Share

2~BC

Author: Kanietha
last update Huling Na-update: 2025-08-23 16:54:15

Cinta baru memasuki ruang keluarga dengan langkah gontai, saat Ciara menghampiri dan menamparnya tanpa aba-aba.

Plak!

Tamparan itu mendarat telak di pipi Cinta. Begitu keras, hingga kepalanya refleks menoleh dan matanya terpejam erat menahan perih. Udara di ruang keluarga Naratama mendadak menegang, membeku.

Belum puas dengan satu tamparan, Ciara lantas mendorong Cinta dengan keras. “Dasar perempuan murah!” makinya tajam.

Tubuh Cinta limbung dan jatuh terduduk di lantai. Ia hanya duduk diam, memegangi pipinya yang terasa panas. Tidak membalas dan enggan melakukan apa pun. Membiarkan Ciara melakukan apa yang ingin gadis itu lakukan.

“Kamu, kan?” Ciara menuding penuh tuduhan. “Kamu yang godain Bias!”

“Mana mungkin.” Cinta menatap lurus ke depan. Tidak ada air mata, tidak ada ekspresi. Hanya suara datarnya yang terdengar jelas di ruangan tersebut. “Aku di sana ikut teman liputan dan nggak sengaja ketemu Bias. Dia open table sama temannya, dan dia duluan yang ngajak aku gabung ke mejanya.”

“Bullshit!” Ciara menjerit sambil menggeleng. Tidak percaya dengan penjelasan saudara tirinya. “Apa papa masih lama, Ma?” tanyanya pada Briana, sang mama yang sejak tadi hanya duduk diam di sofa. Menatap drama yang ada.

“Mungkin, sekitar lima belas menit lagi,” jawab Briana sambil melirik jam tangan. Lalu tatapannya jatuh pada Cinta, tajam dan penuh penghakiman. “Jangan harap kamu bisa dapat keuntungan dari kekacauan ini.”

Cinta hanya menarik napas pelan. Ia sudah tahu, resiko apa yang akan diterimanya di rumah, di kantor, dan masyarakat nantinya. Namun, rencana sudah separuh jalan, tinggal menuntaskannya saja.

“Nyah! Di luar ada Pak Danuar sama istrinya,” ujar asisten rumah tangga keluarga Naratama yang masuk dengan tergopoh.

Ciara menelan ludah. Menatap Briana yang bergegas bangkit dan pergi keluar dengan tergesa untuk menemui keluarga Manggala. Kedatangan orang tua Bias secara tiba-tiba, pasti untuk membahas perihal foto-foto dan video putranya yang sudah tersebar luas.

Ciara kemudian berjongkok di depan Cinta. Mendorong pelipis gadis itu dengan telunjuknya.

“Kamu, diam di sini!”

Cinta tersenyum miring saat Ciara sudah pergi dari hadapannya dan bergumam, “Permainan, baru dimulai.”

~~~~~~~~~~~~~~~

“Kedatangan kami ke sini untuk men-clear-kan gosip yang sudah beredar liar di luar sana,” ucap Danuar setelah kedua keluarga besar berkumpul di ruang tamu. “Jadi, Bias bilang dia memang bertemu dengan Cinta. Mengundangnya ke meja dan mereka cuma sebatas bicara. Dan selanjutnya, Bias nggak ingat apa-apa lagi.”

“Cinta,” panggil Kiano menatap kesal pada putrinya yang selalu membuat ulah. “Apa lagi sekarang?”

Cinta menunduk dan mulai terisak. “Kalau saya juga bilang nggak ingat apa-apa, apa kalian semua akan percaya?”

“Cintaaa.” Bias mengepalkan kedua tangannya. Napasnya berat. Wanita itu benar-benar ular. “Berhenti sandiwara."

“Bias,” tegur Alma menggeleng pada putranya, lalu kembali menatap Cinta. “Bicaralah, karena kami akan mendengar semuanya.”

Cinta mengangkat wajahnya yang basah. Matanya memburam karena air mata, suaranya serak. “Apa saya salah datang ke meja Mas Bias, Tan?” tanyanya masih saja terisak. “Mas Bias yang ngundang dan demi menghormati beliau, saya datang dan kami ngobrol. Bukan saya yang nyelonong datang ke mejanya, tapi Mas Bias yang ngajak.”

Cinta menarik napas panjang. Mengusap jejak basah di wajahnya. “Jadi, saya juga nggak tahu dan nggak ingat apa-apa. Saya juga makin bingung, kenapa pagi-pagi saya bangun di samping Mas Bias. Di kamar hotel dan kami—”

“Sebentar!” Alma menghentikan kalimat Cinta. “Kalian tidur ... satu kamar?”

Cinta menunduk. “Iya, Tante. Dan kami … sudah …”

“Mam, aku bisa jelasin,” potong Bias segera. “Aku yakin, aku dijebak karena aku nggak ingat apa-apa.”

“Kalian tidur bersama?” Alma kembali mengajukan pertanyaan yang belum sempat terucap. “Satu kamar? Satu ranjang?”

“Iya, Tante,” jawab Cinta kembali menunduk dan terisak. “Kami sudah ...”

“Mam, aku yakin aku dijebak. Aku bahkan nggak sadar bisa sampai kamar.”

“Bias?” Alma menatap tidak percaya pada putranya. “Kenapa kamu nggak ngomong masalah ini? Kita datang ke sini, untuk meluruskan masalah video kalian di bar! Tapi, kenapa mendadak berakhir di ... kamar?”

“Mas Bias,” panggil Ciara lirih dan menggeleng. “Ini nggak benar, kan? Kalian berdua nggak sampai berbuat seperti itu?”

“Cia ...”

Ucapan Bias menggantung, karena belum bisa memberi penjelasan apa pun pada kekasihnya. Ciara pasti terluka karena semua kejadian ini.

Saat ini, Bias juga sedang menyelidiki kejadian tadi malam, tetapi ia belum mendapatkan petunjuk sama sekali.

“Maafkan saya Pak Kiano dan Bu Briana.” Meski berat, tetapi Alma harus mengambil keputusan. “Sepertinya, kita nggak bisa teruskan acara pertunangan Bias dan Ciara minggu depan.”

“Mam—”

“Bias.” Danuar menggeleng pada putranya. “Diam dan dengarkan mamamu.”

“Tante, kenapa pertunangan kami nggak bisa diterusin?” Ciara pun mulai menitikkan air mata. Isakannya bahkan lebih keras daripada Cinta.

“Kami datang untuk menyelesaikan masalah di bar," ujar Alma menatap Ciara. "Tapi yang muncul malah masalah baru. Dan kamu, Cia, harus belajar menerima kenyataan.”

“Bu Alma, kita bisa bicarakan lagi semuanya,” kata Kiano melihat Cinta dan Ciara bergantian.

“Kita selesaikan semuanya sekarang,” timpal Danuar tidak ingin membuat urusan semakin panjang dan bertele-tele. “Bias nggak bisa lagi melanjutkan hubungannya dengan Ciara dan harus bertanggung jawab dengan Cinta.”

"Om, ini nggak adil," protes Ciara.

“Pa ...” Bias berdiri dan menggeleng. “Masalah di bar semalam, sedang aku selidiki. Jadi—”

Danuar mengangkat satu tangan, memberi isyarat pada Bias agar tidak meneruskan ucapannya.

“Masalah di bar tetap akan diselidiki,” ujar Danuar. “Tapi, masalah yang terjadi di kamar hotel antara kamu dan Cinta, itu dua hal yang berbeda. Jadi, acara pertunangan minggu depan, akan berubah menjadi pernikahanmu dengan Cinta.”

“Nggak bisa begitu, Om.” Ciara kembali melempar protes, tidak terima dengan keputusan yang diambil sepihak oleh keluarga Manggala. “Apa kata orang-orang nanti? Aku yang pacaran lama sama mas Bias, tapi kenapa Cinta yang harus nikah?”

“Betul!” Bias setuju dengan perkataan kekasihnya. “Ini nggak bisa diteruskan.”

“Nggak papa.” Celetukan Cinta membuat semua mata tertuju pada gadis itu. “Kalau Mas Bias memang nggak mau tanggung jawab, ya sudah. Lanjutkan aja pertunangannya dengan Cia.”

“Betul! Kita bahkan nggak ingat apa-apa, Cin!” Bias setuju dengan ucapan Cinta. “Kita mungkin aja nggak melakukan apa-apa.”

“Tapi Mas Bias sudah lihat buktinya pagi tadi, kan?” Cinta berdiri, bicara tanpa ekspresi. “Tapi, ya sudah. Dari kecil, saya sudah biasa diabaikan.” Cinta beralih pada Kiano. “Iya, kan, Pa?”

Kiano mengerjap. Tidak siap menerima tuduhan putrinya di depan semua orang. Kali ini, Cinta benar-benar sudah bersikap lancang

It’s okay.” Cinta tersenyum dan mengangguk sopan pada kedua orang tua Bias. “Biar saya yang menanggung semuanya, Om, Tante. Saya—”

“Nggak, nggak,” elak Alma ikut bangkit dari duduknya. “Semua sudah ditetapkan. Kamu yang menikah dengan Bias. Kalau nggak, kami akan membatalkan acaranya. Nggak akan ada pertunangan, karena Bias sudah sepatutnya menikah dengan Cinta. Bias, harus bertanggung jawab.”

“Ma—”

“Bagaimana Pak Kiano?” tanya Danuar memotong ucapan Bias. “Bias dan Cinta?”

Kiano mengusap wajah dan menoleh pada Briana yang sejak tadi hanya diam saja. Mereka bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya sama sekali.

“Baik,” jawab Kiano pada akhirnya. “Kita nikahkan Bias dan Cinta, minggu depan.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (11)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
masih nyimak mba beb.....apa ada rekayasa dari cinta
goodnovel comment avatar
kyara
ini sequel dari cerita yg judulnya apa ya kak? kyk gk asing dgn nama cinta, briana
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
hhmmm kayaknya Cinta ini anak yg dikucilkan.. makanya dia berulah.. biasanya tuh yg dikucilkan bakal tertind4s tapi ini sebaliknya.. bravo mbk beb..
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Bias Cinta   134~BC

    “Jangan terlalu dekat sama Altaf,” pesan Ira setelah turun dari motor dan melepas helmnya, “dia sudah mau nikah, jadi, jangan nyelip di antara Altaf sama calon istrinya.”Dinda melipat bibir. Akhirnya, ia tahu apa yang ada di pikiran Ira ketika mereka tengah melihat rumah. Namun, kenapa ibunya bisa sampai memiliki pemikiran seperti itu?“Aku nggak dekat sama mas Al.” Dinda membela diri karena kenyataannya memang seperti itu. “Kami juga nggak pernah jalan bareng, jadi, yaaa … ya nggak dekat. Ibu jangan salah paham, dia itu cuma nganggap aku adek.”“Kata siapa?”“Kata mas Al sendiri.”“Tapi kamu orang, bukan adeknya.”“Tapi–”“Jangan rusak pertemananmu dengan Cinta yang sudah terjalin bertahun-tahun,” putus Ira. Ia harus memperingatkan Dinda, karena perasaan putrinya tidak sesensitif Ira. “Kalau Altaf single, Ibu nggak ngelarang-larang. Jadi, tolong jangan deket-dekat lagi sama Altaf, ya.”“Tapi, kan, dia nggak ada perasaan sama aku, Bu. Mas Al itu sudah mau nikah. Punya pacar, calon is

  • Bias Cinta   133~BC

    Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p

  • Bias Cinta   132~BC

    “Senin depan sudah mulai renov,” ujar Altaf setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, “sabtu ini mau dicek yang mana-mana aja yang harus diperbaiki dan ditambah. Kalau kamu mau lihat, nanti bisa datang ke sana. Tapi pagi, sekitar jam tujuh atau setengah delapan.”“Boleh deh, entar aku bawa ibu sekalian.”“Ibumu mau pindah dari rumahnya?” Altaf mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. “Untuk sementara belum mau, karena ibu tinggal di sana sudah lama,” terang Dinda sambil memangku wajah, menatap wajah tampan Altaf. “Tapi, masa’ mau di sana terus-terusan?”“Memang kenapa kalau tinggal terus di sana?” Altaf meletakkan ponselnya di meja. Bersandar dan menatap Dinda. “Tetangga suka ‘berisik’, Mas,” ujar Dinda sambil memanyunkan bibirnya sejenak, “dulu waktu pertama kali jadi reporter, omongan orang pasti nggak enak tiap aku pulang malam. Emang, sih, orangnya baik-baik. Gercep juga kalau ada apa-apa, tapi, ya itu. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm.”Alt

  • Bias Cinta   131~BC

    “Memangnya bu Ira mau pindah ke rumah yang baru?” Bias meletakkan ponsel Cinta di tempat tidur, setelah melihat foto rumah yang akan jadi milik Dinda. “Jahitannya gimana? Terus kalau pindah, nanti nggak ada teman ngerumpi seperti di gangnya.”“Sebenarnya Bu Ira masih keberatan, tapi Dinda tetap ngotot mau beli rumah,” terang Cinta sambil menyelimuti Cibi yang sudah terlelap di kasur miliknya. Ide untuk mematikan lampu utama kamar dan membiarkan hanya lampu tidur yang menyala, ternyata cukup membantu Cibi terlelap lebih cepat. Hal itu membuat Cinta memiliki waktu santai sedikit lebih banyak, yang bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan Bias. Bias menyingkap selimutnya, membiarkan Cinta masuk dan berbaring di sampingnya. “Anggap aja aset kalau begitu,” ucap Bias kemudian memeluk Cinta dengan erat, “terus gimana nasib proposalku tentang anak kedua?”Cinta tertawa pelan. “Ditolak. Kita tetap dengan rencana awal. Tunggu Cibi lima tahun baru program lagi. Atau … tiga tahunan deh.”“Maksudk

  • Bias Cinta   130~BC

    Dinda melepas helm dan menatap rumah yang ada di depannya dengan ekspresi tidak percaya. Ia lantas berdiri, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Cinta. Sembari menunggu panggilannya dijawab, ia melihat ke lingkungan di sekitarnya. Yang dimasukinya memang bukan perumahan elite para pejabat atau artis. Namun, bagi Dinda, rumah yang ia datangi ternyata lebih besar dari ekspektasinya.“Eh, Bu,” ujar Dinda setelah mendengar sapaan Cinta di ujung sana, “aku sudah di depan rumah yang alamatnya kamu kasih. Tapi nggak salah ini? Rumahnya besar. Mungkin, tipe tujuh puluhan apa, ya? Satu M nyampe kali ini harganya.”“Kamu nggak salah alamat?”“Nggak. Sudah aku pastiin,” ucap Dinda kembali melihat nomor rumah yang menempel di tiang pagar beton. “Blok C nomor 10. Ini deretan rumah besar. Kalau yang blok dalam, kayaknya baru yang standar-standar, tipe empat limaan. Mana nggak ada orang lagi di sini. Nggak salah hari atau jam, kan, ya?”“Tadi malam Altaf bilangnya besok,” ucap Cinta tanpa ragu, “jam

  • Bias Cinta   129~BC

    “Apa kamu nggak punya kegiatan lain?” Altaf berdiri di depan televisi. Menghalangi pandangan Ciara yang berbaring di sofa panjang. “Tiap hari cuma rebahan dan nggak ngapa-ngapain?”“Terus aku harus apa?” Ciara menatap lesu pada Altaf. “Uang hasil sitaan sudah dikembalikan, kan? Itu bisa kamu jadikan modal buat mulai usaha lagi.”“Aku lagi pengen istirahat.” Ciara bangkit perlahan dengan rambut yang acak-acakan. “Harusnya kamu bisa maklumin aku, Mas. Calon suamiku dirampas, mama sama papa masuk penjara, usahaku bangkrut, dan … orang-orang yang sudah aku anggap teman, sekarang malah menjauh.”“Itu artinya, mereka bukan temanmu,” terang Altaf bertolak pinggang. Ia bukannya tidak bersimpati dengan nasib Ciara, tetapi Altaf tidak bisa membiarkan adiknya itu terus-terusan seperti ini. Ciara sudah terlalu banyak di manja, sehingga tidak tahu bagaimana cara hidup mandiri.“Kamu harusnya bersyukur, karena sudah ditunjukkan mana yang benar-benar teman dan mana yang nggak.”Ciara berdecak. Meng

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status