Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”
Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.
“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.
“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.
“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”
Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berjalan sejauh ini.
“Mas!” panggil Ratri.
“Kalau kamu ingin hubungan kita berlanjut, kamu harus bisa mencegah hal itu terjadi. Lagi pula, aku juga sudah menggunakan pengaman. Aku rasa, akan aman.”
“Mas nggak mau punya anak dariku?”
Jawaban pun tak serta diberikan oleh Yoga atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Ratri. Sejak dia berhubungan dengan perempuan itu, tidak sekalipun terbersit di dalam pikiran untuk melangkah sampai sejauh itu. Di hatinya tetaplah Lana dan dia hanya akan memiliki anak dari istri sahnya, sedangkan Ratri hanyalah cadangan.
“Jangan bahas ini lagi.” Yoga menghindari pertanyaan Ratri. “Kita sudah sepakat untuk tidak melangkah sampai sejauh itu. Kita nikmati saja hubungan ini berdua dan tidak perlu melibatkan orang lain.”
Yoga beranjak dari kasur, memungut pakaiannya yang berserakan di atas lantai sebelum memakainya. Setelanya baru dia kembali menatap Ratri yang masih bungkam seribu bahasa.
“Rat, aku sayang sama kamu. Aku juga mencintai istri dan anakku. Aku nggak mau kehilangan kamu atau keluarga kecilku. Jadi, tolong jangan menuntutku lebih. Kamu juga sadar kalau kita akan sulit bersama.”
“Lalu akan sampai kapan, Mas?” tanya Ratri cepat, “apa kita akan terus menutup hubungan kita? Mas, aku benar-benar cinta sama Mas karena itulah aku bersedia berhubungan dengan Mas dengan cara seperti ini. Tapi, aku juga mau diakui!” Ratri tampaknya sudah menginginkan posisi yang menjanjikan di sisi Yoga.
Mungkin dia juga mulai tak nyaman dengan hubungan sembunyi-sembunyi yang dijalani dengan lelaki itu.
“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun kepadamu, Rat. Jujur, aku nggak bisa kehilangan kalian.”
Yoga mengelus surai hitam Ratri dengan penuh sayang sebelum dia memeluk perempuan itu dengan erat. “Kita jalani saja semua dengan santai tanpa terburu-buru, Rat. Aku janji aku akan memperlakukanmu dengan baik. Kamu tidak perlu takut atas apa pun, selama kita bisa bermain cantik, tidak akan ada orang yang tahu tentang kita. Kalau sudah saatnya nanti, aku akan menjadikan kamu milikku seutuhnya.”
“Mas nggak bohong, ‘kan?” Ratri menyandarkan kepalanya di dada Yoga dengan nyaman. “Aku akan bertahan di sisi, Mas. Aku juga nggak mau kehilangan Mas.”
Yoga mengangguk memastikan jika semua janji yang sudah dilontarkan kepada Ratri pasti akan dipenuhi. Lelaki itu terbuai dengan perasaannya kepada Ratri tanpa tahu jika istrinya tengah berjuang untuk menendangnya dari hidupnya.
***
“Sayang …!” ucapan Yoga terhenti ketika dia melihat ada lima teman kantornya datang ke rumahnya.
Mereka duduk melingkar di karpet bulu sambil memakan hidangan yang disuguhkan di tengah-tengah mereka. Tadinya, Yoga tidak mengerti kenapa ada dua mobil yang sangat dikenalnya terparkir di depan rumahnya. Suara obrolan pun terdengar dari dalam rumah. Setelah dia melihat ada tamu yang datang, tentu saja dia merasa terkejut luar biasa. Yang ada di dalam benaknya sekarang pastilah, bagaimana mereka bisa datang ke rumahnya?
Yoga bingung sampai dia tak bisa mengeluarkan kata-katanya. Beruntung, Lana mendekat sambil memasang senyum lebar.
“Mas kok baru pulang. Teman-teman Mas udah sampai dari tadi.”
Yoga menatap teman-temannya penuh dengan kebingungan. Namun, karena mereka tidak tahu apa-apa, tentu mereka mulai bersuara satu per satu.
“Mas Yog, terima kasih lho udah diundang makan malam. Karena Mas Yoga tadi sepertinya ada urusan, makanya kami kesini lebih dulu.”
“Aku tadi juga sedikit kaget lho waktu dapat undangan untuk makan malam di rumah Mas Yoga. Akhirnya kita bisa tahu rumah dan kenal juga sama Mbak Lana dan Kaisar.”
“Tapi, Mbak Lan, ada satu lagi orang yang ada di divisi kita, lho.”
“Oh, ya?” Lana pura-pura tidak tahu. “Kok bisa ketinggalan gitu sih nggak diundang?”
“Iya, Mbak. Namanya Ratri. Dia karyawan baru juga sih. Kayaknya Bu Titik tadi kelupaan nggak bilang sama dia.”
Lana dalam hati tertawa melihat betapa kusutnya wajah Yoga melihat kejutan yang diberikan. Dia selama ini bisa menyembunyikan keluarganya semuanya dari orang-orang, bahkan tidak pernah membawa teman-teman kantornya untuk datang ke rumah. Namun, Lana bisa mendatangkan mereka dengan caranya sendiri.
“Mas Yoga udah makan malam?” tanya Lana setelah Yoga duduk dan bergabung bersama teman-temannya di atas karpet. “Ayo, makan dulu. Lauknya masih banyak itu.”
“Mbak Lana ini sepertinya tipe perempuan hebat ya. Sudahlah cantik, pinta masak pula.” Pujian yang dilontarkan oleh salah satu teman lelaki Yoga itu membuat Yoga merasa kesal.
Jadi, ada tiga laki-laki dan dua perempuan yang datang di rumah Lana malam ini. Mereka semua tentu saja satu divisi dengan Yoga. Lana dengan sengaja meminta kepada Bu Titik untuk mengundang mereka tentu dengan alasan yang sudah dibuat-buat. Kedatangan teman-teman kantor Yoga adalah bagian dari rencana Lana untuk menguak fakta yang disembunyikan oleh Yoga.
“Semua butuh proses, Mas. Udah nikah lama dan dulu nikah muda juga. Jadi, ya, belajar terus untuk jadi ibu rumah tangga yang baik.” Yoga sejak tadi hanya diam itu tampak terganggu sebenarnya, tetapi dia menahannya.
“Oh, ya, Mas Ifan. Kemarin maaf ya kalau udah nyusahin.”
“Nyusahin apa, Mbak?” tanya Ifan tidak mengerti.
“Waktu Mas Yoga nginap di rumah Mas Ifan sehabis acara futsal itu lho. Malam minggu kemarin ‘kan Mas-mas semua hangout bareng, kan? Hampir saja kemarin saya marah karena Mas Yoga nggak pulang ke rumah.”
Seketika, atmosfer di sekitar mereka terasa membeku. Ifan yang merasa tidak pernah menampung Yoga untuk tidur di rumahnya pun tampak bingung. Terlebih lagi Yoga, wajah lelaki itu pucat pasi.
“Ehm, Sayang.” Yoga buru-buru mengalihkan Lana pada hal lain. “Kamu nggak buatin mereka makanan penutup? Pudding gitu misalnya?”
Lana bisa melihat perubahan teman-teman Yoga setelah dia mengatakan tentang hangout. Mereka saling menatap seolah paham apa yang sedang terjadi di sini. Namun, karena Lana menghormati Yoga di depan teman-temannya, dia tak mengharapkan jawaban apa pun dari Ifan dan memilih menjawab Yoga.
“Ada dong, Mas. Sudah disiapkan. Habis ini aku ambil. Mas juga makan dulu, pasti capek banget, kan habis lembur.”
***
“Dia tidur.” Tirta mengantarkan Kaisar ke kediaman orang tua Lana sambil menggendong bocah itu. Sengaja tidak membangunkannya.“Kan, jadi ngrepotin kamu kalau gini.” Lana membimbing Tirta ke kamar Kaisar agar bisa membaringkannya di kasur. “Dia udah mandi?”Lana baru menyadari kalau pakaian Kaisar sudah berganti. Tadi hanya mengenakan seragam sekolah, tetapi sekarang sudah pakai kaos biasa.Tirta tidak segera menjawab dan memilih untuk keluar kamar Kaisar lebih dulu. Mereka turun ke lantai satu, lalu duduk di ruang keluarga. “Kok sepi? Ibu sama Bapak ke mana?” tanya Tirta.“Mereka ada pengajian di komplek sebelah. Sebentar lagi mungkin pulang.” Lana beranjak. “Aku ambilkan minum.”“Nggak usah.” Tirta menarik tangan Lana. “Di sini aja. Aku nggak haus.”“Tapi, aku tadi buat bakso lho. Serius nggak mau?” Tirta berkedip pelan sebelum tersenyum kecil.“Mau dong. Yang pedes, ya.” Lana terkekeh melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tirta. Begitu menggelikan.Alih-alih menunggu di ruang kelu
“Apa kabar, Lan.”Setelah ibunya yang datang, kini Tirta pun muncul setelah tidak pernah lagi menemui Lana. Lelaki itu terlihat masih sama dan tidak ada yang berubah dari penampilannya. Hanya sedikit lebih dewasa dibandingkan terakhir kali Lana melihat Tirta.“Tirta.” Lana sedikit terkejut melihat lelaki itu yang kini berdiri di depannya. Dia baru saja datang ke sebuah kafe ketika Tirta muncul. “Lama nggak ketemu. Kabarku baik, kamu gimana?”“Aku juga baik.” Lelaki itu mengulas senyum kecil. Tatapan mereka beradu dan getaran di dada itu tak bisa dipungkiri, jika rasa cinta yang dimiliki oleh Tirta memang begitu besar.Lana mengajak Tirta untuk masuk ke dalam kafe agar mereka bisa mengobrol di sana. Lana memesan dua cangkir kopi dan dua cake coklat untuk dirinya dan Tirta. Untuk beberapa saat, tidak ada yang mereka bicarakan. Tirta bahkan sama sekali tidak mengalihkan tatapannya pada perempuan yang ada di depannya seolah dia tengah menumpahkan segala rasa rindunya yang sudah lama dipen
“Maaf kalau membuat kamu terkejut, Lana. Saya datang tiba-tiba,” lanjut perempuan paruh baya dengan senyum lembutnya tersebut.Lana dan perempuan paruh baya tersebut sudah duduk berhadapan di salah satu meja meninggalkan Yoga di meja yang berbeda. Lana sebenarnya juga penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh perempuan paruh baya tersebut. Ini adalah untuk pertama kalinya Lana bertemu denganya, tetapi seperti ada hal yang sangat serius yang ingin disampaikan.“Tidak masalah, Tante. Kalau boleh tahu, apa yang ingin Tante bicarakan?”Perempuan paruh baya itu menyodorkan tangannya dan diterima oleh Lana. “Saya Tari. Ibu Tirta,” katanya.Sedikit terkejut, Lana mengangguk kecil. “Saya Lana.”Ibu Tirta itu tersenyum menatap sosok cantik yang ada di depannya. Perempuan paruh baya itu menatap Lana seolah tengah memuji ibu Kaisar itu dengan tatapannya.“Pantas saja kalau Tirta sangat mencintai kamu. Kamu ternyata sangat cantik, Lana.”Lana semakin terkejut dengan ucapan terus terang Tari.
Ruko dua tingkat dihadiahkan sang ayah untuk Lana. Mereka bilang agar Lana punya tempat untuk bekerja. Jika ada klien, mereka hanya perlu datang ke kantornya dan tidak perlu ke sana-kemari.“Ibu dan Ayah itu lihat kamu capek banget. Jadi, meskipun kecil, kamu harus memiliki kantor sendiri.”Begitu ibu Lana mengatakan kepada putrinya ketika mengajak mengurus sertifikat bangunan tersebut atas namanya. Lana sudah ditawari oleh kedua orang tuanya untuk membuat kantor sendiri, tetapi Lana terus saja menolak. Maka tanpa sepengetahuan Lana, ayahnya bertindak.Membelikan ruko di tengah kota yang ramai, mereka berharap Lana bisa mudah mendapatkan klien. Bagaimanapun, Lana adalah perempuan berbakat dengan hasil kerja yang selalu memuaskan.“Sebenarnya Ayah dan Ibu nggak perlu melakukan semua ini. Aku lagi ngumpulin uang untuk buat kantor sendiri.”“Kenapa harus kumpulin uang kalau ayahmu ini punya banyak duit?” Itu sebenarnya keseriuasan yang dibalut dengan candaan. Mau tak mau, itu membuat Lan
“Hai.”Lana menoleh dan mendapati Tirta ada di belakangnya. Lana tersenyum kecil membalas senyuman Tirta.“Dari mana?” tanya Lana sambil menerima minuman yang disodorkan oleh penjual.Lana sekarang benar-benar menikmati waktunya seperti dia adalah perempuan lajang yang tidak memiliki tanggungan anak. Dia hanya ingin mencoba untuk menggantikan waktu masa mudanya yang telah hilang.“Dari kantor. Nggak sengaja lihat kamu.”Tirta duduk di samping Lana. Mencomot satu risoles lalu memasukkan ke dalam mulutnya sebelum mengunyahnya.“Mau aku pesankan minum?” tanya Lana.“Boleh. Tapi nggak usah pakai boba. Geli lihat hitam-hitam bulat begitu.”Lana hanya terkekeh mendengar ucapan Tirta sebelum kembali berdiri dan memesankan minum untuk lelaki itu. “Rasa moca ya?” Lana menoleh menatap Tirta.“Iya.”Akhir-akhir ini, Tirta intens mendekati Lana. Tidak henti-hentinya dia mengambil kesempatan agar Lana benar-benar merasakan ketulusan hatinya. Tentu dia tak mendesak karena tahu Lana belum siap mener
“Kamu nggak perlu menghindariku, Lan.”Langkah Lana terhenti ketika mendengar suara Tirta dari arah belakang. Perempuan itu menyadari keberadaan Tirta ketika dia mengambil langkah cepat. Berusaha agar tidak perlu beramah tamah dengan lelaki itu. Sayangnya, dia tetap ketahuan.“Aku sudah pernah bilang sama kamu kalau kamu nggak perlu memikirkan tentang ucapanku tempo hari.”Tirta kini berdiri di depan Lana untuk melihat perempuan cantik itu dengan jelas. Mereka sama-sama baru saja meeting bersama dengan klien mereka masing-masing yang kebetulan berada di restoran yang sama.Lana menatap Tirta dalam sebelum dia menjawab, “Tir, kenapa kamu kemarin ke rumah nggak bilang-bilang dulu sama aku?”Tirta tersenyum kecil. “Mau mengobrol sebentar? Kebetulan aku sudah selesai meeting. Jangan bicara sambil berdiri begini, takutnya kamu capek.”Jika Lana tidak mengenal Tirta sebelumnya, dia pasti akan menganggap lelaki itu hanya mencari perhatian saja kepadanya. Nyatanya, Lana masih ingat betul baga