LOGIN“M-men… menyentuh apa?” bisik Alya, rasa gugup membuat suaranya tercekat. Ia benar-benar tidak paham kenapa Reihan tiba-tiba menghentikannya dengan cara seperti itu.
Reihan menatapnya dengan intensitas yang membakar. Matanya menyiratkan perjuangan batin yang dalam. Rahangnya masih mengeras, dan napasnya terdengar semakin berat. Lalu menggenggam kedua tangan Alya dan menariknya untuk menjauh dari area yang sudah Alya sentuh. “Kamu tidak perlu menggosoknya lagi,” kata Reihan, suaranya serak menahan gejolak. “Sudah saya bilang, tidak apa-apa.” Alya menggeleng cepat, rasa bersalah membuatnya keras kepala. “Tapi, nodanya, Pak. Saya tidak mau celana Bapak kotor. Kalau tidak dibersihkan sekarang, nanti… nanti nodanya susah hilang…” Tanpa sadar, ia kembali menunduk, dan tangannya sudah meluncur lagi ke area yang sama. Ia mengusapnya lagi, kali ini lebih fokus, berniat menghilangkan jejak kopi yang baru tumpah. Reihan memejamkan mata, menahan erangan yang hampir lolos dari bibirnya. Gadis ini, benar-benar polos atau sengaja mengujinya. “Alya, berhenti!” Reihan berseru pelan, tapi tegas. Ia menggenggam kembali tangan Alya, tapi kali ini ia tidak menariknya menjauh. Ia menekan telapak tangan gadis itu tepat di tengah bagian yang tadi Alya sentuh. “Kamu ini nggak paham-paham, ya?” suara Reihan berubah parau, sangat rendah, terdengar seperti bisikan di telinga Alya. "Lihatlah ini!" Alya sontak membeku. Matanya melebar sempurna, rasa panas menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh wajahnya. Ia merasakan sesuatu yang keras, tegang, dan membesar di bawah telapak tangannya. "Sekarang kamu mengerti, Alya?" tanyanya dengan suara serak. Alya hanya mampu menatapnya dengan tatapan bingung, lalu menggeleng pelan, karena otaknya masih berusaha mencerna. Reihan kehilangan kesabaran yang ia tahan-tahan. Gadis itu tidak tahu bahwa tindakannya yang polos itu justru seperti bensin yang disiramkan ke kobaran api. Reihan refleks merangkul pinggang Alya dengan satu tangan, sementara tangan yang satu lagi menjangkau belakang kepala gadis itu. Ia menarik Alya semakin dekat, memutus jarak di antara mereka. "Kalau begitu, saya akan memberitahumu." desisnya, napas hangatnya berbaur dengan napas Alya yang memburu. Alya tidak sempat menjawab. Sebelum ia sempat memproses perkataan itu, Reihan sudah memajukan wajahnya. Bibir Reihan langsung menyentuh bibir Alya. Ciuman itu lembut, namun tegas. Reihan menahan Alya di tempatnya, menuntut sebuah respons yang tidak bisa diberikan oleh Alya yang masih membeku. Mata Alya terbelalak kaget. Ini adalah ciuman pertamanya, dicuri oleh pria yang baru saja resmi menjadi suaminya. Raihan membuka mulutnya membiarkan Alya merasakan lidah hangat Reihan menyentuh bibirnya, lalu dengan lembut memintanya untuk membuka mulut. Reihan mengencangkan rangkulan tangannya di punggung gadis itu, memeluk Alya semakin erat, mendesaknya ke dada Reihan. Alya mulai merasa sesak, bukan karena ia tidak bisa bernapas, tapi karena sensasi yang terlalu intens. Kepalanya pening, lututnya terasa lemas. Ia tidak membalas ciuman itu, namun sentuhan lembut lidah Reihan membuatnya perlahan terbuai. Ciuman itu berlangsung lama, hingga akhirnya Reihan melepaskan tautan bibir mereka. Napas Alya terengah-engah, wajahnya memerah sempurna, matanya linglung, menatap Reihan tanpa berkedip. Jantungnya berdebar kencang, menabuh genderang yang membingungkan di dalam dadanya. Reihan kembali menatapnya, bibirnya sedikit bengkak dan basah. Ia menyentuh bibir Alya yang sama-sama bengkak dengan ibu jarinya, mengusapnya perlahan, kemudian berbisik, “Sekarang kamu sudah tahu, kan?” Reihan menatap mata Alya yang basah oleh air mata. “Kamu membangkitkan sesuatu yang tidak seharusnya kamu bangkitkan, Alya.” Alya tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah seperti tomat matang. Reihan menarik napas panjang, kemudian melepaskan pelukannya. Ia berdiri, lalu merapikan setelan kerjanya yang kini tampak sedikit kusut. "Saya akan ganti celana dulu," katanya, suaranya kini kembali tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. "Dan kamu, jangan coba-coba untuk melakukan hal seperti itu lagi, Alya,” ancam Reihan, senyum tipis, penuh kuasa, terukir di sudut bibirnya. “Kecuali kalau kamu siap bertanggung jawab penuh atas apa yang kamu lakukan di ranjang kamarmu setiap malam.” Reihan kemudian melangkah menuju kamarnya, membiarkan Alya duduk sendiri di meja makan, dengan bibir yang masih terasa perih dan sensasi ciuman Reihan yang membekas kuat di seluruh tubuhnya. Gadis itu menunduk, menyentuh bibirnya sendiri. Entah bagaimana, sentuhan itu terasa aneh, namun, tidak sepenuhnya tidak menyenangkan.“M-men… menyentuh apa?” bisik Alya, rasa gugup membuat suaranya tercekat. Ia benar-benar tidak paham kenapa Reihan tiba-tiba menghentikannya dengan cara seperti itu.Reihan menatapnya dengan intensitas yang membakar. Matanya menyiratkan perjuangan batin yang dalam. Rahangnya masih mengeras, dan napasnya terdengar semakin berat. Lalu menggenggam kedua tangan Alya dan menariknya untuk menjauh dari area yang sudah Alya sentuh.“Kamu tidak perlu menggosoknya lagi,” kata Reihan, suaranya serak menahan gejolak. “Sudah saya bilang, tidak apa-apa.”Alya menggeleng cepat, rasa bersalah membuatnya keras kepala. “Tapi, nodanya, Pak. Saya tidak mau celana Bapak kotor. Kalau tidak dibersihkan sekarang, nanti… nanti nodanya susah hilang…”Tanpa sadar, ia kembali menunduk, dan tangannya sudah meluncur lagi ke area yang sama. Ia mengusapnya lagi, kali ini lebih fokus, berniat menghilangkan jejak kopi yang baru tumpah.Reihan memejamkan mata, menahan erangan yang hampir lolos dari bibirnya. Gadis ini
Langit sudah mulai gelap ketika mobil yang dikendarai Reihan akhirnya berhenti di pelataran rumah besar itu. Lampu-lampu halaman memantulkan cahaya lembut pada bangunan megah tersebut, menciptakan bayangan tenang yang kontras dengan gejolak di hati Alya.Malam kian larut, namun Alya masih duduk termenung di tepi ranjang kamarnya. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencerna apa yang baru saja mengguncang hidupnya. Semuanya terjadi begitu cepat, terlalu cepat, hingga kini ia bahkan masih sulit percaya bahwa statusnya telah berubah menjadi istri dari pria yang dulu hanya ia panggil “Pak Reihan” di ruang kelas.Di tengah lamunannya, suara ketukan terdengar pelan dari balik pintu.“Alya, saya boleh masuk?” suara Rehan terdengar dari luar, tenang namun penuh kehati-hatian.Alya tersentak kecil. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab pelan,“Iya… silakan.”Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Reihan yang sudah berganti memakai pakaian santai. Rambutnya masih sedikit basah, beberapa helai
Salim terdiam sejenak mempertimbangkan ucapan istrinya, lalu mengangguk mantap. “Benar,” ucapnya tegas.Alya membeku, matanya membesar.“Ayah… tidak! Kami nggak ngapa-ngapain! Itu semua cuma salah paham warga! Kenapa malah minta uang ke Pak Reihan yang udah nolong Alya…?” Suaranya bergetar, terdengar lebih terluka daripada marah.“Maling mana ada yang ngaku, Alya…” gumam Sari pelan tapi menusuk, membuat Alya menunduk semakin dalam.Reihan menepuk bahu Alya lembut, mencoba menenangkannya. “Sudah… tidak apa-apa,” ucapnya pelan. Lalu ia menoleh ke Salim dan Sari. “Berapa yang kalian minta?”Sari langsung menjawab, cepat dan tanpa ragu. “Lima puluh juta.”Reihan terdiam. Ia menatap Alya sebentar, memperhatikan wajah gadis itu yang pucat, matanya memohon agar ia tidak menuruti permintaan itu.Alya menggeleng kecil, nyaris tidak bersuara. “Pak… jangan… ini nggak bener…”Namun Salim memotong, suaranya dingin, “Apa yang nggak bener? Kamu pikir bapak membesarkanmu supaya kamu bisa bikin malu
Mendengar ucapan itu, Alya cukup terkejut. Status kepala prodi mungkin sudah tidak asing di telinga Alya. Tapi menyebut Reihan sebagai suaminya, jelas ini masih menjadi sesuatu yang aneh baginya.Namun, akhirnya Alya hanya bisa mengangguk pasrah. “Baik, Pak.”“Kamu tunggu di gang samping kampus ya, nanti saya lewat sana,” ujar Reihan lagi.Alya paham dengan arah ucapan itu. Kalau ia langsung naik ke mobil Reihan di parkiran, pasti akan banyak orang yang melihat. Itu jelas akan menimbulkan gosip.Alya mengangguk lagi dan langsung meninggalkan ruangan Reihan. Ia berjalan ke arah gang samping kampus untuk menunggu Reihan.Sambil menunggu Reihan, Alya meremas tali tasnya erat-erat. Angin siang itu memang terasa panas, tapi kedua telapak tangannya justru dingin.Perasaan Alya campur aduk antara takut dan khawatir. Ia takut saat ayahnya bertemu dengan Reihan dan tahu fakta soal pernikahan mereka, amarah ayahnya akan lebih besar dari pagi tadi. Selain itu, ia juga tidak siap menyeret Reihan
Alya sempat terdiam, matanya sedikit melebar karena terkejut mendengar ucapan Reihan barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengusulkan hal seperti itu.Namun selang beberapa detik, keterkejutannya perlahan mereda. Ia mulai memikirkan ucapannya dan memang, apa yang Reihan katakan ada benarnya. Jika pernikahan itu tersebar di kampus, apalagi dengan alasan yang memalukan, hidup mereka akan semakin sulit.Alya menghela napas pelan, lalu mengangguk.“Baik… saya mengerti,” jawabnya lirih.Akhirnya, Alya kembali melangkah masuk ke kamar. Malam itu, rasanya pikirannya sangat campur aduk. Shock perkara dibegal dan hampir dilecehkan belum sepenuhnya pulih, tapi sudah harus menerima masalah baru.Alya merebahkan tubuhnya yang masih lemah di ranjang sederhana itu. Sekarang, statusnya sudah berubah menjadi istri dosennya sendiri. Apa jadinya kalau orang-orang tahu ini.Tak mau semakin pusing, Alya mulai memejamkan matanya. Berharap esok hari semua bisa lebih normal untuknya.***Pagi itu, Alya
Kini, di ruang yang luas itu, Reihan dan Alya duduk bersebelahan. Di hadapan mereka, seorang penghulu yang dipanggil secara mendadak oleh warga sudah bersiap memulai prosesi. Beberapa warga lain berdiri di sekitar mereka, menjadi saksi dari kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Sebelumnya, penghulu telah meminta Alya dan Reihan menyerahkan kartu identitas sebagai syarat pernikahan.Alya hanya bisa duduk kaku. Kedua tangannya saling meremas erat, mencoba menahan ketakutan yang terus mengguncang hatinya. Ia baru saja mengalami nasib buruk, nyaris diperkosa oleh begal, dan kini ia malah dituduh berzina oleh dosennya sendiri. Semua terasa begitu tidak adil.“Apa… harus sampai seperti ini?” tanya Alya lirih pada Reihan yang duduk di sampingnya. Suara nya bergetar, hampir tak terdengar.Reihan menarik napas panjang sebelum menjawab, “Mau bagaimana lagi? Kita tidak punya pilihan lain. Percuma membela diri mereka tetap tidak akan percaya.”Penghulu itu kemudian menatap mereka.







