Cinta baru memasuki ruang keluarga dengan langkah gontai, saat Ciara menghampiri dan menamparnya tanpa aba-aba.
Plak!
Tamparan itu mendarat telak di pipi Cinta. Begitu keras, hingga kepalanya refleks menoleh dan matanya terpejam erat menahan perih. Udara di ruang keluarga Naratama mendadak menegang, membeku.
Belum puas dengan satu tamparan, Ciara lantas mendorong Cinta dengan keras. “Dasar perempuan murah!” makinya tajam.
Tubuh Cinta limbung dan jatuh terduduk di lantai. Ia hanya duduk diam, memegangi pipinya yang terasa panas. Tidak membalas dan enggan melakukan apa pun. Membiarkan Ciara melakukan apa yang ingin gadis itu lakukan.
“Kamu, kan?” Ciara menuding penuh tuduhan. “Kamu yang godain Bias!”
“Mana mungkin.” Cinta menatap lurus ke depan. Tidak ada air mata, tidak ada ekspresi. Hanya suara datarnya yang terdengar jelas di ruangan tersebut. “Aku di sana ikut teman liputan dan nggak sengaja ketemu Bias. Dia open table sama temannya, dan dia duluan yang ngajak aku gabung ke mejanya.”
“Bullshit!” Ciara menjerit sambil menggeleng. Tidak percaya dengan penjelasan saudara tirinya. “Apa papa masih lama, Ma?” tanyanya pada Briana, sang mama yang sejak tadi hanya duduk diam di sofa. Menatap drama yang ada.
“Mungkin, sekitar lima belas menit lagi,” jawab Briana sambil melirik jam tangan. Lalu tatapannya jatuh pada Cinta, tajam dan penuh penghakiman. “Jangan harap kamu bisa dapat keuntungan dari kekacauan ini.”
Cinta hanya menarik napas pelan. Ia sudah tahu, resiko apa yang akan diterimanya di rumah, di kantor, dan masyarakat nantinya. Namun, rencana sudah separuh jalan, tinggal menuntaskannya saja.
“Nyah! Di luar ada Pak Danuar sama istrinya,” ujar asisten rumah tangga keluarga Naratama yang masuk dengan tergopoh.
Ciara menelan ludah. Menatap Briana yang bergegas bangkit dan pergi keluar dengan tergesa untuk menemui keluarga Manggala. Kedatangan orang tua Bias secara tiba-tiba, pasti untuk membahas perihal foto-foto dan video putranya yang sudah tersebar luas.
Ciara kemudian berjongkok di depan Cinta. Mendorong pelipis gadis itu dengan telunjuknya.
“Kamu, diam di sini!”
Cinta tersenyum miring saat Ciara sudah pergi dari hadapannya dan bergumam, “Permainan, baru dimulai.”
~~~~~~~~~~~~~~~
“Kedatangan kami ke sini untuk men-clear-kan gosip yang sudah beredar liar di luar sana,” ucap Danuar setelah kedua keluarga besar berkumpul di ruang tamu. “Jadi, Bias bilang dia memang bertemu dengan Cinta. Mengundangnya ke meja dan mereka cuma sebatas bicara. Dan selanjutnya, Bias nggak ingat apa-apa lagi.”
“Cinta,” panggil Kiano menatap kesal pada putrinya yang selalu membuat ulah. “Apa lagi sekarang?”
Cinta menunduk dan mulai terisak. “Kalau saya juga bilang nggak ingat apa-apa, apa kalian semua akan percaya?”
“Cintaaa.” Bias mengepalkan kedua tangannya. Napasnya berat. Wanita itu benar-benar ular. “Berhenti sandiwara."
“Bias,” tegur Alma menggeleng pada putranya, lalu kembali menatap Cinta. “Bicaralah, karena kami akan mendengar semuanya.”
Cinta mengangkat wajahnya yang basah. Matanya memburam karena air mata, suaranya serak. “Apa saya salah datang ke meja Mas Bias, Tan?” tanyanya masih saja terisak. “Mas Bias yang ngundang dan demi menghormati beliau, saya datang dan kami ngobrol. Bukan saya yang nyelonong datang ke mejanya, tapi Mas Bias yang ngajak.”
Cinta menarik napas panjang. Mengusap jejak basah di wajahnya. “Jadi, saya juga nggak tahu dan nggak ingat apa-apa. Saya juga makin bingung, kenapa pagi-pagi saya bangun di samping Mas Bias. Di kamar hotel dan kami—”
“Sebentar!” Alma menghentikan kalimat Cinta. “Kalian tidur ... satu kamar?”
Cinta menunduk. “Iya, Tante. Dan kami … sudah …”
“Mam, aku bisa jelasin,” potong Bias segera. “Aku yakin, aku dijebak karena aku nggak ingat apa-apa.”
“Kalian tidur bersama?” Alma kembali mengajukan pertanyaan yang belum sempat terucap. “Satu kamar? Satu ranjang?”
“Iya, Tante,” jawab Cinta kembali menunduk dan terisak. “Kami sudah ...”
“Mam, aku yakin aku dijebak. Aku bahkan nggak sadar bisa sampai kamar.”
“Bias?” Alma menatap tidak percaya pada putranya. “Kenapa kamu nggak ngomong masalah ini? Kita datang ke sini, untuk meluruskan masalah video kalian di bar! Tapi, kenapa mendadak berakhir di ... kamar?”
“Mas Bias,” panggil Ciara lirih dan menggeleng. “Ini nggak benar, kan? Kalian berdua nggak sampai berbuat seperti itu?”
“Cia ...”
Ucapan Bias menggantung, karena belum bisa memberi penjelasan apa pun pada kekasihnya. Ciara pasti terluka karena semua kejadian ini.
Saat ini, Bias juga sedang menyelidiki kejadian tadi malam, tetapi ia belum mendapatkan petunjuk sama sekali.
“Maafkan saya Pak Kiano dan Bu Briana.” Meski berat, tetapi Alma harus mengambil keputusan. “Sepertinya, kita nggak bisa teruskan acara pertunangan Bias dan Ciara minggu depan.”
“Mam—”
“Bias.” Danuar menggeleng pada putranya. “Diam dan dengarkan mamamu.”
“Tante, kenapa pertunangan kami nggak bisa diterusin?” Ciara pun mulai menitikkan air mata. Isakannya bahkan lebih keras daripada Cinta.
“Kami datang untuk menyelesaikan masalah di bar," ujar Alma menatap Ciara. "Tapi yang muncul malah masalah baru. Dan kamu, Cia, harus belajar menerima kenyataan.”
“Bu Alma, kita bisa bicarakan lagi semuanya,” kata Kiano melihat Cinta dan Ciara bergantian.
“Kita selesaikan semuanya sekarang,” timpal Danuar tidak ingin membuat urusan semakin panjang dan bertele-tele. “Bias nggak bisa lagi melanjutkan hubungannya dengan Ciara dan harus bertanggung jawab dengan Cinta.”
"Om, ini nggak adil," protes Ciara.
“Pa ...” Bias berdiri dan menggeleng. “Masalah di bar semalam, sedang aku selidiki. Jadi—”
Danuar mengangkat satu tangan, memberi isyarat pada Bias agar tidak meneruskan ucapannya.
“Masalah di bar tetap akan diselidiki,” ujar Danuar. “Tapi, masalah yang terjadi di kamar hotel antara kamu dan Cinta, itu dua hal yang berbeda. Jadi, acara pertunangan minggu depan, akan berubah menjadi pernikahanmu dengan Cinta.”
“Nggak bisa begitu, Om.” Ciara kembali melempar protes, tidak terima dengan keputusan yang diambil sepihak oleh keluarga Manggala. “Apa kata orang-orang nanti? Aku yang pacaran lama sama mas Bias, tapi kenapa Cinta yang harus nikah?”
“Betul!” Bias setuju dengan perkataan kekasihnya. “Ini nggak bisa diteruskan.”
“Nggak papa.” Celetukan Cinta membuat semua mata tertuju pada gadis itu. “Kalau Mas Bias memang nggak mau tanggung jawab, ya sudah. Lanjutkan aja pertunangannya dengan Cia.”
“Betul! Kita bahkan nggak ingat apa-apa, Cin!” Bias setuju dengan ucapan Cinta. “Kita mungkin aja nggak melakukan apa-apa.”
“Tapi Mas Bias sudah lihat buktinya pagi tadi, kan?” Cinta berdiri, bicara tanpa ekspresi. “Tapi, ya sudah. Dari kecil, saya sudah biasa diabaikan.” Cinta beralih pada Kiano. “Iya, kan, Pa?”
Kiano mengerjap. Tidak siap menerima tuduhan putrinya di depan semua orang. Kali ini, Cinta benar-benar sudah bersikap lancang
“It’s okay.” Cinta tersenyum dan mengangguk sopan pada kedua orang tua Bias. “Biar saya yang menanggung semuanya, Om, Tante. Saya—”
“Nggak, nggak,” elak Alma ikut bangkit dari duduknya. “Semua sudah ditetapkan. Kamu yang menikah dengan Bias. Kalau nggak, kami akan membatalkan acaranya. Nggak akan ada pertunangan, karena Bias sudah sepatutnya menikah dengan Cinta. Bias, harus bertanggung jawab.”
“Ma—”
“Bagaimana Pak Kiano?” tanya Danuar memotong ucapan Bias. “Bias dan Cinta?”
Kiano mengusap wajah dan menoleh pada Briana yang sejak tadi hanya diam saja. Mereka bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya sama sekali.
“Baik,” jawab Kiano pada akhirnya. “Kita nikahkan Bias dan Cinta, minggu depan.”
“Kami sadar, apa yang terjadi bukanlah hal yang pantas ditiru. Untuk itu, kami dengan tulus memohon maaf atas kegaduhan yang ada, dan menegaskan bahwa kami telah mempertanggungjawabkan semuanya dengan cara yang sepatutnya. Terima kasih.”Bias mematikan televisi yang baru ditontonnya dengan remote. Bersandar pada sofa, lalu menatap Danuar yang juga baru menyaksikan pernyataan Cinta di televisi.“Kenapa Cinta nggak ngomong sama aku, kalau dia melakukan wawancara kemarin?” celetuk Bias merasa kesal sendiri.“Lupakan itu sebentar, Bi,” ujar Danuar meraih cangkir kopinya, lalu menyesapnya sebentar. “Tapi melihat sikap Cinta, Papa sepertinya percaya kalau kamu dijebak.”“Itu dia!” seru Bias memukul keras pahanya sendiri. “Sudah kubilang, aku dijebak, tapi Papa sama mama nggak percaya. Mama justru bilang wajar kalau Cinta minta kunikahi karena kami sudah ‘tidur’ berdua malam itu.”“Tapi kamu memang ‘tidur’ dengan Cinta, kan?”“Aku nggak ingat, Pa!”“Kita singkirkan itu dulu,” pinta Danuar me
“Bang! Cinta masuk!” seru Dion, berdiri di ambang pintu ruang Kepala Departemen Produksi Suara Media, Raksa. “Ada di mejanya!”“Panggil dia.” Raksa menjentikkan jari lalu menunjuk Dion. “Dan kamu, siapkan kamera. Kita akan wawancara eksklusif dengan dia 15 menit lagi.”“Di mana, Bang?”“Di ruangan saya,” jawab Raksa. “Biar saya yang wawancara.”“Sip!” Dion mengacungkan ibu jari pada Raksa, lalu pergi menghampiri Cinta yang sibuk dengan layar komputernya. “Wei! Pengantin baru, nih! Eh, gue masih nyimpan foto sama video lo dengan Bias.”Cinta menatap Dion sambil memangku wajah. Tidak mau peduli dan memikirkan skandal yang sudah diciptakannya satu minggu yang lalu. “Simpan baik-baik. Karena yang di internet sudah di-take down sama orangnya Manggala.”Dion tertawa keras. “Nggak ada malu-malunya lo, ya!”“Nasi sudah jadi bubur.” Cinta pun ikut terkekeh. “Jadi, ya, sudah. Sekalian aja dibikin bubur ayam biar enak.”“Ah! Gila lo.” Dion kemudian menunjuk ruangan Raksa. “Lo dipanggil air raksa
“Sayang …” Ciara langsung berlari menghampiri Bias yang baru memasuki unitnya. Memeluk erat dan menumpahkan tangisnya.Sementara Bias, hanya bisa terpaku di tempat dan membiarkan sang kekasih meluapkan semua kesedihan di pelukannya. Menunggu Ciara menghabiskan tangisnya, barulah ia membawa gadis itu menuju sofa. Duduk dan memangkunya.“Sekali lagi maaf,” ucap Bias setelah melepas topi dan maskernya. Ia merapikan anak rambut yang terhambur di wajah Ciara, lalu memberi kecupan singkat pada pipi gadis itu. “Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu.”“Aku tau.” Ciara merebahkan diri di tubuh Bias. “Aku yakin kamu dijebak dan semua ini salahnya Cinta.”“Andai mamaku nggak maksa, aku juga nggak bakal nikahin dia,” ujar Bisa mengusap lembut lengan kekasihnya. “Masalah foto sama video yang tersebar juga masalah gampang. Tapi, mamaku …”“Tapi aku tetap nggak rela kalau kamu tidur satu kamar, apalagi satu ranjang sama dia.”“Itu nggak akan terjadi,” ujar Bias penuh keyakinan, karena Cint
“Apa ini?” tanya Bias saat menerima sebuah tas ransel dari Yosep di ambang pintu kamar.“Tas mbak Cinta,” jawab Yosep. “Kata Denok, cuma ini barangnya di apart yang kemarin malam diantar temannya. Obat-obatnya juga sudah ada di dalam.”“Tas ini …” Bias menatap ke dalam kamar sekilas. Kemudian, ia membuka cepat resletingnya. Melihat ke dalam, lalu melihat pakaian yang jumlahnya hanya beberapa potong saja. “Ini semua bajunya Cinta? Nggak salah? Tasnya lusuh dan … yakin? Telpon Denok lagi.”“Sudah saya pastiin, Mas,” jawab Yosep mantap. “Kata Denok, Mbak Cinta, kan, nggak ada pulang ke rumah sejak datang ke apart. Jadi, barangnya, ya, cuma yang ada di dalam tas itu.”“Oke, pergilah.”Bias menutup pintu. Kembali memasuki kamar dan meletakkan tas milik Cinta di tempat tidur. Ia mengeluarkan ponsel, lalu berbaring perlahan dan menghubungi Ciara. Kekasihnya itu pasti sangat bersedih dan mengurung diri di kamar menangisi nasib hubungan mereka.Namun, panggilannya tidak kunjung diangkat.Tatap
Alma menghempas hasil rontgen yang sudah dilihatnya di meja. Menatap Bias yang duduk di hadapannya di lobi apartemen. Sementara Cinta, sudah lebih dulu pergi ke atas atas titahnya, ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.Setelah mendengar keterangan Bias, ternyata kondisi Cinta memang seperti yang terlihat. Bahkan, seharusnya gadis itu berjalan dengan bantuan kruk, agar kakinya tidak dipaksa menopang beban sebelum benar-benar pulih.“Hubungi pak Kiano sama bu Briana,” titah Alma memijat pelipisnya sebentar. “Pastikan mereka besok datang ke tempat acara, supaya semua berjalan lancar. Bilang ke Cia supaya nggak usah datang, karena Mama nggak mau ada drama.”“Tapi … bagaimana kalau nanti Cinta ternyata nggak hamil?” tanya Bias bersedekap dan duduk tegak.“Kamu mau cerai?” tebak Alma tersenyum miring. “Baru sebulan nikah tapi sudah mau cerai? Begitu maksudmu, kan?”“Kalau memang dia nggak hamil, untuk apa pernikahan ini diteruskan?”“Yakin dalam satu bulan kamu nggak akan ‘nyentuh’ Ci
“Kita pergi sebentar lagi,” ujar Bias ketika memasuki ruangannya. Ia berdiri tepat di depan Cinta yang masih duduk di tempatnya. Menatap selidik, pada wanita licik yang sudah memainkan drama yang begitu epik. “Untuk sementara, kamu ada dalam pengawasan kami.”“Pengawasan?” tanya Cinta agak bingung.“Ya!” Bias bersedekap. “Kami khawatir, ada yang mau mencelakakan kamu lagi sebelum pernikahan kita dilaksanakan.”“Nggak ada bu Alma di sini.” Cinta menoleh sebentar ke arah pintu yang sedikit terbuka. “Jadi, nggak usah pura-pura baik. Jujur aja, kamu yang nyuruh orang buat nabrak aku? Karena—”“Jangan pernah menuduh tanpa bukti!” Bisa menunduk cepat. Kedua tangannya bertumpu pada lengan sofa yang diduduki Cinta. “Dan jangan main-main denganku, apalagi keluargaku.”“Aku memang nggak punya bukti apa-apa,” sahut Cinta tidak gentar sedikit pun. Meski sempat terkejut dengan sikap Bias yang menunduk secara tiba-tiba. “Karena pesuruhmu sepertinya cukup pintar.”“Heh dengar!” Bias menepuk pelan pi