“Yakin mau datang ke Firma Manggala?” Dinda memastikan sekali lagi, setelah mengikat kencang rambut Cinta yang duduk di depannya. “Besok aja, ya? Besok, kan, libur. Jadi bisa aku temani.”
“Firma juga libur kalau besok,” ujar Cinta sambil melihat wajahnya dari cermin sebesar telapak tangannya. “Lagian kakiku udah bisa dipake jalan.”
“Tapi masih pincang.”
“Nggak papa.” Cinta berdiri perlahan. Sesekali mendesis, menahan nyeri di bahu kirinya yang masih memakai penyangga. Ia mengambil tas yang sudah dipersiapkan dan hanya menentengnya. “Kalau nggak ke sana sekarang, besok malam aku mungkin nggak bisa nikah dengan Bias.”
“Cin.” Dinda juga bangkit dan mengambil tas kerjanya. “Yakin mau diterusin? Aku yakin ini bukan tabrak lari biasa. Pasti ada yang sudah nyuruh orang buat nyelakain kamu.”
“Paling juga Briana, kalau nggak, ya, Bias,” ucapnya sambil berjalan keluar kamar yang sudah dibuka lebih dulu oleh Dinda.
“Kalau gitu berhenti,” ujar Dinda menghalangi langkah Cinta. “Kalau bukan teman, aku nggak akan mau bantu, apalagi peduli sama kamu.”
“Aku sudah terlalu lama berhenti, Din,” ujar Cinta bergeser dan kembali melanjutkan langkahnya. “Dan aku sudah nggak bisa diam lagi, karena rumah mamaku mau diambil sama Cia.”
“Bicarakan baik-baik sama papamu.”
“Aku sudah nggak punya papa,” kata Cinta menghampiri Ira, ibu Dinda yang tengah sibuk menjahit pakaian. “Bu, aku sama Dinda berangkat kerja dulu, ya,” pamit Cinta berbohong agar wanita itu tidak melontarkan banyak pertanyaan.
“Kan, surat dokternya seminggu.” Ira pasrah saja ketika Cinta mencium punggung tangannya dan ngotot pergi bekerja. “Kamu bisa istirahat dulu di rumah.”
“Nganggur itu nggak enak, Bu,” jawab Cinta beralasan dan menunggu Dinda berpamitan pada ibunya.
Cinta mulai mengenal keluarga Dinda sejak ia dipindahkan oleh papanya ke sekolah negeri yang letaknya tidak jauh dari rumah. Kiano berdalih, keputusan itu diambil agar Cinta tidak lagi menghasut teman-temannya untuk memusuhi Ciara.
Alasan itu memang tidak sepenuhnya keliru. Cinta memang pernah memanggil Ciara dengan sebutan anak pungut saat mereka bersekolah di tempat yang sama. Namun bagi Cinta, julukan itu bukan tanpa sebab. Ia kesal karena Ciara kerap memakai barang-barangnya tanpa izin dan selalu lepas tangan saat terjadi kerusakan.
Sikap Ciara yang seenaknya itu terus memancing emosi. Hingga suatu hari, di tengah amarah yang memuncak, Cinta tidak bisa lagi menahan diri. Ia berteriak, menyebut Ciara sebagai anak pungut. Sebuah kalimat yang akhirnya menjadi alasan kepindahannya dari sekolah dan mengibarkan bendera perang hingga saat ini.
“Yakin, ya?” tanya Dinda sekali lagi, sebelum ia menarik gas motornya keluar dari gang. Melihat Cinta yang duduk di belakangnya.
“Yakin!” seru Cinta sudah membulatkan tekadnya. “Kamu berangkat ke kantor aja habis nge-drop aku di firma, nanti pulangnya aku pesan ojek atau taksi. Gampang.”
“Tapi aku khawatir, Cin,” ujar Dinda. “Gimana kalau kamu dicelakai lagi sepulang dari firma.”
“Udahlah, nggak,” ucap Cinta meski ada ragu yang ia simpan dalam-dalam. “Kita doa yang baik-baik aja. Sekarang, ayo berangkat! Biar kamu nggak telat kerja.”
~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Kenapa masih santai?” Danuar melangkah mundur ketika melihat Bias menuruni tangga dengan pakaian casual. Kaos oblong hitam dan celana jeans warna senada. “Nggak ngantor? Nggak ada sidang? Nggak ada janji dengan klien?”
“Nggak ada,” jawab Bias berhenti di depan papanya. “Aku—”
“Bi!” Alma masuk dari teras samping. “Besok ini gimana, ya? Bu Briana sampe sekarang adem ayem aja. Padahal, besok kamu nikah sama Cinta. Dan Cinta juga nggak ada kabar. Mereka mau coba main-main sama kita!”
“Cinta kecelakaan,” ujar Bias. “Tabrak lari dan—”
“Kenapa keluarga Naratama nggak ada yang ngasih kabar?” putus Danuar menyodorkan tas kerjanya pada Yosep yang baru memasuki ruang keluarga. “Harusnya mereka bilang, kalau Cinta kecelakaan. Nggak diam-diam begini. Gimana, sih, keluarga itu?”
“Perasaan waktu kamu sama Cia, keluarga Naratama nggak gini-gini amat.” Briana berdecak.
“Apa karena kamu sama Cinta sudah tidur bareng, jadi, mereka ogah-ogahan!” sambar Danuar ikut berdecak karena ulah putranya yang memalukan.
“Makanya, kalau sudah punya pacar itu, nggak usah gatel!” omel Alma merasa kesal sendiri jika mengingat ulah Bias. “Masih aja nyosor sana sini.”
“Sudah kubilang, aku dijebak, Mam.”
“Bukan dijebak,” sanggah Alma. “Kamunya aja yang doyan! Bikin repot, kan, jadinya? Apalagi Cinta sama Ciara itu masih keluarga. Ke mana, sih, pikiranmu itu?”
Bias mendesah. Melewati kedua orang tuanya lalu menghempas tubuh di sofa. “Kalau Cinta nggak ada kabar, kita bisa batalin acaranya. Toh, dia yang nggak mau dinikahi, padahal aku sudah mau tanggung jawab.”
“Nggak ada kabar gimana?” Alma menghampiri Bias, duduk di sebelahnya. “Bukannya kecelakaan? Itu artinya, dia ada di rumah sakit.”
“Cinta kecelakaan minggu sore, setelah kita ke rumahnya,” terang Bias. “Dan besoknya, dia ngotot keluar meski kondisinya nggak baik-baik aja.”
“Berarti dia di rumah?”
“Dia nggak pulang ke rumah.”
“Aneh.” Danuar berceletuk, masih berdiri di depan tangga, bersama Yosep. “Dan, mama kemarin juga sempat bilang, kalau bu Briana dan Cia nggak tau Cinta ada di mana. Iya, kan?”
“Betul!” seru Alma. “Belum lagi besok. Yang kita sebar undangan pertunangan Bias sama Cia, acaranya berubah jadi pernikahan Bias sama Cinta. Untung yang diundang nggak banyak.”
“Kalau Cinta nggak ada, kita tetap ke acara awal,” ujar Bias. “Aku tunangan sama Cia.”
“Maaf, Mas.” Yosep menyela setelah membaca pesan singkat yang masuk di ponselnya. “Mbak Cinta, sekarang ada di Firma. Baru datang dan nunggu di lobi.”
Alma menepuk paha Bias ketika berdiri. “Ayo ke Firma. Mama ikut!”
“Kami sadar, apa yang terjadi bukanlah hal yang pantas ditiru. Untuk itu, kami dengan tulus memohon maaf atas kegaduhan yang ada, dan menegaskan bahwa kami telah mempertanggungjawabkan semuanya dengan cara yang sepatutnya. Terima kasih.”Bias mematikan televisi yang baru ditontonnya dengan remote. Bersandar pada sofa, lalu menatap Danuar yang juga baru menyaksikan pernyataan Cinta di televisi.“Kenapa Cinta nggak ngomong sama aku, kalau dia melakukan wawancara kemarin?” celetuk Bias merasa kesal sendiri.“Lupakan itu sebentar, Bi,” ujar Danuar meraih cangkir kopinya, lalu menyesapnya sebentar. “Tapi melihat sikap Cinta, Papa sepertinya percaya kalau kamu dijebak.”“Itu dia!” seru Bias memukul keras pahanya sendiri. “Sudah kubilang, aku dijebak, tapi Papa sama mama nggak percaya. Mama justru bilang wajar kalau Cinta minta kunikahi karena kami sudah ‘tidur’ berdua malam itu.”“Tapi kamu memang ‘tidur’ dengan Cinta, kan?”“Aku nggak ingat, Pa!”“Kita singkirkan itu dulu,” pinta Danuar me
“Bang! Cinta masuk!” seru Dion, berdiri di ambang pintu ruang Kepala Departemen Produksi Suara Media, Raksa. “Ada di mejanya!”“Panggil dia.” Raksa menjentikkan jari lalu menunjuk Dion. “Dan kamu, siapkan kamera. Kita akan wawancara eksklusif dengan dia 15 menit lagi.”“Di mana, Bang?”“Di ruangan saya,” jawab Raksa. “Biar saya yang wawancara.”“Sip!” Dion mengacungkan ibu jari pada Raksa, lalu pergi menghampiri Cinta yang sibuk dengan layar komputernya. “Wei! Pengantin baru, nih! Eh, gue masih nyimpan foto sama video lo dengan Bias.”Cinta menatap Dion sambil memangku wajah. Tidak mau peduli dan memikirkan skandal yang sudah diciptakannya satu minggu yang lalu. “Simpan baik-baik. Karena yang di internet sudah di-take down sama orangnya Manggala.”Dion tertawa keras. “Nggak ada malu-malunya lo, ya!”“Nasi sudah jadi bubur.” Cinta pun ikut terkekeh. “Jadi, ya, sudah. Sekalian aja dibikin bubur ayam biar enak.”“Ah! Gila lo.” Dion kemudian menunjuk ruangan Raksa. “Lo dipanggil air raksa
“Sayang …” Ciara langsung berlari menghampiri Bias yang baru memasuki unitnya. Memeluk erat dan menumpahkan tangisnya.Sementara Bias, hanya bisa terpaku di tempat dan membiarkan sang kekasih meluapkan semua kesedihan di pelukannya. Menunggu Ciara menghabiskan tangisnya, barulah ia membawa gadis itu menuju sofa. Duduk dan memangkunya.“Sekali lagi maaf,” ucap Bias setelah melepas topi dan maskernya. Ia merapikan anak rambut yang terhambur di wajah Ciara, lalu memberi kecupan singkat pada pipi gadis itu. “Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu.”“Aku tau.” Ciara merebahkan diri di tubuh Bias. “Aku yakin kamu dijebak dan semua ini salahnya Cinta.”“Andai mamaku nggak maksa, aku juga nggak bakal nikahin dia,” ujar Bisa mengusap lembut lengan kekasihnya. “Masalah foto sama video yang tersebar juga masalah gampang. Tapi, mamaku …”“Tapi aku tetap nggak rela kalau kamu tidur satu kamar, apalagi satu ranjang sama dia.”“Itu nggak akan terjadi,” ujar Bias penuh keyakinan, karena Cint
“Apa ini?” tanya Bias saat menerima sebuah tas ransel dari Yosep di ambang pintu kamar.“Tas mbak Cinta,” jawab Yosep. “Kata Denok, cuma ini barangnya di apart yang kemarin malam diantar temannya. Obat-obatnya juga sudah ada di dalam.”“Tas ini …” Bias menatap ke dalam kamar sekilas. Kemudian, ia membuka cepat resletingnya. Melihat ke dalam, lalu melihat pakaian yang jumlahnya hanya beberapa potong saja. “Ini semua bajunya Cinta? Nggak salah? Tasnya lusuh dan … yakin? Telpon Denok lagi.”“Sudah saya pastiin, Mas,” jawab Yosep mantap. “Kata Denok, Mbak Cinta, kan, nggak ada pulang ke rumah sejak datang ke apart. Jadi, barangnya, ya, cuma yang ada di dalam tas itu.”“Oke, pergilah.”Bias menutup pintu. Kembali memasuki kamar dan meletakkan tas milik Cinta di tempat tidur. Ia mengeluarkan ponsel, lalu berbaring perlahan dan menghubungi Ciara. Kekasihnya itu pasti sangat bersedih dan mengurung diri di kamar menangisi nasib hubungan mereka.Namun, panggilannya tidak kunjung diangkat.Tatap
Alma menghempas hasil rontgen yang sudah dilihatnya di meja. Menatap Bias yang duduk di hadapannya di lobi apartemen. Sementara Cinta, sudah lebih dulu pergi ke atas atas titahnya, ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.Setelah mendengar keterangan Bias, ternyata kondisi Cinta memang seperti yang terlihat. Bahkan, seharusnya gadis itu berjalan dengan bantuan kruk, agar kakinya tidak dipaksa menopang beban sebelum benar-benar pulih.“Hubungi pak Kiano sama bu Briana,” titah Alma memijat pelipisnya sebentar. “Pastikan mereka besok datang ke tempat acara, supaya semua berjalan lancar. Bilang ke Cia supaya nggak usah datang, karena Mama nggak mau ada drama.”“Tapi … bagaimana kalau nanti Cinta ternyata nggak hamil?” tanya Bias bersedekap dan duduk tegak.“Kamu mau cerai?” tebak Alma tersenyum miring. “Baru sebulan nikah tapi sudah mau cerai? Begitu maksudmu, kan?”“Kalau memang dia nggak hamil, untuk apa pernikahan ini diteruskan?”“Yakin dalam satu bulan kamu nggak akan ‘nyentuh’ Ci
“Kita pergi sebentar lagi,” ujar Bias ketika memasuki ruangannya. Ia berdiri tepat di depan Cinta yang masih duduk di tempatnya. Menatap selidik, pada wanita licik yang sudah memainkan drama yang begitu epik. “Untuk sementara, kamu ada dalam pengawasan kami.”“Pengawasan?” tanya Cinta agak bingung.“Ya!” Bias bersedekap. “Kami khawatir, ada yang mau mencelakakan kamu lagi sebelum pernikahan kita dilaksanakan.”“Nggak ada bu Alma di sini.” Cinta menoleh sebentar ke arah pintu yang sedikit terbuka. “Jadi, nggak usah pura-pura baik. Jujur aja, kamu yang nyuruh orang buat nabrak aku? Karena—”“Jangan pernah menuduh tanpa bukti!” Bisa menunduk cepat. Kedua tangannya bertumpu pada lengan sofa yang diduduki Cinta. “Dan jangan main-main denganku, apalagi keluargaku.”“Aku memang nggak punya bukti apa-apa,” sahut Cinta tidak gentar sedikit pun. Meski sempat terkejut dengan sikap Bias yang menunduk secara tiba-tiba. “Karena pesuruhmu sepertinya cukup pintar.”“Heh dengar!” Bias menepuk pelan pi