Share

7~BC

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-09-03 19:06:48

“Yakin mau datang ke Firma Manggala?” Dinda memastikan sekali lagi, setelah mengikat kencang rambut Cinta yang duduk di depannya. “Besok aja, ya? Besok, kan, libur. Jadi bisa aku temani.”

“Firma juga libur kalau besok,” ujar Cinta sambil melihat wajahnya dari cermin sebesar telapak tangannya. “Lagian kakiku udah bisa dipake jalan.”

“Tapi masih pincang.”

“Nggak papa.” Cinta berdiri perlahan. Sesekali mendesis, menahan nyeri di bahu kirinya yang masih memakai penyangga. Ia mengambil tas yang sudah dipersiapkan dan hanya menentengnya. “Kalau nggak ke sana sekarang, besok malam aku mungkin nggak bisa nikah dengan Bias.”

“Cin.” Dinda juga bangkit dan mengambil tas kerjanya. “Yakin mau diterusin? Aku yakin ini bukan tabrak lari biasa. Pasti ada yang sudah nyuruh orang buat nyelakain kamu.”

“Paling juga Briana, kalau nggak, ya, Bias,” ucapnya sambil berjalan keluar kamar yang sudah dibuka lebih dulu oleh Dinda.

“Kalau gitu berhenti,” ujar Dinda menghalangi langkah Cinta. “Kalau bukan teman, aku nggak akan mau bantu, apalagi peduli sama kamu.”

“Aku sudah terlalu lama berhenti, Din,” ujar Cinta bergeser dan kembali melanjutkan langkahnya. “Dan aku sudah nggak bisa diam lagi, karena rumah mamaku mau diambil sama Cia.”

“Bicarakan baik-baik sama papamu.”

“Aku sudah nggak punya papa,” kata Cinta menghampiri Ira, ibu Dinda yang tengah sibuk menjahit pakaian. “Bu, aku sama Dinda berangkat kerja dulu, ya,” pamit Cinta berbohong agar wanita itu tidak melontarkan banyak pertanyaan.

“Kan, surat dokternya seminggu.” Ira pasrah saja ketika Cinta mencium punggung tangannya dan ngotot pergi bekerja. “Kamu bisa istirahat dulu di rumah.”

“Nganggur itu nggak enak, Bu,” jawab Cinta beralasan dan menunggu Dinda berpamitan pada ibunya.

Cinta mulai mengenal keluarga Dinda sejak ia dipindahkan oleh papanya ke sekolah negeri yang letaknya tidak jauh dari rumah. Kiano berdalih, keputusan itu diambil agar Cinta tidak lagi menghasut teman-temannya untuk memusuhi Ciara.

Alasan itu memang tidak sepenuhnya keliru. Cinta memang pernah memanggil Ciara dengan sebutan anak pungut saat mereka bersekolah di tempat yang sama. Namun bagi Cinta, julukan itu bukan tanpa sebab. Ia kesal karena Ciara kerap memakai barang-barangnya tanpa izin dan selalu lepas tangan saat terjadi kerusakan.

Sikap Ciara yang seenaknya itu terus memancing emosi. Hingga suatu hari, di tengah amarah yang memuncak, Cinta tidak bisa lagi menahan diri. Ia berteriak, menyebut Ciara sebagai anak pungut. Sebuah kalimat yang akhirnya menjadi alasan kepindahannya dari sekolah dan mengibarkan bendera perang hingga saat ini.

“Yakin, ya?” tanya Dinda sekali lagi, sebelum ia menarik gas motornya keluar dari gang. Melihat Cinta yang duduk di belakangnya.

“Yakin!” seru Cinta sudah membulatkan tekadnya. “Kamu berangkat ke kantor aja habis nge-drop aku di firma, nanti pulangnya aku pesan ojek atau taksi. Gampang.”

“Tapi aku khawatir, Cin,” ujar Dinda. “Gimana kalau kamu dicelakai lagi sepulang dari firma.”

“Udahlah, nggak,” ucap Cinta meski ada ragu yang ia simpan dalam-dalam. “Kita doa yang baik-baik aja. Sekarang, ayo berangkat! Biar kamu nggak telat kerja.”

~~~~~~~~~~~~~~~~~

“Kenapa masih santai?” Danuar melangkah mundur ketika melihat Bias menuruni tangga dengan pakaian casual. Kaos oblong hitam dan celana jeans warna senada. “Nggak ngantor? Nggak ada sidang? Nggak ada janji dengan klien?”

“Nggak ada,” jawab Bias berhenti di depan papanya. “Aku—”

“Bi!” Alma masuk dari teras samping. “Besok ini gimana, ya? Bu Briana sampe sekarang adem ayem aja. Padahal, besok kamu nikah sama Cinta. Dan Cinta juga nggak ada kabar. Mereka mau coba main-main sama kita!”

“Cinta kecelakaan,” ujar Bias. “Tabrak lari dan—”

“Kenapa keluarga Naratama nggak ada yang ngasih kabar?” putus Danuar menyodorkan tas kerjanya pada Yosep yang baru memasuki ruang keluarga. “Harusnya mereka bilang, kalau Cinta kecelakaan. Nggak diam-diam begini. Gimana, sih, keluarga itu?”

“Perasaan waktu kamu sama Cia, keluarga Naratama nggak gini-gini amat.” Briana berdecak.

“Apa karena kamu sama Cinta sudah tidur bareng, jadi, mereka ogah-ogahan!” sambar Danuar ikut berdecak karena ulah putranya yang memalukan.

“Makanya, kalau sudah punya pacar itu, nggak usah gatel!” omel Alma merasa kesal sendiri jika mengingat ulah Bias. “Masih aja nyosor sana sini.”

“Sudah kubilang, aku dijebak, Mam.”

“Bukan dijebak,” sanggah Alma. “Kamunya aja yang doyan! Bikin repot, kan, jadinya? Apalagi Cinta sama Ciara itu masih keluarga. Ke mana, sih, pikiranmu itu?”

Bias mendesah. Melewati kedua orang tuanya lalu menghempas tubuh di sofa. “Kalau Cinta nggak ada kabar, kita bisa batalin acaranya. Toh, dia yang nggak mau dinikahi, padahal aku sudah mau tanggung jawab.”

“Nggak ada kabar gimana?” Alma menghampiri Bias, duduk di sebelahnya. “Bukannya kecelakaan? Itu artinya, dia ada di rumah sakit.”

“Cinta kecelakaan minggu sore, setelah kita ke rumahnya,” terang Bias. “Dan besoknya, dia ngotot keluar meski kondisinya nggak baik-baik aja.”

“Berarti dia di rumah?”

“Dia nggak pulang ke rumah.”

“Aneh.” Danuar berceletuk, masih berdiri di depan tangga, bersama Yosep. “Dan, mama kemarin juga sempat bilang, kalau bu Briana dan Cia nggak tau Cinta ada di mana. Iya, kan?”

“Betul!” seru Alma. “Belum lagi besok. Yang kita sebar undangan pertunangan Bias sama Cia, acaranya berubah jadi pernikahan Bias sama Cinta. Untung yang diundang nggak banyak.”

“Kalau Cinta nggak ada, kita tetap ke acara awal,” ujar Bias. “Aku tunangan sama Cia.”

“Maaf, Mas.” Yosep menyela setelah membaca pesan singkat yang masuk di ponselnya. “Mbak Cinta, sekarang ada di Firma. Baru datang dan nunggu di lobi.”

Alma menepuk paha Bias ketika berdiri. “Ayo ke Firma. Mama ikut!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
kejadian dihotel sebenarnya rekayasa atau betulan yak
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
gk boleh batal dong nikahnya.. klo perlu Adain resepsi yg mewah.. biar kejang² tuh si Cia & Briana..
goodnovel comment avatar
Liz Kusnandar
jadi teringat sm Anggun.... huhuhu semangaat Cintaa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bias Cinta   134~BC

    “Jangan terlalu dekat sama Altaf,” pesan Ira setelah turun dari motor dan melepas helmnya, “dia sudah mau nikah, jadi, jangan nyelip di antara Altaf sama calon istrinya.”Dinda melipat bibir. Akhirnya, ia tahu apa yang ada di pikiran Ira ketika mereka tengah melihat rumah. Namun, kenapa ibunya bisa sampai memiliki pemikiran seperti itu?“Aku nggak dekat sama mas Al.” Dinda membela diri karena kenyataannya memang seperti itu. “Kami juga nggak pernah jalan bareng, jadi, yaaa … ya nggak dekat. Ibu jangan salah paham, dia itu cuma nganggap aku adek.”“Kata siapa?”“Kata mas Al sendiri.”“Tapi kamu orang, bukan adeknya.”“Tapi–”“Jangan rusak pertemananmu dengan Cinta yang sudah terjalin bertahun-tahun,” putus Ira. Ia harus memperingatkan Dinda, karena perasaan putrinya tidak sesensitif Ira. “Kalau Altaf single, Ibu nggak ngelarang-larang. Jadi, tolong jangan deket-dekat lagi sama Altaf, ya.”“Tapi, kan, dia nggak ada perasaan sama aku, Bu. Mas Al itu sudah mau nikah. Punya pacar, calon is

  • Bias Cinta   133~BC

    Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p

  • Bias Cinta   132~BC

    “Senin depan sudah mulai renov,” ujar Altaf setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, “sabtu ini mau dicek yang mana-mana aja yang harus diperbaiki dan ditambah. Kalau kamu mau lihat, nanti bisa datang ke sana. Tapi pagi, sekitar jam tujuh atau setengah delapan.”“Boleh deh, entar aku bawa ibu sekalian.”“Ibumu mau pindah dari rumahnya?” Altaf mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. “Untuk sementara belum mau, karena ibu tinggal di sana sudah lama,” terang Dinda sambil memangku wajah, menatap wajah tampan Altaf. “Tapi, masa’ mau di sana terus-terusan?”“Memang kenapa kalau tinggal terus di sana?” Altaf meletakkan ponselnya di meja. Bersandar dan menatap Dinda. “Tetangga suka ‘berisik’, Mas,” ujar Dinda sambil memanyunkan bibirnya sejenak, “dulu waktu pertama kali jadi reporter, omongan orang pasti nggak enak tiap aku pulang malam. Emang, sih, orangnya baik-baik. Gercep juga kalau ada apa-apa, tapi, ya itu. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm.”Alt

  • Bias Cinta   131~BC

    “Memangnya bu Ira mau pindah ke rumah yang baru?” Bias meletakkan ponsel Cinta di tempat tidur, setelah melihat foto rumah yang akan jadi milik Dinda. “Jahitannya gimana? Terus kalau pindah, nanti nggak ada teman ngerumpi seperti di gangnya.”“Sebenarnya Bu Ira masih keberatan, tapi Dinda tetap ngotot mau beli rumah,” terang Cinta sambil menyelimuti Cibi yang sudah terlelap di kasur miliknya. Ide untuk mematikan lampu utama kamar dan membiarkan hanya lampu tidur yang menyala, ternyata cukup membantu Cibi terlelap lebih cepat. Hal itu membuat Cinta memiliki waktu santai sedikit lebih banyak, yang bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan Bias. Bias menyingkap selimutnya, membiarkan Cinta masuk dan berbaring di sampingnya. “Anggap aja aset kalau begitu,” ucap Bias kemudian memeluk Cinta dengan erat, “terus gimana nasib proposalku tentang anak kedua?”Cinta tertawa pelan. “Ditolak. Kita tetap dengan rencana awal. Tunggu Cibi lima tahun baru program lagi. Atau … tiga tahunan deh.”“Maksudk

  • Bias Cinta   130~BC

    Dinda melepas helm dan menatap rumah yang ada di depannya dengan ekspresi tidak percaya. Ia lantas berdiri, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Cinta. Sembari menunggu panggilannya dijawab, ia melihat ke lingkungan di sekitarnya. Yang dimasukinya memang bukan perumahan elite para pejabat atau artis. Namun, bagi Dinda, rumah yang ia datangi ternyata lebih besar dari ekspektasinya.“Eh, Bu,” ujar Dinda setelah mendengar sapaan Cinta di ujung sana, “aku sudah di depan rumah yang alamatnya kamu kasih. Tapi nggak salah ini? Rumahnya besar. Mungkin, tipe tujuh puluhan apa, ya? Satu M nyampe kali ini harganya.”“Kamu nggak salah alamat?”“Nggak. Sudah aku pastiin,” ucap Dinda kembali melihat nomor rumah yang menempel di tiang pagar beton. “Blok C nomor 10. Ini deretan rumah besar. Kalau yang blok dalam, kayaknya baru yang standar-standar, tipe empat limaan. Mana nggak ada orang lagi di sini. Nggak salah hari atau jam, kan, ya?”“Tadi malam Altaf bilangnya besok,” ucap Cinta tanpa ragu, “jam

  • Bias Cinta   129~BC

    “Apa kamu nggak punya kegiatan lain?” Altaf berdiri di depan televisi. Menghalangi pandangan Ciara yang berbaring di sofa panjang. “Tiap hari cuma rebahan dan nggak ngapa-ngapain?”“Terus aku harus apa?” Ciara menatap lesu pada Altaf. “Uang hasil sitaan sudah dikembalikan, kan? Itu bisa kamu jadikan modal buat mulai usaha lagi.”“Aku lagi pengen istirahat.” Ciara bangkit perlahan dengan rambut yang acak-acakan. “Harusnya kamu bisa maklumin aku, Mas. Calon suamiku dirampas, mama sama papa masuk penjara, usahaku bangkrut, dan … orang-orang yang sudah aku anggap teman, sekarang malah menjauh.”“Itu artinya, mereka bukan temanmu,” terang Altaf bertolak pinggang. Ia bukannya tidak bersimpati dengan nasib Ciara, tetapi Altaf tidak bisa membiarkan adiknya itu terus-terusan seperti ini. Ciara sudah terlalu banyak di manja, sehingga tidak tahu bagaimana cara hidup mandiri.“Kamu harusnya bersyukur, karena sudah ditunjukkan mana yang benar-benar teman dan mana yang nggak.”Ciara berdecak. Meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status