"Abba telepon siapa?" tanyaku. Abba terkejut, melihat ke datanganku."Nanti saya hubungi lagi," ujar Abba, pada seseorang yang sedang ia telepon. Kemudian, Abba menatapku."Ada apa? Abba lagi menghubungi teman," ucap Abba, sambil memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana."Teman yang mana? Dinda dengar lo, Ba. Abba meminta seseorang menghancurkan perusahaan, tempat mas Aditya bekerja?" cercaku.Abba menarik napas."Ya, begitulah.""Abba, kita ini orang biasa, sedangkan perusahaan tempat mas Aditya bekerja, itu perusahaan terbesar di Jakarta. Bahkan, pemiliknya terkenal berhati dingin, tegas dan tidak segan- segan menghancurkan lawan bisnisnya. Kita jangan coba- coba menganggu mereka, yang ada kita bakal dalam masalah," jelasku panjang lebar."Hah? Kamu pikir kita sekecil itu?" Aku mengernyit, mendapat jawaban Abba."Apa karena Abbamu ini seorang petani biasa? Dan Umma hanyalah seorang ibu rumah tangga, jadi kamu merasa kita tidak punya kekuatan apa- apa, untuk melawan Aditya, juga
Panggilan pun kuabaikan begitu saja. Demi ketenangan pikiran ini, tiba- tiba lelaki itu malah mengirim pesan padaku.[Angkat teleponku, atau aku kesana temui orang tuamu?]Aku tercengang, membaca pesan darinya. Ini kak Adam kenapa sih?Dari pada orang tuaku mikir macam- macam, sebaiknya aku telepon dia saja. Lagian ini sudah hampir jam 9 malam, ngapain juga dia harus kemari lagi."Ada apa sih, Kak?" tanyaku kesal, ketika panggilan telepon kami tersambung."Kita harus bertemu besok, ada yang ingin aku sampaikan," ujarnya."Ini penting." Ia menegaskan permintaannya, seolah itu tidak bisa dibantah.Aku menghela napas."Jika kamu menolak, orang tuaku akan datang ke rumah malam ini juga," ujarnya lagi bersuara, disela kebisuanku.Mataku nyaris melompat dari tempatnya, mendengar ucapannya tadi."Memangnya ada apa sih, Kak?" "Kutunggu besok di cafe Delima," ujarnya.Dasar lelaki es batu, mengesalkan sekali. Akhirnya telepon pun diakhiri tanpa jawabanku. Malam itu kulalui dengan gelisah. Ak
"Perusahaan Danum Perkasa," gumam Abba, yang kini mendekati meja makan.Aku mengernyit, karena Abba menyebutkan nama perusahaan, tempat mas Aditya bekerja."Abba, ada apa?" selidikku. Abba menarik napas dan duduk kembali di kursinya."Hanya ingin tahu, sebaik apa kinerja si Aditya itu," jawab Abba dengan santai.Aku semakin tidak mengerti."Ba, itu bukan urusan kita. Tolong jangan seperti ini.""Abba berhak tau! Karena Aditya, bekerja di bawah perusahaan yang Ayah kamu miliki," jelas Abba, membuat aku sangat terkejut luar biasa."Ba, halusinasi macam apa ini?"Aku menatap Abba dengan tidak percaya."Kenapa? Abba tidak berhalusinasi. Abba juga punya saham di perusahaan itu, sebesar 30%. Jadi apa salahnya, Abba mencari tahu kinerja lelaki itu."Aku semakin syok aja, mendengar jawaban Abba. Sulit dipercaya rasanya semua ini. Aneh aja, orang yang hidup serba sederhana seperti Abba, mengaku memiliki saham 30% di perusahaan besar itu.Dan si pemiliknya adalah Papahku sendiri, benar- benar n
"Kamu tentu tahu, bahwa Aditya itu licik. Iren terlalu gegabah," lirihnya. Lelaki itu berbicara, dengan tatapan yang masih fokus mengemudi. Aku mengernyit, dan tidak paham dengan arah ucapannya. "Iren kenapa?" "Iren terlalu meremehkan Aditya. Dia membawa bukti kekerasan yang Iren lakukan padanya. Ia juga membawa bukti, bahwa Iren telah lancang memasang cctv di rumahnya. Aditya bahkan tidak ragu untuk memenjarakan Iren, jika Iren terus ikut campur urusan kalian," jelas kak Adam. "Jika Iren dipenjara, reputasi keluarga besar Darmawangsa taruhannya. Iren bahkan tidak memiliki bukti apapun lagi, untuk melawan Aditya. Gegabah, dan terlalu meremehkan orang lain, itulah sifat buruknya Iren." Aku hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apalagi. Aku terlalu menyusahkan orang lain, termasuk sahabatku sendiri. Kak Adam membawaku ke sebuah pondok makan, yang berada di pinggiran sungai besar yang cukup indah dan sejuk. Kami memesan menu makanan di sana, karena memang memasuki jam makan sian
Kepalaku menjadi sakit, aku tidak bisa berpikir jernih lagi. Aku mulai menjerit- jerit, tidak terima dengan semua ini. Entah apa yang terjadi, tiba- tiba semua menjadi gelap seketika.Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Sebab di saat aku membuka mata, dengan rasa sakit dikepala yang sangat menyiksa ini, aku melihat diri sudah terbaring diatas brankar. "Ren," lirihku, karena melihat wanita itu sibuk dengan ponselnya, sampai- sampai dia tidak tahu, bahwa aku sudah sadar. "Eh, sudah sadar," ujarnya bangkit dari duduknya dan langsung berjalan ke arahku. "Ren, Umma dan Abbaku dimana?" tanyaku. Mataku berkaca- kaca, ini bukan mimpi, nyatanya aku berada di rumah sakit. Mataku liar menatap sekeliling. Iren menunduk, dan menarik kursi yang dekat dengan berankarku. "Kamu harus ikhlasin mereka, Din." "Jadi ini beneran, Ren? Mereka berdua meninggal?" tanyaku mulai dengan nada meninggi. Melihat wajahku yang mulai panik, Iren langsung berdiri dan membenarkan posisi tubuhku yang kesu
Iren kembali dengan penampilan yang kusut dan napas yang terengah- engah. "Kamu nggak apa• apa kan? Nggak ada yang luka kan?" tanya Iren khawatir."Aku nggak apa- apa, Ren." Aku menjawab dengan lemas."Mana suntikan tadi?" tanya Iren lagi sambil celingukan ke bawah."Diambil suster tadi, Ren.""Hah?" Kepala Iren mendongak. Wanita itu langsung berdiri."Kok bisa?" ujarnya lagi dengan tatapan kesal."Aku nggak tau, Ren. Tadi ada satu suster yang masuk ke dalam sini, dia juga menggunakan masker penutup wajah. Tanpa banyak bicara, dia langsung mengambil suntikan itu dan keluar begitu saja tanpa bicara.""Astaga, ini benar- benar tidak bisa lengah sedikit pun," gumam Iren yang akhirnya sibuk dengan ponselnya."Kak, kita harus ketemu!" Hanya itu ucapan Iren, kemudian ponsel kembali dia masukkan ke dalam kantongnya."Ren, jenazah kedua orang tuaku gimana?" tanyaku. Aku benar- benar linglung jadinya. Semua kejadian hari ini begitu mengejutkan."Sudah diurus kak Adam dan kang Mamat. Sebentar
Mobil mewah itu terparkir. Karena penasaran, aku dan Iren malah fokus menatap orang yang ada di dalam mobil, sampai lupa dengan mobil ambulan yang membawa jenazah orang tuaku.Seorang wanita paru baya keluar dari sana. Wajahnya cantik, meskipun usianya terlihat sudah cukup berumur. Wanita itu mengenakan pakaian hitam, dengan turban mewah melekat dikepalanya.Wanita itu berjalan dengan angkuh menuju kami yang berdiri mematung, diliputi rasa penasaran."Apakah kamu yang bernama Dinda?" tanyanya kepadaku."Ibu siapa?" Bukannya menjawab, aku malah bertanya balik."Bisa kita bicara berdua?" Cukup aneh, bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya lagi."Dinda harus mengurus jenazah kedua orang tua Dinda, karena harus segera dikebumikan hari ini," ujarku. Sedangkan Iren hanya diam, mungkin sedang menyimak."Ini penting!" tekannya, dengan tatapan yang sulit aku artikan."Din, biar aku yang handle jenazah kedua orang tua kamu. Bicaranya disini ajakan? Nggak kemana- mana?" tukas Iren ya
Kak Adam menolak membawaku, dia memintaku fokus pada pemakaman kedua orang tuaku.Meskipun aku ingin sekali bertemu dengan pelakunya, tapi aku juga tidak ingin melewatkan detik terakhir bersama dengan kedua orang tuaku, sebelum mereka dikebumikan.Prosesi pemakaman berjalan dengan pilu, karena perasaan tidak ikhlas kehilangan, terus- menerus membuatku menangis sepanjang jalan, hingga diliang lahat keduanya.Selesai di makamkan, para pelayat pun mulai bergerak pulang, menyisakan aku dan Iren, dan juga beberapa anak buahnya yang stay sedikit jauh dari kami."Urusanku sama mas Aditya saja belum selesai, Ren. Malah nambah masalah baru terus, sebenarnya aku ini sedang dihukum apa gimana sih, Ren?" keluhku sambil terisak- isak."Din, kamu jangan pikirin apa- apa dulu, tenangkan diri kamu, ya. Kita hanya harus berhati- hati, Din." Belum selesai Iren bicara, tiba- tiba seseorang melempari kami batu."Aawwkkk." Aku dan Iren terkejut, ketika batu itu mengenai payung yang Iren pegang.Untungnya