"Emm ... wangi!" ucap Lorenza saat memasuki dapur. "Eh, Mama, Aya lagi coba bikin iga bakar. Tadi Mas Felix telepon minta dianterin dokumen, sekalian aja Aya bawain makan siang."Lorenza tersenyum. "Good idea! Semoga perlahan Felix luluh.""Iya, Ma, semoga."Lorenza menyarankan agar Nathan tetap di rumah bersamanya. Selain cuaca di luar panas, tanpa Nathan, Shreya akan lebih leluasa bersama Felix. "Tapi, nanti Mama repot.""Tidak usah sungkan. Sana, perah dulu ASI-nya."Shreya tersenyum senang. Lekas ia mencuci tangan dan siap untuk memerah ASI. Jarum jam sudah menunjuk pada angka sebelas. Dokumen dan menu makan siang sudah di tangan, Shreya pun berangkat menunggangi mobil kesayangannya. *Shreya sudah memarkirkan mobil di basement. Lekas, istri dari Felix itu turun. Senyum tak hentinya terukir di bibir ranum Shreya saat ke luar dari lift. Menarik napas panjang dan mengembuskan napas kasar ia lakukan terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu ruangan Felix. Lekas ia masuk setelah ter
Malam itu Shreya dan Lorenza sedang berkumpul di ruang keluarga, tak lupa si kecil Nathan yang sedang belajar merangkak. Hanya saja tidak ada Pricilla di sana. Sedari siang gadis itu tak kunjung ke luar kamar. "Malam," sapa Felix. Pria jangkung itu baru saja pulang kerja. "Eh, Papa, baru pulang," kata Shreya menirukan suara anak kecil. "Sibuk kerjanya, Mas?""He'em," jawab Felix singkat. Perhatiannya beralih kepada Nathan. "Kok, jagoan Papa belum tidur, sih?" Felix menggendong Nathan. "Mungkin sebentar lagi. Jagoan Papa lagi semangat belajar merangkak sepertinya."Felix hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Gimana rasa iga bakarnya tadi. Enak, kan?" tanya Lorenza kepada Felix. Sejenak Felix terdiam, lalu melihat ke arah Shreya. "Emm ...,"Dari gelagat Felix, Shreya bisa menyimpulkan jikalau Felix tidak memakan masakannya. "Pokoknya hari ini Aya seneng, Ma. Mas Felix melahap habis iga bakar bikinan Aya. Katanya enak," ucap Shreya cepat. "Iya, kan, Mas," lanjutnya bertanya kepada F
"Papa perhatikan kamu senyum-senyum terus. Kenapa? Kamu senang di keluarkan dari sekolah? Begitu?" tanya Felix di bibir pintu kamar Pricilla. Pricilla menoleh dan Seketika senyum itu lenyap. "Bukan, Pa. Aku hanya seneng aja mau ikut ke Bali. Coba Papa ingat-ingat, deh, kapan terakhir kali aku liburan?"Felix menghela napas dan memilih masuk, kemudian duduk di samping Pricilla. "Waktu kamu masih kecil, pernah, kok, liburan. Tahun kemarin juga bukannya kita ke luar negeri, ya?"Pricilla menepuk keningnya. "Liburan, ya, Pa, bukan pindah rumah!" Pricilla mengingat saat mereka tinggal di luar negeri tak lama setelah Debora meninggal. "Bikin momen indah yang bisa aku inget juga, dong, Pa," lanjutnya. Felix mengelus kepala Pricilla dengan sayang. Tak hentinya kata maaf terucap. Ia berjanji akan menebus semua waktu yang hilang itu. Maklum saja, setelah Pricilla beranjak dewasa perusahaan baru mendapatkan tender besar, ditambah lagi Felix harus kehilangan ayah untuk selama-lamanya yang meng
"Tunggu!" seru Shreya saat kedua bibir itu hampir saja bertemu. "Biar Aya aja, Mas!" lanjut Shreya sembari menarik lengan Felix agar menjauh. Shreya tersenyum penuh arti. "Tak semudah itu, Cindy!" Batinnya. Shreya memetik daun yang ada di pot pinggir kolam, lalu berjongkok dan mendekatkan mulutnya di telinga Cindy. Daun itu ia usapkan pelan di bagian dada Cindy dan berteriak, "Kecoa!""Aaaaa! Mana kecoanya, mana?!" Cindy beranjak. Ia berlari menjauh dari kolam diikuti Pricilla. Jurus ampuh! Untung saja Shreya mengingat apa yang sangat Cindy takuti. Shreya melihat jika Felix melongo, menggeleng, lalu duduk untuk berjemur. Dari kejauhan, rupanya Lorenza memperhatikan dan mengacungkan ibunya jarinya kepada Shreya, sang menantu pun membalasnya dengan senyuman. Shreya menghampiri Cindy. Terdengar jika Pricilla berkata bahwa ia rela menangis demi menyempurnakan akting Cindy, tetapi hasilnya tak sesuai yang diharapkan. "Yaaaah, gagal, deh!" ejek Shreya, kemudian terkekeh-kekeh. "Kamu
Suasana seketika hening dan semua mata tertuju kepada Felix."Begini, Sayang ... menikah itu tidak mudah. Bukan baru bertemu, lalu menikah. Banyak proses sebelum itu," ujar Felix yang diharapkan akan dimengerti oleh Pricilla. "Bukankah Papa sama Tante itu langsung menikah?" tanya Pricilla sambil menunjuk Shreya. Yang ditunjuk hanya tersenyum sembari menunggu jawaban Felix. Lain halnya dengan Lorenza. Wanita itu memperingatkan sang cucu agar menjaga sikap. Sejenak Felix berpikir. Jawaban apa yang sekiranya akan membungkam putrinya itu. "Oh, kalo sama Tante Shreya, dulu kami pernah dijodohkan. Hanya saja, dulu Tante Shreya masih sekolah dan kami menolak perjodohan itu.""Masa, sih?" Pricilla menyipit tidak percaya. Lorenza turut angkat bicara, membenarkan apa yang sudah Felix katakan. "Papa mencintai Tante Shreya?" tanya Pricilla lagi. Felix tersenyum. "Setiap pasangan yang saling mencintai, mereka pasti akan memutuskan untuk menikah."Pricilla cemberut. Shreya menatap Felix lek
Tiga hari sudah mereka di Bali. Namun, tidak ada kesan berarti untuk Shreya. Bukan karena suasana dan fasilitas di sana, tetapi karena adanya Cindy. Wanita itu tak kunjung pulang karena Pricilla yang meminta. Pagi-pagi sekali Shreya sudah bangun. Dibukanya gorden agar sinar mentari pagi bisa masuk ke dalam kamar. Namun, ada pemandangan yang berbeda kala itu, yakni Felix masih tertidur pulas. "Mas, bangun!" Shreya mengguncang kaki Felix yang terbungkus selimut. Shreya memicing memerhatikan wajah Felix yang terlihat pucat. Segera Shreya meletakkan punggung tangannya pada kening. "Ya Tuhan, badan Mas panas sekali.""Mas, bukalah matamu!" lanjut Shreya sambil menepuk pipi Felix pelan. Mata Felix terbuka dan beringsut duduk dengan tangan yang memijit kening. "Mas jangan duduk!" Shreya terlihat panik. "Duh, emm ... kalau begitu tunggu sebentar, Aya ambil air panas dulu." Shreya berlari ke dapur. Setelah mengisi baskom dengan air panas, ia kembali lengkap dengan handuk kecil. Shreya me
Felix dan Shreya sudah berada di rumah sakit. Keduanya lekas menuju ke ruang ICU. Di ruang tunggu ada seorang pria yang memang menunggu kedatangan mereka. Pria itu menjelaskan bagaimana dirinya bisa membawa Pricilla sampai ke rumah sakit. Putri Felix itu ditemukan tak sadarkan diri di toilet. "Maaf, Pak. Apa putri saya tidak ada yang menemani? Perempuan dengan ciri-ciri tinggi kurus?" tanya Shreya. "Tidak ada Nyonya. Tapi, kata beberapa orang, sih, wanita yang bersamanya pergi begitu saja sebelum kejadian.""Kalau begitu terima kasih, sudah mengantar putri saya ke sini," kata Felix seraya menyalami. Pun dengan Shreya. Pria itu pergi. Shreya dan Felix masuk ke ruang ICU. Tampak di sana Pricilla terbaring lemas. "Ya, Tuhan, Sayang, kenapa bisa begini, hem?" tanya Shreya, kemudian mencium kening Pricilla. Seorang dokter menghampiri. "Orang tua Nona Pricilla?""Iya, benar, Dok. Putri saya sakit apa, Dok?" tanya Felix. Setelah melakukan pemeriksaan dan keluhan dari Pricilla, Sang do
"Sudah selesai?" tanya Felix. "Ah, be-belum, Mas. I-ini Cilla buang hajat lagi," jawab Cindy tergagap. Felix meminta agar Cindy memberitahunya jika sudah selesai. Cindy membuka tirai sedikit. "Mas dari tadi ada di dalam?" Cindy berusaha tenang. "Tidak! Kenapa?" Felix mengernyit. Cindy tersenyum. "Tidak pa-pa, Mas. Ya, sudah, kalau begitu Mas keluar lagi saja. Di sini bau!" Cindy mengibaskan tangan di depan hidungnya, kemudian menutup tirai. Tanpa Cindy tahu Felix menyeringai, lalu keluar. Dua puluh menit berselang, Cindy menghampiri Felix dan memutuskan untuk ke kantin. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Felix saat duduk di kursi dekat pembaringan Pricilla. "Tidak begitu lemas. Tapi, mual masih ada. Pusing juga masih ada."Felix menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Matanya tak lepas dari wajah sang putri, lalu kembali bertanya, "Masih mau memiliki ibu seperti wanita itu?""Maksud Papa, Tante Cindy?"Felix mengangguk. "Tentu saja mau!" jawab Pricilla senang. "Pap