“Kata-kataku yang mana yang menunjukkan kecurigaan? Ini hanya perkara aku pinjam Hp lho, Mas. Bukan menuduh kamu selingkuh. Biasanya kamu nggak mempermasalahkannya. Kenapa sekarang jadi masalah?”
Lana melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan lurus mengarah kepada Yoga. Bisa dia lihat ketegangan yang muncul di wajah suaminya. Lana tersenyum sinis. Dia tidak akan memaksa lelaki itu untuk memberikan ponsel tersebut kepadanya karena toh dia sudah tahu percakapan mesra yang dilakukan oleh Yoga dengan si Mangga Mudanya.
Hanya satu hal yang jelas kentara dari perubahan sikap Yoga, lelaki itu sudah tidak fair lagi padanya.
“Justru karena kamu merasa curiga ke aku, makanya kamu pinjam HP-ku. Kamu ingin mengeceknya apakah aku selingkuh atau tidak. Membuka chat, melihat m-banking, atau apalah itu hanya untuk memastikan kecurigaanmu,” tukas Yoga dengan kesal.
Lana beranjak dari kasurnya, lantas berdiri di depan Yoga. “Karena kamu mengatakan seperti itu, kenapa tiba-tiba aku sekarang mulai curiga kalau ada yang kamu sembunyikan dariku?” Tatapan lurus Lana pada netra Yoga tampaknya sedikit memengaruhi lelaki itu. “Hidup itu simple, Mas. Kalau kamu tidak ingin meminjamkan barangmu kepada orang lain, hanya cukup bilang tidak. Tidak perlu merambah ke mana-mana. Lagian, berbohong atau tidak, dirimu yang paling tahu.”
Lana melangkahkan kakinya untuk pergi keluar kamar sebelum Yoga menahannya. “Kamu mau ke mana?”
“Kenapa? Mau ikut?” Lana melemparkan seringaian sebelum melepaskan tangan Yoga. Namun, Yoga tidak menyerah dan semakin menggenggam tangan Lana dengan kuat.
“Tolong hilangkan pikiran buruk dari pikiran kamu tentang aku, Lan. Jangan mencurgai sesuatu yang tidak ada.”
Lana memilih tidak menjawab dan melepaskan tangannya dengan lebih kasar. Berlalu dari hadapan Yoga sambil menutup pintu dengan bantingan kuat.
***
“Malam minggu nanti aku ada acara dengan teman-teman kantor. Kita tunda jalan-jalannya hari minggu saja gimana?”
Lana yang mendengar ucapan Yoga menghentikan pergerakan tangannya yang sedang membersihkan meja makan. Tatapannya mengarah lurus pada Yoga seolah mengeluarkan protes. “Kamu sudah berjanji pada Kaisar, Mas,” ucap Lana.
“Iya, aku tahu. Makanya kita ganti hari minggu jalan-jalannya karena sabtu malamnya aku akan pergi dengan teman-teman kantor. Biarkan nanti aku kasih penjelasan kepada Kaisar.”
Meskipun dia tahu ini akan terjadi, tetap saja perasaan Lana terasa nyeri. Ya, Lana tahu jika Yoga dan selingkuhannya itu tengah membuat janji. Mereka tidak mengatakan tujuan mereka, tetapi mereka berencana bersama di malam minggu nanti.
Ekspersi Lana berubah keruh. Janji yang sudah diucapkan sendiri pun sekarang diingkari demi perempuan itu. Begitu besar pengaruh perempuan itu buat Yoga ternyata.
“Kalian ada acara di mana? Kalau hanya sekedar kumpul biasa, kami bisa ikut ‘kan?” Lana mencoba untuk memancing Yoga. Dia penasaran jawaban apa yang akan diberikan oleh lelaki itu kepadanya.
Yoga segera menggeleng. “Jangan, Sayang. Kami mau main futsal. Semua yang datang laki-laki dan mereka nggak ada yang bawa pasangan.”
Diam-diam Lana mendengus. Dulu panggilan ‘sayang’ yang diberikan Yoga terdengar indah di telinga Lana, tetapi sekarang seperti duri yang menusuk gendang telinganya. Sangat menyakitkan.
“Bilang aja kalau Kaisar yang ingin ikut. Mereka toh pasti akan menyadari.” Lana sedikit mendesak hanya ingin mengetahui reaksi Yoga. “Lagian, nggak ada salahnya kalau aku kenal sama teman-teman kantormu Mas.”
Tidak ada dari teman-teman kantor Yoga yang mengenal Lana, bagaimana sosoknya, dan seperti apa orangnya. Yoga seolah menutup rapat tentang keluarga kecilnya dari orang-orang disekitarnya.
Pada awalnya, Lana tidak pernah mempermasalahkan itu dan dia juga lebih nyaman dengan tidak mengenal mereka. Ketika menghadiri undangan pun, Yoga akan memilih berangkat dengan teman-temannya tanpa sekalipun membawa Lana. Ketika Lana bertanya alasannya, Yoga akan mengatakan jika dia tak suka teman-teman kantornya mengenal Lana. Lagi, yoga tak ingin mereka memuji istrinya yang cantik.
“Kita udah pernah bahas ini, Lan. Aku nggak suka kamu mengenal mereka.” Begitulah Yoga menjawab. “Tentang jalan-jalan itu kan nggak sepenuhnya batal. Hanya waktunya saja yang digeser menjadi hari minggu.”
“Kalau begitu nggak perlu jelaskan apa pun kepada Kaisar. Biarkan aku saja yang jalan sama dia malam minggu nanti. Kamu bisa bersenang-senang sama temenmu. Yang penting transfer aku uang lebih,” pungkas Lana tanpa berpikir.
“Lho, kamu nggak boleh pergi kalau nggak sama aku dong, Sayang.”
“Kalau Mas bisa pergi dengan teman-teman Mas, aku juga bisa pergi berdua dengan Kaisar.”
“Lan!” Yoga kali ini mendekati istrinya. Lelaki itu terlihat tidak senang ketika Lana ingin pergi tanpa dirinya.
Sejak dulu, Yoga adalah pecemburu. Itulah kenapa dia tak pernah menunjukkan dan mengenalkan Lana kepada teman-temannya. Dia tak suka kalau ada orang yang memuji istrinya.
Yoga sebenarnya menyadari jika pesona sang istri begitu kuat. Pergi dengannya saja, Lana akan dilirik oleh banyak lelaki, bagaimana kalau dia akan keluar berdua saja dengan Kaisar? Yoga tentu saja tidak ingin hal-hal buruk terjadi. Hati Yoga sungguh serakah. Dia tak ingin kehilangan istrinya, tetapi dia juga sedang dimabuk cinta oleh perempuan lain.
“Aku kan bilang kalau minggu saja keluarnya. Aku janji hari minggu kita jalan-jalan ajak Kaisar. Ke mana saja kamu mau.” Yoga memohon. “Tapi, malam minggu jangan pergi ke mana pun tanpa aku. Boleh?”
Lana menggeleng tegas. “Malam minggu atau transfer aku uang lebih. Oh, jangan transfer deh. ATM aja siniin.”
Lana tidak lagi bisa dikelabuhi oleh sang suami. Dia sudah bertekad untuk mengikuti alur permainan suaminya. Telapak tangannya terbuka untuk meminta kartu yang diinginkan. Yoga sudah berani membiayai perempuan lain dengan hasil kerja kerasnya. Dia juga tidak ingin kalah meskipun Yoga sudah memberikannya lebih dari cukup.
Lana yang selama ini mengurus Yoga dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia yang selalu memastikan penampilan lelaki itu tidak kalah dengan para laki-laki di luar sana yang berpenampilan parlente. Dia yang selalu memastikan Yoga makan dengan benar agar tidak mengganggu aktifitasnya. Namun, ketika semua hasil usahanya itu dibagi Yoga dengan perempuan lain, tentu saja Lana tidak akan membiarkannya.
“Sayang, kamu ini sebenarnya kenapa sih? Aku lihat-lihat kamu ini beda dari kemarin. Kamu takut kalau aku bohongi kamu? Aku kan sudah bilang, aku keluar sama teman-teman kantor. Futsal.”
Ada keinginan besar di hati Lana untuk menghanjar wajah tampan Yoga dengan kedua tangannya sendiri. Lana masih menahanannya. Dia tak ingin aksinya itu justru membuat Yoga marah dan dia tak bisa mendapatkan uang lelaki itu.
“Mana ATM-nya?” Lana tidak memedulikan ucapan Yoga. “Aku tahu Mas juga punya simpanan uang. Biarkan aku yang pegang itu mulai sekarang.”
***
Satu bulan sudah pernikahan Tirta dan Lana berjalan. Mereka sudah menempati rumah baru Tirta yang didesign langsung oleh Lana. Takdir itu terkadang memang membingungkan. Siapa yang sangka kalau pada akhirnya, Lana lah yang menjadi nyonya di rumah besar dua lantai tersebut.Dengan tiga asisten rumah tangga termasuk Bu Tatik di dalamnya, kini Lana benar-benar hanya mengurus suami dan putranya saja. Masalah bersih-bersih dan hal-hal lainnya di rumah sudah ada yang mengurus. Namun, masak masih Lana yang kadang menangani. Pasalnya, baik Tirta atau Kaisar lebih suka jika makanan itu dimasak langsung oleh sang nyonya rumah.“Bunda, ayo kita renang.” Kaisar yang sudah berada di dalam kolam renang itu melambaikan tangannya agar ibunya bergabung bersama dirinya dan juga Tirta.“Kalian aja.” Lana memilih duduk di kursi malas setelah meletakkan sepiring muffin di atas meja.“Bunda bawa muffin?” Tirta mendekat di pinggir kolam renam. “Aaak, Bun.” Tirta memberikan kode kepada Lana agar menyuapinya.
Tirta menatap Lana dari belakang yang tampak begitu kewalahan menjinjing gaun panjangnya. Di belakangnya, Tirta memegangi ekor gaun tersebut yang menyapu lantai. Senyum laki-laki itu merekah lebar tak bisa ditahan.Perempuan yang ada di depannya itu adalah istrinya. Benar-benar istrinya yang baru saja dia nikahi secara sah beberapa jam lalu. Kini, mereka selesai pesta dan menuju ke kamar mereka dia hotel tersebut. Akhirnya setelah melalui hari yang panjang, mereka bisa menyelesaikan setiap rangkaian acara yang begitu melelahkan.“Mas, aku bersumpah kalau suatu hari nanti kamu selingkuh, aku nggak akan segan ngulitin kamu. Lihatlah betapa melelahkannya pernikahan kita ini.”Mereka sudah sampai di kamar dan Lana langsung merebahkan tubuhnya di sofa dengan meloloskan napas panjangnya. Demi Tuhan, dia bahagia hari ini bebarengan dengan rasa lelah yang begitu luar biasa.Mendengar ucapan istrinya, Tirta justru tergelak. Dia duduk di lengan sofa setelah mengambil air mineral yang sudah disi
Lana bilang jika dia ingin pernikahannya yang kedua ini hanya perlu dilakukan dengan sederhana. Namun, ini adalah pernikahan pertama dan diharapkan menjadi pernikahan terakhir untuk Tirta. Tentu saja pernikahan sederhana itu tidak akan pernah terjadi. Bagaimanapun juga, Tirta berasal dari keluarga pebisnis yang memiliki banyak partner.Ada banyak tamu undangan yang akan datang di acara resepsi pernikahan mereka yang diadakan di hotel milik Tirta. Hanya membayangkan berdiri berlama-lama di pelaminan saja, Lana merasa begidik ngeri.“Ini nggak bisa undangannya dikurangi, Mas?” tanya Lana saat itu ketika Tirta menunjukkan jumlah undangan dari keluarganya.Ada hampir seribu orang dan itu belum semuanya. Belum lagi dari pihak orang tua Lana. Kalau Lana sendiri tidak mengundang siapa pun. Dia juga tidak mengatakan apa pun kepada Yuda tentang pernikahannya.“Iya. Ini semua dari keluarga kami. Belum semua lho, Lan. Kalau teman-teman aku sih cuma dikit aja.”“Padahal aku pengennya yang sederha
Tirta bahagia. Itu yang dia rasakan sekarang. Bagaimana tidak, setelah dia menunggu setelah bertahun-tahun yang lalu, ditinggal menikah, pada akhirnya dia benar-benar diterima oleh Lana. Keadaan memang sekarang sudah tidak sama lagi. Lana sudah memiliki satu anak dengan status janda. Namun, siapa yang peduli dengan itu? Yang terpenting perempuan itu adalah Lana.Anggap saja, Kaisar adalah bonus yang dia dapatkan karena akan menikahi Lana. Toh sekarang, dia juga benar-benar sudah sangat menyayangi Kaisar.“Kaisar ke mana?” Malam ini adalah malam minggu. Tirta datang ke rumah Lana untuk mengajaknya pergi berkencan.Ya, benar. Berkencan. Sebenarnya kata itu tidaklah aneh mengingat mereka sudah official jadian. Tak hanya itu, usia mereka juga masih cukup muda untuk melakukan hal-hal seperti itu.“Diajak keluar sama nenek kakenya. Sekalian kondangan.” Lana berdiri tepat di depan Tirta dan mendongakkan wajahnya. Keningnya mengernyit ketika melihat Tirta yang memasang senyum di bibirnya. “Ka
Tirta disibukkan dengan banyak pekerjaan yang harus ditangani. Mulai dari beberapa meeting, dan bahkan dokumen-dokumen penting yang harus ditanda tangani. Sudah hampir dua minggu setelah dia menyatakan keinginannya meminta Lana untuk menikah dengannya. Namun, setelah itu dia benar-benar tenggelam pada pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya.Sejujurnya Tirta merindukan Lana. Dia ingin menemui perempuan itu, tetapi dia hanya bisa berkomunikasi lewat hand phone. Tirta tetap memberikan kabar kepada perempuan setiap harinya.“Tirta, Mama ingin datang ke rumah Lana. Nggak papa, ‘kan?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Tirta ketika pagi sudah menggantikan peran sang malam.Lelaki itu kini tengah berada di ruang makan dan menikmati sarapannya. Sebentar lagi dia harus pergi ke hotel dan kembali tenggelam pada pekerjaannya.Ya Tuhan, Tirta tidak sedang mengeluh. Namun, kenapa akhir-akhir ini pekerjaan sangat banyak? Ini berkat hotelnya sedang digandrungi oleh pendatang. Banyak turis asing yang
Malam ini Lana tidak mampu sekedar mengistirahatkan matanya dan membawanya tenggelam ke alam mimpi. Isi kepalanya terus saja mengingatkan kalimat pendek yang dilontarkan Tirta siang tadi. Sebuah kalimat sederhana berupa ajakan yang terngiang sampai malam ini. Lana tidak memberikan jawaban apa pun, begitu juga dengan Tirta yang tidak mendesaknya. Lelaki itu hanya meminta kepada Lana agar mempertimbangkan dirinya untuk menjadi pendamping perempuan itu.Menatap langit-langit kamar, Lana menarik napasnya panjang. Sungguh, ini sangat membingungkan. Satu sisi hatinya ingin menolak, tetapi satu sisi hati yang lain mengatakan tak masalah untuk dicoba. Bukan hanya Tirta yang jelas-jelas mencintainya, tetapi orang tua lelaki itu juga menerimanya dengan kedua tangan terbuka. Bukan hanya itu, Kaisar pun sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.Apalagi yang perlu diperhitungkan sekarang?‘Hei, Yoga bahkan sudah menikah lagi, Lana.’ Hatinya memeringatkan. ‘Tidak masalah sekarang giliranm