“Ya Allah Mbak, yang sabar, ya.” Nama ibu warung itu adalah Ibu Siti. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Lana dengan wajah yang penuh simpati. “Saya benar-benar nggak nyangka kalau dia seperti itu.”
“Tolong bantu saya, ya, Bu.” Lana berucap penuh harap. “Ibu yang ada di sini, saya nggak bisa kalau harus terlalu sering datang. Kasihan anak saya kalau saya tinggal terus, Bu.” Lana menatap sekitar dan tidak ada tanda mobil Yoga keluar dari parkiran.
“Pasti, Mbak. Saya pasti bantu Mbak Lana. Mbak Lana nggak perlu khawatir. Hanya begitu saja, mah, saya bisa.” Itu adalah janji dari Bu Siti.
Lana menatap perempuan itu penuh dengan kelegaan. Satu hal yang dia harapkan, semoga jalan untuk mencari keadilan untuk dirinya sendiri dimudahkan.
“Ibu pegang ini.” Lana mengeluarkan uang dari dalam tasnya kemudian memberikan kepada Bu Siti. “Saya nggak minta banyak kok, Bu. Hanya yang saya bilang tadi saja. Dan tolong, semua ini dirahasiakan.”
Lana sudah tidak bisa lagi membiarkan perasaannya diobrak-abrik oleh Yoga. Dia ingin segera membongkar rahasia yang dipendam oleh suaminya tersebut dan mengakhiri semuanya.
“Ini mah banyak banget, Mbak.” Bu Siti mau mengembalikan uang tersebut kepada Lana, tetapi Lana menggeleng.
“Itu bukan apa-apa, Bu. Ibu sudah bersedia membantu saya saja, itu sudah melegakan.” Lana menoleh ke sana-kemari. Dia takut kalau tiba-tiba saja ada istrinya datang mengetahui dia ada di sana. “Saya pamit, ya, Bu. Saya juga mau jemput anak saya.”
“Baiklah kalau gitu, Mbak. Saya akan menyimpan nomor Mbak. Kita akan kerja sama mulai sekarang.” Perempuan bertubuh tambun itu menyetujui. “Saya akan pastikan Mbak Lana bisa mendapatkan apa yang Mbak Lana butuhkan.”
Lana tersenyum lebar mendengar persetujuan Bu Siti. Setelah ‘perjanjian’ dengan pemilik warung tenda itu selesai dilakukan, Lana pulang. Menjemput Kaisar di rumah temannya. Setidaknya dia sudah memiliki satu orang yang bisa membantunya untuk menelusuri sebuah kebenaran.
“Kamu dari mana sih, Lan?” tanya Wika sembari meletakkan potongan buah di atas meja, “tumbenan lho titip Kaisar. Biasanya juga kalau ke mana-mana Kaisar selalu dibawa.”
Wika adalah teman seperjuangan Lana menyelesaikan pendidikan sarjananya. Mereka sudah dekat selama beberapa tahun belakangan ini dan menjadi teman dekat.
“Ada sedikit urusan tadi. Nggak bisa bawa Kaisar juga. Takut dia kecapekan, jadi dititip di kamu. Sorry, ya, kalau ngrepotin.”
Wika melambaikan tangannya. “Aku nggak masalah. Kaisar bocahnya nggak aneh-aneh. Anteng. Tadi main sama adiknya.” Adik yang dimaksud Wika adalah putrinya yang baru berusia satu tahun. “Mas Yoga lembur lagi, ya? Udah naik jabatan, pasti makin sibuk, ya.”
Ketika membahas suaminya, Lana merasakan dadanya sesak secara tiba-tiba. Namun, tak ayal dia menjawab. “Ya, sekarang sih sering banget lembur, Ka. Katanya banyak kerjaan setelah jadi kepala divisi.” Lana tidak ingin membuka masalah rumah tangganya kepada Wika meskipun mereka adalah teman baik. Sebisa mungkin, dia akan tetap menutup rapat-rapat urusan tersebut sampai dia bisa mencari jalan keluar.
“Syukur deh dengan jabatan barunya. Tapi, kamu juga harus hati-hati. Ingat, laki-laki tetaplah laki-laki. Kalau duit udah banyak, mata nggak mungkin nggak jelalatan.”
Ada gedoran tiba-tiba yang muncul di dalam hati Lana. Namun, dia menutupinya dengan candaan. “Kalau kamu, gimana ngatasi agar nggak was-was suamimu diambil orang?”
“Aku sadap chatnya.” Wika menjawab santai sambil tersenyum puas. “Aku pernah diajari sama seseorang.”
“Kamu sadap?” Lana meyakinkan jika pendengarannya tidak salah.
“Iya. Aku sadap. Bukannya nggak percaya sih, Lan. Cuma buat jaga-jaga. Parasite sekarang ada di mana-mana. Kalau kita nggak jaga milik kita, bisa-bisa diambil orang.”
“Kalau mereka mau sama mau?” Lana menjawab cepat.
“Tinggalin lah. Ngapain mempertahankan lelaki yang suka selingkuh.”
Lana bungkam. Apakah selama ini dia yang terlalu percaya dengan suaminya? Bahkan, Wika saja berjaga-jaga agar dia tak kecolongan. Sungguh, Lana tidak bisa berkata-kata. Sepertinya, dia juga harus ikut aksi Wika dengan menyadap ponsel suaminya.
“Kamu bisa bantu aku nggak?” tanya Lana. “Buat jaga-jaga.” Lana tersenyum garing membuat Wika tertawa.
“Tentu saja bisa dong, Sahabatku. Siniin HP-mu.”
Lana menyerahkan ponselnya kepada Wika. Mengotak-atiknya sebentar, lalu mengembalikan kepada si empunya.
“Tenang saja, kamu bisa membaca chat dari suamimu tanpa dia ketahui. Aku berharap hanya ada hal baik di sana.”
***
Mangga Muda : Mas, sepertinya malam minggu ini kita perlu menikmati waktu berdua. Hitung-hitung syukuran tempat baru.
Lana mengeratkan rahangnya kuat ketika membaca aktivitas chat antara perempuan itu dengan suaminya yang berada di layar ponselnya. Nama yang tertera di kontak Yoga untuk perempuan itu cukup unik.
Mangga muda katanya? Tentu saja mangga muda, karena memang gadis itu tampaknya memang masih sangat ranum-ranumnya.
[Bagaimana tempat barunya? Kamu cocok? Kalau dibandingkan yang kos kemarin, di tempat baru kita bisa bebas]
Itu adalah jawaban yang Yoga berikan untuk si Mangga Muda. Tidak bisa dibayangkan bagaimana sakitnya perasaan Lana saat ini. Seperti kulit yang disobek, lalu dibuka, kemudian dikucuri jeruk nipis. Pedih yang tidak bisa dideskripsikan.
Mangga Muda : Cocok banget. Cuma, harganya yang lumayan ngos-ngosan.
[Masalah harga nggak usah dipikirkan. Lagian, kan, aku yang bayar]
“Lana!”
Lana hampir saja menjatuhkan ponselnya ketika suara Yoga terdengar di telinganya. Buru-buru, dia mengubah ekspresi wajahnya dengan sebuah ketenangan meskipun Yoga terlihat penasaran.
“Kamu kenapa? Sakit?” tanyanya sambil mendekati Lana. Wajah Lana terlihat sedikit pucat dan seperti ada tumpukan masalah. Yoga juga menyempatkan menempelkan telapak tangannya di dahi Lana untuk mengecek suhu tubuh istrinya.
“Aku nggak papa.” Lana menjauhi Yoga. “Aku lagi kesal aja.” Perempuan berdaster coklat itu duduk di pinggiran ranjang. Tatapannya kini mengarah pada Yoga yang masih berdiri di tempatnya. “Aku lagi kesel sama salah satu tokoh novel. Lelaki tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia selingkuh di belakang istrinya.”
Yoga tersenyum kecil. Mungkin dia mengira kalau kata-kata Lana adalah sebuah lelucon. Ayah anak satu itu mengikuti istrinya duduk di pinggiran ranjang. Mengelus rambut halus Lana dengan penuh sayang.
“Jangan keseringan baca novel begituan. Jadi parno nanti.”
Lana mencoba menekan kemarahannya sampai di titik terendah. Meskipun dia tiba-tiba merasa jijik dengan sang suami, tetapi dia kali ini menahannya. Senyum kecil terbit di bibirnya.
“Sekarang ini, marak sekali laki-laki yang nggak puas dengan istrinya, Mas.” Begitu kata Lana memancing. “Meskipun di rumah sudah ada istri sahnya, justru banyak dari para laki-laki itu yang mencari mangga muda. Mas, kalau semisal melakukan itu dan ketahuan, apa yang akan Mas lakukan?”
Lana menatap Yoga agar bisa melihat ekspresi lelaki itu. Dia sudah bisa menebak bagaimana raut wajah Yoga sekarang. Lelaki itu tampak terkejut yang segera ditutupinya dengan senyuman.
“Aku nggak akan pernah lakukan itu ke kamu, Lana. Kamu tahu kalau aku cinta banget sama kamu.” Kali ini Yoga berbicara serius. “Kata seandainya itu tidak akan pernah ada. Jadi, jangan mengkhawatirkan hal-hal seperti itu.” Yoga meyakinkan Lana membuat rasa hati Lana terasa tiriris sembilu.
Lana menyembunyikan lukanya seorang diri dan memilih tidak menunjukkan rasa sakit hatinya kepada Yoga. Namun, dia ingin mengetes Yoga sekali lagi.
“Boleh aku pinjam hp-nya, Mas?” Lana menengadahkan tangannya. Biasanya, Yoga akan membiarkan Lana menggunakan ponselnya dengan bebas.
Sekarang berbeda. “Untuk apa?” Itulah jawaban yang Yoga berikan. “Lan, jangan bilang hanya karena pikiran burukmu tentang banyak laki-laki selingkuh di luar sana, kamu juga mulai curiga sama aku!” Ekpresi tidak terima itu tercetak di wajahnya.
***
Satu bulan sudah pernikahan Tirta dan Lana berjalan. Mereka sudah menempati rumah baru Tirta yang didesign langsung oleh Lana. Takdir itu terkadang memang membingungkan. Siapa yang sangka kalau pada akhirnya, Lana lah yang menjadi nyonya di rumah besar dua lantai tersebut.Dengan tiga asisten rumah tangga termasuk Bu Tatik di dalamnya, kini Lana benar-benar hanya mengurus suami dan putranya saja. Masalah bersih-bersih dan hal-hal lainnya di rumah sudah ada yang mengurus. Namun, masak masih Lana yang kadang menangani. Pasalnya, baik Tirta atau Kaisar lebih suka jika makanan itu dimasak langsung oleh sang nyonya rumah.“Bunda, ayo kita renang.” Kaisar yang sudah berada di dalam kolam renang itu melambaikan tangannya agar ibunya bergabung bersama dirinya dan juga Tirta.“Kalian aja.” Lana memilih duduk di kursi malas setelah meletakkan sepiring muffin di atas meja.“Bunda bawa muffin?” Tirta mendekat di pinggir kolam renam. “Aaak, Bun.” Tirta memberikan kode kepada Lana agar menyuapinya.
Tirta menatap Lana dari belakang yang tampak begitu kewalahan menjinjing gaun panjangnya. Di belakangnya, Tirta memegangi ekor gaun tersebut yang menyapu lantai. Senyum laki-laki itu merekah lebar tak bisa ditahan.Perempuan yang ada di depannya itu adalah istrinya. Benar-benar istrinya yang baru saja dia nikahi secara sah beberapa jam lalu. Kini, mereka selesai pesta dan menuju ke kamar mereka dia hotel tersebut. Akhirnya setelah melalui hari yang panjang, mereka bisa menyelesaikan setiap rangkaian acara yang begitu melelahkan.“Mas, aku bersumpah kalau suatu hari nanti kamu selingkuh, aku nggak akan segan ngulitin kamu. Lihatlah betapa melelahkannya pernikahan kita ini.”Mereka sudah sampai di kamar dan Lana langsung merebahkan tubuhnya di sofa dengan meloloskan napas panjangnya. Demi Tuhan, dia bahagia hari ini bebarengan dengan rasa lelah yang begitu luar biasa.Mendengar ucapan istrinya, Tirta justru tergelak. Dia duduk di lengan sofa setelah mengambil air mineral yang sudah disi
Lana bilang jika dia ingin pernikahannya yang kedua ini hanya perlu dilakukan dengan sederhana. Namun, ini adalah pernikahan pertama dan diharapkan menjadi pernikahan terakhir untuk Tirta. Tentu saja pernikahan sederhana itu tidak akan pernah terjadi. Bagaimanapun juga, Tirta berasal dari keluarga pebisnis yang memiliki banyak partner.Ada banyak tamu undangan yang akan datang di acara resepsi pernikahan mereka yang diadakan di hotel milik Tirta. Hanya membayangkan berdiri berlama-lama di pelaminan saja, Lana merasa begidik ngeri.“Ini nggak bisa undangannya dikurangi, Mas?” tanya Lana saat itu ketika Tirta menunjukkan jumlah undangan dari keluarganya.Ada hampir seribu orang dan itu belum semuanya. Belum lagi dari pihak orang tua Lana. Kalau Lana sendiri tidak mengundang siapa pun. Dia juga tidak mengatakan apa pun kepada Yuda tentang pernikahannya.“Iya. Ini semua dari keluarga kami. Belum semua lho, Lan. Kalau teman-teman aku sih cuma dikit aja.”“Padahal aku pengennya yang sederha
Tirta bahagia. Itu yang dia rasakan sekarang. Bagaimana tidak, setelah dia menunggu setelah bertahun-tahun yang lalu, ditinggal menikah, pada akhirnya dia benar-benar diterima oleh Lana. Keadaan memang sekarang sudah tidak sama lagi. Lana sudah memiliki satu anak dengan status janda. Namun, siapa yang peduli dengan itu? Yang terpenting perempuan itu adalah Lana.Anggap saja, Kaisar adalah bonus yang dia dapatkan karena akan menikahi Lana. Toh sekarang, dia juga benar-benar sudah sangat menyayangi Kaisar.“Kaisar ke mana?” Malam ini adalah malam minggu. Tirta datang ke rumah Lana untuk mengajaknya pergi berkencan.Ya, benar. Berkencan. Sebenarnya kata itu tidaklah aneh mengingat mereka sudah official jadian. Tak hanya itu, usia mereka juga masih cukup muda untuk melakukan hal-hal seperti itu.“Diajak keluar sama nenek kakenya. Sekalian kondangan.” Lana berdiri tepat di depan Tirta dan mendongakkan wajahnya. Keningnya mengernyit ketika melihat Tirta yang memasang senyum di bibirnya. “Ka
Tirta disibukkan dengan banyak pekerjaan yang harus ditangani. Mulai dari beberapa meeting, dan bahkan dokumen-dokumen penting yang harus ditanda tangani. Sudah hampir dua minggu setelah dia menyatakan keinginannya meminta Lana untuk menikah dengannya. Namun, setelah itu dia benar-benar tenggelam pada pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya.Sejujurnya Tirta merindukan Lana. Dia ingin menemui perempuan itu, tetapi dia hanya bisa berkomunikasi lewat hand phone. Tirta tetap memberikan kabar kepada perempuan setiap harinya.“Tirta, Mama ingin datang ke rumah Lana. Nggak papa, ‘kan?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Tirta ketika pagi sudah menggantikan peran sang malam.Lelaki itu kini tengah berada di ruang makan dan menikmati sarapannya. Sebentar lagi dia harus pergi ke hotel dan kembali tenggelam pada pekerjaannya.Ya Tuhan, Tirta tidak sedang mengeluh. Namun, kenapa akhir-akhir ini pekerjaan sangat banyak? Ini berkat hotelnya sedang digandrungi oleh pendatang. Banyak turis asing yang
Malam ini Lana tidak mampu sekedar mengistirahatkan matanya dan membawanya tenggelam ke alam mimpi. Isi kepalanya terus saja mengingatkan kalimat pendek yang dilontarkan Tirta siang tadi. Sebuah kalimat sederhana berupa ajakan yang terngiang sampai malam ini. Lana tidak memberikan jawaban apa pun, begitu juga dengan Tirta yang tidak mendesaknya. Lelaki itu hanya meminta kepada Lana agar mempertimbangkan dirinya untuk menjadi pendamping perempuan itu.Menatap langit-langit kamar, Lana menarik napasnya panjang. Sungguh, ini sangat membingungkan. Satu sisi hatinya ingin menolak, tetapi satu sisi hati yang lain mengatakan tak masalah untuk dicoba. Bukan hanya Tirta yang jelas-jelas mencintainya, tetapi orang tua lelaki itu juga menerimanya dengan kedua tangan terbuka. Bukan hanya itu, Kaisar pun sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.Apalagi yang perlu diperhitungkan sekarang?‘Hei, Yoga bahkan sudah menikah lagi, Lana.’ Hatinya memeringatkan. ‘Tidak masalah sekarang giliranm