Satu minggu terasa seperti satu tahun bagi Zalman yang terus tersiksa. Padahal, tanggal 12 adalah besok.Selama seminggu penuh, dia hanya menunggu di rumah. Tidak kerja dan berbaring seharian.Kila dan Calvin sampai muak melihat wajah sang ayah.“Papa!” teriak Kila kesal dari meja makan.Zalman berada di ujung tangga pun menoleh. “Kenapa, Kila?” tanyanya.“Ini papa yang masak?” Kila menunjuk banyak lauk pauk di meja makan dengan tatapan ngeri.Zalman mengangguk antusias. “Iya. Enak ya?” Pria itu berusaha menghabiskan waktunya dengan memasak, dia berharap waktu cepat berlalu dengan aktifitas itu. Padahal di rumah itu banyak asistent rumah tangganya, bahkan Zalman memiliki juru masaknya sendiri.“Huek! Papa mau buat Kila keracunan?!” Kila berlagak ingin muntah. “Sudah asin, pahit, kemanisan, mana ini gosong lagi!” lanjutnya.Wajah Zalman langsung cemberut. “Jahat,” gumamnya sambil duduk di hadapan Kila.“Kalau gak bisa masak, ya jangan sok-sokan mau buat makan siang deh, Pa! Kasihan l
Apapun akan Zalman lakukan demi menemukan Ghina. Dia menyewa detektif swasta untuk mencari sang istri. Namun, tidak ada yang bisa menemukan keberadaan wanita itu sampai saat ini.Kemarin, dia sangat bodoh karena memiliki pikiran yaitu meninggalkan Ghina sendirian dikamar. Hingga sampai sore hari ini, dia tidak dapat menemukan sang istri.“Sayang, kamu ke mana sih? Mas khawatir,” gumam Zalman dengan mata berkeliaran ke jalanan.Tujuannya saat ini ke apartememt Ghina yang lama. Sebelum ke sana pun, Zalman mendatangi tempat yang memungkinkan wanita itu untuk datang.Tempat kerjanya lama, taman bermain, teman-teman Ghina pun tak lupa Zalman datangi. Tetapi, tidak ada Ghina. Dia bak hilang ditelan bumi.“Semoga setelah ini kita bertemu, aku benar-benar akan memperjuangkan kamu, Ghina.”Ponsel Zalman bergetar, menandakan panggilan masuk. Dia mengambil earphone untuk menjawabnya.Itu dari Kila.“Hallo, Pa? Di mana?!”“Lagi di luar. Papa pulang terlambat, kalian jangan nunggu papah pulang y
"Ikut saya, Ghina," ucap Zalman."Ayo pergi dari sini." Pria itu menarik tangan istrinya.Bagaikan berada di ujung jurang. Zalman tengah berada disebuah dilema besar yang membebani hatinya.Di satu sisi masalah ini, di sisi lain adalah perannya sebagai seorang suami. Persoalan yang melibatkan antara masa lalu dan masa depannya di sebuah insiden tidak menyenangkan jelas menyulitkan Zalman."Pergi? Tidak!" tolak Ghina. Baru kali ini wanita itu terlihat menolak semenjak menjadi istri."Jawab dulu pertanyaanku, Mas!" Ghina hampir ambruk, menghempaskan tangan kekar Zalman yang mencoba untuk menariknya menjauh.Suaranya semakin serak, tak jelas. "Mas juga tidak percaya padaku?" tanyanya lagi pada sang suami.Hening.Ghina berharap ia mendengar kebalikannya.Dia berharap apa yang saat ini ia pikirkan justru tidak demikian."Mas Zalman bukan berusaha untuk mencari tahu kebenarannya melainkan justru memintaku untuk mengakui semua hal yang tidak aku lakukan ini, apa ini benar?" desis Ghina deng
Putra Zalman itu menatap penuh selidik pada Ghina. "Kenapa Mama tega sekali sampai bersikap seperti ini?"Pertanyaan menohok yang terdengar seperti sedang menginterogasi tersebut jelas menimbulkan kebingungan mendalam di hati Ghina.Apa yang sebenarnya terjadi?Baru beberapa jam dirinya pergi dan kesalahpahaman lainnya mulai timbul?Ini seperti lelucon!"Mama tidak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan, Vin. Memangnya apa yang Mama lakukan?" tanya Ghina."Apa yang Mama lakukan?!" ulang Calvin dengan kesal."Bisa-bisanya Mama bertanya seperti itu seolah tindakan Mama ini bukan apa-apa?!""Calvin, hentikan!" tegur Zalman memperingati, nada bicaranya sedingin es. "Kenapa cara caramu bicara kepada orang tua seperti itu? Siapa yang memberimu hak untuk berkata kasar pada Mamamu seperti itu?!"Ghina menjadi lebih panik. Apalagi Zalman yang terbawa emosi pada putranya, Calvin, yang bukan tipikal seseorang di mana akan membencinya tanpa alasan yang jelas.Pasti sesuatu telah terjadi, mengai
Zalman memikirkan Ghina, betapa kasarnya ia akhir-akhir ini pada istrinya tersebut. Pria itu jadi menyesal.Selama melamun, ponsel miliknya tiba-tiba berdering, menampilkan pemberitahuan singkat sebuah telpon masuk.Istriku memanggil ..."Assalamualaikum. Hallo, Ghina?" Zalman berujar serak, suaranya terdengar kaku.Ghina menjawab cepat. "Wa'alaikumussalam, Mas. Mas Zalman ingat, 'kan, malam ini ada janji temu ke rumah Dokter Bian?"Zalman yang tidak fokus mencoba untuk mengecek list kegiatannya. "Ke rumah Bian? Mau ngapain?"Istrinya itu menanggapi dengan lemah lembut. "Mas Zalman harus bawa Kila kontrol dan cek kondisinya sekali lagi, untuk memastikan bahwa Putri kita sudah benar-benar sehat. Mas lupa?""Oh! I-iya, saya ingat!" Zalman sadar, ia punya satu lagi kewajiban untuk menepati janji yang ia ajukan pada Kila, putrinya. "Terima kasih. Jika kamu tidak menghubungi saya mungkin saya melupakan jadwal yang satu ini," ucapnya.Semakin memikirkan peranan yang dimiliki oleh Ghina, sem
Butuh waktu pemulihan yang cukup lama bagi Kila untuk kembali sehat total seperti sedia kala.Semua orang juga tidak tahu mengapa harus selama itu, hampir sebulan lebih. Jika bertanya pada sang dokter, Dokter Bian, menjelaskan penyakit yang diderita oleh gadis itu tidaklah terlalu serius."Aku tidak perlu menjalani pengobatan lagi, Dok? Dokter yakin?" tanya Kila berulang kali mengulangi kalimat yang sama. "Padahal aku merasa tubuhku belum sehat sepenuhnya," keluhnya.Bian-dokter muda berparas tampan yang juga merupakan sahabat dekat Zalman tersenyum hangat, menanggapi. "Tidak, Kila. Saat ini kamu sudah sehat total.""Lakukan pengecekan sekali lagi untuk melihat apakah ada tanda-tanda bahwa penyakitku belum sembuh, Dok!" pinta Kila. "Hm? Aku mohon," rayunya, menampilkan wajah menggemaskan."Haha, tidak perlu Kila," jawabnya lagi dan lagi Dokter Bian mengatakan hal yang justru bertolak belakang dengan gadis itu. "Kamu terus mengatakan hal ini setiap kali Dokter bilang kamu sudah baik-