“Nggak usah tegang gitu lah, Mas. Aku juga cuma bercanda.”
Lana melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan lurus mengarah Yoga, hanya untuk melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh lelaki itu secara langsung. Raut wajah Yoga yang tadinya tegang pun berangsur hilang digantikan dengan ekspresi datar. Yoga berdehem sebelum kembali menjawab.
“Aku hanya nggak mau karena pikiran-pikiran buruk kamu, rumah tangga kita menjadi korban, Lan. Ada banyak kejadian di luar sana, hanya karena dugaan-dugaan tidak berdasar yang dituduhkan oleh pasangan, akhirnya masalah yang sebenarnya tidak ada itu menjadi timbul. Terjadilah pertengkaran. Aku nggak mau itu terjadi. Rumah tangga kita itu udah adem ayem. Jadi, kita harus bisa mempertahankan.”
Lana tidak pernah menduga kalau Yoga bisa sepicik itu. Dia menjadi laki-laki yang sempurna bagi Lana. Menyayangi keluarga kecilnya dengan sepenuh hati. Sayangnya, kehadiran perempuan lain membuat lelaki itu berubah. Tujuh tahun mengenal Yoga dan menjadi suaminya, Lana merasa ikatan pernikahannya akan semakin kuat. Ternyata justru sebaliknya.
Yoga menodai kepercayaannya dengan pengkhianatan yang dilakukan. Lelaki itu mengizinkan orang lain masuk ke dalam rumah tangganya dan tanpa dia sadari akan menghancurkan hubungan yang sudah dibangun selama ini.
“Oh, ya, Mas tadi cari aku ada apa?” Akan percuma membahas masalah ini sekarang karena Yoga pasti akan terus mengelak.
“Nggak ada apa-apa. Aku udah lupa mau bilang apa.” Yoga lantas kembali meninggalkan kamar setelah memberikan jawaban setengah ketus kepada Lana. Tampak sekali kalau lelaki itu tengah kesal karena ucapan Lana tadi.
Lana tidak ingin mengambil pusing sikap Yoga kepadanya. Semakin Yoga menyimpan rapat perselingkuhannya, semakin dia akan menemukan bukti akurat untuk menumbangkan mereka. Dia tak akan mengizinkan orang-orang yang sudah bermain di belakangnya itu bahagia di atas dukanya.
***
“Lan, malam minggu nanti aku ada acara sama teman-teman kantor. Kita sepertinya nggak bisa jalan-jalan ajak Kaisar. Kalau hari minggunya gimana?”
Lana sempat memancing Yoga dan mengajaknya keluar bersama dengan Kaisar. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama. Tadinya, Yoga memberikan jawaban ketidakpastian dengan mengatakan, ‘Lihat nanti, ya.’ Kepada Lana, tetapi kini kepastian itu akhirnya diberikan juga.
“Yang ngajak duluan pergi ‘kan aku, Mas. Kenapa Mas lebih milih pergi sama teman-teman kantor Mas? Atau kalau enggak, aku dan Kaisar ikut deh. Emangnya mau kumpul-kumpul di mana?”
Beruntunglah Lana karena dia sudah tahu tentang rencana Yoga dan selingkuhannya, sehingga dia bisa memulai langkahnya.
“Nggak perlu ikut lah, Sayang. Kami mau main futsal. Mereka nggak ada yang bawa pasangan.”
Menjadikan alasan keluar dengan teman kantor, tampaknya adalah senjata paling ampuh yang dimiliki oleh Yoga. Dia tentu tahu, selama ini Lana tidak begitu rewel jika sudah menggunakan alasan tersebut. Bedanya, dia dulu jujur dan sekarang tidak.
“Aku sebenarnya juga ingin kenal sama teman-teman kantor Mas. Tapi, selama ini Mas nggak pernah ajak mereka datang juga, ‘kan? Bagaimana kalau kita undang mereka ke sini?”
Tidak ada dari teman-teman kantor Yoga yang mengenal Lana, bagaimana sosoknya, dan seperti apa orangnya. Yoga seolah menutup rapat tentang keluarga kecilnya dari orang-orang disekitarnya. Pada awalnya, Lana tidak pernah mempermasalahkan itu dan dia juga lebih nyaman dengan tidak mengenal mereka. Ketika menghadiri undangan pun, Yoga akan memilih berangkat dengan teman-temannya tanpa sekalipun membawa Lana.
“Untuk apa?” Yoga bereaksi cepat. “Aku nggak suka kamu kenal mereka, Sayang. Aku nggak mau ada dari mereka yang tertarik sama kamu.”
Alasan yang sama pun diutarakan oleh Yoga. Lana memang cantik. Dia tak pernah lupa merawat dirinya meskipun dia adalah ibu rumah tangga. Namun, perasaan Lana terasa tercubit ketika dia mengingat kalau kecantikannya bahkan masih tidak berguna ketika sang suami tetap mencari perempuan lain untuk dijadikan yang kedua.
“Nggak semua lelaki matanya jelalatan kalau ngelihat perempuan cantik, Mas. Apalagi perempuan itu adalah istri temannya. Jangan suka parno lah, Mas. Nggak baik,” tukas Lana santai, “lagian, perselingkuhan itu ada kalau dua-duanya sama-sama mau. Aku mah setia, Mas. Paham kalau aku punya suami dan anak. Nggak bakalan gatel sama laki-laki lain.”
“Bukan gitu maksud aku, Lana ….”
“Alah, udahlah, Mas. Jadi nggak mood aja kalau bahas masalah ini. Sekarang gini aja deh, kalau Mas malam minggu nggak bisa keluar jalan sama aku dan Kaisar, biar kami jalan sendiri. Transfer aku uang lebih.”
“Lho, kamu nggak boleh pergi kalau nggak sama aku dong, Sayang.”
“Kalau Mas bisa pergi dengan teman-teman Mas, aku juga bisa pergi berdua dengan Kaisar.”
“Lan!” Yoga menahan istrinya agar tidak beranjak dari tempat duduknya. Lelaki itu terlihat tidak senang ketika Lana pergi tanpa dirinya. Dia tidak bisa membayangkan kalau-kalau ada lelaki yang akan menggoda istri cantiknya.
Yoga sebenarnya menyadari jika pesona sang istri tidak main-main. Pergi dengannya saja, Lana akan dilirik oleh banyak lelaki, bagaimana kalau dia akan keluar berdua saja dengan Kaisar? Yoga tentu saja tidak ingin hal-hal buruk terjadi. Hati Yoga sungguh serakah. Dia tak ingin kehilangan istrinya, tetapi dia juga sedang dimabuk cinta oleh perempuan lain.
“Aku kan bilang kalau minggu saja keluarnya. Aku janji hari minggu kita jalan-jalan ajak Kaisar. Ke mana saja kamu mau.” Itu adalah janji yang diberikan Yoga kepada Lana.
Sayangnya, Lana bukan perempuan bodoh. Perempuan itu menggeleng tegas. “Malam minggu atau transfer aku uang lebih. Aku berani kok, Mas, belanja tanpa Mas. Jangan transfer deh. ATM aja siniin.”
Lana tidak merasa takut ketika mengarahkan tatapan tegasnya pada sang suami. Telapak tangannya terbuka untuk meminta barang yang diinginkan. Yoga sudah berani membiayai perempuan lain dengan hasil kerja kerasnya. Dia juga tidak ingin kalah meskipun Yoga sudah memberikannya lebih dari cukup.
Lana yang selama ini mengurus Yoga dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia yang selalu memastikan penampilan lelaki itu tidak kalah dengan para laki-laki di luar sana yang berpenampilan parlente. Dia yang selalu memastikan Yoga makan dengan benar, dia yang mengurus Yoga ketika Yoga sakit. Namun, ketika Yoga sekarang menduakannya, tentu saja Lana tidak akan membiarkannya.
“Sayang, kamu ini sebenarnya kenapa sih? Aku lihat-lihat kamu ini beda dari kemarin. Kamu masih takut kalau aku selingkuh seperti di novel yang kamu baca?”
Ada keinginan besar di hati Lana untuk menghajar wajah tampan Yoga dengan kedua tangannya sendiri ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Yoga. Lana masih menahannya. Dia tak ingin aksinya itu justru membuat Yoga marah dan dia tak bisa mendapatkan uang lelaki itu.
“Mana ATM-nya?” tanya Lana tidak memedulikan Yoga, “aku tahu Mas juga punya simpanan uang. Biarkan aku yang pegang itu mulai sekarang.”
“Lana!” Yoga sedikit meninggikan suaranya. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar. “Kamu ini kenapa?”
***
“Dia tidur.” Tirta mengantarkan Kaisar ke kediaman orang tua Lana sambil menggendong bocah itu. Sengaja tidak membangunkannya.“Kan, jadi ngrepotin kamu kalau gini.” Lana membimbing Tirta ke kamar Kaisar agar bisa membaringkannya di kasur. “Dia udah mandi?”Lana baru menyadari kalau pakaian Kaisar sudah berganti. Tadi hanya mengenakan seragam sekolah, tetapi sekarang sudah pakai kaos biasa.Tirta tidak segera menjawab dan memilih untuk keluar kamar Kaisar lebih dulu. Mereka turun ke lantai satu, lalu duduk di ruang keluarga. “Kok sepi? Ibu sama Bapak ke mana?” tanya Tirta.“Mereka ada pengajian di komplek sebelah. Sebentar lagi mungkin pulang.” Lana beranjak. “Aku ambilkan minum.”“Nggak usah.” Tirta menarik tangan Lana. “Di sini aja. Aku nggak haus.”“Tapi, aku tadi buat bakso lho. Serius nggak mau?” Tirta berkedip pelan sebelum tersenyum kecil.“Mau dong. Yang pedes, ya.” Lana terkekeh melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tirta. Begitu menggelikan.Alih-alih menunggu di ruang kelu
“Apa kabar, Lan.”Setelah ibunya yang datang, kini Tirta pun muncul setelah tidak pernah lagi menemui Lana. Lelaki itu terlihat masih sama dan tidak ada yang berubah dari penampilannya. Hanya sedikit lebih dewasa dibandingkan terakhir kali Lana melihat Tirta.“Tirta.” Lana sedikit terkejut melihat lelaki itu yang kini berdiri di depannya. Dia baru saja datang ke sebuah kafe ketika Tirta muncul. “Lama nggak ketemu. Kabarku baik, kamu gimana?”“Aku juga baik.” Lelaki itu mengulas senyum kecil. Tatapan mereka beradu dan getaran di dada itu tak bisa dipungkiri, jika rasa cinta yang dimiliki oleh Tirta memang begitu besar.Lana mengajak Tirta untuk masuk ke dalam kafe agar mereka bisa mengobrol di sana. Lana memesan dua cangkir kopi dan dua cake coklat untuk dirinya dan Tirta. Untuk beberapa saat, tidak ada yang mereka bicarakan. Tirta bahkan sama sekali tidak mengalihkan tatapannya pada perempuan yang ada di depannya seolah dia tengah menumpahkan segala rasa rindunya yang sudah lama dipen
“Maaf kalau membuat kamu terkejut, Lana. Saya datang tiba-tiba,” lanjut perempuan paruh baya dengan senyum lembutnya tersebut.Lana dan perempuan paruh baya tersebut sudah duduk berhadapan di salah satu meja meninggalkan Yoga di meja yang berbeda. Lana sebenarnya juga penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh perempuan paruh baya tersebut. Ini adalah untuk pertama kalinya Lana bertemu denganya, tetapi seperti ada hal yang sangat serius yang ingin disampaikan.“Tidak masalah, Tante. Kalau boleh tahu, apa yang ingin Tante bicarakan?”Perempuan paruh baya itu menyodorkan tangannya dan diterima oleh Lana. “Saya Tari. Ibu Tirta,” katanya.Sedikit terkejut, Lana mengangguk kecil. “Saya Lana.”Ibu Tirta itu tersenyum menatap sosok cantik yang ada di depannya. Perempuan paruh baya itu menatap Lana seolah tengah memuji ibu Kaisar itu dengan tatapannya.“Pantas saja kalau Tirta sangat mencintai kamu. Kamu ternyata sangat cantik, Lana.”Lana semakin terkejut dengan ucapan terus terang Tari.
Ruko dua tingkat dihadiahkan sang ayah untuk Lana. Mereka bilang agar Lana punya tempat untuk bekerja. Jika ada klien, mereka hanya perlu datang ke kantornya dan tidak perlu ke sana-kemari.“Ibu dan Ayah itu lihat kamu capek banget. Jadi, meskipun kecil, kamu harus memiliki kantor sendiri.”Begitu ibu Lana mengatakan kepada putrinya ketika mengajak mengurus sertifikat bangunan tersebut atas namanya. Lana sudah ditawari oleh kedua orang tuanya untuk membuat kantor sendiri, tetapi Lana terus saja menolak. Maka tanpa sepengetahuan Lana, ayahnya bertindak.Membelikan ruko di tengah kota yang ramai, mereka berharap Lana bisa mudah mendapatkan klien. Bagaimanapun, Lana adalah perempuan berbakat dengan hasil kerja yang selalu memuaskan.“Sebenarnya Ayah dan Ibu nggak perlu melakukan semua ini. Aku lagi ngumpulin uang untuk buat kantor sendiri.”“Kenapa harus kumpulin uang kalau ayahmu ini punya banyak duit?” Itu sebenarnya keseriuasan yang dibalut dengan candaan. Mau tak mau, itu membuat Lan
“Hai.”Lana menoleh dan mendapati Tirta ada di belakangnya. Lana tersenyum kecil membalas senyuman Tirta.“Dari mana?” tanya Lana sambil menerima minuman yang disodorkan oleh penjual.Lana sekarang benar-benar menikmati waktunya seperti dia adalah perempuan lajang yang tidak memiliki tanggungan anak. Dia hanya ingin mencoba untuk menggantikan waktu masa mudanya yang telah hilang.“Dari kantor. Nggak sengaja lihat kamu.”Tirta duduk di samping Lana. Mencomot satu risoles lalu memasukkan ke dalam mulutnya sebelum mengunyahnya.“Mau aku pesankan minum?” tanya Lana.“Boleh. Tapi nggak usah pakai boba. Geli lihat hitam-hitam bulat begitu.”Lana hanya terkekeh mendengar ucapan Tirta sebelum kembali berdiri dan memesankan minum untuk lelaki itu. “Rasa moca ya?” Lana menoleh menatap Tirta.“Iya.”Akhir-akhir ini, Tirta intens mendekati Lana. Tidak henti-hentinya dia mengambil kesempatan agar Lana benar-benar merasakan ketulusan hatinya. Tentu dia tak mendesak karena tahu Lana belum siap mener
“Kamu nggak perlu menghindariku, Lan.”Langkah Lana terhenti ketika mendengar suara Tirta dari arah belakang. Perempuan itu menyadari keberadaan Tirta ketika dia mengambil langkah cepat. Berusaha agar tidak perlu beramah tamah dengan lelaki itu. Sayangnya, dia tetap ketahuan.“Aku sudah pernah bilang sama kamu kalau kamu nggak perlu memikirkan tentang ucapanku tempo hari.”Tirta kini berdiri di depan Lana untuk melihat perempuan cantik itu dengan jelas. Mereka sama-sama baru saja meeting bersama dengan klien mereka masing-masing yang kebetulan berada di restoran yang sama.Lana menatap Tirta dalam sebelum dia menjawab, “Tir, kenapa kamu kemarin ke rumah nggak bilang-bilang dulu sama aku?”Tirta tersenyum kecil. “Mau mengobrol sebentar? Kebetulan aku sudah selesai meeting. Jangan bicara sambil berdiri begini, takutnya kamu capek.”Jika Lana tidak mengenal Tirta sebelumnya, dia pasti akan menganggap lelaki itu hanya mencari perhatian saja kepadanya. Nyatanya, Lana masih ingat betul baga