil (?) berwarna peach yang lembut dan saat ini dia sedang tersenyum mesra.Chase menutup matanya lalu kembali membukanya dengan perlahan. Kali ini dia melihat senyum Samantha semakin lebar. "Sweetheart, ini masih rumah sakit kan?"Tanya Chase sambil memandang ke sekeliling mereka. Samantha mengangguk. "Aku terlalu cemas membayangkan apa yang akan terjadi sehingga aku mengancam dokter yang merawat mu, bahkan aku berniat membuat perjanjian dengan para malaikat_""Kemarilah, Sayang." Potong Samantha.Chase mendekat, duduk di sisi ranjang sambil memegang kedua tangan Samantha yang berada di atas pangkuannya. "Apa yang terjadi di luar?" Giliran Samantha yang bertanya. Chase mem
Chase seketika berlari keluar kamar, begitu sampai di depan kamar Chase tertegun karena dia melihat Samantha terduduk di anak tangga."Sweetheart?" "Kepleset." Bisikan lirih yang Samantha sampaikan bagaikan suara bom yang menerjang gendang telinga Chase. Seketika Chase melesat mendapatkan Samantha, menggendongnya sambil berlari turun langsung menuju ke garasi. Chase seperti kesetanan apalagi saat dia merasa tangannya yang membopong Samantha...basah.Kecemasan Chase tidak mereda walau mereka telah sampai di rumah sakit. Dokter segera menerima Samantha, membawanya ke ruang periksa kemudian Samantha pindah ke ruang one day care. Selama proses itu Chase masih belum boleh menjenguk istrinya. Chase terduduk di kursi tunggu, saat itulah dia ingat belum memberi kabar ke orangtua dan sanak saudara akan tetapi teleponnya tertinggal di rumah. Jadilah Chase sendirian di ruang tunggu. Satu jam, dua jam, tiga jam...Ruang one day care t
Hasrat Samantha makin menjadi-jadi ketika lidah Chase menyapunya perlahan. Ini tidak cukup dan tidak lagi bisa ditahan, dia bisa gila. "Sayang...Papa Daddy..." Samantha mendengar tawa teredam yang berusaha Chase tahan, namun ia terlalu terhanyut oleh sentuhan dan permainan lidah Chase sehingga pikirannya teralihkan untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ia merasa sudah hampir sampai, ia bisa membayangkan saat pelepasan melandanya ia akan hancur berkeping-keping saking kuatnya hasrat yang melanda dirinya. Chase masih sibuk dengan lidah dan bibirnya, mendarat di kulit hangat Samantha, mencicipi bagian-bagian yang menuntut perhatiannya. "Yeah...yeah...Sayang." Kembali Samantha mendesis ketika lidah Chase memberinya lebih banyak tekanan, membuat pinggulnya otomatis melenting. "Sayang..Daddy, jangan menyiksaku terlalu lama, please Sayang...please!" Samantha merasa tubuhnya telah luar biasa panas. Sedikit lagi. Hampir samp
"Setelah ini? Apa?" Chase bertanya dengan perasaan melambung di udara. Sejak hamil memang istrinya sudah tak terhitung berapa kali mengambil inisiatif duluan agar mereka bercinta. Yah mungkin hormon kehamilan yang membuat istrinya begitu bergairah."Setelah ini PIJAT ya." Pijat???? 'Astagaaa, ternyata perkiraannya salah total,' pikir Chase. "Ok Sayang, mau pijat tradisional, pijat urat, pijat akupuntur, pijat kecantikan?""Pijat plus plus." Seketika senyum Chase merekah.Ternyata....sesuai dengan dugaan awal. "Oke," jawab Chase dengan suara parau.Chase membalikkan tubuh Samantha menghadap ke wastafel. "Cuci tangan dulu ya."Chase menyalakan keran air lalu membawa kedua tangan Samantha dan meletakkannya di bawah kucuran air hangat. Lalu sesaat kemudian tangan Chase berpindah ke dada Samantha. Samantha tersenyum dan memandang kaca, dia melihat tangan kecoklatan yang sedang menangkup kedua dadanya, kepala suaminya menunduk sedang mengecup bahunya. Pemandangan yang memicu gair
"Bukan nggak mau minggir." "Lalu?" Dengan perlahan Samantha berbalik dan memandang wajah suaminya yang aura maskulinnya tumpah ruah. "Bukan nggak mau, Daddy...tapi kuncinya ilang." Chase masih mencerna panggilan Daddy yang mendatangkan kebahagiaan ketika kalimat terakhir meresap di benaknya. "Kuncinya hilang?" "Hilang." "Hilangnya dimana?" "Nggak tahu, Sayang." "Kok balik lagi, tadi kan udah Daddy!" Samantha tertawa. 'Yang hamil siapa, yang aleman siapa.' Samantha hanya tersenyum tanpa menyuarakan apa yang ada di pikirannya."Masa Tristan panggil Papa, adiknya panggil Daddy, ntar anak ke 3, ke 4, manggil apa?" "Father, Bapak, Papi, Abi, Momo, masih cukup panggilannya sampai anak ke 7." Samantha bahagia membayangkan dirinya dikelilingi oleh anak-anaknya. Sambil terkekeh-kekeh Samantha berusaha bersuara. "Yang standard dong, kalau panggilan nggak standart ya sampai anak 50 juga nyampai." Chase membelalakkan matanya. "Anak lima puluh? LIMA PULUH? Mau nandingi Ku
Hari-hari yang Chase lalui begitu berbeda. Memiliki Samantha dan Tristan dalam hidupnya sudah lebih dari yang dibayangkan, apalagi kini akan hadir buah cintanya dengan Samantha! ASTAGAAAAA... Rasanya tak terkatakan! Rasanya luar biasa.Chase tak pernah berpikir bahwa dia bisa berubah begitu tidak masuk akal.Dia tidak akan membiarkan Samantha capek sedikitpun, bahkan Chase membawa semua bawaan Samantha hingga Samantha ngambek dan protes. "Biarin Samantha beraktifitas normal dong. Kalau nggak boleh bawa apa-apa malah bingung, hamil apa sakit?"Chase hanya terdiam, lalu maju dan memeluk istrinya."Kehamilan anak pertama itu harus dijaga dengan hati-hati, kan belum pengalaman.""Samantha udah pengalaman rawat Tristan." Bisik Samantha. "Itu kalau udah lahir, pas hamil kan belum, ayolah Sayang tenangkan hatiku, biarkan aku menjagamu." "Kamu bukan menjagaku, Sayang. Kamu terlalu memanjakan aku.""Ok, nanti kalau sudah lahir aku