Share

Bias Cinta
Bias Cinta
Author: Kanietha

1~BC

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-08-23 16:53:44

“Buka hapemu,” titah Cinta, melempar ponsel Bias ke atas ranjang.

Bias baru saja membuka mata. Kepalanya berat, pikirannya terasa penat. Ia mengerjap, berusaha memahami di mana dirinya berada dan kenapa Cinta yang tengah memakai bathrobe ada bersamanya.

“Foto dan video kita sudah tersebar di media sosial,” lanjut Cinta bersedekap. Masih berdiri di sebelah tempat tidur.

Bias mendadak terjaga. Meraih ponselnya dan membuka layar dengan segera. Matanya menelusuri banyak notifikasi yang masuk dan membuka salah satunya.

Beberapa detik setelahnya, wajah Bias mengeras. Matanya terpaku pada foto-foto dirinya bersama Cinta. Ada video pendek, dengan sudut pengambilan yang akan membuat banyak orang salah paham.

“Ini …” Bias masih mengamati layar ponselnya.

“Batalkan pernikahanmu dengan Ciara,” ujar Cinta tenang, seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka. “Karena kamu sudah tidur denganku tadi malam.”

Tawa Bias menyembur begitu saja. Ia mengangkat wajah, menatap Cinta penuh ejekan.

“Jangan berlebihan,” ucap Bias. “Itu cuma foto dan video yang diambil dengan angel yang pas. Dan kita ... nggak pernah melakukan apa pun tadi malam karena aku nggak merasa melakukannya.”

Cinta menunduk, menarik cepat selimut yang menutupi tubuh Bias sejak tadi. Tidak peduli meski pria itu masih dalam keadaan polos. Lantas, Ia menunjuk sebuah noda merah yang tercetak di atas sprei putih yang masih ditiduri pria itu.

“Masih bilang nggak merasa?” tanya Cinta datar. “Atau, kamu mau lari dari tanggung jawab?”

“Ini ...” Bias menggeleng pelan. Mengingat-ingat, apa saja yang telah dilakukannya tadi malam.

Bias pergi memenuhi undangan temannya di sebuah bar dan Cinta kebetulan ada di sana. Perbincangan yang awalnya hanya formalitas semata, lambat laun menjadi akrab.

Namun, apa yang terjadi setelahnya?

Kenapa Bias tidak bisa mengingat kejadian tadi malam secara utuh, hingga mereka berakhir di tempat tidur?

“Nggak mungkin.” Bias akhirnya menyangkal, karena tidak bisa mengingat hal apa pun.

“Asal kamu tahu.” Cinta mengambil ponselnya di nakas dan tersenyum tipis saat membuka layarnya. “Aku masih punya video yang lebih panas dari itu.”

Bias terdiam dan berpikir, menatap datar pada Cinta. Setelah mencerna sedikit kejadian yang menimpanya pagi ini, Bias pun tersenyum miring.

“Kamu yang sudah menjebakku, kan?” Bias bangkit dari tempat tidur. Tidak peduli dengan kondisi tubuhnya yang tidak memakai apa pun.

Tanpa ragu Bias menghabiskan jarak dan mencengkram kerah bathrobe yang dipakai Cinta. Menariknya, hingga wajah mereka nyaris sejajar. “Kamu pikir, siapa yang sedang kamu ancam sekarang, ha?” desisnya pelan dan tajam.

“Bias Zahir Manggala,” jawab Cinta. Suaranya tenang, meski napasnya sedikit tertahan. Gugup itu ada, tetapi ia sembunyikan rapat-rapat di balik sorot mata yang tetap menantang.

Cinta sudah membuat sebuah keputusan besar dan ia tidak lagi bisa melangkah mundur.

“Apa maumu?” Bias berdecih.

“Putuskan Ciara dan menikah denganku,” sela Cinta tanpa gentar. “Aku minta kamu bertanggung jawab dengan semua yang sudah kamu lakukan tadi malam.”

Bias melepas kerah bathrobe Cinta dengan dorongan kecil. “Jangan main-main denganku, Cin. Foto dan video itu cuma masalah kecil yang bisa aku bereskan dengan jentikan jari.”

Bias berbalik cepat. Mencari pakaiannya yang tercecer di lantai sambil terus berkata, “Apa kamu lupa aku siapa? Aku pengacara yang bisa menuntut dan memasukkanmu ke dalam penjara.”

“Kamu juga lupa aku siapa?” ujar Cinta setelah menyeimbangkan tubuhnya karena dorongan Bias. “Aku reporter, Bi. Aku bisa—"

“Pemredmu bahkan bisa aku beli,” putus Bias memakai pakaiannya dan tersenyum miring pada Cinta. “Di sini, uang yang bicara.”

Cinta membalas Bias dengan senyum yang sama. “Silakan gunakan uang dan kekuasaanmu itu. Dan kita lihat, seberapa luas berita dan opini publik yang akan tercipta akibat skandal kita. Bukan cuma kamu yang akan kena imbasnya, tapi juga ... keluargamu. Ibumu tercinta.”

Bias melangkah cepat mendekati Cinta dengan sorot mata tajam. Merampas ponsel dari tangan gadis itu dan melemparnya ke dinding. Membentur keras dan jatuh terhempas ke lantai. Tidak berbentuk lagi.

“Puas?” tanya Cinta berusaha tetap tenang dengan sekuat tenaga, meski jantungnya sudah berdetak kencang.

“Kaaamu—”

“Videonya sudah aku kirim ke beberapa email-ku,” sela Cinta dengan kedua tangan mengepal erat. “Jadi, percumaakkh ...”

Ucapan Cinta menggantung di udara.

Tanpa aba-aba, Bias tiba-tiba mendorong tubuhnya ke dinding. Satu tangan pria itu mencengkeram leher Cinta hingga napasnya tersendat seketika.

“Bi ...” Cinta mencoba menarik napas dan memukul tubuh pria itu dengan sisa tenaganya.

“Diam dan dengarkan aku baik-baik,” desis Bias masih menyisakan ruang untuk Cinta bernapas. “Cukup sampai di sini dan jangan diteruskan,” titahnya tajam dengan sorot menghujam penuh amarah. “Kali ini, aku masih bisa memaafkan karena kamu adalah saudara Ciara. Tapi ingat baik-baik, nggak akan pernah ada kata lain kali.”

Tubuh Cinta langsung ambruk begitu Bias melepaskan cengkeraman di lehernya.

Ia terbatuk keras, berusaha mengisi kembali paru-parunya dengan udara. Tangan kanannya refleks menyentuh lehernya yang masih terasa nyeri dan panas, sementara napasnya tersengal dan berat.

Namun, tatapannya tetap menajam ke arah Bias, penuh emosi yang bergejolak. Antara takut, marah, dan merasa diremehkan.

“Anggap semua ini nggak pernah terjadi,” ucap Bias sambil meraih kemejanya di lantai lalu memakainya.

“Jadi, kamu mau lari dari tanggung jawab?” Cinta berdecih. Masih terduduk untuk mengumpulkan tenaga.

“Apa yang harus aku tanggung, kalau aku nggak merasa melakukan apa pun?” ujar Bias memberi tatapan remeh. “Dan satu lagi ...” Bias kembali menghampiri Cinta setelah selesai mengancing kemejanya. Ia berjongkok, menepuk pipi Cinta sedikit keras. “Karena aku nggak sadar dan nggak ingat semua yang aku lakukan tadi malam, semua masalah ini akan aku usut. Kalau—”

“Siapa yang mau kamu tuntut setelah itu?” sela Cinta tersenyum miring. “Kamu yang undang aku ke mejamu, kan? Bukan aku.”

Bias mengerjap. Kembali mengingat-ingat. Dan ... Cinta benar.

Dirinyalah yang lebih dulu menyapa, lalu mengundang Cinta ke mejanya karena wanita itu adalah saudara kekasihnya.

“Kamu!” Bias kembali berdiri dan melihat ke sekitar ruang. Mencari beberapa barangnya yang mungkin masih tercecer. “Aku yakin semua ini adalah permainanmu. Jadi, tunggu tanggal mainnya. Kalau terbukti kamu yang sudah menyusun semua rencana ini, hidupmu ...” Bias menatap tajam pada Cinta dan menunjuknya. “Akan aku buat seperti di neraka.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
laki2 biasanya harga dirinya bakal kesentil klo wanitanya cuek tapi cinta malah menuntut yg bikin bias berkilah, sebenarnya cinta punya rencana apa sih
goodnovel comment avatar
Vid
bias dan cinta ini anknya spa ya..?
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
baru baca mba beb....udah dibikin tegang aja nih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bias Cinta   134~BC

    “Jangan terlalu dekat sama Altaf,” pesan Ira setelah turun dari motor dan melepas helmnya, “dia sudah mau nikah, jadi, jangan nyelip di antara Altaf sama calon istrinya.”Dinda melipat bibir. Akhirnya, ia tahu apa yang ada di pikiran Ira ketika mereka tengah melihat rumah. Namun, kenapa ibunya bisa sampai memiliki pemikiran seperti itu?“Aku nggak dekat sama mas Al.” Dinda membela diri karena kenyataannya memang seperti itu. “Kami juga nggak pernah jalan bareng, jadi, yaaa … ya nggak dekat. Ibu jangan salah paham, dia itu cuma nganggap aku adek.”“Kata siapa?”“Kata mas Al sendiri.”“Tapi kamu orang, bukan adeknya.”“Tapi–”“Jangan rusak pertemananmu dengan Cinta yang sudah terjalin bertahun-tahun,” putus Ira. Ia harus memperingatkan Dinda, karena perasaan putrinya tidak sesensitif Ira. “Kalau Altaf single, Ibu nggak ngelarang-larang. Jadi, tolong jangan deket-dekat lagi sama Altaf, ya.”“Tapi, kan, dia nggak ada perasaan sama aku, Bu. Mas Al itu sudah mau nikah. Punya pacar, calon is

  • Bias Cinta   133~BC

    Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p

  • Bias Cinta   132~BC

    “Senin depan sudah mulai renov,” ujar Altaf setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, “sabtu ini mau dicek yang mana-mana aja yang harus diperbaiki dan ditambah. Kalau kamu mau lihat, nanti bisa datang ke sana. Tapi pagi, sekitar jam tujuh atau setengah delapan.”“Boleh deh, entar aku bawa ibu sekalian.”“Ibumu mau pindah dari rumahnya?” Altaf mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. “Untuk sementara belum mau, karena ibu tinggal di sana sudah lama,” terang Dinda sambil memangku wajah, menatap wajah tampan Altaf. “Tapi, masa’ mau di sana terus-terusan?”“Memang kenapa kalau tinggal terus di sana?” Altaf meletakkan ponselnya di meja. Bersandar dan menatap Dinda. “Tetangga suka ‘berisik’, Mas,” ujar Dinda sambil memanyunkan bibirnya sejenak, “dulu waktu pertama kali jadi reporter, omongan orang pasti nggak enak tiap aku pulang malam. Emang, sih, orangnya baik-baik. Gercep juga kalau ada apa-apa, tapi, ya itu. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm.”Alt

  • Bias Cinta   131~BC

    “Memangnya bu Ira mau pindah ke rumah yang baru?” Bias meletakkan ponsel Cinta di tempat tidur, setelah melihat foto rumah yang akan jadi milik Dinda. “Jahitannya gimana? Terus kalau pindah, nanti nggak ada teman ngerumpi seperti di gangnya.”“Sebenarnya Bu Ira masih keberatan, tapi Dinda tetap ngotot mau beli rumah,” terang Cinta sambil menyelimuti Cibi yang sudah terlelap di kasur miliknya. Ide untuk mematikan lampu utama kamar dan membiarkan hanya lampu tidur yang menyala, ternyata cukup membantu Cibi terlelap lebih cepat. Hal itu membuat Cinta memiliki waktu santai sedikit lebih banyak, yang bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan Bias. Bias menyingkap selimutnya, membiarkan Cinta masuk dan berbaring di sampingnya. “Anggap aja aset kalau begitu,” ucap Bias kemudian memeluk Cinta dengan erat, “terus gimana nasib proposalku tentang anak kedua?”Cinta tertawa pelan. “Ditolak. Kita tetap dengan rencana awal. Tunggu Cibi lima tahun baru program lagi. Atau … tiga tahunan deh.”“Maksudk

  • Bias Cinta   130~BC

    Dinda melepas helm dan menatap rumah yang ada di depannya dengan ekspresi tidak percaya. Ia lantas berdiri, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Cinta. Sembari menunggu panggilannya dijawab, ia melihat ke lingkungan di sekitarnya. Yang dimasukinya memang bukan perumahan elite para pejabat atau artis. Namun, bagi Dinda, rumah yang ia datangi ternyata lebih besar dari ekspektasinya.“Eh, Bu,” ujar Dinda setelah mendengar sapaan Cinta di ujung sana, “aku sudah di depan rumah yang alamatnya kamu kasih. Tapi nggak salah ini? Rumahnya besar. Mungkin, tipe tujuh puluhan apa, ya? Satu M nyampe kali ini harganya.”“Kamu nggak salah alamat?”“Nggak. Sudah aku pastiin,” ucap Dinda kembali melihat nomor rumah yang menempel di tiang pagar beton. “Blok C nomor 10. Ini deretan rumah besar. Kalau yang blok dalam, kayaknya baru yang standar-standar, tipe empat limaan. Mana nggak ada orang lagi di sini. Nggak salah hari atau jam, kan, ya?”“Tadi malam Altaf bilangnya besok,” ucap Cinta tanpa ragu, “jam

  • Bias Cinta   129~BC

    “Apa kamu nggak punya kegiatan lain?” Altaf berdiri di depan televisi. Menghalangi pandangan Ciara yang berbaring di sofa panjang. “Tiap hari cuma rebahan dan nggak ngapa-ngapain?”“Terus aku harus apa?” Ciara menatap lesu pada Altaf. “Uang hasil sitaan sudah dikembalikan, kan? Itu bisa kamu jadikan modal buat mulai usaha lagi.”“Aku lagi pengen istirahat.” Ciara bangkit perlahan dengan rambut yang acak-acakan. “Harusnya kamu bisa maklumin aku, Mas. Calon suamiku dirampas, mama sama papa masuk penjara, usahaku bangkrut, dan … orang-orang yang sudah aku anggap teman, sekarang malah menjauh.”“Itu artinya, mereka bukan temanmu,” terang Altaf bertolak pinggang. Ia bukannya tidak bersimpati dengan nasib Ciara, tetapi Altaf tidak bisa membiarkan adiknya itu terus-terusan seperti ini. Ciara sudah terlalu banyak di manja, sehingga tidak tahu bagaimana cara hidup mandiri.“Kamu harusnya bersyukur, karena sudah ditunjukkan mana yang benar-benar teman dan mana yang nggak.”Ciara berdecak. Meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status