Aku membalikkan badan. Di hadapanku muncul sosok yang sangat aku kenal sepuluh tahun lalu.
"Loh, Ujang? Ngapain disini?" tanyaku keheranan.
"Eh Mima? Uhm, kerja di sini?" Ia juga bertanya.
"Iya, Bidan disini. Kamu ngapain di sini?" Aku mengulang pertanyaan yang belum dijawabnya.
"Aku nyari isteriku, tadi dia bilang mau ke puskesmas sini. Jadi aku segera menyusul." Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling lorong.
"Isterinya sakit apa? Di sini ga ada ruang perawatan umum," ujarku menjelaskan.
"Isteriku hamil." Ia menjawab dengan pandangan tak lepas pada sekeliling ruangan.
"Eh, jangan - jangan yang barusan aku tolong lahiran di bajaj?" Mataku melirik ruang bersalin, "Di dalam situ sih pasiennya."
"Aku boleh lihat, Mim?" Tanyanya hati-hati menunggu persetujuan.
"Iya, boleh, silakan." Aku menunjukkan jari ke ruangan yang kumaksud.
Ujang menghampiri ruangan yang kutunjuk tadi. Aku mengikutinya. Ia segera memeluk pasien tadi dan menyiuminya berkali-kali di bagian kepala dan pipi. Rona bahagia dan haru terpancar dari wajahnya. Setitik air keluar dari kedua sudut matanya. Tangan kirinya mendekap sang isteri erat, tangan kanannya menyeka bulir bening yang semakin banyak.
Sepuluh tahun lalu Ujang adalah teman sekolah menengah pertamaku yang paling usil dan badung. Ia menjadi siswa langganan guru BP karena kebiasaannya tawuran dengan sekolah lain dan membuat onar. Siapa sangka kini ia bisa menangis hanya karena seorang manusia mungil yang keluar dari rahim pasangannya.
Ah, aku suka moment ini. Di mana regenerasi mampu mengubah pribadi orang dan memperlihatkan sisi sentimentil.
Aku meninggalkan Ujang yang masih berpelukan.
Aku letih.
Menolong persalinan kali ini lumayan membuat badanku remuk redam bak dipukul orang sekampung.
**
"Kak, yang jaga sore udah dateng." Memey menggoyangkan kakiku.
Aku membuka mata. Entah berapa lama aku tertidur, tapi cukup membuat energi terisi kembali.
"Oh oke. Aplusan dulu deh." Aku mencari sandalku dan segera memakainya.
"Mim, ada pasien partus?" tanya kak Nita saat aku keluar kamar jaga.
"Ada kak, satu. P1A0, bayinya cewek..." Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Memey segera menimpali.
"Cowok kakak." Memey menyenggol tanganku, "Si kakak mah ih, lupa melulu!"
"Eh iya cowok. A/S bagus." Aku melanjutkan penjelasan yang terpotong tadi.
"Oke deh. Kalian pulang, gih. Aku udah dateng. Anak magang siapa yang jaga, Mey?" Kak Nita melirik Memey.
"Erlin Kak, aku nungguin dulu," jawabnya.
"Oh, ya udah, Kakak duluan ya, Mey." Aku menepuk pundaknya setelah mengganti pakaian dan menyambar tasku.
"Oke, Kak! Hati-hati di jalan." Ia melambaikan tangan sesaat sebelum aku menghilang dari balik pintu.
**
Brukk!
Aku menghempaskan tubuh di atas kasur kamar kost mungilku.
"Sepi dan ngebosenin banget ya, hidup gue. Dines, pulang, dines, pulang, gitu aja tiap hari. Sekalinya libur, waktu habis buat nyuci baju, istirahat. Gak kebayang kalau masih harus ngelanjutin kuliah. Gimana mau nyari jodoh, kalau begini?" Aku membatin.
[Mama pengen tahun depan kamu nikah, ya. Perempuan tuh kalau udah mendekati dua puluh lima udah rawan, Mim]
Teringat ucapan Mama di telepon kemarin.
Hufft!
Aku mendengus. Mencari jodoh setelah lulus ternyata lebih sulit. Kalau tahu begini, aku lebih baik koleksi pacar saat masih kuliah seperti Dewi, yang memiliki lima pacar dan sekarang sudah menikah dengan lelaki yang bukan di antara kelima pacarnya.
"Perasaan temen-temen pada gampang banget dapat pacar, suami. Gue gebetan aja gak punya. Duh nasib! Nasib!" Aku menenggelamkan wajahkan pada bantal.
Lagu "Havana" mengalun dari arah dalam tasku. Ada telepon masuk rupanya.
[Halo]
[Mim,]
[Iya, kenapa Tri?]
[Gue mau ke Gancit, ketemuan sama cowok. Dia bawa temennya. Lo temenin gue, ya?]
[Gue capek banget, baru balik]
[Ayolah, daripada emak lo ngomel lagi nyuruh kawin]
[Ih, nyokap gue nelpon lo?]
[Hehehe]
Dasar Mama, kayak anaknya ini jelek banget. Sampe nyuruh orang lain buat bantu nyariin jodoh. Huh!
[Ya udah, ntar ketemuan di mana? Gue mandi dulu]
[Di Solaria ya, gue tunggu. Dandan yang cakep!]
[Iye bawel!] Aku menggerutu
Bip.
Telepon dimatikan.
Aku bergegas mandi dan menyambar baju warna abu-abu yang terlihat di lemari.
"Biarin ah, yang mau ketemuan kan si Tri. Kenapa kudu gue yang dandan," gumamku.
Kusapu wajah berwarna sawo matang ini dengan bedak, melukis mata dengan eyeliner dan memulas bibir dengan lipstik warna nude.
**
"Weits! Cantik banget sih, partner in crime gue." Goda Tri seraya menjawil daguku.
"Apaan sih, orang cuma pake bedak sama lipstik." Aku cemberut sambil menyambar tangannya yang berpotensi merusak make-up ala kadar di wajahku.
"Cuma pake bedak sama lipstik aja cakep gini, gimana pake kebaya pengantin. Eh, tapi cantik begini kok, nyari jodohnya susah bener, ya?!" Ia tergelak atas kalimatnya sendiri.
"Asem! Udah ayok, mana temennya. Lama bener." gerutuku mulai tak sabar dan gerah dengan sindiran Tri meski aku tahu ia hanya bercanda.
"Weits, santai, Sist. Ngebet banget. Tadi aja, ogah-ogahan." Ia kembali menggodaku. Sepertinya ia punya segudang stok bahan lelucon untuk meledekku kali ini. Sial!
"Ih apaan sih, lo. Gw ngantuk nih, Cepet ketemu kan jadi cepet pulang!" Aku menepuk lengannya.
.
.
Tiba tiba dari arah belakang datang bau wangi khas pria yang membuat tengkukku merinding karena segarnya. Saking segarnya, membuatku memiliki hasrat untuk memeluk.
"Tri.." panggil seseorang.
Kami menengok, membalik badan.
"Hai Ki.. udah dateng?" Tri langsung cipika cipiki dengan pria yang tadi memanggilnya.
Aku mematung, kikuk. Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya, seakan hampir jatuh dari tempatnya.
"Hai, Mim" Ia melambaikan tangan kearahku,
Aku menunduk, malu.
"Hai." Aku menjawab dengan pandangan tetap mengira ukuran ubin yang di pakai untuk lantai gedung mall ini.
"Loh, kalian udah kenal?" tanya Tri terheran.
"Lumayan kenal, ya, kan, Mim?" Ia melemparkan pernyataan untuk kuiyakan.
"I-iya" jawabku terbata.
Kenal.
Jelas kenal.
Dia pria yang selalu berpapasan di angkutan umum saat aku mengenakan seragam putih abu-abu dulu. Pria pendiam yang duduk di pojokan yang selalu kuperhatikan dalam hening. Yang sekitar tiga bulan setelahnya tiba-tiba menahanku saat angkutan hanya berisi kami berdua dan berkata,
"Kamu sudah punya pacar, belum?"
Aku yang kaget segera melompat dari angkot yang berjalan pelan, hingga lututku membentur aspal. Kemudian berlari mencari bangunan untuk bersembunyi sambil melihat angkutan umum tadi berlalu. Sungguh awkward moment yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku.
Terdengar suara berdehem.
Lamunanku buyar. Aku lirik Eki yang tertawa geli. Sepertinya ia tahu aku sedang flashback masa itu.
"Masuk, yuk. Aku laper, nih! Mima juga laper pasti. Dia baru pulang dines, langsung mandi dan dandan cantik buat ketemu kalian." ucap Tri menggodaku, lebih tepatnya menjatuhkan kesan pertamaku, bahwa aku TIDAK MANDI.
"Iih apaan sih, Tri!" Aku menyikutnya. Harusnya aku membawa lakban untuk menyegel mulutnya.
Kami masuk ke resto. Tri duduk di sebelahku, dan Eki di hadapanku.
Ah!
"Saya pesan nasi sapi lada hitam sama lemon squash ya, Mba." ucap Tri sambil mengangkat telunjuknya."Saya ifumie sama sweet ice tea." susul Eki."Saya bakso aja." ucap teman di sebelahnya.Hening.Semua melirikku."Lo diet? Lama bener milih menunya?" Kembali Tri mengejekku dengan wajah menyebalkannya itu.Uh! Ingin rasanya kutelan ia bulat-bulat."Iya sebentar, Uhm, saya mie siram seafood aja, Mba," ujarku."Minumnya apa, Bu? Pak?" sang pelayan mengarahkan jempolnya ke arahku dan teman Eki."Saya es teh tawar.""Saya es teh tawar." ucap kami berbarengan"Weits, kompak bener," Tri tertawa puas sekali dengan ketidaksengajaan yang terjadi tanpa skenario itu.Aku melirik ke arah Eki, kulihat air mukanya berubah.*"Jadi kamu nyuruh aku bawa teman karena mau ngejodohin Mima sama temenku?" tanya Eki ke arah Tri. Kulihat Tri mengangguk.Aku yang sedang menyuap mie dan mendengarnya, sontak terbatuk."Uhukk! Uhukk!" Mie yang baru kusuap masuk ke hidung.Sial!Seketika itu, Eki yang duduk dih
"Pagiii," sapaku ketika baru saja memasuki ruang bersalin."Pagi kak Mima, ceria amat!" Balas Memey, rupanya jadwal jaga kami sama lagi."Biar pasien ANC (Ante Natal Care - periksa hamil) pada semangat, Mey, jadi kita kudu semangat," ucapku mengangkat kepalan ke arah samping telinga. "Ada berapa pasien?" Aku melirik list pendaftaran dan status yang tersusun di meja."Ada delapan, Kak. Padahal baru jam tujuh pagi. Udah banyak aja yang datang." Ia menguap."Oke deh. Jam delapan kita mulai, ya." Aku menepuk pundaknya, membuyarkan sesi menguapnya dan mengerling."Ih kak Mima, mah. Ilang deh hasrat nguapnya." Ia mengerucutkan bibirnya ke arahku.Aku cekikikan, suka sekali mengerjai mahasiswa magang satu ini. Ekspresif.**"Ibu Asri, saya periksa perutnya dulu ya, Bu" Aku memegang metlin alias meteran untuk mengukur perut ibu hamil, memanjangkannya dari fundus (puncak perut di bawah dada) ke symphisis pubis (bawah tulang pinggul atau kelamin). Lalu melakukan palpasi (perabaan), mencari bagi
"Bapak ngapain, sih? Mau saya laporin, menghalangi ambulan jalan? Bukannya Bapak yang bohong, ya? PNS (-Pegawai Negeri Sipil) aja ngaku polisi!" Aku membentak pengemudi kurang ajar tadi dari arah kursi penumpang. Pak Dayat, supir ambulan kami kaget dengan bogem mentah yang dilayangkan tiba-tiba. Ia meraba pipinya yang memerah dan sedikit darah yang keluar dari hidung. Aku segera menghambur keluar, menghampiri pengemudi tadi. "Bapak pinggirin, gak, mobilnya? Jangan sampai saya foto muka dan mobil bapak, lalu saya viralkan di social media, ya!" Ancamku yang bersiap mengambil gawai dan membuat wajah si pengemudi tak tahu diri tadi pucat pasi. "Kamu berani sama saya?" Ia menantangku. "Saya bilang pinggiran mobilnya SE-KA-RANG!" Aku menekankan ucapanku seraya membuat video dengan kalimat pembuka, "Guys, aku lagi bawa pasien darurat nih. Eh ada bapak sok hebat yang ngaku polisi, ngehalangin jalan, ini mukanya. Ada yang kenal gak?" Kuarahkan kamera ke wajahnya yang tadi begitu sombong.
"Mas Ryan?.." Aku berusaha menyembunyikan rasa terkejutku."Mi-Mima??" Ia tak kalah terkejut, hingga tergagap, "Ka-kamu kerja di-di sini?" tanyanya kikuk."Uhm.. Iya, kan, aku Bidan di sini. Mas Ryan ngapain?" Aku bertanya, pura-pura tidak tahu apa-apa."A-aku, aku, Uhmm ...." jawabnya menggantung."Ya udah, Mas, aku duluan, ya. Capek banget soalnya tadi banyak pasien. " Aku memotong kalimatnya, berpamitan."Ah, oh iya. Oke! Hati-hati, ya." balasnya.Aku berlalu meninggalkan mas Ryan dan mengucap istighfar tanpa henti. Aku tidak siap atas pernyataannya, begitupun ia yang belum siap untuk menjawab pertanyaanku. Biarlah ia dan Ayu selesaikan sendiri. Itu urusan rumah tangga mereka. Bukan kapasitasku untuk mengorek lebih jauh. Aku harus membentengi diri agar tidak takut menikah.**"Hoammm.." Aku merentangkan tangan, menarik seluruh uratku agar lebih siap bekerja.Sinar mentari menyusup dari balik gordyn kamar kostku hingga sedikit menerpa sisi tempat tidur.Ah iya, hari ini aku dinas s
"Ah akhirnya selesai!" Aku tersenyum lega, "Adek bayinya udah bisa nyusu, Bu?" tanyaku melirik ke arah si ibu dari posisi menjahit perineum (-otot, kulit, dan jaringan yang ada diantara kelamin dan anus)."Dikit lagi, Bu Bidan, gak boleh dibantu, ya, ini?" "Gak boleh bu, biar dia berusaha. Lebih dari satu jam juga ga apa-apa," ucapku tegas."Dia gak kehausan memang, Bu Bidan?""Ga kok. Bayi baru lahir sanggup gak menyusu sampai 72 jam setelah lahir. Mereka masih punya cadangan cairan dari pas dalam kandungan." Aku berusaha menjelaskan.Si ibu tak menghiraukanku. Kulihat ia memandang bayi merahnya sambil sesekali tangan kanannya mengelus kepala si bayi yang masih lengket dengan lemak dan bekas darah dengan lembut. Tatapannya yang mesra, penuh sayang dan penuh kasih. Begitu intim hingga membuatku iri dan membuat senyum simpul."By the way, saya dapat berapa jahitan, Bu Bidan?" tanya si ibu tiba-tiba."Ga usah ditanyalah, Bu. Yang penting saya bikin cantik dan sippp! Berasa perawan lagi
Sudah lima hari Eki istiqomah tidak menghubungiku. Aku cukup takjub dengan komitmennya. Tak menyangka ia akan menuruti permintaan anehku ini, atau mungkin ia memang hanya iseng mendekati? Entahlah.Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Seperti pagi ini."Pagi semua.." Aku menyapa kepala ruangan yang sedang mengisi kohort, dan Lita."Eh Mim, baru datang, kamu?" Tanya KaRu (-Kepala Ruangan)."Iya, Kak. Ada kohort yang belum diisi?" Aku menawarkan diri sebelulm menaruh tas dan berganti baju dinas."Udah dikerjakan Lita, barusan. Kamu standby pasien ANC aja di depan, gih." ucap KaRu."Oke, Kak."
"Kok malah nunduk? Malu, ya?" Ia menarik daguku."Udah sih, Ki, jangan bercanda begitu lagi. Udah tau aku risih. Yang normal aja. Udah tua juga." Aku mengangkat kepalaku, masih dengan mata enggan melihatnya."Iya, deh.. Maaf. Kalau ketemu kamu, tuh, bawaannya berasa masih SMA. Lupa kalau umur udah seperempat abad lebih," seringainya."Jadi, kenapa kita ke sini?" Aku bertanya kembali."Oh iya soal itu. Maaf, ya, aku bukannya cowok yang gak bisa komit. Cuma ada kondisi mendesak yang bikin aku harus ketemu sama kamu.""Mendesak? Contohnya?" Alisku naik sebelah."Uhm.. Dua hari lalu aku dapat surat tugas ke Oman. Kontrak lima tahun?"Deg!Ada rasa menghimpit di dalam dada."Oh.. Kirain apaan." Aku berusaha tetap terdengar santai"Aku punya jatah cuti dua bulan dalam setahun. Jadi bisa aku pakai untuk pulang selama seminggu setiap tiga bulan," terangnya."Tapi tetap aja, Oman itu jauh Ki.." Suaraku memelan.
"Jadi dari kapan, Kakak praktek di sini?" tanyaku."Hampir tiga tahun, lah." Kak Rifki menarik kursi di meja dekatnya."I see.. ." Aku mengikutinya, menarik kursi di sebelahnya."Dinas di mana sekarang?" tanyanya."Puskesmas, Kak.""Hoo enak, ya, gak megang yang resti?" (-Resiko Tinggi)"Iya, lah, udah gak boleh, sekarang. Banyak batasan. Lumayanlah, ngeringanin kerjaan dan stress. Haha," gelakku."Suami udah berapa, Mim?" tanyanya entah meledek atau mencibir."Astaghfirullah, emang boleh banyak, Kak? Eh," Aku cepat-cepat menutup mulut dan melihat kanan kiri, takut ada yang mendengar."Haha, pengen, ya? Gak boleh!" Ia tertawa."Dih, si Kakak. Kakak kali, tuh, yang pengen. Baru berapa emang, sekarang?" Aku menggodanya dengan memicingkan mata."Satu aja, gak kuat banyak-banyak!""Haha, dasar renta!" Aku balik mencibirnya."Biarin, yang penting udah merasakan nikmatnya dunia. Gak kayak bidan yang