Share

Bab 8 Hari pernikahan Rania dan Mas Alif

Bab 8

Hari pernikahan Rania dan Mas Alif

Hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Keluargaku dan keluarga Pakde Halim bersiap-siap untuk persiapan acara pertunangan di rumah Rania. Sebulan setelah hari kedatangan keluarga besarku ke rumah Rania, orang tuanya datang ke rumah kami, menyampaikan bahwa Rania menerima lamaran Mas Alif.

Hari ini kulihat Mas Alif nampak bahagia, Pakde dan Budhe Halim nampak sibuk mempersiapkan semuanya. Setelah semua siap, kami segera berangkat ke rumah Rania, jalan kaki saja karena dekat, hanya berjarak tiga rumah.

Semua nampak bahagia, tapi tidak denganku. Aku sudah berusaha menghapus rasa cintaku pada Rania. Namun tak semudah itu kenyataannya. Sepertinya aku tak ingin menghadiri acara pertunangan mereka, karena akan membuat luka semakin dalam di hatiku.

Aku berusaha tetap tersenyum dan turut berbahagia, walau hatiku tidak. Karena aku tak ingin Mas Alif mengetahui kalau aku memiliki cinta terpendam pada Rania. Kasihan juga kalau sampai acara ini batal gara-gara cinta butaku pada Rania.

Pak Wahyu sekeluarga menyambut kedatangan keluarga besarku dengan baik. Aku belum melihat kehadiran Rania, mungkin dia sedang bersolek.

Seorang wanita anggun tiba-tiba memasuki ruangan tempat kami semua berkumpul. Dia sangat cantik, elegan dan aku benar-benar terpesona. Mataku sampai tak berkedip menyaksikan keindahan ALLAH pada makhluk yang berada di depanku ini. Aku menyesal, kenapa waktu itu aku tak sungguh-sungguh melamarnya, malah menjadikan bahan bercanda.

Acara pertunangan berlangsung dengan khidmat. Kemudian Pakde Halim menyampaikan agar segera dilangsungkan acara pernikahan, karena mereka tidak bisa terlalu lama tinggal di Malang. Mereka harus segera kembali ke Kalimantan. Pakde Halim juga tak mau jika harus bolak-balik Malang Balikpapan.

“Alhamdulillah acara pertunangan telah berjalan dengan lancar. Semoga dimudahkan menuju jenjang pernikahan,” ucap ayahku.

“Aamiin,’ semua menjawab dengan serempak.

“Mohon maaf sebelumnya, bagaimana jika acara pernikahan segera dilangsungkan, agar Rania dan Alif bisa segera menjadi pasangan halal,” ucap Pakde Halim.

“Mempersiapkan pernikahan butuh waktu Pak, setidaknya tiga sampai empat bulan. Kami juga masih mempersiapkan biayanya,” jawab Pak Wahyu.

“Pak, kita sudah lama bersahabat. Sudahlah, masalah biaya Alif semua yang mempersiapkan. Bapak cukup mencari gedung tanggal baiknya saja. Insyaallah untuk gedung pernikahan, catering, pakaian pengantin, dekorasi dan undangan akan dipersiapkan semuanya oleh Alif,” jawab pakde Halim.

“Jangan begitu Pak, kami sungkan jika kalian semua yang harus menanggungnya,” Pak Wahyu menimpali.

“Sudah jangan dipikir. Coba kita tanya dulu pada sesepuh disini, untuk mencarikan hari baik buat anak-anak kita.”

“Menurut weton Rania dan Alif, minggu depan adalah hari yang baik. Kalau memang ingin disegerakan acara pernikahannya,” jawab Pak Norman, sesepuh di tempat kami.

“Terlalu cepat kalau minggu depan, kami belum siap,” jawab Pak Wahyu.

“Bisa saya bicara berdua dengan anda Pak?” ajak Pakde Halim pada Pak Wahyu.

“Mari kita ke halaman belakang,” ajak Pak Wahyu.

Ternyata Pak Wahyu belum mempersiapkan biaya jika acara pernikahan dilangsungkan minggu depan. Namun Pakde ingin segera dilangsungkan acara pernikahan ini. Karena tak ingin mereka berlama-lama dengan status tunangan. Pakde menyampaikan lagi pada Ayah Rania, bahwa semua biaya ditanggung mereka.

Akhirnya aku dan Alif menghubungi teman-teman kami, untuk mencarikan gedung pernikahan yang bisa dipakai hari minggu, minggu depan. Catering dan pakaian pernikahan serta dekorasi dipersiapkan Bude Halim. Bude memiliki banyak hubungan dengan hotel dan wedding organizer ternama.

Akhirnya gedung telah didapatkan di salah satu hotel ternama di Malang. Persiapan catering dan gaun pernikahan juga sudah siap. Mereka akan datang besok ke rumah, karena Rania dan Alif memiliki postur tubuh yang ideal, mereka memiliki beberapa gaun yang bisa dipakai Rania dan Alif.

Tak terasa hari ini datang. Hari dimana aku benar-benar akan kehilangan Rania. Rania akan menikah dengan Mas Alif. Mengapa aku masih belum bisa menghapus perasaanku pada Rania. Aku tak sanggup jika harus menghadiri acara ini.

“Saya terima nikahnya Rania Salsabila binti Muhammad Wahyu dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar satu milyar rupiah, tunai,” dengan lantang dan mantap Mas Alif mengucapkan ijab kabul.

“Bagimana, Sah?” tanya pak penghulu.

“Sah, sah, sah,” para wali, saksi dan tamu yang datang menjawab dengan pasti dan mantap.

Tak terasa air mata mengalir membasahi pipiku. Rania, aku tak bisa memilikimu, tak akan pernah bisa. Kau kini telah resmi menjadi milik orang lain, walaupun itu kakakku sendiri, kakak sepupuku. Aku tak kuat, aku pergi meninggalkan ruangan akad nikah, tak kuperdulikan mereka semua berbahagia, tapi tidak denganku. Aku benar-benar terpukul, ternyata tak semudah itu menghapus cintaku padanya. Setelah kutuntaskan tangisku. Aku kembali berkumpul dan mengucapkan selamat pada Mas Alif dan Rania, tak ingin mereka melihat kesedihanku.

“Selamat ya Mas, semoga sakinah, mawaddah warromah,” ucapku sambil memeluk Mas Alif.

“Aamiin, iya Ren, makasih. Semoga kamu juga bisa segera menyusul, supaya kamu juga merasakan kebahagiaan yang sama,” balas Mas Alif.

“Aamiin, makasih Mas. Jaga Rania baik-baik ya. Jangan sakiti hatinya.”

“Siap bos,” jawab Mas alif sambil menepuk pundakku.

Kemudian aku beralih pada Rania. “Selamat ya Ran, semoga kamu bahagia sama Mas Alif, dia saudara terbaikku, aku yakin kamu pasti akan bahagia dengannya. Kamu tak salah pilih Rania,” ujarku pada Rania.

“Aamiin, makasih Reno. Kamu nangis ya?” tebak Rania.

“Sok tahu kamu.”

“Iya tuh, mata kamu merah. Memangnya siapa yang kamu tangisi?”

“Mungkin perasaanmu saja. Tadi ada debu masuk mata,” jawabku.

“Jangan-jangan kamu menangis karena aku tinggal menikah ya?”

“Hahahaha, becanda kamu Rania. Mungkin hanya perasaanmu saja Ran.”

“Baguslah kalau begitu. Aku tak ingin kamu bersedih. Kuharap kamu sudah tak menyimpan perasaan apapun padaku.”

“Maksudnya apa nih?” tiba-tiba Mas Alif menimpali.

“Jadi Mas Alif belum tahu? Dulu kan...”

“Ssstt....” Segera aku menunjukkan jari telunjukku pada mulutku, agar Rania tidak meneruskan kalimatnya.

“Ada apa sih? Bikin penasaran aja.” Mas Alif semakin penasaran.

“Maaf Reno, aku harus jujur pada suamiku. Jadi..” Rania menghentikan kalimatnya dan melirik padaku.

“Ya sudan silahkan lanjutkan saja kalimatnya, atau aku yang kasih tahu?” jawabku pada Rania.

“Oke, kamu saja Reno,” balas Rania.

Baiklah, akan kuselesaikan semuanya. Apapun yang terjadi, Rania sudah menjadi milik Mas Alif.

“Dulu, aku pernah suka sama Rania.” Jawabku pelan sekali.

“Apa Reno? Maaf aku kurang jelas mendengar suaramu,” Mas Alif menimpali.

“Aku suka pada Rania. Tapi itu dulu Mas. Jangan khawatir, semua rasa itu sudah kuhapus dalam ingatanku. Jadi kalian tak perlu takut aku akan mengganggu rumah tangga kalian,” jawabku tegas.

“Kenapa kamu baru cerita Reno? Maafkan aku Ren, aku tak bermaksud merebut Rania darimu, aku benar-benar tak tahu jika kamu ada rasa dengan Rania. Sekali lagi maafkan aku Ren.”

“Sudahlah Mas, aku bertepuk sebelah tangan, Rania tak pernah membalas cintaku.”

“Apa benar Rania?” tanya Mas Alif pada Rania.

Rania menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

“Sudah, lupakan semuanya, kita harus bahagia hari ini,” ucapku berusaha mencairkan suasana.

Setelah acara akad nikah selesai, kami segera menuju ke tempat gedung pernikahan. Karena Pakde tak ingin merepotkan Rania sekeluarga, jika harus diadakan dirumah. Pasti repot dan lebih menguras tenaga.

Acara pernikahan Rania dan Mas Alif sangat mewah. Para tamu pasti akan terpesona dengan dekorasi serta hidangan yang disuguhkan. Tentu saja, karena Pakde Halim adalah seorang pengusaha sukses di Kalimantan dan salah satu cabangnya ada di Malang, dikelola Mas Alif.

Aku berusaha turut bahagia dengan menikmati jalannya acara pernikahan mereka. Aku berkumpul juga dengan beberapa teman semasa SMA, karena mereka teman Rania juga.

Setelah acara selesai, Rania dan Mas Alif tidak pulang ke rumah. Mereka menghabiskan tiga malam di hotel ini, karena hadiah dari pemilik hotel, yang juga salah satu rekan bisnis Pakde Halim. Mereka juga langsung melanjutkan bulan madu ke Bali.

“Kami pulang dulu ya Ran,” ucap orang tua Rania.

“Iya Pak, Bu, hati-hati di jalan.”

“Kamu juga hati-hati. Semoga bahagia bersama Alif. Ibu menitipkan Rania padamu. Jaga dia baik-baik ya Alif.” Kulihat air mata Bu Wahyu menetes lagi. Rania memeluk ibunya. Mereka berdua menangis. Aku dan keluarga turut merasakan kesedihannya.

“Inggih Bu, dalem pasti njagi Rania,” jawab Mas Alif.

(Iya Bu, saya pasti akan menjaga Rania.)

Kemudian kami berpisah. Rania dan Mas Alif naik ke lantai atas, sedangkan kami turun menuju parkiran mobil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status