Share

BAB 3

Dew berjalan dengan lesu menapaki tangga kos menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Ia bersyukur karena jarak kos dan kampusnya lumayan dekat. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki sehingga ia bisa menghemat uang bulanan untuk hal – hal tak terduga. Kosannya ini terletak dekat dengan kampus dan berada di area yang memang banyak bangunan kos – kosan. Ia tak perlu dipusingkan dengan keperluan perut, mandi, dan kuliah karena hampir semuanya tersedia. Cukup sediakan uang.

Ia melangkah masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di atas kasur busa sederhana. Kamarnya tak terlalu besar tidak juga sempit. Cukup untuk satu orang dengan satu buah lemari pakaian, satu buah rak buku, dispenser, dan penanak nasi. Itu sudah lebih dari cukup. Ingatannya melayang pada kejadian siang tadi di pinggir danau. Dew tersenyum mengingat kejadian tadi. Ia berharap laki – laki itu tidak menyadari perubahan warna pada wajahnya yang terlalu terkejut dan malu saat itu. Cukup Dew, jangan kebanyakan ngelamun. Mandi, mandi … sedikit menggerutu Dew menuju kamar mandi.

“Wira, gue duluan yah? Ayah dah nunggu di depan fakultas, ngejemput.” ujar Wina.

“Oh, oke deh. Salam sama om, “ Jawab Alvis yang ditanggapi Wina dengan jempolnya. Bersahabat dengan Wina sejak SMA membuat Alvis telah mengenal dekat keluarga Wina. Ayah Wina adalah guru Fisika di SMAnya dulu. Sedangkan ibu Wina seorang ibu rumah tangga yang memiliki usaha kue. Alvis selalu merasa iri dengan keluarga Wina yang sederhana dan harmonis. Mereka selalu tersenyum dan menyambut Alvis atau siapapun yang bertandang ke rumah itu dengan ramah. Keluarga yang hangat.

Alvis merapikan kembali barang – barangnya agar tak ada yang ketinggalan. Jadwal kuliah hari ini lumayan melelahkan karena ada beberapa mata kuliah yang mengharuskan presentasi dan tentu saja tak lupa dengan tambahan tugas yang menggunung menanti untuk diselesaikan. Setelah memastikan semua barang – barangnya, Alvis pamitan dengan beberapa temannya yang masih nyaman nongkrong di ruang sekretariat himpunan. Ia berjalan perlahan dengan pikiran yang mengembara. Wajahnya terlihat datar dan penglihatan yang tampak hampa. Alvis merasa seluruh jiwa dan raganya mulai lelah menghadapi keluarganya terutama ayahnya. Ditambah lagi akan perasaannya pada Bela. Ia menghembuskan nafasnya perlahan mengingat sikap ibunya tak bisa diharapkan dan seolah tak peduli. Ia kadang berpikir apa yang ibunya pikirkan hingga masih bisa hidup dengan tenang, makan, dan tidur dengan keadaan rumah yang terasa redup. Memikirkan ia harus kembali ke rumah sekarang membuatnya menghela nafas panjang. Ia pun menjalakan motornya menuju yang orang kebanyakan sebut itu rumah. Ia memilih menikmati apa saja yang ia lewati sepanjang perjalanan. Motor lain yang melaju di samping dan belakangnya. Mobil – mobil yang memacu seakan berlomba untuk sampai terlebih dahulu ke garis finish. Klakson kendaraaan yang tiada hentinya berbunyi karena pengendara yang tak sabaran. Kerumunan pelanggan di warung kaki lima dan semerbak aroma makanan yang menggugah selera membuat perutnya bergejolak minta diisi. Ia tersadar bahwa ia belum sempat makan siang dikarenakan kesibukan yang tiada henti. Ia pun memutuskan untuk singgah sejenak di warung langganannya. Bersyukur bahwa motornya masih belum terlalu jauh dari kompleks kampus. Alvis memarkirkan motornya dan bergegas menuju warung langganannya. Beruntung tempat parkir sudah mulai sepi karena waktu telah menunjukkan pukul 10.00 malam Sehingga tidak butuh waktu lama baginya mencari tempat parkir. Ia berjalan dengan riang sambil bersenandung kecil memasuki warung dan segera memesan.

Alvis mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang di dalamnya hanya ada tiga buah meja yang terisi, hanya dia yang makan sendiri, dan ada empat orang pembeli yang sedang menunggu pesanannya dibungkus. Pandangannya tertuju pada salah satu pembeli dalam balutan hoodie biru muda yang terlihat kebesaran sedang menunggu dengan wajah lelah dan mata menahan kantuk. Sesekali tangan gadis itu terangkat menutupi wajahnya karena menguap.

Ujung bibir Alvis sedikit terangkat membentuk senyuman tipis di wajahnya melihat kelakuan gadis itu. Tapi, kemudian keningnya berkerut karena merasa seperti pernah melihat wajah gadis itu sebelumnya. Otak lelahnya mulai mengurai dan mengingat perlahan di mana ia pernah melihat wajah itu. Ah, suara Alvin dalam hati setelah berhasil mengingat siapa gadis yang berdiri beberapa meter di hadapannya.

Gadis kikuk di danau siang tadi, sepertinya dia juga baru akan makan malam karena kelelahan mengerjakan tugas yang diberikan dari seniornya, ucap Alvis dalam hati sembari masih terus memperhatikan gadis itu hingga pandangannya teralihkan oleh suara pegawai warung yang membawakan pesanannya. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pegawai warung, Alvis segera mengarahkan pandangannya lagi pada gadis kikuk itu tapi ia hanya bisa menelan rasa kecewanya karena gadis itu sudah tidak ada di tempatnya berdiri.

“Lah, ngapain juga gue harus kecewa coba? rutuk Alvis pelan. Ia pun kembali memusatkan perhatiannya pada makanan yang ada di depannya.

Jam telah menunjukkan pukul 10.00 malam saat Dew tersadar dengan suara perutnya yang minta diisi. Tak sadar waktu telah mulai larut karena terlalu serius membuat properti untuk Ospek nanti. Sambil menahan mata yang sudah mulai terasa berat maklum ini adalah pertama kalinya Dew akan tidur sangat jauh dari rumah dan pertama kalinya ia begadang. Saat SMA dulu ia adalah yang termasuk disiplin akan jam tidurnya demi kesehatan. Saat ini ia sedang berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Dew berjalan sambil memakai hoodie biru kesayangannya dengan mata yang hampir terpejam. Agak terseok menuruni tangga hingga menuju warung yang secara acak ia pilih. Ia menyebutkan makanan pesanannya sembari menunggu dengan menahan kantuk, sesekali menguap lebar. Setelah membayar makanan ia kembali berjalan kembali menuju kosannya dan mulai duduk makan dengan khidmat. Dew duduk dan membuka bungkusan makannya dengan hati – hati dan menatap makanan yang ia pesan tadi. Ia seperti setengah sadar menyebutkan makanan apa yang akan ia beli saking mengantuk. Dew hanya bisa berharap semoga makanan ini cocok di lidahnya. Walaupun ia bukanlah tipe pemilih dalam urusan makanan tapi tetap saja akan mubadzir kalau ternyata tak sesuai dengan selera.

“Bismillah,” ucapnya lirih sembari menyendokkan makanan ke mulutnya. Alhamdulillah, rasanya lumayan.  Sejurus kemudian Dew pun makan dengan lahap. Sambil mengunyah Dew mengingat di warung tadi saat dia membeli makanan. Ia merasa seperti ada yang memperhatikannya dari kejauhan. Hanya saja karena lelah dan mengantuk Dew tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya. Tapi, ekor matanya seperti menangkap seseorang yang tak asing. Siapa ya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status