Share

Bab 2-Berjumpa Singgih

Anyer tahun 1992.

Pendar cahaya lampu yang samar-samar terlihat dari luar ruangan karaoke menandakan sebagian ruangan yang lain sedang digunakan. Beberapa perempuan muncul dari balik pintu itu. Mereka berpindah ke pintu lain ke tempat pengunjung yang baru datang.

“Ang, kamu kamar nomor lima. Baik-baik, ya. Orang dari Jakarta itu.”

Wati mengangguk. Perempuan muda itu berjalan melenggang menuju ruangan yang disebutkan Saipul—pengawas tempat karaoke itu. Wati yang saat ini mengenakan atasan berwarna hitam dengan aksen berkilau berjalan sambil sesekali menyapa beberapa temannya. Sedikit kesulitan dengan sepatu hak tinggi juga rok span kulit sintetis-nya. 

Sudah tiga tahun dia menjalani profesi sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka memanggilnya, Purel. Namun, ada juga yang orang-orang yang memberi julukan sedikit modern yaitu lady escort.

Tugas Wati bekerja menemani tamu-tamu karaoke. Menyuguhkan minuman, sampai menjadi teman ngobrol. Yah, memang ada yang hanya datang, memesan kamar lantas ngobrol ngalor-ngidul tanpa menyanyi. Mereka—perempuan seperti Wati yang identik dengan dunia malam yang dilabeli kotor dan nakal. 

Persetan anggapan orang. Apa yang penting, Wati bukan perempuan seperti itu meskipun bekerja hingga larut malam. 

Meskipun ada dua shif, tetap saja kerja itu dimulai selepas jam dua siang. Jika mendapat jatah shift siang ia akan pulang menjelang malam. Jika mendapat jatah shift malam, ia akan pulang menjelang pagi. 

Di ruangan yang ditunjukkan oleh Saiful ada Madam Elis bersama dua pemandu lagu lainnya. Dia adalah senior atau bisa dikatakan manajer tempat ini. Perempuan awal lima puluhan yang masih singset itu langsung melambai padanya. Hanya ada dua pelanggan, jadi buat apa ia harus berada di sini?

“Nanti kamu nyanyi, ya, Ang. Suaramu, kan, paling power.”

“Oke, Madam.”

“Ambil minum. Bir dua sama soda,” ujar Madam Elis. “Tamunya kurang satu. Bosnya itu. Baik-baik kamu sama dia.”

“Ya, Madam.”

“Itu tadi siapa, Lis? Bukan buat aku, ya? Montok banget.”

Seorang pria dengan kumis dan janggut jarang-jarang tertawa sambil mengedipkan matanya pada Wati. Padahal sudah ada seorang pemandu lagu dengan rok super pendek yang memamerkan paha mulusnya duduk seperti anak koala.

“Jangan! Itu nanti yang aku kasih buat Pak Bos.” 

Sayup-sayup terdengar suara Madam Elis yang parau karena kebanyakan rokok sesaat sebelum Wati menutup pintu ruangan nomor lima.

“Rok kamu itu kurang panjang! Mau pengajian apa temani tamu!” ucap seseorang dengan nada sarkas. Jhonny, si centeng kurang ajar. Pria awal empat puluhan itu pernah meremas bokong Wati. Tentu saja, dia keder juga saat dilaporkan kepada Saipul.

Perkataan yang dilontarkan Jhonny tidak digubris Wati. Perempuan itu melangkah dengan cepat ke arah bar.

“Rok kamu itu, kurang pendek.” Kini giliran orang bar mengomel padanya. Namun, nada bicaranya biasa saja. 

“Iya,” jawab Wati enggan berdebat. 

Seorang laki-laki dengan potongan wajah mirip Chow Yun Fat mendelik ke arah Wati yang datang mengambil minuman. Dua bir dan satu soda. Ada pelanggan yang datang hanya untuk ditemani ngobrol, ada juga yang bahkan tidak menyentuh minuman beralkohol.

Wati cepat mengambil minuman lantas kembali ke dalam kamar nomor lima. Dia segera meletakkan minuman ke atas meja. 

Seperti biasa, meskipun sudah tiga tahun bekerja di tengah-tengah pria asing dengan tatapan mendamba, atau melecehkan, sikap Wati sama saja. Tertunduk menghindari tatapan mata liar yang memindai tubuh. Tanpa bersuara, dia segera mengambil mikrofon lantas berlenggak-lenggok mengikuti rentak musik yang sedang diputar.

Saat menyanyi, Wati seakan lupa lara yang melingkupi hidupnya. Semua yang pernah dibawa dari rumah Singgih sudah raib. Apalagi sembilan bulan ini, memang keadaanya benar-benar tidak baik. 

Mama atau ayahnya sakit prostat. Uang yang dikumpulkan untuk masa depannya bersama Elok ikut musnah.Tidak sedikit uang yang keluar untuk membeli obat dan operasi. Meskipun bersembunyi dari Singgih selama hampir delapan tahun ini, Wati tidak lupa pada kedua orang tuanya. 

“Lagu Dewa, ya, Ang! Kangen.”

“Baik, Madam.”

"Kita nyanyi, Kangen, yuk," ajak Wati sambil tersenyum manis.

Wati mulai menyanyi dengan nada rendah. Ya, karena suara Ari Lasso sebagai vokalis utama band Dewa itu memiliki timbre suara yang sangat rendah. 

Seiring berjalannya waktu, memang suara Ari sedikit meninggi dan semakin powerful.

Ketika pada syair yang berbunyi; Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya menahan rasa ingin jumpa ....

Wati hampir tercekik oleh nada tinggi syair itu—padahal tidak lah terlampau tinggi. Ya, saat itu secara bersamaan muncul seorang tamu lain yang langsung duduk di kursi sudut. Bagian siku. 

Percayalah padaku aku pun rindu kamu. Datanglah padaku tuk

melepas semua kerinduan

yang terpendam ....

Lelaki tampan itu ikut menyambung lagu yang dinyanyikan Wati. Lagu yang sedikit ngawur.

"Wah, jarang Pak Singgih ikut nyanyi. Suaranya mantap juga. Lewat si Ari Lasso," kekeh tamu yang lebih dahulu menghuni ruangan. Pria berkumis jarang-jarang.

Lelaki itu diam, meskipun ada senyum di sudut bibirnya.

Dia duduk di sudut siku-siku yang bertentangan persisi dengan tempat Wati berdiri, lelaki itu merenung tajam, tak berkedip. Wati terkejut tentu saja, tetapi suaranya yang bergetar masih bisa tersamar oleh suara musik yang berdentum keras.

Entah kenapa, sambil terus mendendangkan lagu sesekali dia mengalihkan pandangan ke semua yang hadir, lalu kembali pada sudut itu, lelaki itu pun masih tak selesai menilainya.

Rasanya malam itu adalah malam yang ingin segera disudahi oleh Wati. Namun, jarum jam seakan enggan bergerak. Ketika salah seorang yang mengundangnya bernyanyi maju, Wati sudah menduga dia akan diserang rasa cemas itu. 

Lelaki yang maju itu memakai kemeja yang sudah di gulung ke siku, dasinya sudah dilonggarkan.

"Manis, sana temani Pak Singgih,

Bos kami."

Wati kini duduk persis di samping orang yang membuat napasnya tersengal. Rasanya Wati ingin membersamai lelaki itu menyanyi duet, tapi dia malah diarahkan untuk duduk di kursi kosong itu. Yah, bermakna berada di samping Singgih.

Singgih tidak bereaksi berlebihan, ketika Wati berhasil melabuhkan bokongnya di kursi. Hanya saja, bibirnya berkedut penuh kemenangan. Punggung lelaki itu yang tadinya tegak kini mengendur, lalu bersandar pada sofa, satu tangannya berada di lengan sofa, satu lagi terjulur ke belakang, seakan merangkul Wati. Ujung jari telunjuk Singgihs sesekali mengelus lengan telanjang Wati, membuat perempuan itu justru tak nyaman untuk duduk. 

Sentuhan seringan bulu itu seakan sengatan listrik ribuan volt.

"Apa kabar, Sayang? Lama kita tak bersua."

Wati bergeming. Bisikan itu bersamaan dengan dada Singgih yang menghimpit punggungnya. Wati tidak berani menolehkan. Dia tidak mau rona wajahnya yang pucat itu terbaca oleh lelaki itu.

"Apa kabarnya, anakku?"

"Ya Tuhan, duda satu ini ada yang mulus aja, langsung diterkam!"

"Hust! Diam, anak-anak!"

Singgih nyengir pada seseorang yang memergokinya berlaku intim pada Wati.

Kata duda itu mau tidak mau mengejutkan Wati. Lagi-lagi seperti disengat dengan sengatan listrik voltase tinggi. Dia spontan menoleh, lalu matanya bertembung dengan pandangan sekelam malam itu. 

Singgih yang tampan. Apa yang terjadi pada istrinya yang cantik itu? Apakah karena putrinya si calon tumbal masih hidup, lalu iblis itu berbalik pada istrinya? Kenapa tidak pada Singgih? Wati menutup mulutnya, sebelum dia terpekik penuh rasa takut.

Sosok iblis itu, apakah benar mendatangi istri Singgih? Apakah sosok yang sama yang mendatangi dalam mimpi-mimpi Wati.

"Apa dia, mati?" tanya Wati hanya bersuara lirih. Toh, bersuara keras pun, akan tertelan lagu dangdut berjudul, Ani milik Wak Haji Rhoma Irama yang dengan apik dinyanyikan kawan Maulana, entah siapa namanya. Dia hanya ingin memastikan bahwa istri Singgih mati.

"Aku juga heran. Bingung. Marah. Harusnya itu kamu, Sayang?"

"Setahuku, malaikat pencabut nyawa itu namanya, Izrail, atas seijin Gusti Allah. Jadi, bukan setan, iblis, jin peliharaan leluhurmu! Pelajaran madrasah itu, Bapak Singgih!"

"Di mana anakku?"

"Mungkin anak itu, bukan anakmu. Bisa jadi, anak itu anak setan. Aku menjauhkan darimu, agar dia tidak mencelakaimu. Maka, berterima kasihlah padaku."

Singgih meremas bahu telanjang Wati. "Aku bisa menggagahimu di sini, kalau itu maumu. Dari matamu, aku tahu kamu merindukanku, Wati! Wati!"

"Di atas ada kamar yang bisa dibooking. Ngadep laut, Pak Singgih."

"Tentu saja. Malam ini jangan ganggu saya, ya."

"Sip!" 

Tawa kedua orang tamu itu begitu lebar. Sambil tertawa, tangan mereka meremas apa saja yang bisa diraih dari tubuh dua pemandu lagu itu. 

"Si Aang itu suka jual mahal, Bang. Mending atuh sama yang lain. Sama kita. Kita bisa puasin sampai pagi. "

"Bos kita ini nggak bisa ditolak," bisik lelaki itu meraih bibir si pemandu lagu yang memakai atasan kemben berwarna kuning dan sudah pun merosot ke perut.

"Ayo, Sayang."

Wati, entah keberanian dari mana menampik uluran tangan Maulana. Ada kilat marah dari matanya, yang kini mulai menyala. Toh, dia bukan budak nafsu Maulana. 

"Lepaskan!"

"Aku masih suamimu, paham!" 

Singgih merentap tangan Wati hingga perempuan itu berdiri dari duduknya. Tubuh Wati menubruk tubuh Singgih yang tegap dan panas.

"Puaskan aku malam ini!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status