Share

Bab 3-Kuah Asam Pedas

Saat tangan besar Singgih menariknya keluar dari ruangan karaoke, Wati seperti mengulang nostalgia masa lalu. Di mana pria itu menggandeng tangannya setelah insiden kuah asam pedas. Peristiwa yang menjadi awal perjumpaannya dengan Singgih.

"Aduh, Mbak ini cendolnya kok ada semutnya?"

"Mohon maaf mbak, nanti kami ganti cendol yang baru." Sekalian yang ada kecoanya, batin Wati. Sambil memaksimalkan kinerja matanya. Sampai jereng juga itu semut tidak kelihatan. Beuh, bawel.

"Oh, ya. Sekalian ini sambelnya ganti sambel terasi."

"Oh, maaf Mbak menu ini paketnya hanya sambal bawang atau sambel tomat, kalau mau sambal terasi harus pesan lagi, bagaimana?"

"Dih, masa sih sambel doang minta ganti harus nambah pesanan lagi?"

Kalo enggak mau pesen lagi, besok kalo ke sini bawa cobek, bawa terasi, nyambel sendiri! Itu, sih, lagi-lagi hanya dalam hati Wati.

Restoran merupakan pekerjaan yang tidak ada dalam benaknya dari awal, Karena setelah putus sekolah SMEP—Sekolah Menengah Ekonomi Pertama dia bekerja di gudang salah satu retail terbesar di Indonesia. Di sana, Wati bekerja selama tiga bulan hampir empat bulan.

Di kota metropolitan itu Wati diajak oleh saudara untuk bekerja di gudang yang sebenarnya sangat nyaman tetapi nasibnya tidak baik karena dijadikan batu loncatan sepupunya untuk maling. Menggelapkan beberapa barang. Nasib baik Wati hanya dipecat. Coba kalau dipenjara. Alamat jadi narapidana ditemani nyamuk dan tidur di lantai yang dingin.

Pertama kali Wati kerja di restoran ini sungguh sangat canggung dan kikuk karena dia belum ada pengalaman. Di hari pertama dia kerja hanya melihat-lihat cara kerjanya seperti apa. Standar operasionalnya. Itu saja membuat betisnya bengkak sebesar labu air. Hari kedua Wati di perkenalkan dengan alat-alat memasak lalu hari selanjutnya diperkenalkan menu apa saja yang ada di restoran, bagaimana cara order, dan bagaimana cara up selling yang bagus.

Sukanya kerja di restoran bisa mengetahui berbagai macam karakter orang, terkadang ada tamu yang baik, cerewet, yang angkuh pun ada.

Dia bisa belajar dagang juga karena kalau mampu menjual makanan yang mahal rasanya bangga. Bisa belajar berkomunikasi dengan baik karena Wati orang kurang komunikatif. Akan tetapi, dia mensiasatinya dengan banyak baca buku. Apa yang membahagiakan itu jika ada tamu yang baik memberi uang tip.

Brak!

Seorang ibu-ibu dalam kisaran usia lima puluhan, rambut disasak tinggi dengan aroma bunga kamboja menggebrak meja. Dia terus berkeluh kesah—lebih tepatnya berteriak karena pesanan guraminya belum juga terhidang.

"Lama banget! Heran!" Perempuan paruh baya menor itu celingukan. "Kamu! Iya, kamu yang muka pucet! Sini!"

Wati yang kebetulan lewat karena membersihkan meja persis bersebelahan dengan meja perempuan itu terpaksa datang mendekat.

Angka keramat dengan isi meja semacam Mak Lampir!

"Iya, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"

Brak!

Sekali lagi perempuan itu menggebrak meja. Sedangkan pria yang bersamanya terlihat menyeringai memandang Wati dari atas ke bawah. Rasanya pria dengan kumis lele itu mengawasinya terlalu lama di bagian dada Wati di mana ada bordiran logo restoran.

"Gurame aku, mana?"

Di kolam, Buk. Lagi makan siang sebelum eksekusi mati, jawab Wati dalam hati.

"Saya tanyakan pihak dapur, Bu."

Wati hendak pamit di saat bersamaan dengan datangnya pelayan lain membawa gurami asam pedas ke meja tiga belas itu.

Seorang pelayan laki-laki yang sudah bekerja setahun di restoran itu muncul. Adi namanya, asalnya dari Purwokerto.

"Gurame asam pedas sudah siap," teriaknya girang.

"Sini, kamu!"

Si pelanggan pria meraih piring berisi gurame asam pedas. Dia mengangkat tinggi piring itu. Satu tetes kuah berwarna merah itu hampir mengguyur wajah Adi jika saja tidak ada sebuah tangan menampar piring itu hingga jatuh ke lantai.

Suasana seketika sunyi. Dengungan orang-orang yang tengah menjamu selera waktu makan siang seketika berhenti. Decak nikmat berganti ngilu melihat gurami dengan bumbu kuah merah itu tergeletak mendelik di atas lantai.

"Siapa kau! Lancang!"

"Aku, Singgih," ujar pria yang menampar piring hingga melenting jatuh ke lantai itu.

"Kau supervisor di sini? Huh? Lihat kelakuan anak buah kau! Lelet seperti keong!"

"Kalau iya, kenapa? Kalau bukan juga kenapa? Aku lihat aksinya kalian berdua. Kalian berdua bahkan baru sampai tak lebih sepuluh menit yang lalu. Kalau mau cepat, kenapa nggak pesan mie rebus, huh!"

"Sial!"

Hampir saja mereka berdua adu jotos. Akan tetapi, pihak restoran cepat datang melerai.

"Setan banget, mau makan malah kek gini."

"Bapak nggak sabaran," ujar supervisor yang juga seorang perempuan awal tiga puluh itu. Mbak Lenny yang dengar-dengar akan dipindahtugaskan ke Surabaya.

"Memang restoran ini lelet bukan main," ujar si perempuan dengan sasak setinggi tumpeng 17-an.

Mereka berdua berniat meninggalkan restoran tetapi dicegah Mbak Lenny. Bisa-bisa harga lumayan dari gurami asam manis dibebankan kepada pekerja kalau ada pelanggan yang tak bermoral seperti si kumis ikan lele dan sasak tumpeng 17-an ini.

"Bayar bill, dahulu."

"Eh!" Si Sasak tumpeng mendelik persis ikan gurami.

"Nih!" Kumis lele mengambil dua lebar uang limapuluh dan melemparnya pesis ke wajah Mbak Lenny.

"Mbak!" teriak Adi dan Wati secara bersamaan.

"Gue nggak apa-apa. Adi, tolong bersihin lantai. Ikannya bawa ke belakang," ujar Mbak Lenny tersenyum sambil mengedipkan matanya. Maksudnya berkedip itu ikan itu buat kamu. Bawa pulang jika masih layak dimakan. "Wati, lo nggak apa-apa?"

"Anu, sedikit perih."

"Ayo, diobati."

Jadi saat Singgih menampar piring agar kuah panas asam pedas tidak mengenai Adi, justru kuah itu menciprat ke tangan Wati hingga membuat gadis itu meringis kepanasan. Kulit lengannya yang putih langsung terlihat memerah.

"Lenny, boleh gua ketemu si Wati."

"Mau apa?" jawab Mbak Lenny sengit. "Jangan ganggu anak gue."

"Siapa yang mo ganggu. Gue cuma mau lihat luka di tangannya."

Masih dengan mendelik, Mbak Lenny menunjukkan jalan menuju samping restoran.

Arghhh!

Wati melenguh ketika Singgih mendesaknya di depan pintu masuk sebuah kamar hotel. Dengan rakus dia menjilat wajah yang dia rindukan itu. Pria itu tidak peduli ketika melihat wajah pucat tak bermata milik Wati. Perempuan itu mengumpulkan ingatan masa lalu mereka.

"Jangan membuatku semakin benci padamu! "

Wati bukan lagi bocah ingusan yang senantiasa mengurut betisnya yang bengkak karena terlampau lama berdiri. Saat itulah pertemuannya dengan Singgih sembilan tahun lampau.

Dia adalah Sukmawati, seorang ibu yang akan melakukan apa saja agar anaknya tetap hidup.

"Aku masih suamimu, paham!"

Singgih merentap tangan Wati hingga perempuan itu berdiri dari duduknya. Tubuh lembutnya membentur dada pria yang menatapnya beringas.

"Lepaskan!"

"Puaskan aku dulu!"

Di sinilah Wati berada. Di sebuah kamar dengan ranjang luas dengan bau air laut yang pekat.

"Singgih, aku mohon jangan lakukan itu."

"Kamu suka atau tidak suka aku akan tetap melakukannya."

Benar saja dengan kalap Singgih melepaskan baju yang melekat begitu pas di tubuh indah Wati. Pria itu menerjang Wati dengan segala nafsu yang dia miliki. Awalnya Wati melakukan perlawanan tetapi, sebesar manapun tenaganya untuk menolak, perlawanannya akhirnya kandas juga.

Singgih membuat Wati akhirnya lupa bahwa dia tidak boleh kembali jatuh dalam pelukan pria penyembah iblis itu.

"Bagaimana kamu juga merindukanku, 'kan?"

"Jangan mimpi! Arghh," lenguhnya ketika Singgih semakin membuatnya bertekuk lutut.

Wati kalah. Sejujurnya cinta itu masih ada. Meskipun berbalut nafsu jahanam yang membuatnya menikmati permainan malam itu.

"Di mana putriku?"

Bersama dengan gairah mereka yang sudah tuntas, Singgih tiba-tiba menanyakan keberadaan putrinya. Tangannya mengusap anak rambut Wati yang lepek oleh keringat, lantas menariknya kuat hingga perempuan itu mendongak.

Pertanyaan itu tentu saja membuat Wati linglung. Cengkraman jarinya di rambut Singgih terlepas begitu saja. Begitu juga dengan bibirnya yang berada di lengkung pundak pria itu.

"Aku tidak ingin dia mati karena menjadi tumbal iblis peliharaan leluhurmu."

"Aku jamin itu tidak akan terjadi," bisik Singgih.

"Jangan pernah mengobrol janji manis ketika kamu sedang menikmati tubuhku. Aku bukan bocah ingusan lagi."

Singgih tertawa terbahak-bahak. Dia menyurukkan kepalanya di leher Wati. Memberikan gigitan seperti serigala lapar. Kenapa susah sekali meyakinkan perempuan yang dilanda cemburu.

"Aku tidak berbohong. Aminah sudah mati dan aku membutuhkanmu. Kembalilah padaku, Sukmawati."

Wati tidak menjawab meskipun Singgih melanjutkan siksaan nikmat itu. Keduanya melakukannya lagi dan lagi seakan tiada hari esok. Antara benci, rindu, dan nafsu lebur menjadi satu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status