Share

Obrolan di Siang Bolong

Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya.

Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu.

"Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri.

"Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah.

"Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka.

"Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang nggak ada, pulang buat istirahat nggak apa Bu. Dari pada nganggur." Bahru memberi saran, matanya tak teralihkan dari komputer di depannya.

"Istirahatnya nanti malam Kang, pulang sekolah biasanya saya langsung ke LBB." Nisa tersenyum simpul.

"LBB?" Bahru memastikan pendengarannya.

"Iya. Bimbel gitu Kang." Nisa menjelaskan singkat. Bahru mengangguk, bahasa tubuh untuk mengisyaratkan bahwa ia memahami penjelasan Nisa.

"Nggak capek Bu?" Bahru bertanya lagi, tak enak rasanya bekerja dalam keheningan. Nisa terhenyak. Baru kali ini ada yang menanyakan tentang kondisinya. Selama ini segala hal dilakukan oleh Nisa untuk menutup segala kekurangan ekonomi keluarganya. Rasa lelah, mengantuk, sakit ia telan sendiri.

"Ya capek sih Kang tapi memang kondisinya harus begini." Nisa menjawab pelan. Bahru tampak tak peduli mendengar jawaban Nisa, namun dalam hatinya bertanya-tanya: apa yang sudah dilalui perempuan itu? Sampai meluncur tuturan itu dari bibir kecilnya? Bel pergantian pelajaran meraung dengan keras, Nisa terlihat membereskan buku-buku di atas mejanya. Bahru melirik sekilas, tubuh jakung dan kurus Nisa terlihat berdiri dari bangkunya.

"Ada jam ya Bu?" Bahru bertanya lagi.

"Iya, Kang. Di XI IPA 1, Kang." Nisa tersenyum sekilas sembari memeluk buku, jurnal mengajar, serta daftar presensi.

"Habis itu langsung pulang Bu?" Akhirnya Bahru mengalihkan tatapannya dari depan layar komputer, beralih mengamati gerak-gerik Nisa.

"Iya Kang. Sudah ada murid yang menunggu di LBB." Nisa tersenyum sekali lagi, kemudian berpamitan dengan sopan, "Saya ke kelas dulu ya Kang."

"Ah! Iya Bu. Semangat ya!" Bahru tergelagap karena tatapan mata mereka sempat bertemu.

"Astagfirullahaladzim." Bahru mengusap mukanya dengan telapak tangan ketika Nisa sudah meninggalkan ruang guru.

*

"Ibu cantik banget sih." Goda salah satu murid laki-laki yang duduk di bangku belakang, paling pojok. Mendengar pernyataan anak itu, seisi ruang bersorak-sorai. Nisa menghela napas berat. Ia tahu pernyataan tersebut adalah pujian, namun Nisa merasa sangat risih dengan perilaku para murid laki-laki di kelas itu. Sejak awal perkenalan tadi, mereka sama sekali tak mendengarkan, hanya terbengong-bengong menatap paras Nisa.

Nisa mulai berkeringat, di ruang kelas yang tak terlalu luas itu, tak terdapat satupun kipas angin.

"Oke fokus kembali ya! Jadi ada beberapa materi yang akan kalian dapatkan di semester satu. Kalian bisa buka buku LKS dan lihat di daftar isi apa saja kira-kira yang akan kalian pelajari." Nisa menjelaskan dengan suara yang agak lantang. Beberapa siswi melakukan instruksi yang diberikan oleh Nisa, sebagian lagi sibuk melamun atau tidur. Nisa tak ingin menyerah, ia menghampiri seorang anak yang hanya sibuk menggambar sedari tadi.

"Kamu ngapain?" Tanya Nisa dengan nada lembut. Murid lelaki itu hanya berkedip menatap Nisa dengan perasaan tak bersalah.

"Wo, Hanum." Ada beberapa anak yang bersorak terang-terangan.

"Bagus gambar kaligrafi kamu, tapi ada baiknya kamu fokus pada pelajaran dulu ya..." Nisa menasehati dengan kalem. Bocah lelaki itu tak menjawab sepatah katapun, ia justru berdiri dan pergi, meninggalkan kelas. Nisa yang belum menyelesaikan pembicaraannya terperangah menyaksikan sikap bocah itu. Nisa sakit hati, ia seperti tak dihargai namun tak ada yang bisa ia lakukan.

Ketika jam pelajaran usai salah satu siswi di kelas XI IPA 1 mengejar langkah Nisa, "Bu Nisa...." Panggil siswi itu yang Nisa tahu bahwa namanya adalah Zahra.

Nisa menghentikan langkahnya tepat di samping tangga lantai dua. Zahra berlari menghampiri Nisa. Saat sudah di hadapan Nisa, Zahra mengatur napas terlebih dahulu.

"Bu Nisa maafin sikap Hanum tadi ya Bu." Zahra berucap. Ia terlihat masih sedikit terengah-engah. Nisa tersenyum lembut sebagai balasan atas pernyataan Zahra.

"Iya Zahra. Bu Nisa nggak apa-apa kok, lagi pula mengapa harus kamu yang minta maaf sih." Nisa mengelus pundak Zahra.

"Iya Bu. Soalnya kan Hanum adik saya Bu." Zahra menjelaskan kepada Nisa, napasnya mulai normal. Nisa mengerutkan dahi, mengamati kembali wajah Zahra kemudian ingatannya beralih pada raut Hanum. Walau hanya samar-samar tapi ia agak ingat dengan fitur muka Hanum. Tidak ada kemiripan sedikitpun! Ketidakmiripan antar saudara sangatlah wajar, yang tak wajar adalah bagaimana mereka bisa berada dalam satu tingkat kelas? Apa mereka kembar tidak identik? Atau Zahra pernah tidak naik kelas? Nisa pada akhirnya pusing juga memikirkan hubungan Hanum dan Zahra.

"Ya sudah nggak apa-apa. Tolong diingatkan kepada Hanum agar tidak bersikap seperti itu ya Ra. Kamu balik ke kelas gih! Kan masih jam pelajaran ini." Nisa berusaha menutupi rasa penasarannya. Lain kali saja ia tanyakan kepada guru lain mengenai hubungan kedua anak itu.

"Iya Bu. Terima kasih ya Bu Nisa." Zahra tersenyum kemudian meraih tangan Nisa untuk bersalaman, ia mencium punggung tangan Nisa.

*

Tadinya Nisa berniat langsung pulang, tapi ternyata ia tak bisa menahan rasa penasaran tentang Zahra dan Hanum. Nisa baru menemukan anak seberani Hanum.

"Lho! Bu Nisa nggak jadi pulang." Sambut Bahru ketika Nisa baru saja memijak ambang pintu. Lelaki itu tetap berada di posisinya: depan komputer.

"Nggak jadi Kang. Ada hal yang mau saya tanyakan." Nisa duduk di bangkunya.

"Ciyeee mau tanya apa nih?" Devi bersorak jahil. Nisa kaget sebab ia tak menyadari keberadaan Devi.

"Lho ada Bu Devi toh! Saya sampai nggak sadar." Nisa tertawa renyah.

"Iyalah. Orang fokusnya ke Kang Bahru seorang," goda Devi.

"Ehh bukan begitu Bu. Saya tadi mau tanya suatu hal yang penting." Nisa mencoba membela diri. Devi terkikik melihat sikap salah tingkah Nisa, sementara Bahru terlihat adem ayem saja.

"Jadi mau tanya apa? Mau tanya status Kang Bahru? Tenang saja Bu Nisa, dia itu bujang lapuk. Masih buka lowongan calon istri." Bu Devi tertawa renyah. Nisa menggaruk kepalanya yang terbalut jilbab coklat. Mengapa jadi begini sih? Setiap kali ia digoda dengan jalan dijodoh-jodohkan dengan rekan kerjanya, selalu yang terlintas di benak Nisa adalah Ardan. Nisa sendiri tak tahu mengapa ia merasa terikat dengan Ardan, padahal hubungan mereka pun juga tidak jelas sebagai apa?

"Gini lho Bu. Saya kan waktu itu diminta menggantikan Pak Rahman yang sudah mutasi ke SMK untuk jadi wali kelas XI IPA 1. Nah ini ada satu anak yang bermasalah." Nisa mendekati Devi, kemudian duduk di bangku samping Devi yang kosong. Devi mengangguk mengerti sebab ia juga mengajar di XI IPA 1, "Hanum ya Bu?"

"Lho kok Bu Devi tahu sebelum saya sebut nama anak itu." Mata Nisa berbinar.

"Anak itu memang sejak kelas sebelas bermasalah Bu. Dulu waktu kelas sepuluh dia nggak seperti itu lho Bu. Pinter dulu." Kali ini air muka Devi terlihat serius. Nisa menyimak, menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Semenjak orang tuanya cerai Hanum jadi seperti itu, apalagi sejak saudari tirinya pindah sekolah di sini." Devi terdengar menurunkan nada bicaranya, menandakan bahwa ia berempati dengan kisah hidup Hanum.

"Saudari tiri? Zahra?" Nisa bertanya untuk memastikan. Devi menganggukkan kepala dengan yakin sebagai jawaban atas pertanyaan Nisa.

"Ya. Dulu ayah Hanum berpisah dengan mamanya karena perselingkuhan. Hanum kan sudah mengerti Bu karena saat itu dia sudah SD kelas enam. Nah setelah itu mamanya pergi dari rumah. Jadi nggak ada kata cerai secara hukum Bu. Kemudian saat Hanum kelas sebelas, ayahnya menikah lagi dengan mama Zahra. Jadi, sekarang posisi Hanum tinggal bersama mama tiri, ayahnya, dan Zahra itu." Devi menjelaskan panjang lebar. Nisa mengangguk mengerti. Nisa mempercayai penjelasan Devi sebab ia merupakan guru bimbingan konseling, sudah tentu tahu latar belakang keluarga siswa-siswi.

"Yah gitu lah Bu. Anak yang pada akhirnya jadi korban keegoisan orang tuanya." Devi berucap dengan mata berkaca-kaca.

"Suami saya dulu juga selingkuh." Devi berkata lirih, kemudian tersenyum getir. Nisa menelan ludah. Ia tak mampu menanggapi ungkapan Devi.

"Hehe. Bu Nisa nggak usah terbebani dengan cerita ini, jangan takut menikah yang penting hati-hati dalam memilih pasangan." Devi berusaha menenangkan Nisa, sebab wajah perempuan itu tetiba terlihat pias setelah Devi bercerita tentang perselingkuhan dalam sebuah mahligai rumah tangga. Nisa tak mampu menjawab lagi, ia hanya tersenyum tipis. Masalahnya adalah bukan ia takut untuk menikah, tapi dirinya lah yang jadi orang ketiga dalam kehidupan rumah tangga Ardan dan istrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status