Share

CHAPTER 2

Di sore hari yang terlihat mendung, Yuko bergegas turun dari mobil yang dia kendarai begitu memarkirkannya cukup jauh dari tempat yang dia tuju. Bukan tanpa alasan dia memarkirkannya cukup jauh, melainkan karena tempat parkir kafe yang dia tuju sudah penuh oleh kendaraan pengunjung lain.

Yuko berlari menghampiri bangunan terdiri dari dua lantai itu karena menyadari dirinya sudah terlambat. Teman-temannya semasa masih duduk di senior high school, pasti sudah menunggunya di dalam dengan tidak sabar. Dia memang sudah membuat janji dengan teman-teman dekatnya untuk bertemu di salah satu kafe yang berada di kawasan Meguro, Tokyo. Factory & Labo Kanno Coffee nama kafe tersebut. Sebuah kafe yang biasa digunakan para mahasiswa seperti Yuko untuk mengerjakan tugas atau mengobrol dengan nyaman karena nuansa di dalam kafe memang sangat mendukung.

Begitu menginjak halaman depan kafe, Yuko sudah disuguhkan beberapa lantai yang didesain layaknya sebuah laboratorium. Bahkan, ketika dia masuk ke dalam, pelayan yang menyapanya dengan ramah juga mengenakan seragam menyerupai jas lab. Sebenarnya, bangunan kafe itu memang didesain semirip mungkin dengan laboratorium sehingga semua staff termasuk barista dan pramusaji pun mengenakan seragam seperti jas lab.

Yuko membalas sekilas senyuman sang pelayan yang menyapanya ramah sebelum dia berjalan cepat menaiki tangga karena sudah tahu teman-temannya berada di sana. Benar saja, begitu kakinya menginjak lantai atas, dia dengan mudah menemukan teman-temannya sudah duduk di salah satu kursi yang berada di barisan belakang. Bahkan suara tawa kedua temannya, Ayumi dan Sayaka, sudah terdengar dari tempat Yuko kini berdiri.

“Maaf, aku terlambat.” Yuko segera mendudukan diri di salah satu kursi kosong begitu dirinya tiba.

“Kau ini lama sekali, jangan bilang kau pacaran dulu dengan Eiji sebelum ke sini?” tanya Sayaka seraya melempar tatapan penuh curiga pada Yuko.

Yuko memutar bola mata, malas. Walaupun dia tidak heran kedua temannya itu berpikir demikian tentangnya. “Siapa bilang? Aku baru pulang kuliah ini. Begitu kelas selesai, aku langsung berangkat ke sini. Kalian sendiri cepat sekali sampai di sini, tidak kuliah?”

“Tentu saja kuliah. Tapi namanya juga kampus kita tidak seelit Nakagawa Daigaku, jadi ya kita santai,” sahut Ayumi. Dia dan Sayaka tertawa bersama seolah-olah dengan sengaja menertawakan Yuko yang harus menerima nasib berada di universitas elit seperti Nakagawa Daigaku yang peraturannya pun sangat ketat.

“Jangan tertawa. Aku datang ke sini bukan untuk mendengar ejekan kalian.” Yuko memicingkan mata, terlihat jelas mulai kesal. “Jadi, kenapa kalian mengajakku bertemu? Kalian bilang ada hal penting yang harus kita bicarakan?”

“Kau tidak memesan minuman dulu?” Sayaka yang bertanya karena Yuko langsung membicarakan masalah inti padahal gadis itu belum memesan apa pun.

Tanpa keraguan Yuko menggeleng, “Tidak, tidak. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke asrama atau aku akan mendapatkan hukuman karena pulang terlambat.”

Sayaka dan Ayumi saling berpandangan, tak lama berselang kembali tawa mereka yang terdengar.

Habis sudah kesabaran Yuko, dia menggebrak meja cukup kencang. “Aku serius. Bisa tidak kalian jangan bercanda?”

“Gomen’nasai.” Sayaka dan Ayumi mengatakannya dengan serempak layaknya paduan suara meskipun di akhir ucapan, mereka kembali tertawa, terlihat jelas tidak tulus meminta maaf.

“Kalian ini menyebalkan. Jika kalian masih tidak mau mengatakan masalah penting yang ingin kalian bicarakan denganku? Ok, aku pergi saja.” Yuko tidak main-main dengan ucapannya karena setelah itu dia bergegas berdiri dari posisi duduk, membuat Sayaka dan Ayumi panik dan mereka berdua bergegas menahan Yuko agar tetap diam di tempat.

“Alasan kami berdua mengajakmu bertemu di sini karena ingin mengajakmu pergi nanti malam.” Akhirnya Ayumi yang mengalah dan menceritakan alasan sebenarnya mereka mengajak Yuko bertemu.

Kening Yuko mengernyit, terlihat kebingungan. “Nanti malam? Pergi ke mana?”

“Ke Bar Muse.” Sayaka menimpali.

Tentunya Yuko tahu persis tempat apa yang baru saja disebutkan oleh temannya. Bar Muse merupakan salah satu bar malam yang terkenal di daerah Roppongi. Sebuah bar yang biasanya digunakan sebagai tempat pesta. Di bar itu menyuguhkan hiburan musik yang luar biasa untuk menemani para pengunjung menari di lantai dansa, dengan berbagai jenis minuman yang ditawarkan seperti koktail premium.

Yuko melebarkan mata, “Hah? Ke Bar Muse? Untuk apa?”

Ayumi menyahut, “Untuk merayakan ulang tahun Haruko. Acaranya nanti malam. Kau harus datang ya. Tapi jangan ajak Eiji.”

“Kenapa aku tidak boleh mengajak Eiji?” tanya Yuko, terheran-heran.

“Karena ini acara khusus untuk para wanita. Pria sama sekali tidak diizinkan untuk ikut.” Sambil mengedipkan sebelah mata, Ayumi kembali menjelaskan.

Yuko terlihat mengembuskan napas pelan, dia kebingungan. Haruko merupakan sahabat dekatnya karena saat masih sekolah dulu mereka berempat merupakan sahabat karib. Namun, untuk pergi menghadiri pesta nanti malam, jelas dia tidak akan bisa.

“Sepertinya aku tidak bisa ikut.” Saat mengatakan ini ekspresi wajah Yuko kentara begitu merasa bersalah.

Sayaka dan Ayumi yang sejak tadi bersikap santai dan terkesan banyak bercanda, kini mulai serius menanggapi ucapan Yuko yang menolak ajakan mereka.

“Kenapa tidak bisa ikut?” tanya Sayaka. “Pasti kau takut Eiji tidak akan mengizinkan?”

Dengan tegas Yuko menggeleng karena bukan hanya itu alasannya menolak. “Kalian tahu aku tinggal di asrama kampus. Peraturannya ketat. Kami harus sudah ada di asrama sebelum jam sepuluh malam. Selain itu, setiap tengah malam ada yang bertugas patroli, memeriksa setiap kamar untuk memastikan semua mahasiswa ada di kamar masing-masing. Ini biasanya Ibu Asrama langsung yang memeriksa.”

Sayaka dan Ayumi melebarkan mata, terkejut karena mereka baru mengetahui seketat itu peraturan mahasiswa yang menuntut ilmu di Nakagawa Daigaku.

“Kampus elit Nakagawa Daigaku memang berbeda ya? Selain peraturannya ketat, setiap mahasiswa juga mendapat satu kamar di Asrama Kampus. Coba bandingkan dengan kampus lain yang satu kamar asrama bisa ditempati beberapa mahasiswa.” Sayaka menimpali.

“Oh, jelas. Mahasiswa di sana sebagian besar anak-anak konglomerat jadi wajar jika mereka diperlakukan istimewa. Aku pernah masuk ke dalam asrama saat main ke kamarmu itu, Yuko. Benar-benar menakjubkan, asrama saja terlihat seperti hotel.” Ayumi ikut-ikutan berkomentar.

“Seharusnya peraturan asrama yang ketat bukan masalah untukmu, Yuko.”

Yuko seketika menoleh pada Sayaka yang baru saja berujar demikian. “Maksudnya?”

“Kekasihmu merupakan putra pemilik Nakagawa Daigaku. Seharusnya kau bisa memanfaatkan hal itu untuk meminta pengecualian. Lagi pula, hanya malam ini kau keluar malam.”

“Oh, iya. Benar juga, manfaatkan statusmu sebagai kekasih Eiji. Dia putra pemilik universitas, aku yakin kau akan diizinkan jika meminta izin dengan menggunakan namanya.” Ayumi mendukung sepenuhnya saran dari Sayaka.

Yuko berdecak, “Itu tidak mungkin. Jika aku menggunakan nama Eiji untuk meminta izin, aku yakin Ibu Asmara akan bertanya dulu pada Eiji. Memangnya tidak masalah jika Eiji nanti ikut?”

“Yah, jangan. Aku sudah bilang ini acara khusus para wanita,” timpal Ayumi.

“Maka dari itu, aku tidak bisa menggunakan namanya ketika meminta izin.”

Sayaka dan Ayumi ikut tertegun, ikut bingung memikirkan cara agar Yuko bisa ikut serta.

“Kau bilang Eiji itu sering menyusup masuk ke dalam asrama ya? Memangnya dia memiliki akses untuk masuk diam-diam ke asrama?” Sayaka yang menanyakan ini karena dia ingat Yuko pernah bercerita Eiji sering menyusup masuk ke asrama untuk mendatangi kamar Yuko. Apa yang mereka lakukan di dalam kamar secara diam-diam, tentu kedua teman Yuko sudah bisa menebaknya dengan pasti meskipun Yuko tak menjelaskannya secara detail.

Yuko memberikan respons dengan anggukan, “Ya. Dia memiliki kartu untuk membuka pintu masuk asrama.”

Dengan antusias, Sayaka menjentikkan jari seolah-olah dia baru saja menemukan sebuah ide brilian. “Kau pinjam saja kartu itu pada Eiji supaya nanti malam bisa menyusup keluar secara diam-diam. Jadi …” Sayaka tak melanjutkan ucapannya karena kakinya di bawah meja tiba-tiba ditendang oleh Ayumi.

“Kau ini tidak mengerti ya? Jika Yuko meminjam kartu itu pada Eiji, artinya dia akan tahu rencana kita. Eiji itu posesif sekali, dia pasti tidak akan mengizinkan Yuko pergi ke bar. Jadi, jika ingin acara kita aman, dia tidak boleh diberitahu.”

Sayaka menepuk keningnya dramatis, baru menyadari ucapan Ayumi ada benarnya. “Terus kau punya saran yang lain?” tanyanya, berharap Ayumi memiliki cara lain agar Yuko bisa ikut serta dengan acara mereka nanti malam.

“Yuko, memangnya kau tidak punya teman yang bisa menggantikanmu? Maksudnya berpura-pura menjadi dirimu supaya nanti ketika Ibu Asrama memeriksa kamar, dia berpikir orang itu sebagai kau.”

Mendengar saran dari Ayumi, Yuko seketika tertegun. Sepertinya dia baru saja mendapatkan sebuah ide untuk menyelesaikan permasalahannya ini.

Ternyata benar saja, karena saat malam tiba … tepat jam delapan, Yuko kini tidak sendirian di kamar asramanya. Melainkan, ada Izumi juga di sana, pembantu yang sudah dia anggap sebagai sahabat.

“Jadi Izumi, kau cukup tidur di sana dan tutupi tubuhmu dengan selimut supaya saat ada yang memeriksa kamar, mereka pikir aku yang sedang tidur di ranjang,” ucap Yuko seraya menunjuk ke arah tempat tidurnya.

Sejak berpisah dengan teman-temannya di kafe tadi, Yuko tidak langsung kembali ke asrama, tapi dia pergi ke rumahnya untuk membawa Izumi.

“Nona yakin kita tidak akan ketahuan?” Izumi terlihat ragu, takut kebohongan mereka ini akan terbongkar.

“Yakin sekali. Kau tenang saja. Pura-pura saja sudah tidur. Mereka biasanya hanya memeriksa dengan membuka pintu, jika melihat ada yang tidur di ranjang pasti mereka langsung berpikir itu aku yang sudah tidur.” Yuko menangkupkan kedua tangan di depan dada, “Aku mohon Izumi, bantu aku ya?”

Karena tak enak hati jika menolak permintaan Yuko yang begitu baik padanya, gadis itu hanya bisa mengalah. Izumi pun mengangguk, menyanggupi permintaan Yuko untuk berpura-pura menjadi dirinya malam ini.

***

Di daerah Shibuya, di sebuah klub malam bernama Womb lebih tepatnya, Eiji dan semua personil Black Shaddow tengah berkumpul. Mereka berpesta untuk merayakan kesuksesan konser beberapa hari yang lalu.

Berbagai jenis wine mahal tersaji di atas meja, disertai beberapa camilan sebagai pelengkap.

“Aku dengar bulan depan kita akan mulai melakukan tour ke luar negeri.”

Eiji yang sedang memetik senar gitar sambil sesekali bersenandung, seketika menghentikan gerakan tangan dan menoleh pada Shuji yang baru saja berkata demikian. Begitu pun dengan Ito dan Kenji yang sedang menyibukan diri dengan minuman masing-masing, ikut menoleh ke arah Shuji yang sedang berdiri di dekat pintu kaca seraya menatap ke arah para gadis cantik yang sedang menari di dance floor.

“Kau tahu dari siapa?” tanya Eiji, yang baru mendengar kabar itu.

Shuji melangkah mendekati teman-temannya yang sedang duduk di sofa, lalu ikut bergabung di sana sebelum dia menjawab, “Dari manager. Aku tidak sengaja menguping saat dia bicara di telepon dengan sponsor yang akan mensponsori tour kita nanti.”

“Wow, ini menakjubkan. Pertama kita konser tunggal di Tokyo Dome. Bulan depan akan menjadi tour luar negeri kita yang pertama. Ini luar biasa. Black Shaddow akan semakin sukses di masa depan. Aku yakin.” Dengan riang, Ito berkomentar.

Kenji yang duduk santai dengan bersandar pada sandaran sofa, kini mengubah posisi duduknya menjadi tegak, dia lantas mengambil salah satu botol wine dengan merk vodka. Menuangkan cairan wine pada empat gelas berkaki, dia lalu mengambil salah satu gelas dan mengangkatnya. “Ayo, bersulang. Kita rayakan kesuksesan band kita.”

Eiji mendengkus, dia menyandarkan gitar pada meja, setelahnya ikut mengambil salah satu gelas yang sudah terisi cairan wine berwarna kekuningan tersebut. Mereka berempat saling bersulang. Tidak hanya meminum satu gelas karena kenyataannya mereka terus menenggak minuman memabukkan itu sampai menghabiskan beberapa botol. Eiji yang paling banyak minum karena pria itu sedang kesal nomor Yuko sejak tadi tidak bisa dihubungi.

“Hanya pesta minum tidak cukup untuk merayakan keberhasilan kita, karena itu …” Shuji menjeda ucapannya, pria itu bangkit berdiri lalu tiba-tiba berjalan menghampiri pintu, mengundang tatapan bingung dari ketiga temannya yang tak tahu-menahu apa yang akan dilakukannya. “… aku sudah menyiapkan mereka semua untuk menghibur kalian,” katanya seraya membuka pintu selebar mungkin. Beberapa detik kemudian, beberapa wanita cantik nan seksi bermunculan. Mereka sangat menawan serta menggoda dengan gaun seksi dan menerawang yang dikenakan.

Suara siulan Ito dan Kenji saling bersahut-sahutan begitu menyaksikan para wanita cantik yang sengaja dipesan Shuji, melenggang layaknya model papan atas, memasuki ruangan VIP yang mereka pesan. Berbeda dengan Eiji yang terlihat risih dan enggan, pria itu berjalan menjauh begitu ada wanita yang berniat duduk di sampingnya.

Eiji mabuk berat terbukti dari dirinya yang sempoyongan begitu berdiri. Dia memicingkan mata begitu melihat Ito dan Kenji sedang mencumbu mesra secara bergantian dua wanita yang duduk di kanan dan kiri mereka. Eiji semakin risih melihatnya terutama karena melihat wanita-wanita itu membuatnya teringat pada Yuko yang menolak diajak bergabung dalam pesta perayaan ini dan sekarang pacarnya itu tidak bisa dihubungi.

Masih dengan sempoyongan, Eiji melangkah menuju pintu.

“Hei, Eiji! Kau mau ke mana?” teriak Kenji, orang pertama yang menyadari Eiji berniat meninggalkan ruangan.

“Sudah biarkan saja. Dia pasti ingin mendatangi pacarnya. Memangnya apa lagi alasan dia memilih pergi daripada bersenang-senang dengan wanita-wanita yang sudah aku pesan untuk menghibur kita?”

Dengan jari telunjuknya, Eiji menunjuk-nunjuk Shuji yang tebakannya tepat sasaran, memang itulah yang akan dia lakukan, menemui Yuko untuk menghukumnya karena sudah membuatnya kesal seperti ini. “Aku pergi dulu.”

“Jangan menyetir sendiri. Kau pesan saja taksi. Bahaya jika kau menyetir dalam keadaan mabuk berat.” Ito yang khawatir melihat kondisi Eiji yang sedang mabuk berat, memberikan peringatan.

Eiji hanya membalasnya dengan mengangkat satu tangan. Pria itu pun benar-benar pergi meninggalkan ruangan.

Setibanya di pinggir jalan, Eiji menuruti saran Ito. Dia memesan taksi yang melintas di depannya, lantas menyebutkan alamat yang akan dia tuju. Eiji tertidur selama perjalanan karena pengaruh alkohol membuat kepalanya pusing bukan main.

“Pak! Pak!”

Pria itu baru terbangun di saat sang sopir taksi membangunkan dirinya. Eiji melenguh, kedua matanya menyipit terlihat masih kebingungan karena tidur nyenyaknya terganggu.

“Kita sudah sampai, Pak. Di asrama Nakagawa Daigaku.”

Eiji menoleh ke samping kanan begitu sang sopir memberikan informasi di mana mereka berada saat ini. Eiji menelisik sekitar sebelum seringaian tercetak jelas di bibirnya. Benar, bangunan berlantai lima yang ada di hadapannya memang asrama Nakagawa Daigaku. Sebentar lagi dia akan memberikan hukuman pada Yuko, tanpa dia sadari bahwa orang yang berada di dalam kamar Yuko saat ini adalah Izumi yang sedang menggantikan Yuko.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status