Share

Bab 4

Penulis: Macan
Pihak di seberang sana kembali bungkam.

Entah sudah berapa lama berlalu, Aaron akhirnya mengejeknya dengan sinis, "Berg, apa dia menyuruhmu ikut main drama?"

Emosi Berg langsung tersulut. Dia hampir kehilangan kendali. Dia berucap dengan suara serak, "Lea itu ...."

Namun, sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan lemah menggenggamnya.

Berg menunduk dan mendapati Lea, yang tadi pingsan, kini perlahan membuka mata.

Dengan susah payah, Lea menggeleng dan membentuk kata dengan mulut. "Jangan biarkan dia datang."

Pada saat yang sama, grafik monitor menunjukkan detak jantungnya mulai naik perlahan.

Dari ujung telepon, suara Aaron terdengar berat. "Dia kenapa?"

Namun, Berg tak sempat menjawab. Melihat angka di monitor membaik, dia buru-buru menutup telepon dan berlari mencari profesor.

Setelah pemeriksaan intensif, sang dokter melepas masker, tampak lega. Dia berkata, "Semua indikator tubuhnya sudah stabil. Cepat, pindahkan ke ruang observasi!"

Lea pun segera dipindahkan.

Sementara itu, Aaron masih terpaku menatap layar ponsel setelah diputus sambungan teleponnya.

Chloe, yang melihat Aaron melamun karena Lea, tidak bisa menyembunyikan cemburu di matanya.

"Aaron, mereka pasti cuma pura-pura. Mereka cuma mau kamu perhatikan mereka. Sudah bertahun-tahun, Lea masih saja memainkan trik seperti itu."

Saat dia mencoba menggandeng tangan Aaron, pria itu justru mendadak berdiri dan menghindarinya.

Aaron berkata dengan nada lirih, "Aku masih ada pekerjaan yang belum selesai. Kamu pulang dulu saja."

Chloe awalnya mengira akhirnya dia bisa menginap malam ini, tetapi setelah mendengar itu, dia hanya bisa pergi dengan marah dan kecewa.

Di ruang kerja.

Aaron menatap komputer di depannya, tetapi pikirannya kacau tak karuan, sama sekali tidak bisa tenang.

Akhirnya, dia menghubungi salah satu asistennya yang lain.

"Cari tahu sekarang di mana Lea."

Dia menyadari bahwa suaranya bergetar saat berbicara.

Asisten itu menjawab bahwa akan segera mencarinya.

Belasan menit kemudian, telepon dari asisten masuk kembali.

"Pak Aaron, Bu Lea mengalami kecelakaan mobil beberapa jam yang lalu. Sekarang, dia dirawat di Rumah Sakit Eliud, tapi sudah dalam kondisi stabil."

Aaron memegang ponselnya erat-erat, tidak mengatakan sepatah kata pun dalam waktu yang cukup lama.

Sampai-sampai sang asisten tak tahan untuk tidak bertanya, "Apa Anda ... mau menjenguknya?"

Aaron terdiam cukup lama sebelum akhirnya hanya berkata, "Jangan biarkan dia tahu kalau aku pernah menanyakan keadaannya."

Asisten itu sempat terkejut, tetapi akhirnya mengiyakan, lalu sambungan telepon pun diputus.

Aaron tidak berkata apa-apa lagi malam itu, tetapi lampu di ruang kerja tetap menyala semalaman.

Keesokan harinya, di rumah sakit.

Kondisi mental Lea sudah membaik sedikit.

Berg hampir tidak pernah meninggalkannya, terus berada di dekatnya. Dengan suara penuh harap, dia berkata, "Lea, kamu nggak bisa terus menunda begini. Kamu harus segera dirawat dan mulai kemo. Kalau terus begini, kamu nggak akan sanggup bertahan."

Namun, Lea hanya tersenyum simpul dan menggelengkan kepala. "Baguslah, aku memang sudah lama menunggu saat itu datang."

Berg terdiam, terpukul.

Dadanya terasa nyeri seolah ditusuk. Dia berkata dengan suara gemetar, "Apa kamu harus menghukum dirimu seberat ini?"

"Kematian bukan hukuman bagiku. Berg, terima kasih sudah menemaniku selama ini. Kalau kamu benar-benar sayang padaku, tolong biarkan aku memilih jalanku sendiri. Aku mohon padamu."

Lima tahun lalu, jiwanya sudah mati sepenuhnya.

Sekarang, akhirnya giliran tubuhnya yang menyusul.

Tak lama kemudian, Lea memaksa pulang dari rumah sakit, meski Berg melarang.

Itu karena, hari peringatan kematian Maybell sudah tiba.

Lea membawa seikat bunga krisan dan pergi ke pemakaman.

Dia berdiri di depan batu nisan, menatap wajah muda dan cantik di foto hitam-putih itu.

Gadis itu begitu muda, manis, dan baik hati; tetapi hidupnya terhenti di hari yang tragis itu.

"Maybell, kamu pasti nggak ingin melihatku sekarang."

"Aku memimpikanmu setiap malam. Dalam mimpi itu, aku cuma bisa bilang satu hal. Aku minta maaf."

"Aku sangat ingin kembali ke hari itu. Kalau saja aku bisa kembali, aku pasti nggak akan lari."

Lea duduk di atas tanah, bersandar pada batu nisan, persis seperti dulu saat mereka berdua berbagi rahasia kecil.

"Tahu nggak, aku hampir bisa menyusulmu, tapi aku takut. Aku takut kamu nggak ingin melihatku. Aku takut kamu juga membenciku."

Saat berbicara, air mata mengalir di pipinya.

Angin dingin berembus di antara makam-makam. Lea menyentuh foto itu dan sebuah rasa sakit yang sulit diungkapkan menyelimuti hatinya.

Dengan suara serak, dia berkata, "Entah kamu membenciku atau nggak, aku akan tetap mencarimu. Kita sudah berjanji untuk menjadi sahabat selamanya."
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 25

    Satu keluarga itu berkendara ke utara. Masih ada waktu sebelum hari pernikahan, jadi mereka sambil berjalan sambil berwisata. Saat kuliah dulu, Lea sangat iri pada teman-teman yang bisa bepergian ke mana-mana karena sebagai anak yatim piatu, ia hanya bisa bertahan hidup dengan susah payah.Walaupun hubungannya dengan Maybell sangat baik, Lea tetap merasa tidak enak hati menerima ajakan jalan-jalan yang sepenuhnya ditanggung orang lain.Kondisi tubuh Lea sudah pulih dengan baik. Saat melewati provinsi yang terkenal dengan pegunungan, Berg juga mengajak Seline dan dia mendaki gunung. Walaupun prosesnya sangat melelahkan, tetapi ketika berdiri di puncak, mereka merasa sangat lega dan lapang.Rasanya seperti kehidupan baru yang dijalaninya selama setengah tahun terakhir.Setelah tiba di ibu kota, Brielle dengan antusias menjemput mereka ke vila kecil yang mereka beli dengan cara mencicil. Selama beberapa tahun terakhir, Gino bekerja sebagai sales di perusahaan Aaron dan kariernya berkemban

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 24

    "Belum secepat itu. Dokter menyarankan agar aku tetap tinggal di ibu kota selama setengah bulan lagi. Kalau hasil pemeriksaan ulang nggak ada masalah, barulah bisa dibilang sembuh."Aaron mengangguk pelan.Tatapan Aaron terus jatuh di wajah Lea, seolah tidak pernah merasa bosan melihatnya. Ia menatap dengan ekspresi sedih dan murung, seakan ingin mengukir wajah itu dalam-dalam. Lea mengulurkan tangan, menarik tangan Aaron yang mengenakan jam, lalu perlahan membuka pengaitnya dan memandangi luka yang mengerikan itu.Seakan sisi dirinya yang paling buruk terbuka di hadapan gadis itu. Pada saat itu, Aaron justru merasa takut. Aaron ingin menarik kembali tangannya, tetapi Lea menggenggam erat pergelangannya. Tatapan matanya terasa nyata, panasnya seolah membakar sampai ke tulang."Kenapa kamu melakukan ini?""Karena aku membenci diriku sendiri," ucap Aaron lirih. "Kalau bukan karena aku, selama ini kamu nggak akan menderita sebanyak ini."Lea tersenyum dan melepaskan genggamannya."Aaron,

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 23

    Kakak perempuan Berg dulu meninggalkan posisinya yang dengan susah payah ia raih tanpa ragu sedikit pun, lalu pergi bergabung dengan militer dan menjadi dokter tentara. Ia tidak peduli meski harus memutuskan hubungan dengan keluarganya. Brielle selalu menganggap kakaknya sangat berani, jadi ketika mendengar kabar kematian sang kakak, Brielle merasa sedih untuk waktu yang cukup lama."Kakakku memilih jadi dokter tentara karena suaminya adalah seorang tentara. Seline adalah anak mereka. Nggak lama setelah suaminya meninggal, Seline pun dititipkan padaku."Barulah sekarang Brielle tahu kebenarannya. Mendengar kisah seberat itu membuat hatinya ikut sedih. Ia melirik ke arah Seline yang sedang diam berbaring di samping Lea di ruang rawat."Sekarang, Lea sudah merawat Seline dengan sangat baik, bukan?" Berg tersenyum ringan. "Nggak perlu merasa kasihan padanya. Sekarang, dia sudah punya ibu yang sangat baik dan ke depannya juga akan punya ayah yang baik, yaitu aku. Meskipun Seline mungkin su

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 22

    Brielle memandang sisi rapuh yang diperlihatkan oleh Aaron dengan bingung. Entah kenapa, dia benar-benar tidak ingin melihat Aaron yang begitu sedih dan putus asa. Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin kata-kataku ini agak lancang, Pak Aaron, tapi apa Anda pernah berpikir untuk menjelaskan semuanya dengan baik pada Kak Lea? Apa mungkin Seline adalah anak Anda?""Bukan." Aaron tersenyum pahit dan menggelengkan kepala. "Andai saja memang begitu."Brielle masih terlalu muda. Dia tidak bisa memahami betapa dalamnya penderitaan dan penyesalan yang tersembunyi di balik helaan napas itu, penyesalan yang akan dibawa Aaron sepanjang hidupnya dan yang takkan pernah bisa dia maafkan pada dirinya sendiri."Patah tulang," ucap dokter setelah membuat diagnosa awal terhadap cedera Aaron, lalu melirik wajahnya. "Kamu masih demam, ya?"Dokter mengulurkan tangan untuk meraba dahinya, tetapi Aaron dengan sopan menahan tangan itu. Dia tahu demamnya disebabkan oleh penyalahgunaan obat dini hari tadi

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 21

    "Kak!" Terdengar teriakan panik Brielle dari arah tangga. Suaranya bergetar seperti sedang menangis. Dia berlari sambil menggendong Seline yang jelas-jelas sudah pingsan. "Kak, Seline tiba-tiba pingsan!""Tenang," kata Berg dalam hati meski pikirannya kosong. Dia menatap Brielle yang kehabisan tenaga sampai berlutut di depannya serta Seline yang wajahnya merah dan tidak sadarkan diri, sambil terus mengulang dalam hati, "Aku harus tetap tenang."Aaron sepertinya memang belum pergi dari sekitar situ. Begitu mendengar teriakan Brielle, dia langsung berjongkok dan memperhatikan wajah Seline yang merah padam. "Brielle? Jangan menangis! Ini rumah sakit. Ayo, ikut aku ke bagian IGD!""Brielle." Berg membuka pakaian bagian perut Seline dan melihat ruam merah besar di sana. Tiba-tiba dia sadar. "Kamu tadi ajak Seline makan apa?"Kakak perempuan Berg memiliki riwayat alergi, tetapi sebelumnya Seline tidak pernah menunjukkan gejala alergi terhadap apa pun. Karena itu, Berg dan Lea tidak terlalu w

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 20

    Semalam, Aaron bermimpi buruk. Mimpi yang terasa sangat tidak menguntungkan. Saat cahaya pagi baru mulai muncul, dia pun terbangun. Di luar jendela dinginnya seperti sedang melewati zaman es, suhu musim hujan yang puluhan derajat di bawah nol. Dia membuka jendela, membiarkan hujan jatuh membasahi dirinya tanpa ampun.Seolah-olah itu adalah bentuk hukuman untuk dirinya sendiri.Aaron sangat iri pada Berg. Berg bisa berdiri di sisi Lea dengan terang-terangan, menemaninya melewati berbagai masa sulit, dan membesarkan seorang anak yang manis dan menggemaskan bersama. Itu adalah impian yang sangat dia dambakan saat masih muda, tetapi sekarang sudah mustahil terwujud.Dalam mimpinya, bibir lembut yang pernah Aaron cium berkali-kali, kini mengucapkan kata-kata dingin dan penuh penolakan."Aaron, kamu mau membuatku mati untuk kedua kalinya, ya? Kalau kamu mendekat lagi, aku nggak akan menjalani operasi ini.""Seperti keinginanmu, aku akan mati sekali lagi di depanmu."Wajah Aaron tampak pucat.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status