Share

CHAPTER 1

Gadis yang terlihat berdiri gelisah sehingga salah satu kakinya tiada henti menghentak lantai itu merupakan Nishimura Yuko. Putri bungsu keluarga Nishimura yang merupakan pemilik Nishimura Industries. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang industri alat-alat elektronik, food dan furniture. Tahun ini, Yuko masih menuntut ilmu di salah satu universitas swasta yang cukup bergengsi, Nakagawa Daigaku (Universitas Nakagawa).

“Duh, kenapa mereka lama sekali ya? Kita sudah menunggu hampir satu jam di sini.” Terhitung ini kesekian kalinya Yuko menggerutu karena sosok Eiji yang sedang dia tunggu tak kunjung keluar dari pintu yang dia yakini merupakan pintu keluar untuk personil Black Shaddow setelah selesai manggung.

Izumi tersenyum maklum karena dia tahu persis Yuko memang tidak sabaran. “Mungkin sebentar lagi, Nona Yuko.”

Yuko menghela napas panjang, “Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Menyebalkan.”

“Yuko!”

Kepala Yuko yang sejak tadi tertunduk sembari menatap sepatunya, seketika mendongak begitu mendengar namanya dipanggil seseorang. Senyuman lebar terulas di bibir gadis itu begitu melihat Shuji sedang berjalan menghampirinya.

“Pasti kalian sedang menunggu Eiji ya?” Shuji bertanya dengan jari telunjuk yang terarah pada Yuko, lalu beralih pada Izumi.

“Ya. Di mana Eiji?”

“Masih di dalam. Aku lihat tadi dia belum selesai berganti pakaian.” Shuji tiba-tiba mengulas senyum dan menyentuh tangan Yuko tanpa permisi. Namun, Yuko tak terlihat keberatan karena dia sudah menganggap pria itu sebagai temannya. “Ngomong-ngomong bagaimana menurutmu dengan penampilan kami tadi di atas panggung?”

Yuko mengangkat kedua ibu jari, “Luar biasa. Penampilan kalian sukses besar. Kau lihat sendiri semua penonton sangat terhibur. Selamat.” Yuko bertepuk tangan, membuat Shuji terlihat malu karena pria itu kini terkekeh dengan rona malu yang bermunculan di kedua pipinya.

“Kami sangat gugup. Beruntung kami tidak melakukan kesalahan sedikitpun.”

“Aku mengerti, wajar jika kalian gugup. Aku saja tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berdiri di atas panggung sebesar dan semegah itu. Kalian juga harus melihat penonton yang jumlahnya mengerikan untuk dibayangkan.”

Shuji terkekeh, sebelum pria itu terdiam karena menelisik wajah cantik Yuko yang selalu sukses membuat jantungnya berdetak cepat bak seorang pelari yang baru saja mengikuti lari marathon. Sayangnya, gadis itu sama sekali tidak mengetahui perasaannya ini. Shuji juga harus rela menerima kenyataan pahit bahwa gadis yang diam-diam dia sukai telah menjadi milik sahabatnya. Yuko adalah kekasih Eiji, sebuah fakta yang membuat Shuji terkadang sulit menerimanya.

“Nona Yuko, itu Tuan Muda Eiji keluar.”

Pemilik suara yang berhasil mengalihkan perhatian Yuko dan Shuji tentu saja adalah Izumi. Wajah Yuko dalam hitungan detik berubah sumringah, dia melepaskan tautan tangannya dengan Shuji lalu berlari menghampiri sang kekasih yang sedang berjalan seraya melambaikan tangan, menyapanya.

Mereka berdua berpelukan bahkan tak mempedulikan mereka sedang berada di tempat umum, pasangan sejoli yang sedang dimabuk asmara itu berciuman bibir dengan mesra.

“Hei, hei, kenapa kalian harus bermesraan di sini? Pergi ke hotel sana!”

Suara Shuji yang menginterupsi kegiatan mereka membuat suara dengusan meluncur mulus dari mulut Eiji. Dia mengangkat kepalan tangan ke depan, memberi isyarat agar Shuji menjaga mulutnya dan berhenti mengganggu kesenangannya dengan sang pacar.

“Ok, Ok. Gomen’nasai,” ucap Shuji sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai bentuk permohonan maaf. “Eiji, di mana Ito dan Kenji?”

Dengan dagunya, Eiji menunjuk ke arah pintu di mana dirinya baru saja keluar.

“Mereka masih di dalam? Sedang apa?”

“Kau lihat saja sendiri.”

Shuji berdecak, walau sudah biasa mendapat respons cuek dan dingin dari Eiji, tetap saja dia kesal mendengarnya. “Aku ke sana dulu.” Shuji melangkah dari tempatnya berdiri karena berniat menemui kedua temannya yang belum keluar dari ruang ganti. Pria itu menepuk pelan bahu Yuko yang masih berada dalam pelukan Eiji, begitu mereka berpapasan, “Sampai jumpa lagi, Yuko.”

“Iya, Shuji. Sampai jumpa lagi.” Yuko melambaikan tangan, sebelum perhatiannya kembali tertuju pada sang pujaan hati. “Eiji, kita pergi ke Tokyo Dome City ya?”

“Kapan?”

“Sekarang.”

Kening Eiji mengernyit bingung, “Untuk apa?”

Kedua mata Yuko berotasi, “Untuk mencari makanan. Memangnya untuk apa lagi menurutmu?”

“Kau lapar?”

Tanpa ragu Yuko mengangguk, “Tentu saja. Aku belum makan apa-apa sebelum ke sini. Lagi pula, aku yakin Izumi juga pasti lapar.”

Tatapan Eiji berpaling dari wajah Yuko kini tertuju pada Izumi yang berdiri salah tingkah, tak jauh dari mereka. “Kau mengajak pembantumu itu menonton konserku lagi?”

Yuko melebarkan mata, bukan terkejut melainkan dia tak suka karena Eiji berkata demikian. “Sudah kukatakan Izumi itu bukan sekadar pembantu di rumahku, tapi dia sudah aku anggap seperti teman dekat.”

“Jujur, sampai sekarang aku salut padamu. Jika itu aku, tidak mungkin bisa akrab dengan pembantu di rumahku.”

Yuko tersenyum tipis, seolah dirinya sedang bernostalgia dengan masa lalu. “Aku dan Izumi itu lahir di tahun yang sama. Sejak kecil kami sudah dekat dan tumbuh bersama. Selain itu, ibunya juga selalu merawatku sejak kecil karena orang tua kandungku yang terlalu sibuk bekerja. Ibu Izumi sudah seperti ibu kedua bagiku. Sedangkan Izumi, dia seperti sahabat yang selalu ada untukku di saat aku membutuhkannya.”

Yuko terkekeh ketika Eiji tiba-tiba menyentil ujung hidungnya pelan, “Betapa baiknya pacarku ini. Jadi, kau ingin kita ke Tokyo Dome City?” Dengan antusias Yuko mengangguk. “OK. Ayo, kita ke sana.”

Melihat Yuko memekik histeris karena senang keinginannya dikabullkan, Eiji hanya bisa mengulum senyum. Dia begitu mencintai gadis yang sudah dia pacari selama tiga tahun itu. Rela melakukan apa pun hanya karena ingin melihat wajah cantik Yuko selalu dihiasi dengan senyuman.

***

Tempat yang mereka pilih untuk makan bersama adalah salah satu restoran yang menjual berbagai jenis mie di area Tokyo Dome City. Ketiga orang itu sudah menyebutkan makanan pesanan masing-masing. Yuko yang menyukai makanan pedas, memesan yakisoba dengan rasa ekstra pedas. Mie goreng khas Jepang yang saat dimasak dicampur dengan berbagai sayuran seperti; kol, wortel dan bawang ini merupakan makanan favoritnya. Sedangkan Eiji dan Izumi memesan makanan yang sama yaitu udon. Mie berukuran besar yang akan meleleh di mulut ini mereka pilih karena kuahnya yang lezat dan hangat bisa menghangatkan tubuh mereka yang terasa dingin malam itu.

“Eiji, tadi kenapa kau lama sekali keluar dari ruang ganti? Aku dan Izumi menunggumu lama sekali.” Hingga detik ini Yuko belum melupakan betapa kesal dirinya selama menunggu kemunculan Eiji.

Alih-alih merasa bersalah karena sudah membuat dua gadis cantik menunggunya lama, Eiji hanya mengulum senyum. “Ada yang kami bicarakan dulu dengan manager. Ya, namanya juga kami baru selesai konser. Jadi, ya …” Eiji mengangkat kedua bahu, merasa tak penting menjelaskannya secara detail pada Yuko dan Izumi yang pastinya tak akan mengerti dunia entertainment yang dia geluti.

“Benar karena ada yang dibicarakan dengan manager? Bukan karena kau meladeni dulu fans-fans wanitamu yang menerobos masuk, kan?”

Melihat Eiji meneguk ludah, Yuko seketika memicingkan mata, sudah dia duga pemikirannya memang tepat.

“Ah, itu hanya ada tiga orang yang meminta tandatangan. Aku tidak boleh sombong pada mereka karena kami bisa sukses seperti sekarang berkat dukungan mereka. Jadi, aku …”

“Aku tidak percaya kau hanya memberikan tandatangan. Aku yakin kau juga berfoto dengan mereka, kan?”

Eiji terlihat menggulirkan mata, menatap ke arah lain asal tidak menatap wajah Yuko yang terlihat kesal dan penuh curiga.

“Kau ini menyebalkan padahal tahu aku sedang menunggumu. Pantas saja lama sekali tadi.”

“Aku minta maaf.”

“Kau pikir cukup hanya dengan minta maaf?”

Sekali lagi Eiji terlihat meneguk saliva, kebingungan menghadapi sang pacar yang sedang merajuk. “Hm, aku janji akan menebus kesalahanku ini dengan apa pun. Kau sebutkan saja apa yang harus aku lakukan.”

Seringaian lebar tercetak jelas di wajah Yuko, Eiji bisa merasakan gadis itu sedang memikirkan sebuah rencana jahat padanya.

“OK. Aku maafkan jika kau bersedia mengabulkan semua keinginanku.”

“Selama keinginanmu tidak aneh-aneh, pasti akan aku kabulkan.”

“Lihat saja nanti, yang penting kau harus menepati janjimu ini. Itu pun jika kau ingin dimaafkan.”

Eiji mengembuskan napas pelan, tahu persis dirinya tak mungkin menang jika berdebat dengan Yuko. “Baiklah, apa pun untukmu,” katanya seraya merangkul Yuko ke dalam dekapan. Pasangan itu kembali berciuman, tak mempedulikan keberadaan Izumi yang sedang menundukan wajah karena tak ingin melihat kemesraan mereka berdua.

Yuko menjadi orang pertama yang melepaskan ciuman panjang mereka, dia mengusap ujung bibir Eiji yang basah karena ulahnya, sebelum dia bangkit berdiri dari posisi duduk. “Aku ke toilet sebentar ya.” Yuko lalu menoleh ke arah Izumi. “Izumi, mau ikut ke toilet?”

“Tidak, Nona Yuko. Aku tunggu saja di sini.”

Yuko melenggang pergi setelah itu, meninggalkan meja yang kini terasa canggung karena baik Izumi maupun Eiji sama sekali tak mengeluarkan suara. Tak nyaman dengan keheningan yang tiba-tiba melanda, Eiji berdeham untuk menarik atensi Izumi yang sedang menunduk menatap kesepuluh jemarinya yang sedang saling meremas di atas pangkuan.

“Izumi.” Hingga pada akhirnya Eiji memilih memanggil Izumi karena gadis itu sama sekali tak merespons dehamannya.

Izumi mendongak, menatap lurus wajah Eiji yang duduk berseberangan dengannya. “I-Iya. Kenapa, Tuan Muda?”

Eiji berdecak, “Sudah berapa kali aku bilang panggil saja namaku. E-I-J-I … panggil saja Eiji. Ok?”

Izumi meringis, merasa tak sopan memanggil kekasih majikannya langsung dengan nama. Jadi, gadis itu hanya terdiam, tak menanggapi sedikitpun.

“Tadi kau menyukai konsernya?” Eiji kembali bertanya, dia tahu Izumi begitu pendiam dan pemalu. Saat mereka bertemu karena Yuko yang mengajaknya, dia nyaris tak pernah mengobrol dengan gadis itu.

Izumi menganggukkan kepala dengan gerakan perlahan, “Iya. Tadi konsernya bagus sekali.”

“Jadi, kau suka?”

“Suka sekali,” sahut Izumi sambil mengulas senyum.

“Baguslah kalau kau suka. Semoga saja penonton lain juga menyukainya.”

“Aku yakin semua penonton puas dengan penampilan kalian karena konser tadi memang menakjubkan. Aku dan Nona Yuko saja sampai ….” Izumi tak melanjutkan ucapannya karena dia melihat Eiji sedang tersenyum lebar di depan sana.

“Wah, baru kali ini aku melihatmu banyak bicara. Kau tahu, Izumi, kau harus sering seperti ini karena kau terlihat lebih cantik saat ceria dan tersenyum seperti barusan.”

Izumi yakin wajahnya sedang merona hebat sekarang, karena itu dia bergegas menundukkan kepala. Kondisi Izumi yang sedang gugup bukan main itu tertolong oleh kedatangan pelayan yang mengantarkan pesanan mereka.

“Udon-nya mohon ditunggu satu lagi,” ucap sang pelayan karena baru dua menu yang diantarkan ke meja mereka.

“Baik,” sahut Eiji.

Pria itu meletakkan yakisoba milik Yuko tepat di depan kursi gadis itu. Ketika dia melihat mangkuk udon berada di tengah-tengah dirinya dan Izumi, Eiji bermaksud mendorongnya ke arah Izumi, tapi siapa sangka dirinya dan Izumi bersamaan menyentuh mangkuk itu sehingga tangan mereka saling bersentuhan.

Izumi segera menarik tangannya. “M-Maaf,” gumamnya pelan.

Eiji mengulum senyum, dia mendorong mangkuk berisi udon yang masih hangat itu mendekat ke arah Izumi, “Kau makan duluan.”

Dengan tegas Izumi menggeleng, “Tidak. Kau saja yang duluan.”

“Pernah mendengar istilah ladies first? Itu artinya wanita duluan. Ayo, dimakan. Kau harus banyak makan agar tubuhmu sehat dan tidak kurus seperti itu,” kata Eiji seraya mengulas senyum tipis.

Eiji sama sekali tidak tahu bahwa senyuman itu selalu sukses membuat Izumi yang diam-diam memendam rasa padanya, kini merasakan detak jantungnya seolah siap melompat keluar dari rongga dada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status