Share

Bab 3

Penulis: Macan
Lea berdiri seorang diri di danau, perasaan hampa dan kesedihan yang tak terucapkan merasuk ke dalam hatinya.

Dia membungkuk, mencari sepanjang malam dan akhirnya menemukan gelang itu.

Saat fajar menyingsing, tubuhnya gemetar saat berdiri, tubuhnya sudah membeku dan keunguan, tetapi dia tidak memedulikannya. Segera, dia menggenggam gelang itu dan berlari kembali ke Grup Skyler.

Chloe sedang berada di kantor. Dia menerima gelang itu dan hanya melihat sekilas dengan ekspresi jijik. "Penuh dengan lumpur, kotor. Aku nggak mau."

Setelah itu, dia merusak gelang itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Aaron hanya meliriknya sekilas dan berkata dengan datar, "Kalau nggak suka, ya nggak usah. Aku akan belikan yang baru."

Chloe tersenyum manis. "Kamu memang baik."

Lea berjalan keluar dengan tubuh yang sangat kacau.

Karyawan kantor CEO sudah terbiasa melihatnya seperti itu. Selama bertahun-tahun, Lea telah melalui banyak kesulitan.

Mereka tidak tahu mengapa Lea masih bertahan untuk tetap berada di sini.

Lea bahkan tidak pernah mengambil cuti, hanya menelan dua pil untuk mencegah flu, lalu menemani Aaron untuk melakukan inspeksi.

Setelah inspeksi selesai, hari sudah sore. Chloe datang menemui Aaron untuk mengajaknya makan malam.

"Lea, kamu juga ikut, ya," kata Chloe dengan sikap yang sangat ramah.

Namun, baru saat makanan datang, Lea menyadari alasan dia diundang.

Meja makan hampir semuanya berisi makanan pedas. Ssatu-satunya hidangan manis adalah es krim mangga. Padahal dia alergi terhadap mangga.

Dulu, jika ada sedikit cabai dalam makanan, Aaron selalu dengan cermat menghilangkannya untuknya.

Namun, kini, sepertinya Aaron sudah lama melupakan itu.

Aaron bahkan tidak melirik Lea, hanya sepanjang waktu menuangkan air untuk Chloe dan menyuapkan makanan untuknya.

Chloe bertanya dengan sengaja, "Lea, kenapa kamu nggak makan?"

Aaron juga juga menatapnya sejenak, dengan ekspresi dingin di wajahnya, "Kenapa duduk di sini kalau nggak mau makan?"

Lea akhirnya mengambil sendok dan memasukkan sepotong ayam cabai ke mulutnya.

Setelah selesai makan, Aaron langsung mengajak Chloe pergi.

Lea kembali sendirian, tertekan oleh rasa pedas yang membuat pelipisnya berkeringat, dan rasa sakit yang hebat mengguncang perutnya.

Dia tergeletak di tempat tidur, meski rasa sakitnya luar biasa, matanya tetap kering, tak ada setetes air mata yang keluar.

Semua penderitaan yang dia alami selama ini adalah untuk menebus kesalahan yang dia buat terhadap Maybell.

Setiap rasa sakit yang dia rasakan memberi sedikit ruang untuk bernapas di bawah beban berat yang dia bawa.

Lea merasa kehilangan kesadaran karena rasa sakit, tetapi sudut bibirnya membentuk senyuman hampa.

...

Beberapa hari kemudian.

Karena sudah lama tidak diobati, ditambah lagi kebiasaannya yang sering minum alkohol yang merangsang lambung, kondisi penyakitnya makin parah.

Namun, setiap kali, Lea hanya menelan dua pil obat secara cepat untuk sekadar menahan sakitnya.

Hari ini adalah akhir pekan.

Lea berbaring di sofa, begitu sakit hingga bahkan tidak berani bergerak.

Saat itu, dia menerima telepon dari Aaron. "Chloe ingin makan mi pangsit dari Idon. Tolong belikan dia satu porsi."

Sebagai asisten Aaron, Lea tidak pernah punya hari libur.

Setiap kali Aaron membutuhkan bantuan, Lea harus siap bekerja tanpa menunda.

Namun, hari ini, Lea benar-benar tidak bisa bangun karena rasa sakitnya. "Apa nggak bisa kalau Pak Kiki yang membelinya? Aku ...."

Namun, sebelum dia selesai berbicara, Aaron menyelanya dengan nada dingin, "Lea, apa aku pernah memberimu hak untuk memilih?"

Lea terdiam, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Pergi sekarang atau jangan pernah muncul lagi."

Setelah mengatakan itu, Aaron langsung memutus telepon.

Lea akhirnya bangkit dengan susah payah, menahan rasa sakit, dan keluar dengan langkah terhuyung-huyung.

Meskipun Toko Idon berada di lokasi yang terpencil, toko itu tetap ramai pengunjung sehingga Lea harus mengantre selama tiga jam sebelum akhirnya mendapatkan satu porsi.

Akan tetapi, ketika dia buru-buru tiba di kediaman Aaron dan menyerahkan wonton kepadanya, Chloe justru memperlihatkan ekspresi dingin.

"Kenapa kamu menambahkan cabai?"

Lea yang kesakitan hingga kesulitan bernapas menjawab, "Bukannya kamu suka pedas?"

Chloe menumpahkan mi pangsit itu begitu saja, lalu berkata dengan nada dingin, "Sekarang, aku sudah nggak suka pedas lagi."

Aaron menatap Lea dengan tatapan dalam. "Belikan lagi sana."

Lea hanya bisa berlari keluar dengan terburu-buru.

Setelah membeli lagi, Chloe kembali mengeluh karena ada udang kering di dalamnya.

Aaron seakan tidak menyadari bahwa Chloe sengaja menyusahkan Lea. Dia hanya berkata dengan tenang, "Beli lagi."

Begitulah, Lea berlari bolak-balik beberapa kali.

Ketika dia akhirnya kembali dengan mi pangsit yang dibungkus, hari sudah gelap.

Dengan tubuh yang lelah, Lea membawa mi pangsit itu dan berusaha kembali ke rumah.

Perutnya terasa sakit hebat dan langkahnya menjadi goyah.

Kepalanya terasa pusing dan kabur. Dia sama sekali tidak bisa melihat jalan di depannya.

Tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat keras di telinganya.

Sebuah mobil van melaju dengan cepat dan menabrak Lea dengan keras!

Bam!

Dia terjatuh ke tanah dengan keras, terguling beberapa kali. Akibat benturan yang begitu keras, dia tidak bisa menahan diri, langsung memuntahkan darah segar dalam jumlah banyak.

Bau mi pangsit yang tumpah di tanah tercium di hidungnya.

Segala sesuatu di depan mata Lea berubah menjadi serpihan hujan, kabur dan samar.

Akhirnya, dia bisa mati. Apakah ini artinya dia akan bisa bertemu dengan Maybell?

Air mata pelepasan mengalir dari sudut matanya, lalu, dia benar-benar pingsan.

Di rumah sakit.

Berg terkejut melihat orang yang dibawa dengan ambulans ternyata adalah Lea. Sorot mata Berg bergetar hebat!

"Lea! Lea!"

Berg memanggil beberapa kali, tetapi orang di atas ranjang itu tidak memberi respons.

Namun, Lea terus menerus mengeluarkan darah dari mulutnya.

Bahkan dokter kepala pun terkejut. "Apa ini karena organ dalamnya pecah?"

Berg dengan ekspresi ketakutan berkata, "Dia menderita kanker lambung!"

Reaksi dokter itu pun berubah seketika. Mereka segera membawanya ke ruang operasi untuk diselamatkan.

Beberapa jam kemudian, operasi selesai, tetapi itu hanya untuk menghentikan pendarahan akibat luka kecelakaan.

Semua alat medis menunjukkan bahwa kondisinya makin memburuk!

Berg sangat panik. "Profesor, apa yang terjadi padanya?"

Profesor itu menggelengkan kepala. "Kanker lambung stadium akhir. Tubuhnya memang sudah sangat lemah dan kecelakaan ini mempercepat kerusakan organ-organ tubuhnya."

Di ranjang rumah sakit, Lea belum juga sadar. Dia hanya terus batuk darah dan tanpa sadar terus memanggil nama seseorang.

"Aaron ... Aaron."

Lea tampak seakan akan kehilangan nyawanya dalam hitungan detik. Berg, dengan mata merah, memegang tangannya erat-erat, suaranya tercekat. "Lea, bertahanlah. Kumohon bertahanlah."

"Aku akan panggil dia ke sini untuk melihatmu. Tunggu sebentar, tunggu sebentar lagi!"

Kemudian, dengan gemetar, dia mengambil ponsel milik Lea.

Dia menelpon nomor Aaron.

Begitu sambungan terhubung, suara dingin terdengar dari ujung telepon. "Lea, aku menyuruhmu beli mi pangsit. Kenapa belum kembali juga?"

Berg menggenggam tangannya lebih erat. "Ini aku, Berg."

Orang di seberang telepon terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian, Aaron berkata dengan suara rendah, "Kenapa kamu memegang ponselnya?"

Berg melihat monitor detak jantung yang makin mendekati angka nol. Suaranya bergetar dan setiap kata keluar terdengar berat.

"Datanglah ke rumah sakit. Temui Lea untuk terakhir kalinya."
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 25

    Satu keluarga itu berkendara ke utara. Masih ada waktu sebelum hari pernikahan, jadi mereka sambil berjalan sambil berwisata. Saat kuliah dulu, Lea sangat iri pada teman-teman yang bisa bepergian ke mana-mana karena sebagai anak yatim piatu, ia hanya bisa bertahan hidup dengan susah payah.Walaupun hubungannya dengan Maybell sangat baik, Lea tetap merasa tidak enak hati menerima ajakan jalan-jalan yang sepenuhnya ditanggung orang lain.Kondisi tubuh Lea sudah pulih dengan baik. Saat melewati provinsi yang terkenal dengan pegunungan, Berg juga mengajak Seline dan dia mendaki gunung. Walaupun prosesnya sangat melelahkan, tetapi ketika berdiri di puncak, mereka merasa sangat lega dan lapang.Rasanya seperti kehidupan baru yang dijalaninya selama setengah tahun terakhir.Setelah tiba di ibu kota, Brielle dengan antusias menjemput mereka ke vila kecil yang mereka beli dengan cara mencicil. Selama beberapa tahun terakhir, Gino bekerja sebagai sales di perusahaan Aaron dan kariernya berkemban

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 24

    "Belum secepat itu. Dokter menyarankan agar aku tetap tinggal di ibu kota selama setengah bulan lagi. Kalau hasil pemeriksaan ulang nggak ada masalah, barulah bisa dibilang sembuh."Aaron mengangguk pelan.Tatapan Aaron terus jatuh di wajah Lea, seolah tidak pernah merasa bosan melihatnya. Ia menatap dengan ekspresi sedih dan murung, seakan ingin mengukir wajah itu dalam-dalam. Lea mengulurkan tangan, menarik tangan Aaron yang mengenakan jam, lalu perlahan membuka pengaitnya dan memandangi luka yang mengerikan itu.Seakan sisi dirinya yang paling buruk terbuka di hadapan gadis itu. Pada saat itu, Aaron justru merasa takut. Aaron ingin menarik kembali tangannya, tetapi Lea menggenggam erat pergelangannya. Tatapan matanya terasa nyata, panasnya seolah membakar sampai ke tulang."Kenapa kamu melakukan ini?""Karena aku membenci diriku sendiri," ucap Aaron lirih. "Kalau bukan karena aku, selama ini kamu nggak akan menderita sebanyak ini."Lea tersenyum dan melepaskan genggamannya."Aaron,

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 23

    Kakak perempuan Berg dulu meninggalkan posisinya yang dengan susah payah ia raih tanpa ragu sedikit pun, lalu pergi bergabung dengan militer dan menjadi dokter tentara. Ia tidak peduli meski harus memutuskan hubungan dengan keluarganya. Brielle selalu menganggap kakaknya sangat berani, jadi ketika mendengar kabar kematian sang kakak, Brielle merasa sedih untuk waktu yang cukup lama."Kakakku memilih jadi dokter tentara karena suaminya adalah seorang tentara. Seline adalah anak mereka. Nggak lama setelah suaminya meninggal, Seline pun dititipkan padaku."Barulah sekarang Brielle tahu kebenarannya. Mendengar kisah seberat itu membuat hatinya ikut sedih. Ia melirik ke arah Seline yang sedang diam berbaring di samping Lea di ruang rawat."Sekarang, Lea sudah merawat Seline dengan sangat baik, bukan?" Berg tersenyum ringan. "Nggak perlu merasa kasihan padanya. Sekarang, dia sudah punya ibu yang sangat baik dan ke depannya juga akan punya ayah yang baik, yaitu aku. Meskipun Seline mungkin su

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 22

    Brielle memandang sisi rapuh yang diperlihatkan oleh Aaron dengan bingung. Entah kenapa, dia benar-benar tidak ingin melihat Aaron yang begitu sedih dan putus asa. Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin kata-kataku ini agak lancang, Pak Aaron, tapi apa Anda pernah berpikir untuk menjelaskan semuanya dengan baik pada Kak Lea? Apa mungkin Seline adalah anak Anda?""Bukan." Aaron tersenyum pahit dan menggelengkan kepala. "Andai saja memang begitu."Brielle masih terlalu muda. Dia tidak bisa memahami betapa dalamnya penderitaan dan penyesalan yang tersembunyi di balik helaan napas itu, penyesalan yang akan dibawa Aaron sepanjang hidupnya dan yang takkan pernah bisa dia maafkan pada dirinya sendiri."Patah tulang," ucap dokter setelah membuat diagnosa awal terhadap cedera Aaron, lalu melirik wajahnya. "Kamu masih demam, ya?"Dokter mengulurkan tangan untuk meraba dahinya, tetapi Aaron dengan sopan menahan tangan itu. Dia tahu demamnya disebabkan oleh penyalahgunaan obat dini hari tadi

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 21

    "Kak!" Terdengar teriakan panik Brielle dari arah tangga. Suaranya bergetar seperti sedang menangis. Dia berlari sambil menggendong Seline yang jelas-jelas sudah pingsan. "Kak, Seline tiba-tiba pingsan!""Tenang," kata Berg dalam hati meski pikirannya kosong. Dia menatap Brielle yang kehabisan tenaga sampai berlutut di depannya serta Seline yang wajahnya merah dan tidak sadarkan diri, sambil terus mengulang dalam hati, "Aku harus tetap tenang."Aaron sepertinya memang belum pergi dari sekitar situ. Begitu mendengar teriakan Brielle, dia langsung berjongkok dan memperhatikan wajah Seline yang merah padam. "Brielle? Jangan menangis! Ini rumah sakit. Ayo, ikut aku ke bagian IGD!""Brielle." Berg membuka pakaian bagian perut Seline dan melihat ruam merah besar di sana. Tiba-tiba dia sadar. "Kamu tadi ajak Seline makan apa?"Kakak perempuan Berg memiliki riwayat alergi, tetapi sebelumnya Seline tidak pernah menunjukkan gejala alergi terhadap apa pun. Karena itu, Berg dan Lea tidak terlalu w

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 20

    Semalam, Aaron bermimpi buruk. Mimpi yang terasa sangat tidak menguntungkan. Saat cahaya pagi baru mulai muncul, dia pun terbangun. Di luar jendela dinginnya seperti sedang melewati zaman es, suhu musim hujan yang puluhan derajat di bawah nol. Dia membuka jendela, membiarkan hujan jatuh membasahi dirinya tanpa ampun.Seolah-olah itu adalah bentuk hukuman untuk dirinya sendiri.Aaron sangat iri pada Berg. Berg bisa berdiri di sisi Lea dengan terang-terangan, menemaninya melewati berbagai masa sulit, dan membesarkan seorang anak yang manis dan menggemaskan bersama. Itu adalah impian yang sangat dia dambakan saat masih muda, tetapi sekarang sudah mustahil terwujud.Dalam mimpinya, bibir lembut yang pernah Aaron cium berkali-kali, kini mengucapkan kata-kata dingin dan penuh penolakan."Aaron, kamu mau membuatku mati untuk kedua kalinya, ya? Kalau kamu mendekat lagi, aku nggak akan menjalani operasi ini.""Seperti keinginanmu, aku akan mati sekali lagi di depanmu."Wajah Aaron tampak pucat.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status