Share

Mengenalmu

Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa.

Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya?

***

Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan.

"Bu Nisa sudah ada calon belum nih?" Canda salah satu guru, Nisa ingat namanya Bu Hanum. Kulitnya putih bersih, bertubuh gempal, dan kaca mata selalu melekat membingkai indra penglihatannya. Guru perempuan yang lain ikut terkikik mendengar pertanyaan Bu Hanum. Nisa sudah ingat nama-nama rekan kerja barunya, ada Bu Hanum, Bu Risa, Bu Diva, Bu Lala, dan Pak Akbar yang sudah pernah ia temui. Nisa tersenyum malu-malu, tiba-tiba sekelebat ia terbayang air muka Ardan.

"Astagfirullah." Nisa berbisik lirih. Tawa meledak seketika di ruang guru.

"Astaga! Dia sampai nyebut loh." Bu Diva tertawa gemas. Nisa hanya mampu menggaruk belakang kepalanya yang tertutupi jilbab. Ia lega ternyata dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Nisa mengira akan bertemu dengan rekan kerja yang persis dengan rekan kerjanya di LBB Mentari, beracun! Makanya ia terus saja merasa resah sebelum Hanum membuka obrolan barusan.

"Nggak. Kalau belum punya calon kan di sini masih banyak yang perjaka." Hanum menanggapi dengan serius.

"Jangan ngawur, Nya! Mau kamu jodohin sama Kang Bahru atau Kang Fadhil?" Diva menimpali pernyataan Hanum. Nisa menduga mereka seumuran, sebab terlihat sangat akrab dan sefrekuensi.

"Ya kan siapa tahu jodoh gitu." Hanum menanggapi dengan santai. Ia melanjutkan tuturannya, kali ini dengan volume suara yang sedikit direndahkan, "Bayangkan saja Kang Bahru itu usianya sudah hampir 33 tahun lho seusia kita kan? Nggak nikah-nikah."

"Halah! Nggak usah ngomongin Kang Bahru, depanmu saja itu juga belum menikah." Akbar melirik Diva. Tawa meledak kembali di ruangan itu.

"Kalau aku ya kasus khusus lah!" Diva menjawab dengan tak terima. Tak lama setelah itu, orang yang mereka bicarakan memasuki ruangan dengan langkah santai.

"Assalamualaikum." Ucap Bahru sembari melepas sandalnya. Lagi-lagi ia memakai baju koko putih yang sudah sangat lusuh dan sarung hijau. Kopiah tetap bertengger rapi di atas kepalanya.

"Waalaikumsalam." Sahut orang-orang di dalam ruang guru hampir bersamaan.

Nisa mengamati Bahru. Lelaki itu berperawakan tinggi namun tak tegap, kulitnya tak hitam namun kusam seperti jarang terawat, matanya sangat teduh, dan hidungnya mancung. Secara fisik, Bahru kurang memiliki sisi kemenarikan khusus.

Bahru memasuki ruangan sambil memainkan gawai di tangannya, kemudian duduk di bangku depan Nisa. Seisi mata di ruangan itu mengamati tingkah Bahru. Lala menepuk jidat.

"Kang Bahru ada cewek di belakangnya diajak kenalan dong!" Cibir Risa.

"Nggak tahu tuh, selalu hidup dengan dunianya sendiri." Diva menyindir lebih keras.

"Hari Jumat sudah pernah ketemu kok." Bahru menjawab dengan cuek, suaranya terdengar berat. Tatapan lelaki itu tak teralih dari layar gawai.

"Tapi kan belum kenalan. Sama teman kerja baru mbok ya sambutannya yang agak hangat." Akbar turut menyahut. Mendengar suara Akbar, Bahru langsung menaruh gawainya di atas meja. Bahru berdiri dari tempat duduknya kemudian menyalami Nisa dengan sungkan sembari menyebut nama panggilannya, "Bahru."

"Faranisa." Nisa menyambut telapak tangan Bahru sambil tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. Kebanyakan pegawai tidak tetap di sekolah itu memang berasal dari mereka yang mengabdi di pondok pesantren. Mungkin Bahru adalah salah satu dari mereka.

"Kang Bahru itu suhunya suhu, Bu." Akbar melontarkan sebuah pernyataan yang terdengar seperti candaan. Menilik dari ekspresi Akbar yang hanya disertai senyuman tipis sekali, ungkapan tersebut tak bisa disebut sebagai candaan. Nisa hanya menyambut ungkapan Akbar dengan senyuman, ia tak tak tahu harus merespons bagaimana.

"Iya. Orang paling sibuk di Qomariyah." Diva menimpali dengan heboh.

"Bukannya sibuk tapi sok sibuk." Bahru menanggapi dengan candaan. Guru-guru lain dibuat tertawa dengan tingkahnya.

"Merendah untuk meroket Kang Bahru itu." Hanum ikut angkat bicara. Nyatanya memang Bahrudin adalah orang kepercayaan Kyai pemilik yayasan Al Qomariyah. Meskipun penampilannya serampangan, Bahrudin memiliki kepandaian yang tak perlu diragukan lagi. Ia juga memiliki karakter yang cekatan. Nisa tak membayangkan apapun tentang Bahru hari itu. Mau sehebat dan sekeren apapun lelaki itu, di pikiran Nisa hanya ada Ardan.

***

Nisa menghela napas panjang. Ia seharusnya sudah tahu bahwa lelaki adalah makhluk yang paling tak pandai mengendalikan nafsu ingin berkuasa dan terlihat hebat. Pertemuannya dengan Ardan kemarin sore sudah bocor ke semua rekan kerjanya di LBB Mentari. Nisa berspekulasi bahwa tak mungkin orang-orang bisa mendengar kabar burung itu tanpa ada yang perantara penyebar. Tak mungkin kabar melayang begitu saja di udara kan?

Yang tahu pertemuan antara Nisa dan Ardan hanyalah Tuhan, Ardan, dan Nisa sendiri. Nisa jelas sekali tak mungkin mengumbar aibnya sendiri. Tuhan juga tak mungkin memberi petunjuk yang begitu konkrit dan kronologis dalam waktu semalam. Atau mungkin Ardan yang menyebarkan cerita itu sendiri? Tapi buat apa? Agar terlihat keren karena bisa menaklukan banyak perempuan?

Semesta sepertinya memang sedang menguji Nisa, tetiba ada satu tampilan pesan dengan nama kontak Mas Ardan muncul di gawainya. Saat itu sedang istirahat menjelang maghrib, otomatis ia ada di kantin kantor bersama beberapa teman tentor perempuan yang masih mau bergaul dengan Nisa. Reka, yang duduk di samping Nisa sedikit melirik gawai Nisa.

Nisa dengan cepat meraih gawainya kemudian menekan menekan tombol samping, setelah layar gawai tampak gelap ia menaruhnya kembali di atas meja.

Baru saja Nisa menyeruput lemon teanya, tiba-tiba gawainya menyala, satu pesan lagi, dari Ardan. Nisa mulai menunjukkan gelagat tak nyaman. Firasatnya tak enak, Reka dan yang lain saling pandang.

"Nis, kita bukannya mau ikut campur masalah kamu. Tapi saranku mending kamu jangan berhubungan dengan Ardan lagi deh." Reka berkata perlahan. Nita yang duduk di depan Reka mengangguk setuju.

"Benar Nis. Apalagi sejak kejadian waktu itu kan. Coba kalau ada aku, sudah tak jotos orang itu." Nita berbisik lirih sembari melirik ke arah meja sebelah. Di sana terlihat Ridha dan gengnya sedang makan sambil berjulid ria.

"Iya. Kalau ada apa-apa sama kamu. Kami juga nggak selalu bisa bela, karena kadang kita kan beda sesi dan jadwal." Reka memandang Nisa khawatir.

Nisa tersenyum. Nita dan Reka adalah teman SMA-nya. Reka sudah menikah sejak setahun lalu, sementara Nita baru saja menikah dua bulan lalu. Kesibukan baru sebagai ibu rumah tangga membuat jadwal Nita dan Reka dimampatkan di LBB Mentari, sehingga mereka jarang ada jadwal mengajar les.

"Kalian jangan khawatir, aku sama Pak Ardan nggak ada apa-apa kok." Nisa mencoba menenangkan kedua temannya.

"Nis, tapi kenapa dia chat seperti itu? Mengapa dia memanggilmu dengan Dek?" Reka bertanya tak sabar, ternyata ia sempat melihat isi chat Ardan barusan. Nisa menarik napas panjang. Ia tak mampu menjawab pertanyaan Reka.

"Lagian sih Nis, kamu ngapain malah ceritanya ke Naysila. Dia itu mulutnya suka ember tau nggak." Gumam Nita sembari memakan bakso di hadapannya.

"Aku nggak bermaksud cerita. Aku keceplosan." Nisa berkata jujur. Reka membuka telapak tangannya, "Oke stop. Kembali ke topik pembicaraan. Mengapa Ardan memanggil kamu dengan sebutan Dek? Dan sejak kapan kamu punya kontak Ardan, menamai kontaknya dengan Mas Ardan? Sejak kapan kalian seakrab itu? Nis, inget Ardan sudah punya istri!" Reka membrondong Nisa dengan berbagai macam pertanyaan, menekan setiap kata demi kata dengan volume seminim mungkin. Ia bahkan sampai mencondongkan badan ke arah Nisa.

"Kemarin dia ngajak aku ketemu dan kami memang bertemu, jalan-jalan bareng." Nisa menjawab lirih. Nita dan Reka mendelik, jadi gosip itu benar: Nisa dan Ardan berkencan?

"Nis, diselingkuhi itu sakit lho dan jadi selingkuhan itu salah." Nita menghentikan aktivitas mengunyah, menatap Nisa dengan air muka serius.

"Aku nggak bermaksud jadi selingkuhan!" Nisa mencoba membela diri. Reka menggeleng tak setuju, menurutnya perbuatan Ardan merupakan bentuk penyelewengan terhadap istri sahnya.

"Selingkuh itu bukan berarti harus kontak fisik Nis. Chating setiap hari, memberi perhatian ke lawan jenis, selain pasangan itu sudah salah." Reka berusaha menyampaikan pendapatnya dengan kalimat-kalimat yang tak menyinggung Nisa. Nisa tertunduk dalam, bertanya kepada dirinya sendiri. Benarkah ia ada niat menjadi simpanan? Tiap kali Ardan mengirim pesan, tangan Nisa selalu otomatis membalasnya, tanpa proses berpikir, yang ada hanya perasaan senang.

"Tapi aku merasa senang tiap kali berkirim pesan ataupun bersama Mas Ardan." Nisa bergumam lirih. Nita menepuk jidat. Ini hal yang salah!

"Nis tolong berhenti sekarang sebelum terlanjur." Reka memperingatkan Nisa.

"Kalian tuh nggak tahu rasanya jadi aku, ada di posisiku." Mata Nisa nyalang, ia lelah terus disalahkan.

"Kamu juga belum tahu ya Nis rasanya jadi istri, ibu rumah tangga, tiap hari ngurus anak! Yang kami inginkan itu cuma rumah tangga yang tenang Nis, bareng anak suami. Aku sebagai seorang istri sakit banget lho dengar kalimatmu barusan. Apalagi istrinya Ardan. Mending kamu pikirin baik-baik dulu deh kata-kataku dan Nita. Kami itu sayang kamu Nis." Reka berdiri dari kursinya setelah berucap panjang lebar, mengajak Nita meninggalkan Nisa yang sedang tertegun dengan ucapan Reka. Reka sendiri merasa dongkol dengan sikap Nisa. Mengapa perempuan itu tak kunjung sadar juga, bahkan Bu Atnaya sampai turun tangan demi kebaikan Nisa dan Ardan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status