Share

Keputusan Shreya

Menaiki taksi, akhirnya Shreya dan si kecil Nathan sudah tiba di rumah.

Kedatangannya tanpa sosok Felix tentu saja menjadi tanya bagi Adelia.

"Ke mana Felix?"

Shreya menghela nafas lalu perlahan menceritakan apa yang terjadi. Tak lama, ia lalu berpamitan untuk menidurkan Nathan di kamar.

Tok!Suara ketukan pada daun pintu mencuri perhatian Shreya. Rupanya Adelia yang masuk. Ia pun menyambut kedatangan sang ibu dengan senyum.

"Kamu tidak merasa kasihan dengan Pricilla, Ay?" tanya Adelia tanpa basa-basi.

"Sejujurnya kasihan. Tapi, entahlah, Bu, Aya belum ingin menikah lagi."

"Tapi, putramu butuh seorang ayah, Ay."

"Iya, Aya tau, Bu. Tapi, untuk saat ini Aya rasa tidak. Nathan masih kecil, belum mengerti juga sosok ayah. Kasih sayang dari Aya, kakek dan neneknya saja Aya rasa cukup."

Adelia kembali angkat bicara. Wanita paruh baya itu lagi-lagi mengatakan jika putri Felix sangat membutuhkan sosok ibu. Usianya yang menginjak remaja rentan dengan pergaulan bebas. Felix menyerah dengan tingkah putrinya.

"Itu pasti karena dulu orang tuanya yang tidak peduli atau kurang perhatian sama anaknya."

"Betul! Ayahnya sibuk kerja dan ibunya sibuk pacaran dengan suamimu!" ujar Adelia dingin. Tidak sampai di situ, Adelia kembali berujar, "Kamu lihat sendiri, kan, gimana pergaulan Pricilla? Kasian dia. Butuh bimbingan, butuh perhatian dan kasih sayang. Dia butuh kamu, Ay!"

Shreya menghela napas. "Kenapa di sini seolah-olah Aya yang bersalah karena putrinya begitu. Semua salah Mas Alex dan wanita itu!" Shreya merasa terpojok. Kenapa ia harus menanggung akibat perbuatan Alexander dan Debora? Yang mengharuskan dirinya menjadi ibu sambung untuk putri Felix.

"Felix saja merasa bertanggung jawab sama Nathan, masa kamu tidak, Ay? Kamu ingat? Dulu Ayah pernah menjodohkanmu?"

Sejenak Shreya terdiam, kemudian mengangguk. "Iya, ingat."

"Felix'lah pria itu!"

Deg!

Pernyataan Adelia sukses membuat Shreya kaget. Ya, dulu Shreya menolak perjodohan itu. Pun kabarnya dengan Felix. Keduanya menolak tanpa mencari tahu pribadi masing-masing. Pun Adelia mengatakan saat itu usia Shreya masih lima belas tahun dan Felix berusia dua puluh enam tahun.

"Dan sekarang kalian dipertemukan diwaktu yang tepat, bukan? Kalian sama-sama berstatus orang tua tunggal. Jadi, tunggu apalagi?" lanjut Adelia.

Shreya terdiam. "Takdir Tuhan memang indah. Inikah maksud ucapan Ayah waktu lalu?" Batinnya.

Shreya menatap Adelia. "Nathan masih kecil, Bu. Butuh ekstra perhatian. Aya takut gak bisa membagi waktu, kasih sayang dan perhatian untuk yang lain. Lagipula Aya juga meminta sama Mas Felix agar tidak datang ke sini lagi. Biar dia fokus sama putrinya."

Shreya melihat Adelia menghela napas. Raut wajahnya terlihat kecewa, kemudian pergi begitu saja.

*

Hari-hari Shreya lalui tanpa campur tangan orang lain. Ya, rupanya Felix konsisten pada ucapannya. Sudah dua minggu ia tak datang. Namun, selama itu pula Nathan sering menangis. Sulit dimengerti, Nathan menangis disaat-saat jam Felix biasa berkunjung.

Siang itu Nathan menangis kencang sekali membuat Shreya yang sedang membereskan tempat tidur berlari menghampiri.

"Ya, Tuhan, Nak, kamu kenapa?" ucap Shreya saat membuka tirai yang menutup box bayi.

"Kamu demam, Nak! Ya, Tuhan ...."

Shreya mencoba tenang. Diambilnya termometer dalam laci, kemudian diletakkan pada ketiak Nathan.

"Ya, Tuhan, tiga sembilan."

Shreya menggendong Nathan. Ia mencoba memberikan ASI, tetapi Nathan menolak. Bayi itu terus saja menangis. Akhirnya Shreya membawa bayinya ke luar kamar. Dicarinya Adelia di ruang keluarga.

"Bu, Nathan demam!"

Adelia yang sedang asyik menonton televisi pun beranjak.

"Ya, Tuhan, panas sekali," ujar Adelia sembari meletakkan tangannya di kening Nathan.

"Jangan panik, kita kompres dulu sambil terus berikan ASI."

Shreya mengangguk. Ia duduk di sofa dan mencoba memberi ASI. Nihil, sang bayi tetap merajuk.

Sepuluh menit, dua puluh menit, tangis Nathan tak kunjung berhenti. Tiba-tiba saja ...

"Nathan kenapa, Ay?!"

Shreya menoleh ke arah suara. "Mas Felix! Ini Mas, Nathan tiba-tiba saja demam!"

Felix mengambil alih Nathan. Sulit

dipercaya, seketika Nathan berhenti menangis dan tidur dalam dekapan Felix. Tentu saja itu membuat Shreya merasa heran sekaligus lega.

"Nathan selalu nyaman berada dalam pelukan Mas Felix. Apalagi saat ini. Apa itu artinya putraku sangat menginginkan sosoknya?" Batin Shreya.

Shreya melihat Felix mengusap kepala Nathan dengan sayang sambil menimang.

"Pantas saja perasaan Papa gak enak dan terus mau ketemu kamu. Rupanya kamu sedang sakit," ucap Felix sambil terus menimang.

Mendengar itu membuat Shreya memalingkan muka seiring dengan Adelia yang menoleh ke arahnya. Terlihat wanita paruh baya itu tersenyum lebar.

Shreya segera memegang kening Nathan. Benar saja. Demam Nathan turun dan tidur sangat nyenyak. Felix meminta izin untuk menidurkan Nathan di box bayi. Shreya hanya bisa mengangguk mempersilakan.

"Gimana, Ay?" tanya Adelia sembari menaikturunkan alisnya.

Shreya menaikkan kedua pundaknya. "Ya, gak gimana-gimana, Bu."

Adelia menghela napas, kemudian pergi.

Shreya duduk di sofa dan tidak berselang lama Felix menghampiri.

"Emm ... Mas dari kantor?" tanya Shreya.

Terdengar embusan napas kasar Felix di telinga Shreya. Bahkan Shreya melihat Felix mengurut pelipisnya.

"Iya, dari kantor. Dari kantor lanjut cari guru privat buat Pricilla, kemudian ke sini."

Dahi Shreya mengerut. "Guru privat? Kenapa memangnya?"

Felix menjawab bahwa Pricilla makin sulit dikendalikan. Oleh karena itu ia memutuskan agar Pricilla home schooling saja.

Shreya terdiam.

Sungguh, ia merasa kasihan kepada Pricilla. Shreya menarik napasnya dalam dan mengembuskan perlahan.

Apa benar yang dikatakan sang ayah dan ibu, bahwasanya mereka dipertemukan oleh takdir disaat yang tepat?

Di saat mereka saling membutuhkan dan bukan hanya untuk kebutuhan biologis masing-masing.

Nathan butuh sosok ayah dan Pricilla butuh sosok ibu.

Persetan dengan cinta. Ia bisa tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Shreya bisa membuktikan itu dengan perlakuan Felix terhadapnya nanti.

Jikalau begitu, tidak mungkin bagi dirinya tidak membalas cinta Felix. Sejujurnya Shreya takut jikalau Felix dekat dengan Nathan semata-mata karena ingin menjadikan dirinya ibu untuk Pricilla saja, tidak lebih.

"Tidak! Aku tidak boleh egois. Mas Felix sangat menyayangi Nathan. Dan jika dilihat dari ucapannya waktu lalu, sepertinya bisa dipercaya. Dia bukan tipe cowok brengsek!" Batin Shreya, meyakinkan diri.

****

"Pricilla tidak usah home schooling, Mas. Biarkan Aya yang bimbing dirinya," ucap Shreya mendadak.

Mendengar itu, alis Felix naik sebelah. "Caranya?"

"Aya mau menikah dengan Mas."

Shreya melihat Felix tersenyum. Tampak jelas binar bahagia di wajahnya. Ucapan terima kasih terlontar dari mulut Felix berkali-kali.

Wanita itu tersenyum, kemudian mengangguk. "Sama-sama, Mas. Aya harap Pricilla bisa menerima Aya. Dan Aya akan berusaha menyayangi putri Mas dengan sepenuh hati, seperti darah daging Aya sendiri."

Ia berharap keputusannya itu tepat. Entah mengapa, hatinya merasa lega setelah berkata demikian.

Hanya saja, wanita itu tak tahu bahwa semua tak berjalan semudah yang ia kira....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status