Jleb! Ya Allah. Lidahku seakan kelu, aku memilih diam. Apa yang harus aku jawab? Apa aku cerita saja semuanya ke Ayu?‘’Ya, Ayu berhak tahu semuanya. Dia adalah sahabatku, biar aku juga ngga memendam sendiri,’’ gumamku dalam hati. Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Ayu hingga membuat dia kaget.‘’Ya Allah, astaghfirullah al aziim. Kenapa kamu nggak cerita ke aku, Monik. Kenapa baru sekarang? Andre sungguh keterlaluan!’’ Terdengar suara Ayu naik beberapa oktav di seberang sana. ‘’Maaf, Yu. Aku ngga mau ngerepotin kamu terus."‘’Ya Allah, kamu kayak nggak kenal aku aja. Kita udah lama bersahabat, kok kamu malah bilang kayak gitu?’’‘’Mungkin ini yang terbaik untuk kamu. Lelaki kayak Andre nggak bisa dipertahankan, yang ada kamu akan tersakiti terus,’’ imbuh Ayu di seberang sana. ‘’Kamu pasti kuat dan bisa melewati ini semua. Aku yakin itu dan kamu belum terlambat untuk bertobat. Anggap ini teguran dari Allah atas semua yang kamu lakukan. Allah menegurmu agar ka
‘’Nggak, Ma. Mama dan Papa nggak salah kok, malahan sesibuk apapun selalu menyempatkan diri untuk menasehati aku, akulah yang nggak mendengarkan nasihat Papa dan Mama. Aku yang terlalu keras kepala.’’ Tanganku terangkat menyeka buliran air mata Mama.‘’Maafkan aku, Ma. Aku banyak dosa sama Mama dan Papa,’’ lanjutku. Buliran air mata tak hentinya berjatuhan di pipiku. Orang tua adalah tempat kembali, apapun yang terjadi ketika berumah tangga pasti akan kembali ke orang tua. Aku beruntung sekali memiliki orang tua seperti Mama dan Papaku. ‘’Mama dan Papa sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kamu minta maaf. Monik belum terlambat bertobat kok, Allah Maha Pengampun asalkan jangan diulangi lagi yang sudah diperbuat."‘’Alhamdulillah, makasih banyak, Ma. Bantu dan bimbing aku agar bisa jadi yang lebih baik lagi ya.’’ Ada rasa lega di hatiku. Mama tampak mengangguk dan tersenyum. ‘’Sama-sama, Mama akan selalu bimbing kamu semampu Mama.’’‘’Kamu harus tetap kuat, tabah, dan tetap semangat ya,
‘’Ma,’’ Hanya kata itu yang terucap di bibirku, di sela isakan tangis. Mama tampak semakin cemas, bayiku yang tengah terbangun pun ikut menangis. ‘’Nak, ayo masuk dulu ke dalam. Kasihan bayimu dan malu kalo tetangga ngeliat kita,’’ lirih Mama. Aku mengangguk dan berusaha untuk menyeka buliran air mataku, namun tetap saja mengalir. Mama mengambil Rafi dari gendonganku lantas membawa ke dalam rumah, aku mengikuti langkah mama yang masih terisak-isak. Rumah baru yang ditempati kedua orang tuaku tampak begitu luas hingga untuk menuju ke ruang keluarga pun cukup lama. Mama membawa Rafi ke kamar dan aku menghenyak di sofa ruang keluarga. Mama melangkah ke tempatku lantas duduk di sampingku. Aku kembali memeluk Mama tangisanku kembali pecah. ‘’Ya Allah, ada apa sebenarnya, Nak? Cerita ya, kalo kayak gini Mama nggak akan tahu apa yang terjadi denganmu,’’ lirih Mama mengelus punggungku. Aku tidak tahan lagi, terpaksa aku harus cerita semuanya ke Mama. ‘’Andre men.. menceraikanku,’
Aku berusaha menahan air mataku, mencoba untuk tetap tersenyum walaupun hambar.Bibi mengangguk dan mengecup kening Rafi.‘’Monik, Bapak sudah menunggu kamu di luar,’’ panggil Mama kemudian yang baru datang dari luar.‘’Iya, Ma. Aku pamit dulu ya.’’‘’Ya udah, Bi. Aku dan Rafi pamit dulu. Jaga Ibu ya, Bi. Asalamualaikum.’’ Kuraih tangan bibi untuk takzdim. Air mata yang kutahan sejak tadi tumpah begitu saja. Tampak bibi juga meneteskan air mata.‘’Hati-hati, Monik,’’ ucap bibi. Aku melangkah ke luar rumah. Setibanya di garasi kulihat bapak sopir pribadi Mama sudah menungguku. Aku menghela napas berat. ‘’Monik, kita berangkat?’’ tanya Bapak sopir yang masih berdiri di samping mobil. ‘’Sebentar, Pak,’’ sahutku. Mama pun datang menghampiriku.‘’Hati-hati ya, Nak. Jaga kesehatanmu, jaga Rafi dan jangan lupa hubungi Mama ya.’’‘’Sering-sering main ke sini bawa cucu Mama,’’ imbuh Mama sambil mengecup kening Rafi kembali. ‘’Iya, Ma. Mama jaga kesehatan ya.’’ Hanya kata itu yang keluar da
‘’Mungkin ini cara Allah, agar aku kembali ke jalan-Nya.’’ Kuseka air mata kembali, bergegas bangkit. Walau terasa berat dan sulit bagiku. Aku harus kuat dan sabar demi bayiku. Lekas kumpulkan semua pakaianku dan juga pakaian Rafi, merapikannya ke dalam koper. Ketika tengah beberes Mama Karni datang menghampiriku.‘’Nak, ini untukmu.’’ Mama menyodorkan amplop ukuran besar. Yang kukira isinya adalah uang untuk Rafi.‘’Nggak usah, Ma,’’ tolakku pelan, masih sibuk merapikan isi koperku.‘’Ambil-lah, Mama tahu kamu pasti butuh ini. Mama ikhlas kok. Apa kamu nggak kasihan sama Rafi? Nanti kamu malah nggak punya uang untuk mengontrak sementara.’’ Mama kembali menyodorkan amplop itu.Mama ada benarnya juga. Sebenarnya aku pun sangat membutuhkan uang itu. Apalagi aku saat ini sudah punya anak. Tentu butuh uang untuk membeli keperluannya sehari-hari. ‘’Makasih banyak, Ma. Aku ambil ya.’’ Mama mengangguk dan tersenyum. Aku meraihnya, lalu menyimpan di koperku. Mama kembali merangkulku erat.‘’
‘’Nak, kamu di sini aja. Walaupun kamu bukan menantu Mama lagi, tapi Mama udah menganggap kamu sebagai anak kandung Mama sendiri.’’ Buliran air mata Mama kembali menetes di pipinya yang mulai tampak berkerut. Begitu pun dengan bibi yang tak hentinya meneteskan air mata. Aku menghela napas pelan, lalu menyeka air mataku.‘’Ma, makasih banyak ya. Tapi aku nggak mau merepotkan Mama, apalagi statusku sekarang bukan istrinya Andre lagi. Mama jangan khawatir, aku akan ke sini lagi kalo Mama kangen sama Rafi dan aku. Aku janji, Ma.’’ ‘’Baiklah, kalo begitu kata kamu. Tapi izinkan Mama memberikan hadiah untuk cucu Mama.’’ Aku kaget seketika. Hadiah?‘’Mama mohon kamu bisa menerimanya, hanya ini yang bisa Mama bantu untuk cucu Mama.’’‘’Makasih banyak, Ma. Sekali lagi makasih,’’ ucapku lirih, memegang jemari Mama.‘’Sama-sama, Sayang. Kamu mau menerimanya kan?’’ Beliau mengelus pucuk kepalaku yang dibalut kerudung. Aku bergegas mengangguk. Mama tersenyum sambil menyeka buliran air matanya, la